Pagi akhirnya menyinari desa
Pelangkidul, kecamatan Kedunggalar, kabupaten Ngawi. Aku terbangun karena
anak-anak sudah mulai bangun. Jam 5 pagi. Semalam tidurnya nyaman banget,
karena kasurnya empuk dan hawanya sejuk, hehe. Jadi rasanya masih malas untuk
pergi ke kamar mandi, jadi (seperti biasa) aku memutuskan untuk ke kamar mandi dengan
urutan paling terakhir.
Hi Pelangkidul!
Hari
ini Ilham dan Angel pergi ke pasar buat belanja. Mereka jalan kaki karena
pasarnya lumayan deket dari rumah tempat kita tinggal. Kita cuman beli lauk,
sayur dan bumbu karena keluarga pak kades memberi beras dan peralatan memasak
secara cuma-cuma. Dikasih uang sekitar Rp. 100.000, dengan estimasi belanja sekitar
Rp. 50.000 lah. Tapi, kita diberi tahu kalau pagi ini sarapan sudah tersedia
dan dimasakin oleh istrinya pak kades. Namun, kita tetep belanja buat makan nanti
siang dan malam.
Setelah
sarapan, kita dapat kabar dari Taqi kalau Bu Ida dan Pak Yayan sedang OTW
kemari untuk mengantarkan absen, sekaligus melihat-lihat keadaan kami. Ya,
bukan kelompok kami aja sih, tapi semua kelompok didatengin. Pagi itu, kelompok
kami menjadi desa pertama yang Bu Ida dan Pak Yayan kunjungi. Mereka datang
sekitar jam 8, dan kami langsung menyalami Bu Ida dan Pak Yayan (hal yang
jarang dilakukan di kampus...), lalu segera menandatangani lembar absensi. Kedua
dosen kami lalu berbincang dengan Pak kades dan istrinya, yang ternyata
merupakan seorang guru SD. Mereka nggak lama sih, palingan cuma 20 menit. Kami
juga ditanyain mau neliti tentang apa, dan disarankan untuk tidak berpartisipasi
dalam kegiatan berbau politik disini. Setelah itu, kami berfoto bersama dan mereka
menuju ke desa lain.
Selepasnya, kita diskusi
enaknya ngapain hari ini. Nyari responden adalah hal yang sangat-sangat mutlak
untuk dilakukan, tapi agak tricky
juga buat nyari mereka dimana dan kapan. Target kami adalah remaja usia 13
hingga 18 tahun, dengan jenjang pendidikan antara SMP dan SMA. Nah, hari biasa
seperti sekarang (Jum’at), mereka pasti sekolah. Denger-denger sih Sabtu mereka
juga masih sekolah. Lalu, kita memutuskan buat bergerilya selepas Jum’atan.
Keliling-keliling gak jelas lah, pokoknya nemu responden.
Domba di lapangan
Tapi, akhirnya rencana
berubah. Aku dan Angel pergi duluan, keliling-keliling kampung untuk memetakan
suasana sekitar. Jam 9.30-an waktu itu. Sepanjang perjalanan kami menyapa siapa
saja yang terlihat dan respon mereka sangat ramah. Kami jalan keluar gang
Gotong Royong 1, dan menjumpai lapangan luas yang terdapat banyak domba. Kami
menuju ke lapangan dengan niat berfoto, tapi nggak jadi karena lapangannya
becek. Di belakang, terlihat siluet kokoh nan kebiruan dari Gunung Lawu.
Sedang berada di lapangan,
dari kejauhan kami melihat seorang dengan baju berwarna kuning dan kerudung
biru melambaikan tangan. Bu Kades kami rupanya, beliau tengah berada di
lapangan sekolah dasar (SD). Aku dan Angel pergi ke beliau dan menyalaminya,
lalu sedikit curhat soal kendala yang kami hadapi.
“Gimana cara mendapatkan
responden remaja, Bu? Anak SMP-SMA gitu,” tanya kami.
“Jam segini mereka masih
sekolah, Mbak. Nanti mereka pulangnya jam 12-an.” jawab Bu Kades.
“Di Pelangkidul ini ada SMP
atau SMA-nya, kah, Bu?”
“Oh nggak ada Mbak, adanya
di kecamatan (Kedunggalar) sana,” jawabnya.
Setelah berdiskusi, kami
balik dengan pikiran buntu. “Kalau kita samperin ke sekolah SMP-SMA pas
sepulang sekolah mereka, gimana Ngel?” tanyaku. “Kita bisa naik mobilnya Pak
Kades nanti bareng anak-anak,”
“Susah Nen, karena anak
yang sekolah disana belum tentu dari desa Pelangkidul semua. Ada yang dari desa
lain kan. Susah nyaring-nya, masa harus kita tanyain satu persatu?” jawab
Angel.
“Hm,
iya juga ya,” ucapku, berpikir.
“Bu Kades tadi usul gimana
kalau pemuda kartar dikumpulin di rumah beliau?” ucap Angel, menimbang saran
itu. “Tapi harus dengan syarat ada semacam sosialisasi, agar mereka merasa ‘worth it’ buat dateng. Gak mungkin kan
kalau cuman nyuruh dateng dan ngisi kuisioner, dapet survenir dari kita, trus
pulang?”
“Boleh tuh, tapi terlalu
mepet buat nyiapin materi. Dan gak ada proyektor pula buat presentasi,” kataku.
Agak ngendas juga mikirin ini. Sabtu, agenda kita adalah menyiapkan
pengabdian masyarakat, seenggaknya Jum’at ini ada yang dilakukan untuk
memperingan kerja. Akhirnya, kami berjalan pulang buat meminta saran dari semua
anak yang ada, agar menemukan jalan keluar terbaik. Pas di gang, kami bertemu
Ilham dan Ica. Angel segera mengutarakan problemnya, lalu diputuskan untuk
nyoba ke Balai Desa buat minta saran ke pak Kades.
Ternyata, jaraknya lumayan
juga kalau ditempuh dengan berjalan. Ada sekitar 5 menitan, jalannya nggak
rata, penuh kerikil dan becek, jadi memperlambat langkah kita. Sesampainya di
balai desa, ternyata Pak Kadesnya sudah balik setelah meninjau proyek. “Mungkin
balik ke rumah,” kata bapaknya.
Kami segera pamit dari
balai desa. Namun, mata Ica dan Angel tertuju pada sesuatu. Di gang sebelah
balai desa, ada dua anak laki-laki tanggung sedang memainkan hp. Dari perawakannya sih keliatannya
anak SMP. Jadi, mereka nyamperin ana-anak itu dulu, dan di belakang ada aku dan
Ilham yang menyusul langkah mereka.
Ternyata bener. Mereka anak
SMP dan lagi internetan bareng. Lagi bolos sekolah, katanya. Okelah, langsung
ditanyain sama Angel dan Ica, walau mereka keliatan malu-malu sekaligus risih.
Dua anak itu lebih senang pakai Facebook dibanding jejaring sosial yang lain. Setelahnya,
kami berjalan pulang. Di sepanjang jalan, kami banyak menemui anak-anak
berseragam tengah mengendarai motor. Sepertinya mereka anak SMP-SMA dan hendak
pulang ke rumah. Tapi gak mungkin dong nyegat mereka yang lagi asyik-asyik
nyetir. Bisa ketabrak atau jatuh nanti.
Pas pulang, kami menemukan
warung yang menjual gorengan, jajanan dan es. Letaknya di sebelah pos ronda,
dengan gambar poster Jokowi-JK. Aku menepi karena ingin membeli gorengan. Ada
tahu isi seharga Rp. 500/buah. Aku memborong 10 biji. Rasanya enak lho, tahunya
empuk dan tepungnya renyah. Murah pula, haha. Aku juga memesan es Frisian Flag
karena kehausan, walau air dan es batunya sedikit karena bentuk plastiknya panjang.
Seperti biasa, kami
ditanyain soal kota asal dan dari Universitas mana. Kami menjelaskan juga kalau
sedang PKL selama 4 hari (bukan KKN). Ibunya bilang kalau anaknya barusan wisuda
kemarin dari Universitas Suryo(?), dan sudah bekerja. Ibunya juga tanya apa ada
program yang melibatkan penduduk sekitar. Kami jelaskan kalau ada program buat
anak-anak SD hari Sabtu besok.
Hai, Lawu.
Setelah makan gorengan,
minum es dan ngobrol, kami memutuskan untuk balik sejenak ke rumah. Aku membuka
laptop sebentar untuk mengetikkan sesuatu. Tiba-tiba, ada kabar dari Mela kalau
bakal ada anak SMP yang datang selepas shalat Jum’at. Waduh. Gupuh dong. Kalau niatnya mau
sosialisasi dan penyuluhan, belum ada materi dan kesiapan. Aku usul, gimana
kalau ngasih materi soal fotografi. Kebetulan aku ada slide yang telah ku buat saat aku ngisi ekskul Jurnalistik di
SMAMSA. Mereka setuju, lagipula Ilham dan Fissa ada kamera buat praktek nanti.
Ujung-ujungnya, aku yang ngasih materi karena aku yang bikin PPT *emot senyum*
Aku dan Angel beli aqua kardus
dan gorengan dulu buat menjamu anak-anak yang akan datang. Dikasih pinjeman
sepeda motor dari Bu Kades, sebuah motor Yamaha Crypton jadul. Walau motor
bebek, aku agak grogi, karena belum pernah mengendarai motor jadul sebelumnya. Ternyata,
tarikannya berat banget, walau masih masuk gigi 2. Mana jalannya kerikil dan
becek semua. Serasa offroad. Tapi
seenggaknya cukup membantu lah dibanding kita jalan kaki sembari ngangkut aqua
kardus yang berat, hehe.
Kami beli aqua kardus
seharga Rp. 13.000, dan ngisi bensin Premium ke motor Yamaha Crypton itu. Lalu,
kami nyari penjual gorengan. Letak penjual gorengan itu ada di pinggir sawah,
di pertigaan jalan. Ada pisang goreng, tempe goreng dan ubi goreng. Harganya
Rp. 5000/biji. Lumayan lah, murah. Dapet sekresek penuh.
Btw,
sawahnya bagus banget. Luas dan ada pemandangan Gunung Lawu di kejauhan, tapi
terlihat amat jelas. Waktu itu lagi nggak ada awan, jadi sampai puncaknya pun
kelihatan. Tapi, aku lagi nggak bawa kamera. Semoga nanti kesampaian deh,
kesini lagi. Bahkan, aku merencanakan untuk bangun subuh dan pergi berjalan
kaki ke sawah ini, karena ingin menyaksikan matahari terbit (walau aku nggak
tau arah mata angin, bisa saja arah terbit mataharinya nggak di spot yang bagus).
Kami balik ke rumah dan
menyiapkan diri buat “sosialisasi” alakadarnya. Menghamparkan tikar, memasukan
gorengan ke piring dan menata aqua gelas. Akhirnya, ada anak-anak yang datang.
Semuanya anak laki-laki dan tengah duduk di bangku SMP. Mereka langsung diajak
ngobrol sama Angel, Ica dan Fissa. Sekedar perkenalan dan mengakrabkan diri
gitu. Lalu aku ngisi materi soal fotografi, sebagai kewajiban aja. Nggak tau
deh mereka paham atau nggak, wkwk. Tapi tau sendiri lah kalau anak-anak segitu
agak kurang respek. Bercandaan sendiri, nganggukin kepala sebagai formalitas
(gak yakin deh mereka paham atau peduli sama kita) dan nggak memerhatikan apa
yang dijelaskan.
Akhirnya, kami langsung
praktek. Ngasih dua kamera mirrorless
ke mereka. Pada awalnya, mereka masih sungkan, malu dan males-malesan sih.
Mulai keliatan deh sifat aslinya mereka. Tapi kemudian, mereka pada megang
kamera dan memotret teman masing-masing. Gak terlalu meduliin, cuek dan gak respek
ke kita malah. Kita ngomomg kayak dianggap angin lalu. Kayak suara yang kita
keluarkan itu frekuensinya hanya beberapa desibel dan nggak masuk ke indera
pendengaran mereka. Hiks. Kayak anak-anak
itu ada di dunia mereka sendiri gitu.
Habis itu, malah ada satu
anak yang tanpa pamit tiba-tiba ambil motor dan kabur. Semakin shock kita. Itu kan simbol perlawanan
dan pemberontakan. Apa kita salah ngelakuin sesuatu? Kayaknya nggak. Kayaknya
dia bete sama temennya. Tapi ya nggak
gitu juga sih caranya (sedih).
Lalu, ada anak lagi datang.
Ica berinisiatif buat ndatengin anak itu, lalu ngebujuk supaya mau jadi
responden. Anak itu mau, dan nggak bisa mengelak karena dia membawa smartphone. Gak mungkin pakai smartphone tanpa internetan kan? Bahkan game sekarang aja banyak game online.
Ica balik ambil kuisioner, stiker dan bulpen, lalu menanyai anak tersebut.
Berhasil, dapet deh satu responden. Lalu, mereka semua balik sendiri-sendiri
tanpa pamit, naik sepeda motor yang dibawa sendiri-sendiri. Oke deh (emot senyum) (emot “aku rapopo”)
Kecewa? Iya lah.
Tapi kita berusaha paham
kalau manusia itu kompleks. Ada alasan kenapa anak dengan usia, jenis kelamin,
latar belakang sosial, tingkat pendidikan tertentu dan gimana cara orangtua
mereka mendidik, yang akan membentuk seluruh karakter mereka. Dan tambahan
lagi, anak SMP emang lagi bandel-bandelnya, seperti aku dulu dan adikku yang
sedang SMP sekarang. SMP masa transisi antara anak SD yang lugu ke usia remaja
yang penuh dengan gejolak dan pencarian jati diri.
Setelah itu, kami langsung
balik ke rumah. Sudah jam 2 siang. Kami memutuskan untuk tidur sejenak dan
bangun jam 3. Tapi, aku kebablasan bangun jam 4 dan mendapati kalau rumah sudah
sepi. Tinggal aku dan Angeline saja. Kayaknya mereka sudah pada pergi keliling
dan nyari responden. Kami cuci muka + dandan tipis-tipis, pakai almamater, bawa
kuisioner dan survenir, lalu jalan keluar. Kami memutuskan untuk berjalan ke
arah kiri gang, lebih tepatnya menuju ke arah sawah yang tadi kami kunjungi
untuk membeli gorengan.
Di suatu tempat, di
bengkel, terdapat banyak anak laki-laki ngumpul. Target bagus nih. Angeline
langsung mendekati dan meminta izin untuk ditanya-tanyai. Untungnya mereka mau.
Kami mendapat 5 responden sekaligus, dan rata-rata mereka berusia 14-16 tahun.
Kami jalan lagi dan menemukan sekumpulan pemuda. Kami dekati dan 2 diantaranya
mau jadi responden. Totalnya ada 7 laki-laki.
Lalu, kami melewati sebuah
gang. Insting Angel mengatakan kalau ia harus masuk ke gang itu. Aku
mengikutinya. Tak lama berjalan, di depan sebuah toko, ada dua anak laki-laki
yang cangkruk. Kami meminta izin ke
bapaknya untuk ditanya-tanyai. Akhirnya, mereka mau dan meluncurlah informasi
yang berharga itu.
Kami jalan lagi, namun
melihat gang sudah sepi (gak ada rumah-rumah lagi), aku dan Angel memutuskan
buat balik pulang. Lumayan sudah 9 responden. Hampir di ujung gang, aku ngeliat
dua anak perempuan, usia SMP mungkin, tengah berbicara satu sama lain. “Ngel,
Ngel coba liat sebelah kanan. Kayaknya itu bisa,” ucapku.
Kami berjalan ke arah
mereka dan menemui nenek serta mas-mas. Neneknya menyuruh anak kecil buat
memanggilkan ibu mereka. Setelah minta izin, ibunya menjelaskan kalau anaknya
terlalu kecil dan nggak main sosmed. Tapi, kami direkomendasikan untuk
mewawancarai anak perempuan di seberang rumah. Namanya Putri, dan ia kelas 3
SMA. Oke, kami berjalan ke rumah itu dan menemui seorang ibu tengah menggendong
balita usia 1 tahunan untuk meminta izin. Setelah diperbolehkan, Angel yang
mewawancara, dan aku membantu dikit-dikit buat nyiapin survenir. Sekalian
wawancara indepth sama anak itu.
Dari
orangtua Putri dan pengakuan Putri sendiri, menjelaskan bahwa Putri kelas 3 SMA,
mau ujian akhir dan nerusin kuliah. Katanya sih mau masuk jurusan Akuntansi. Syukurlah
ada yang berpemikiran jangka panjang disini. Kita juga sedikit curhat-curhat
gitu soal perkuliahan, tapi nggak lama-lama banget. Semoga Putri bisa beneran
kuliah deh.
Khusus untuk dirimu~ |
Kami
berjalan keluar dan memutuskan untuk stop nyari responden. Sudah terlalu sore
(jam 5), habis ini akan maghrib dan gelap. Aku dan Angel berjalan di gubuk
kecil pinggir sawah buat merapikan kertas kuisioner, lalu cangkruk sejenak. Aku
bikin vlog dan ngejelasin keadaan.
Senjakala |
Memandang harapan |
Bersyukur :) |
Angel ngerasa gak enak
badan dan nggak sanggup kalau disuruh nyari responden lagi sore ini. Tapi kami
sempatkan untuk foto-foto menghadap sawah, gunung dan matahari terbenam. INDAH
BANGET. Sungguh magis pemandangan disini. Aku mengambil beberapa foto yang
potensial untuk ku pajang di Instagram nanti. Lalu kami balik ke rumah.
Bersih-bersih diri dulu,
lalu makan malam. Cuman masak Indomie sama telor dadar sih, tapi ngerasa puasss
banget. Makasih Mela dan Ica yang sudah berkenan memasak, haha. Di akhir, aku
dan Angel kebagian tugas buat cuci piring. Lalu, kami bersiap-siap ke balai
desa untuk menjaring responden potensial lagi. Menurut informasi sih, kalau
malem biasanya banyak yang WiFi-an di balai desa.
Jam 20:30. Malem-malem kita
jalan beriringan. Sudah kayak jelajah malam aja. Mana jalan gelap dan jarang
lampu lagi. Banyak kodok yang bikin Mela dan Fissa heboh, untungnya aku nyantai
(kecuali kalau kecoak). Oke, jadi kami jalan beriringan dengan Ica yang berada
paling depan. Sering dibecandain kalau Ica yang jadi Mbak-Mbak panitia jerit
malam LDKS/OSPEK yang jahat, haha.
Di balai desa, sudah ada
beberapa anak ngumpul. Ada 2 cewek, dan banyak cowok. Angel mendatangi cowok,
sementara aku dan Mela ke responden cewek. Lalu, kami cangkruk di balai desa
juga, sembari menanti apakah ada anak muda lain yang akan datang. Gak expect too much buat dapet banyak
responden malam ini karena kami semua sudah lelah, jadi kita nongkrong di balai
desa sampai jam 21.20-an, trus balik jalan pulang. Seperti biasa, Ica jalan
duluan di depan kami. Bahkan, jaraknya terlampau jauh (sampai 20 meter lebih).
Karena takut dia kenapa-napa dan anak-anak lain jalannya nyantai, jadi aku
nyusul Ica. Membayangi langkahnya pas di belakang supaya dia baik-baik saja.
Btw,
kami sempat terkunci di rumah ini. Akhirnya, aku lewat belakang dan menjumpai
Pak Kades lagi tidur-tiduran sembari menonton TV. Beliau pikir kami sudah tidur
dari tadi, makanya semua pintu dikunci. Untungnya, pintu deket kamar mandi
nggak dikunci. Jadi Ica masuk dan membuka pintu depan dengan kunci yang
menempel di baliknya.
Setelahnya, di rumah kami
bergegas bersih-bersih badan, ganti baju tidur, menata kasur dan barang, lalu
tidur. Hanya aku sendiri yang buka laptop dan nulis diary di blog seperti sekarang, hehe. Aku nggak mau kalau nantinya
ada tanggungan postingan blog yang terlalu banyak, sampai-sampai aku nunda
ngerjain lalu aku lupa detailnya bagaimana. Jadi, semuanya harus aku tulis hari
ini. Dibelain belum tidur, demi nulis semua ini, hehe.
Alright, goodnight everyone!
Tunggu update-annya besok ya!
BACA JUGA!
BACA JUGA!
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)