Hi
everyone! Tebak
aku berada dimana sekarang? Yup, kaki
dan tubuhku nggak lagi memijak bumi Surabaya sekarang, namun tengah berada di
suatu kota di ujung Barat Provinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Ngawi. Nggak
lagi liburan sih, tapi lagi mengikuti PKL (Praktek Kerja Lapangan) mata kuliah
Komunikasi dan Modernitas. Intinya: NUGAS,
tapi sembari having fun hehehe.
PKL
ini sudah direncanakan sejak awal perkuliahan, yakni pas awal bulan September. Dosen
yang mengajar adalah Bu Ida, Pak Yayan dan Bu Sri. Suatu kewajiban dan tradisi
turun temurun kalau mata kuliah ini SELALU
ada PKL di luar kota. Karena kita meneliti suatu daerah sudah ada aspek
modernitas atau belum. Apakah suatu daerah civilized
atau masih indigeneous? Bagaimana
pola pikir masyarakatnya? Bagaimana masyarakat menyikapi media dan fenomena
komunikasi lain? Dan sejenisnya.
Sesuai
rencana, kita PKL mulai hari Kamis (1/12/2016) hingga Minggu (4/12/2016). 4
hari 3 malam. Awalnya, kabupaten yang dipilih bukan Ngawi, melainkan Jember.
Ketuanya pun pada awalnya Rana. Tapi, karena Bu Ida mengingat suatu kejadian “nggak enak” yang pernah dialami oleh tim
PKL FISIP di Jember, akhirnya Bu Ida berubah halauan. Dipilihlah kabupaten
Ngawi dengan ketua Andre. Dibentuk pula kepanitiaan yang diprakarsai
putra-putri daerah (alias: anak-anak NON-Surabaya), dengan alasan mereka lebih
mengerti aspek kedaerahan dibanding kami yang anak-anak kota, hehehe.
Lalu,
mereka mulai survey ke Ngawi. Survey-nya mulai dari nge-lobi orang
kecamatan dan kelurahan, mencari-cari tempat menginap, menanyakan bagaimana
kehidupan sehari-hari pas kita tinggal disana (misal: apakah letak pasar
berdekatan dengan tempat menginap, apa fasilitas yang diberikan dan bagaimana
timbal balik yang kita beri, dkk), mencari-cari responden potensial kita,
merencanakan baksos, dll. Kita juga harus nge-booking satu gerbong kereta KHUSUS untuk dinaiki peserta mata
kuliah ini. Bayarnya sekitar Rp. 195.000 (Pulang-Pergi), naik kereta Ekonomi.
Tugas kita adalah meneliti
masyarakat daerah itu dengan kasus/fenomena-fenomena komunikasi. Kalau
kelompokku (kelompok 12) kita meneliti soal penggunaan media sosial pada remaja
di daerah Pelangkidul, Ngawi. Kita semua ditugaskan untuk bikin penelitian
kuantitatif gitu, dan kita juga harus nyebar-nyebar kuisioner ke responden.
Minimal 100 orang pula (standarnya). Sebelum pergi ke Ngawi, di kampus kita
harus lebih dulu bikin Bab 1 dan Bab 2, juga menyusun kuisioner. Ada pula aspek
non-akademis seperti nyusun anggaran keuangan buat hidup sehari-hari, mikir
soal hadiah yang bakal diberi, mikir baksos/pengabdian masyarakat di daerah
itu, dan lain-lain.
Oke,
sekarang aku akan bercerita soal hari pertama. Check it out!
Kamis, 1 Desember 2016.
Sehari
sebelumnya, Rabu (30/11), aku sibuk banget. Nyusun layout buat majalah sekolah SMA Muhammadiyah 1 Surabaya (32 halaman
layout! kudu nangis, hiks), trus siangnya ngumpulin layout fix ke SMAMSA. Sebenernya, layout-nya nggak terlalu rapi, ukuran
halamannya pun (agak) beda-beda. Ukurannya A5, tapi size-nya ada yang 1749 x 2489, ada yang 1752 x 2486, ada yang 1788
x 2492. Gak rapi kan? Soalnya, aku lupa pake ruler buat membatasi ukuran halaman. Yaudah deh, aku pasrah. Aku
serahin hasilnya ke percetakan. Pokoknya, edisi semester depan nggak boleh gitu
lagi!
Lalu,
sorenya jam 5 aku harus ke kampus. Ambil uang dari bendahara event UMC ‘After Exam’ (pas hujan deres
pula), trus dilanjut rapat di kantin FIB mulai jam 6 sore. Rapatnya sampai
malam aslinya, tapi aku izin pulang duluan jam 8, karena harus packing buat PKL. Sepulangnya, aku
langsung menata baju-baju, alat mandi, laptop, dan lain-lain. Satu carrier ukuran 60L bahkan sampai penuh,
jadi aku membawa tas selempang kecil yang berisi peralatan elektronik, powerbank, dompet dan charger. Tas kecil isinya barang-barang
yang bisa dibuat mobile, lah.
Cuman
bisa tidur sejam setelah memindahkan isi memory
card kamera ke laptop. Jam 3.30 dibangunkan orangtua. Habis itu mandi dan
siap-siap. Rencananya sih jam 5 di depan Vokasi mau ketemu Hata buat ngasih
buku-buku yang dipakai danus, tapi nggak jadi. Gak yakin aku, dia pasti belum
bangun sepagi ini. Daripada bawa berat-berat tapi dia nggak dateng, mendingan
gak usah. Biar dia aja yang ngambil bukunya di rumahku, nanti.
Akhirnya, jam 6 aku diantar
Ayah ke Stasiun Gubeng Baru. Sempet mampir Indomaret buat menambah perbekalan
logistik di jalan, beli roti dan biskuit gitu. Lalu, di Stasiun masih agak sepi
rupanya, hanya ada Dino, Taqi, Faizul dan siapa lagi, aku lupa. Ngumpul sama
kelompokku, sembari ngemil sedikit-sedikit buat menambah energi. Semakin siang,
anak yang datang semakin banyak. Jam 7:45-an, kita mulai memasuki gate Stasiun, dengan menunjukkan boarding pass dan KTP/SIM (tanda
pengenal).
Aku ngirim foto ini ke Rizal, hehe
Nunggu 10 menitan, baru
kereta datang. Kami bergegas memasuki gerbong nomor 3. Sedihnya, aku terpisah
dari kelompokku. Mereka di kursi nomor 15/16, aku sendiri di nomer 24 (deket
pintu keluar). Awalnya ku pikir sendirian, ternyata aku sekursi sama Mbak
Khansa, Mas Bagus dan Filda. Gak bisa banyak ngobrol sama senior, akhirnya aku
menghabiskan waktuku dengan mendengarkan musik melalui headset sembari memandang keluar jendela. Aku juga menghitungi
waktu kereta berhenti di stasiun, sampai di Ngawi. Haha, kurang kerjaan banget.
Ini screencapture-nya:
Aku sempet ketiduran
setengah jam, lumayan lah buat nambah energi karena semalaman cuman tidur
sejam. Bangun-bangun langsung ngerasa segar. Pemandangan lewat kereta ternyata
lebih bagus ketimbang pas aku naik bis. Lebih luas, banyak lewat sawah dan
ladang. Selain itu, naik kereta lebih cepat dibanding naik bis (bis ngetemnya
lama, kereta ngetem paling lama 15 menit). Naik kereta juga bebas dari traffic (yaiyalah). Trus pas di Nganjuk aku
sempet ngirim foto ini ke Esti (temen APS) dan cerita-cerita.
Pemandangan
Sempet dikasih makan sama
panitia PKL (lemper, roti dan nasi bungkus). Lumayan lah, nggak keluar uang
buat makan, hehe. Oh ya, walau kami naik kereta ekonomi tapi fasilitasnya luar
biasa, lho! Ada 3 buah AC per gerbong, ada stopkontak isi 2 tiap deret kursi.
Kursinya lebar, empuk pula. Jendelanya pun masih kondisi baik. Ada juga
pemberitahuan kalau kita mau berhenti di stasiun selanjutnya, lewat speaker
dengan pengisi suara perempuan dalam 2 bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris). Servisnya dari petugas kereta juga baik banget dan ramah. Selain itu,
penumpang gak boleh sama sekali ngerokok di dalam kereta, jadi kalau berhenti
di stasiun, baru mereka turun dan merokok di luar. TOP deh!
Tuh anak-anak bagi-bagi makanan
Oh ya, jam 11:57 kami
berhenti di Stasiun Walikukun. Inilah stasiun terakhir kami, dan perkiraan
waktunya lebih cepat beberapa menit dari estimasi waktu yang tertera di tiket
kereta. Kami turun dari kereta, dibantuin petugas kereta dan petugas stasiun,
lalu berjalan keluar dan menemukan 2 truk besar! Rencananya, kami bakal naik
truk itu menuju ke kantor kecamatan Kedunggalar. Wih wih.
Kami menaikkan
barang-barang ke atas truk. Lalu, kami harus BERDIRI sepanjang perjalanan,
karena kalau kita duduk, gak bakal cukup. Alhasil, pada heboh semua, karena
tiap lewat jalan belokan, anak-anak selalu ‘oleng’ hahaha. Apalagi yang berdiri
di tengah, sudah pasti bakal jatuh ke temen-temennya. Makanya, kita harus
pegangan biar nggak miring-miring atau jatuh, hehe. Lebih kasihan lagi
anak-anak yang berdiri di belakang, karena diatas mereka nggak ada terpal jadi
mereka kepanasan. Kadang malah, mereka kena ranting-ranting pohon, jadi sakit
semua, haha.
Merakyat ~
Btw
pas di truk tadi aku liat siluet gunung indah banget. Keliatan gede, bentuknya
kerucut. Karena Ngawi dataran rendah, jadi gunung itu terlihat sangat besar.
Kayaknya itu Gunung Lawu. Gunung yang kata omku sangat melelahkan, haha, karena
track-nya yang terjal dan vertikal.
Mirip track pos 4 Gunung Penanggungan, kata omku dulu.
Perjalanan menggunakan truk
memakan waktu sekitar 30 menitan. Tapi kerasa lamaaaa banget, haha. Naik truk
bener-bener bikin capek, bahkan ada yang pusing dan mual. Kami sampai di kantor
kecamatan Kedunggalar, menurunkan barang lalu berjalan masuk ke balainya. Sudah
ada puluhan kursi berwarna hijau di dalamnya. Karena sudah penuh, aku kebagian
duduk di bagian belakang.
Acara dimulai dengan
pembukaan oleh MC (Revin), lalu ada sambutan dari Pak Yayan dan Bu Ida.
Terakhir ada sambutan dari Camat Kedunggalar. Ada doa bersama juga dari Dino.
Setelahnya, tiap kelompok langsung menuju ke desa masing-masing, dengan mobil
jemputan yang sudah disediakan tiap desa. Namun, ada yang nggak langsung ke
desa, karena masih nungguin mobil jemputan. Kelompokku pun nunggu jemputan
juga, agak lama sekitar 20 menitan. Jadi, kita tinggal makan dulu sebentar.
Sisa nasi dari panitia juga masih banyak, jadi kelompokku ngambil nasi sisa
buat makan sore atau malem (semoga nggak basi, haha).
Akhirnya, ada mobil Avanza
putih yang dikendarai mas-mas usia 30 tahunan. Kita naruh barang di bagasi,
lalu naik ke mobil. Cerita-cerita deh sama masnya. Cerita soal kota ini deh
sembari berkendara menuju desa kita (desa Pelangkidul). Nggak jauh kok dari Kedunggalar,
nggak sampai 30 menit naik mobil.
Jam 3 sore kita sampai di
rumah pak lurah (atau pak kades). Rumahnya bagus banget, hampir semua pakai
elemen kayu jati. Ada ukir-ukiran burung garuda yang bagus juga. Sangat
memanjakan mata. Di dalamnya terlihat mewah. Ukurannya pun besar, dan masih ada
lagi kamar-kamar di belakang yang nggak kalah luas. Ada jendela kayu yang bikin
kita bisa liat luar. Ada lukisan, wayang yang terbuat dari kulit kambing, ada
foto keluarga, ada pula foto anak KKN. Kata bapaknya, tempat ini emang sudah
sering dipakai anak PKL atau KKN.
Serba kayu jati
Kita disediakan karpet buat
duduk-duduk, dan kita langsung mengeluarkan stiker untuk diguntingi. Ada yang
bagian mbungkusi kado buat anak-anak yang kita sasar jadi target pengabdian
masyarakat. Setelah semuanya selesai, kita baru bisa agak nyantai. Mandi dan
bersih-bersih, lalu jam 7 malam kita nonton film The Secret Life of Pets. Pada
awalnya nonton semua, tapi lama-kelamaan Mela, Ica dan Fissa tumbang, tinggal
aku, Angel dan Ilham yang masih nonton.
Malam itu grup Commers
rame, karena isinya anak-anak upload
foto semua. They look so happy walau
ada kelompok yang katanya rumah yang ditempati agak spooky. Untungnya rumah kita baik-baik aja. Malam itu kami
kelelahan dan mulai tidur jam 9. Padahal kita di Surabaya jam segitu masih
kelayapan, wkwk. Aku tidur jam 10 setelah baca novel “A Heart for Two” dari
Sandi Situmorang. Kita nggak jadi tidur di tikar, karena dikasih ibunya (Ibu
Sri) kasur hehe.
Aaaand.... Good night!
Nantikan kisah hari kedua
di Ngawi ya!
BACA JUGA!
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)