Senin, 30 Maret 2015

Lumpur Hisap

0 komentar
Pohon itu melihatnya. Begitu pula ranting-ranting dan dedaunan yang menempel pada batang kambiumnya. Mungkin, lampu-lampu yang berjajar itu juga, tapi mereka terlalu jauh untuk menatap lebih detail pada apa yang terpancar.
                Beruntunglah rerumputan itu, yang memiliki akses tertinggi untuk melihat tayangan di atasnya. Suara-suara itu pun tertangkap dengan jernih, tak ada satu perkataan pun yang terlewat.

Minggu, 15 Maret 2015

Patung

0 komentar

            Lalu jika tak kau izinkan ku untuk bersuara, lantas untuk apa kau ciptakan aku dahulu sembilan belas tahun silam?
            Dan disinilah aku.
            Di bawah atap sebuah bangunan dua lantai yang biasa, dan menjalani juga kehidupan yang biasa. Menumpang orang tua. Tanpa pekerjaan, tanpa apapun yang bisa dibanggakan.


            Dahulu kehidupanku tak seperti ini. Entah mengapa setiap detik yang terdetak menghembuskan sekat-sekat yang kian nyata adanya. Menciptakan ruang. Menciptakan spasi. Walau bukan dalam liteatur atau konteks yang nyata.

Rabu, 11 Maret 2015

Kucing

0 komentar
Jalanan lengang siang itu. Di bawah rimbun dan kekarnya pohon mangga, ternaungi beberapa ekor kucing. Dua betina, dua jantan, dan satu anakan betina. Menguap malas, menggelungkan tubuh kala semilir angin membelai bulu-bulu mereka.


            Salah satu bersuara. “Aku benci manusia.” Dijilatnya bulu pendek yang berwarna putih keabu-abuan. Bukan karena coraknya, tetapi karena terlalu sering bergumul dengan debu jalanan. Dekil. Carut-marut dan noda darah kering ada dimana-mana.

Angin Muson di Tengkuk

0 komentar
Jadi... Apa yang merasukiku?
            Terhitung dua tahun mundur bila mengingat kapan rasa frustasi ini terakhir datang. Menyerangku hingga lumpuh. Membekukanku hingga menjadi batu. Lalu, boom! Meledak begitu saja tanpa ada mesiu memicunya. Tumbuh lagi kefrustasian itu padahal rasanya telah ku kubur jauh-jauh bersama yang lalu. Ia bangkit kembali dari peti mati kayunya.


            Aku tidak mengenalnya, itu yang selalu ku katakan pada diriku sendiri.

Sabtu, 07 Maret 2015

Lorong

0 komentar

“Maukah kau bermalam didalam lorongku, Tuan?”


            Tapi kata-kata itu lebih dahulu tertelan daripada di muntahkan, bergerak meluncur turun ke dalam pusaran seperti air comberan dalam gorong-gorong panjang. Setiap kali hendak berucap, bibir pucatnya terkatup erat. Tertahan, entah oleh apa.
 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template