Pernah
mendengar Starbucks, Coca Cola dan McDonald? Barangkali, tak sekedar mengenal
namanya, namun sebagian besar orang sudah pernah memakainya. Bahkan, sebagian
orang lain telah menjadi konsumer loyal atas brand tersebut. Ketiga brand tersebut (Starbucks, Coca Cola dan
McDonald) berasal dari Amerika. Starbucks dari Seattle, Coca Cola dari Atlanta,
Georgia dan McDonald dari San Bernardino, California. Dan ketiganya merupakan brand yang sudah menglobal dan memiliki
tingkat penjualan yang fantastis.
Gambar 1:
Starbucks dalam film “Empire
– McAmerica: The Success Secrets of Brand USA”
Ada alasan-alasan tertentu mengapa
banyak orang di berbagai belahan dunia tetap menggunakan brand tersebut, walau terkadang harga jual produk dari brand tersebut jauh lebih tinggi
dibanding produk lain yang sejenis. Starbucks misalnya, menjual minuman kopinya
mulai harga Rp. 30.000 hingga Rp. 50.000 (belum termasuk PPN 10%). Padahal, di coffe bar lokal, harganya bisa jauh
lebih murah. Sebagian orang menilai bahwa Starbucks tak hanya menjual produk
kopi dengan citarasa yang enak, namun juga memakai service yang ramah kepada pelanggan sebagai salah satu komoditinya.
Selain itu, kedai Starbucks selalu memiliki tampilan yang modern, mewah dan berkelas, ditambah dengan fasilitas WiFi yang
kencang, yang juga menjadi daya tarik bagi konsumer setia mereka.
Gambar 2:
Simon Anholt memberi pendapat mengenai brand
Namun, dibalik produk berkualitas
dan pelayanan yang baik, Starbucks, McDonald dan produk-produk dari perusahaan
global lain memiliki hal lain yang membuat konsumer mereka tetap loyal, yakni brand atas produk tersebut. Simon
Anholt, penulis dari Brand America berkata, “It was designed to be loved and admired,” yang menegaskan bahwa
produk-produk dari brand global
ternama didesain khusus untuk dicintai dan disukai oleh konsumennya, dan
apabila tujuan tersebut sudah tercapai, maka akan mudah karena konsumen akan
menjadi loyal dengan sendirinya.
Gambar 3:
Brent Smart memberi opini soal brand
saat sesi tanya jawab dengan Marwan Bishara dan Wally Krantz
Sementara
Brent Smart, CEO dari Saatchi New York mengungkapkan, “Not just functional stuff issues, but there’s also exploration (about
product) and the emotions too.” Hal ini semakin memperkuat statement dari Anholt, bahwa produk itu
diciptakan tak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen, namun juga berkaitan
dengan bagaimana konsumen mempersepsi sebuah brand dan mendapatkan pengalaman-pengalaman emosional dengan brand tertentu. Misal: sepatu merk NIKE
tidak hanya digunakan sebagai alas kaki, namun juga digunakan sebagai simbol
dan pengukuhan sebagai kelas sosial atas. Ada sebuah prestise apabila memakai NIKE
sebagai alas kaki, ketimbang memakai brand
lain seperti sepatu BATA, walau keduanya sama-sama sepatu dan sama-sama
memiliki fungsi untuk melindungi kaki. Karena NIKE adalah brand global, telah dipakai oleh banyak selebriti, artis, atlit dan
tokoh-tokoh berpengaruh lainnya di seluruh dunia, juga harga jualnya jauh lebih
tinggi dari sepatu BATA, hingga membuat banyak orang mempersepsi bahwa NIKE
memiliki prestise tinggi dan ada kebanggan tersendiri apabila memakai
produknya.
Gambar 3:
Wally Krantz memberi opini soal brand
saat sesi tanya jawab dengan Marwan Bishara dan Brent Smart
“The brand not about the logo,” menurut
Wally Krantz, seorang creative director
di Brand Union. “But it’s (also) about
experience you (will) have,” ungkapnya lebih lanjut, menegaskan ulang statement dari Brent Smart. Bahwa brand-brand tertentu membawa pengalaman
tersendiri bagi konsumennya, dan tentunya tiap-tiap brand membawa pengalaman khusus yang berbeda antara satu dengan
yang lain. Seperti pengalaman diperlakukan dengan ramah oleh pelayan dari restoran
waralaba internasional Kentucky Fried Chicken (KFC), mendapatkan servis yang
cepat dan tanggap dari pelayan Starbucks serta memakan produk makanan yang
berkualitas tinggi dari Pizza Hut. Semua itu akan terekam sebagai pengalaman
positif dalam benak konsumen, dan apabila konsumen sudah terkesan, maka tidak
akan sulit untuk membuat mereka menjadi loyal terhadap brand tersebut.
Loyal
sendiri memiliki definisi sebagai kepercayaan kepada suatu hal, baik ideal
(idealisme/ideologi), kebiasaan, lembaga/institusi dan produk[1].
Apabila seseorang telah memiliki loyalitas atas sebuah brand, maka bisa dipastikan bahwa konsumen tersebut akan membeli
dan memakai produk dari brand tersebut
secara terus-menerus. Tidak hanya itu, bisa jadi konsumen tersebut akan
mempromosikan brand tersebut kepada
lingkup sosial terdekatnya, seperti keluarga, teman dan relasi kerja. Akibat
testimoni dari konsumen loyal itu, bukan hal yang mustahil apabila lingkup
sosial terdekatnya juga akan terpengaruh untuk memakai dan mengonsumsi produk
dari brand yang sama.
Sementara,
soal prestise dalam mengonsumi produk dari brand
global masih menjadi salah satu alasan mendasar mengapa konsumen tetap setia
memakai brand-brand tertentu. Bahkan,
alasan ekonomis pun terkadang tak menjadi masalah, walau harga jual yang
dipatok pada brand tertentu akan jauh
lebih tinggi dibanding produk-produk sejenis. Brand global seperti Prada, Gucci, Channel dan Hermes misalnya,
dijual dengan harga yang tinggi (mulai dari jutaan hingga ratusan juta rupiah),
namun tak menyurutkan animo untuk membeli produk dari brand tersebut. Bukan lagi untuk alasan kebutuhan dan fungsional
semata, tapi ada kecenderungan untuk bergerak ke arah penegasan sebagai salah
satu masyarakat kelas atas ketika mengenakan produk dari brand tersebut.
Semua
itu merupakan bagian sistem kapitalisme dan agenda yang dibuatnya. Membuat
orang-orang menjadi ‘gila’ akan brand
tertentu, lalu akan membeli dan memakainya secara terus-menerus. Bagi pemilik brand (yang punya hak paten dan harta
kekayaan atas brand tersebut), hal
itu merupakan keuntungan apabila memiliki konsumen yang loyal dari seluruh
penjuru dunia. Kembali lagi pada prinsip awal kapitalisme sebagai free market system, bahwa pasar-lah yang
boleh menentukan sendiri harga jual atas produk tersebut demi keuntungan materi
(uang) yang akan mereka peroleh. Boleh saja Channel, Gucci, Prada, dan lainnya
memasang harga yang tinggi, tetap saja masih ada orang-orang yang akan setia
membeli produk mereka. Dan pemilik brand
pun tak segan-segan untuk mempromosikan produknya, beriklan, mempersuasi orang
untuk membeli hingga menanamkan konsumen bahwa produk dari brand-nya mampu membuat konsumen naik kelas sebagai masyarakat
kelas atas. Semua itu dengan tujuan awal untuk mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya.
Ditulis oleh: Nena Zakiah
Mahasiswi S-1 Ilmu Komunikasi, Semester 5, Universitas Airlangga
Ditulis oleh: Nena Zakiah
Mahasiswi S-1 Ilmu Komunikasi, Semester 5, Universitas Airlangga
Nama film:
Empire – McAmerica: The Success Secrets of Brand USA
Pembuat:
Al Jazeera English
Durasi:
00:46: 56
[1] Definition of Loyal. Merriam
Webster. Web. Diakses pada tanggal 24 November 2016. http://www.merriam-webster.com/dictionary/loyal
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)