Sabtu, 03 Desember 2016

PKL di Ngawi [Hari Kedua]

Pagi akhirnya menyinari desa Pelangkidul, kecamatan Kedunggalar, kabupaten Ngawi. Aku terbangun karena anak-anak sudah mulai bangun. Jam 5 pagi. Semalam tidurnya nyaman banget, karena kasurnya empuk dan hawanya sejuk, hehe. Jadi rasanya masih malas untuk pergi ke kamar mandi, jadi (seperti biasa) aku memutuskan untuk ke kamar mandi dengan urutan paling terakhir.
Hi Pelangkidul!
            Hari ini Ilham dan Angel pergi ke pasar buat belanja. Mereka jalan kaki karena pasarnya lumayan deket dari rumah tempat kita tinggal. Kita cuman beli lauk, sayur dan bumbu karena keluarga pak kades memberi beras dan peralatan memasak secara cuma-cuma. Dikasih uang sekitar Rp. 100.000, dengan estimasi belanja sekitar Rp. 50.000 lah. Tapi, kita diberi tahu kalau pagi ini sarapan sudah tersedia dan dimasakin oleh istrinya pak kades. Namun, kita tetep belanja buat makan nanti siang dan malam.  

            Setelah sarapan, kita dapat kabar dari Taqi kalau Bu Ida dan Pak Yayan sedang OTW kemari untuk mengantarkan absen, sekaligus melihat-lihat keadaan kami. Ya, bukan kelompok kami aja sih, tapi semua kelompok didatengin. Pagi itu, kelompok kami menjadi desa pertama yang Bu Ida dan Pak Yayan kunjungi. Mereka datang sekitar jam 8, dan kami langsung menyalami Bu Ida dan Pak Yayan (hal yang jarang dilakukan di kampus...), lalu segera menandatangani lembar absensi. Kedua dosen kami lalu berbincang dengan Pak kades dan istrinya, yang ternyata merupakan seorang guru SD. Mereka nggak lama sih, palingan cuma 20 menit. Kami juga ditanyain mau neliti tentang apa, dan disarankan untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan berbau politik disini. Setelah itu, kami berfoto bersama dan mereka menuju ke desa lain.
Selepasnya, kita diskusi enaknya ngapain hari ini. Nyari responden adalah hal yang sangat-sangat mutlak untuk dilakukan, tapi agak tricky juga buat nyari mereka dimana dan kapan. Target kami adalah remaja usia 13 hingga 18 tahun, dengan jenjang pendidikan antara SMP dan SMA. Nah, hari biasa seperti sekarang (Jum’at), mereka pasti sekolah. Denger-denger sih Sabtu mereka juga masih sekolah. Lalu, kita memutuskan buat bergerilya selepas Jum’atan. Keliling-keliling gak jelas lah, pokoknya nemu responden.
Domba di lapangan
Tapi, akhirnya rencana berubah. Aku dan Angel pergi duluan, keliling-keliling kampung untuk memetakan suasana sekitar. Jam 9.30-an waktu itu. Sepanjang perjalanan kami menyapa siapa saja yang terlihat dan respon mereka sangat ramah. Kami jalan keluar gang Gotong Royong 1, dan menjumpai lapangan luas yang terdapat banyak domba. Kami menuju ke lapangan dengan niat berfoto, tapi nggak jadi karena lapangannya becek. Di belakang, terlihat siluet kokoh nan kebiruan dari Gunung Lawu.
Sedang berada di lapangan, dari kejauhan kami melihat seorang dengan baju berwarna kuning dan kerudung biru melambaikan tangan. Bu Kades kami rupanya, beliau tengah berada di lapangan sekolah dasar (SD). Aku dan Angel pergi ke beliau dan menyalaminya, lalu sedikit curhat soal kendala yang kami hadapi.
“Gimana cara mendapatkan responden remaja, Bu? Anak SMP-SMA gitu,” tanya kami.
“Jam segini mereka masih sekolah, Mbak. Nanti mereka pulangnya jam 12-an.” jawab Bu Kades.
“Di Pelangkidul ini ada SMP atau SMA-nya, kah, Bu?”
“Oh nggak ada Mbak, adanya di kecamatan (Kedunggalar) sana,” jawabnya.
Setelah berdiskusi, kami balik dengan pikiran buntu. “Kalau kita samperin ke sekolah SMP-SMA pas sepulang sekolah mereka, gimana Ngel?” tanyaku. “Kita bisa naik mobilnya Pak Kades nanti bareng anak-anak,”
“Susah Nen, karena anak yang sekolah disana belum tentu dari desa Pelangkidul semua. Ada yang dari desa lain kan. Susah nyaring-nya, masa harus kita tanyain satu persatu?” jawab Angel.
“Hm, iya juga ya,” ucapku, berpikir.               
“Bu Kades tadi usul gimana kalau pemuda kartar dikumpulin di rumah beliau?” ucap Angel, menimbang saran itu. “Tapi harus dengan syarat ada semacam sosialisasi, agar mereka merasa ‘worth it’ buat dateng. Gak mungkin kan kalau cuman nyuruh dateng dan ngisi kuisioner, dapet survenir dari kita, trus pulang?”
“Boleh tuh, tapi terlalu mepet buat nyiapin materi. Dan gak ada proyektor pula buat presentasi,” kataku.
Agak ngendas juga mikirin ini. Sabtu, agenda kita adalah menyiapkan pengabdian masyarakat, seenggaknya Jum’at ini ada yang dilakukan untuk memperingan kerja. Akhirnya, kami berjalan pulang buat meminta saran dari semua anak yang ada, agar menemukan jalan keluar terbaik. Pas di gang, kami bertemu Ilham dan Ica. Angel segera mengutarakan problemnya, lalu diputuskan untuk nyoba ke Balai Desa buat minta saran ke pak Kades.
Ternyata, jaraknya lumayan juga kalau ditempuh dengan berjalan. Ada sekitar 5 menitan, jalannya nggak rata, penuh kerikil dan becek, jadi memperlambat langkah kita. Sesampainya di balai desa, ternyata Pak Kadesnya sudah balik setelah meninjau proyek. “Mungkin balik ke rumah,” kata bapaknya.
Kami segera pamit dari balai desa. Namun, mata Ica dan Angel tertuju pada sesuatu. Di gang sebelah balai desa, ada dua anak laki-laki tanggung sedang memainkan hp. Dari perawakannya sih keliatannya anak SMP. Jadi, mereka nyamperin ana-anak itu dulu, dan di belakang ada aku dan Ilham yang menyusul langkah mereka.
Ternyata bener. Mereka anak SMP dan lagi internetan bareng. Lagi bolos sekolah, katanya. Okelah, langsung ditanyain sama Angel dan Ica, walau mereka keliatan malu-malu sekaligus risih. Dua anak itu lebih senang pakai Facebook dibanding jejaring sosial yang lain. Setelahnya, kami berjalan pulang. Di sepanjang jalan, kami banyak menemui anak-anak berseragam tengah mengendarai motor. Sepertinya mereka anak SMP-SMA dan hendak pulang ke rumah. Tapi gak mungkin dong nyegat mereka yang lagi asyik-asyik nyetir. Bisa ketabrak atau jatuh nanti.
Pas pulang, kami menemukan warung yang menjual gorengan, jajanan dan es. Letaknya di sebelah pos ronda, dengan gambar poster Jokowi-JK. Aku menepi karena ingin membeli gorengan. Ada tahu isi seharga Rp. 500/buah. Aku memborong 10 biji. Rasanya enak lho, tahunya empuk dan tepungnya renyah. Murah pula, haha. Aku juga memesan es Frisian Flag karena kehausan, walau air dan es batunya sedikit karena bentuk plastiknya panjang.
Seperti biasa, kami ditanyain soal kota asal dan dari Universitas mana. Kami menjelaskan juga kalau sedang PKL selama 4 hari (bukan KKN). Ibunya bilang kalau anaknya barusan wisuda kemarin dari Universitas Suryo(?), dan sudah bekerja. Ibunya juga tanya apa ada program yang melibatkan penduduk sekitar. Kami jelaskan kalau ada program buat anak-anak SD hari Sabtu besok.
Hai, Lawu.
Setelah makan gorengan, minum es dan ngobrol, kami memutuskan untuk balik sejenak ke rumah. Aku membuka laptop sebentar untuk mengetikkan sesuatu. Tiba-tiba, ada kabar dari Mela kalau bakal ada anak SMP yang datang selepas shalat Jum’at. Waduh. Gupuh dong. Kalau niatnya mau sosialisasi dan penyuluhan, belum ada materi dan kesiapan. Aku usul, gimana kalau ngasih materi soal fotografi. Kebetulan aku ada slide yang telah ku buat saat aku ngisi ekskul Jurnalistik di SMAMSA. Mereka setuju, lagipula Ilham dan Fissa ada kamera buat praktek nanti. Ujung-ujungnya, aku yang ngasih materi karena aku yang bikin PPT *emot senyum*
Aku dan Angel beli aqua kardus dan gorengan dulu buat menjamu anak-anak yang akan datang. Dikasih pinjeman sepeda motor dari Bu Kades, sebuah motor Yamaha Crypton jadul. Walau motor bebek, aku agak grogi, karena belum pernah mengendarai motor jadul sebelumnya. Ternyata, tarikannya berat banget, walau masih masuk gigi 2. Mana jalannya kerikil dan becek semua. Serasa offroad. Tapi seenggaknya cukup membantu lah dibanding kita jalan kaki sembari ngangkut aqua kardus yang berat, hehe.
Kami beli aqua kardus seharga Rp. 13.000, dan ngisi bensin Premium ke motor Yamaha Crypton itu. Lalu, kami nyari penjual gorengan. Letak penjual gorengan itu ada di pinggir sawah, di pertigaan jalan. Ada pisang goreng, tempe goreng dan ubi goreng. Harganya Rp. 5000/biji. Lumayan lah, murah. Dapet sekresek penuh.
Btw, sawahnya bagus banget. Luas dan ada pemandangan Gunung Lawu di kejauhan, tapi terlihat amat jelas. Waktu itu lagi nggak ada awan, jadi sampai puncaknya pun kelihatan. Tapi, aku lagi nggak bawa kamera. Semoga nanti kesampaian deh, kesini lagi. Bahkan, aku merencanakan untuk bangun subuh dan pergi berjalan kaki ke sawah ini, karena ingin menyaksikan matahari terbit (walau aku nggak tau arah mata angin, bisa saja arah terbit mataharinya nggak di spot yang bagus).
\
Kami balik ke rumah dan menyiapkan diri buat “sosialisasi” alakadarnya. Menghamparkan tikar, memasukan gorengan ke piring dan menata aqua gelas. Akhirnya, ada anak-anak yang datang. Semuanya anak laki-laki dan tengah duduk di bangku SMP. Mereka langsung diajak ngobrol sama Angel, Ica dan Fissa. Sekedar perkenalan dan mengakrabkan diri gitu. Lalu aku ngisi materi soal fotografi, sebagai kewajiban aja. Nggak tau deh mereka paham atau nggak, wkwk. Tapi tau sendiri lah kalau anak-anak segitu agak kurang respek. Bercandaan sendiri, nganggukin kepala sebagai formalitas (gak yakin deh mereka paham atau peduli sama kita) dan nggak memerhatikan apa yang dijelaskan.
Akhirnya, kami langsung praktek. Ngasih dua kamera mirrorless ke mereka. Pada awalnya, mereka masih sungkan, malu dan males-malesan sih. Mulai keliatan deh sifat aslinya mereka. Tapi kemudian, mereka pada megang kamera dan memotret teman masing-masing. Gak terlalu meduliin, cuek dan gak respek ke kita malah. Kita ngomomg kayak dianggap angin lalu. Kayak suara yang kita keluarkan itu frekuensinya hanya beberapa desibel dan nggak masuk ke indera pendengaran mereka. Hiks. Kayak anak-anak itu ada di dunia mereka sendiri gitu.
Habis itu, malah ada satu anak yang tanpa pamit tiba-tiba ambil motor dan kabur. Semakin shock kita. Itu kan simbol perlawanan dan pemberontakan. Apa kita salah ngelakuin sesuatu? Kayaknya nggak. Kayaknya dia bete sama temennya. Tapi ya nggak gitu juga sih caranya (sedih).
Lalu, ada anak lagi datang. Ica berinisiatif buat ndatengin anak itu, lalu ngebujuk supaya mau jadi responden. Anak itu mau, dan nggak bisa mengelak karena dia membawa smartphone. Gak mungkin pakai smartphone tanpa internetan kan? Bahkan game sekarang aja banyak game online. Ica balik ambil kuisioner, stiker dan bulpen, lalu menanyai anak tersebut. Berhasil, dapet deh satu responden. Lalu, mereka semua balik sendiri-sendiri tanpa pamit, naik sepeda motor yang dibawa sendiri-sendiri. Oke deh (emot senyum) (emot “aku rapopo”)
Kecewa? Iya lah.
Tapi kita berusaha paham kalau manusia itu kompleks. Ada alasan kenapa anak dengan usia, jenis kelamin, latar belakang sosial, tingkat pendidikan tertentu dan gimana cara orangtua mereka mendidik, yang akan membentuk seluruh karakter mereka. Dan tambahan lagi, anak SMP emang lagi bandel-bandelnya, seperti aku dulu dan adikku yang sedang SMP sekarang. SMP masa transisi antara anak SD yang lugu ke usia remaja yang penuh dengan gejolak dan pencarian jati diri.
Setelah itu, kami langsung balik ke rumah. Sudah jam 2 siang. Kami memutuskan untuk tidur sejenak dan bangun jam 3. Tapi, aku kebablasan bangun jam 4 dan mendapati kalau rumah sudah sepi. Tinggal aku dan Angeline saja. Kayaknya mereka sudah pada pergi keliling dan nyari responden. Kami cuci muka + dandan tipis-tipis, pakai almamater, bawa kuisioner dan survenir, lalu jalan keluar. Kami memutuskan untuk berjalan ke arah kiri gang, lebih tepatnya menuju ke arah sawah yang tadi kami kunjungi untuk membeli gorengan.
Di suatu tempat, di bengkel, terdapat banyak anak laki-laki ngumpul. Target bagus nih. Angeline langsung mendekati dan meminta izin untuk ditanya-tanyai. Untungnya mereka mau. Kami mendapat 5 responden sekaligus, dan rata-rata mereka berusia 14-16 tahun. Kami jalan lagi dan menemukan sekumpulan pemuda. Kami dekati dan 2 diantaranya mau jadi responden. Totalnya ada 7 laki-laki.
Lalu, kami melewati sebuah gang. Insting Angel mengatakan kalau ia harus masuk ke gang itu. Aku mengikutinya. Tak lama berjalan, di depan sebuah toko, ada dua anak laki-laki yang cangkruk. Kami meminta izin ke bapaknya untuk ditanya-tanyai. Akhirnya, mereka mau dan meluncurlah informasi yang berharga itu.
Kami jalan lagi, namun melihat gang sudah sepi (gak ada rumah-rumah lagi), aku dan Angel memutuskan buat balik pulang. Lumayan sudah 9 responden. Hampir di ujung gang, aku ngeliat dua anak perempuan, usia SMP mungkin, tengah berbicara satu sama lain. “Ngel, Ngel coba liat sebelah kanan. Kayaknya itu bisa,” ucapku.
Kami berjalan ke arah mereka dan menemui nenek serta mas-mas. Neneknya menyuruh anak kecil buat memanggilkan ibu mereka. Setelah minta izin, ibunya menjelaskan kalau anaknya terlalu kecil dan nggak main sosmed. Tapi, kami direkomendasikan untuk mewawancarai anak perempuan di seberang rumah. Namanya Putri, dan ia kelas 3 SMA. Oke, kami berjalan ke rumah itu dan menemui seorang ibu tengah menggendong balita usia 1 tahunan untuk meminta izin. Setelah diperbolehkan, Angel yang mewawancara, dan aku membantu dikit-dikit buat nyiapin survenir. Sekalian wawancara indepth sama anak itu.
            Dari orangtua Putri dan pengakuan Putri sendiri, menjelaskan bahwa Putri kelas 3 SMA, mau ujian akhir dan nerusin kuliah. Katanya sih mau masuk jurusan Akuntansi. Syukurlah ada yang berpemikiran jangka panjang disini. Kita juga sedikit curhat-curhat gitu soal perkuliahan, tapi nggak lama-lama banget. Semoga Putri bisa beneran kuliah deh.
Khusus untuk dirimu~
Kami berjalan keluar dan memutuskan untuk stop nyari responden. Sudah terlalu sore (jam 5), habis ini akan maghrib dan gelap. Aku dan Angel berjalan di gubuk kecil pinggir sawah buat merapikan kertas kuisioner, lalu cangkruk sejenak. Aku bikin vlog dan ngejelasin keadaan.
Senjakala
Memandang harapan
Bersyukur :)
Angel ngerasa gak enak badan dan nggak sanggup kalau disuruh nyari responden lagi sore ini. Tapi kami sempatkan untuk foto-foto menghadap sawah, gunung dan matahari terbenam. INDAH BANGET. Sungguh magis pemandangan disini. Aku mengambil beberapa foto yang potensial untuk ku pajang di Instagram nanti. Lalu kami balik ke rumah.
Bersih-bersih diri dulu, lalu makan malam. Cuman masak Indomie sama telor dadar sih, tapi ngerasa puasss banget. Makasih Mela dan Ica yang sudah berkenan memasak, haha. Di akhir, aku dan Angel kebagian tugas buat cuci piring. Lalu, kami bersiap-siap ke balai desa untuk menjaring responden potensial lagi. Menurut informasi sih, kalau malem biasanya banyak yang WiFi-an di balai desa.
Jam 20:30. Malem-malem kita jalan beriringan. Sudah kayak jelajah malam aja. Mana jalan gelap dan jarang lampu lagi. Banyak kodok yang bikin Mela dan Fissa heboh, untungnya aku nyantai (kecuali kalau kecoak). Oke, jadi kami jalan beriringan dengan Ica yang berada paling depan. Sering dibecandain kalau Ica yang jadi Mbak-Mbak panitia jerit malam LDKS/OSPEK yang jahat, haha.
Di balai desa, sudah ada beberapa anak ngumpul. Ada 2 cewek, dan banyak cowok. Angel mendatangi cowok, sementara aku dan Mela ke responden cewek. Lalu, kami cangkruk di balai desa juga, sembari menanti apakah ada anak muda lain yang akan datang. Gak expect too much buat dapet banyak responden malam ini karena kami semua sudah lelah, jadi kita nongkrong di balai desa sampai jam 21.20-an, trus balik jalan pulang. Seperti biasa, Ica jalan duluan di depan kami. Bahkan, jaraknya terlampau jauh (sampai 20 meter lebih). Karena takut dia kenapa-napa dan anak-anak lain jalannya nyantai, jadi aku nyusul Ica. Membayangi langkahnya pas di belakang supaya dia baik-baik saja.
Btw, kami sempat terkunci di rumah ini. Akhirnya, aku lewat belakang dan menjumpai Pak Kades lagi tidur-tiduran sembari menonton TV. Beliau pikir kami sudah tidur dari tadi, makanya semua pintu dikunci. Untungnya, pintu deket kamar mandi nggak dikunci. Jadi Ica masuk dan membuka pintu depan dengan kunci yang menempel di baliknya.
Setelahnya, di rumah kami bergegas bersih-bersih badan, ganti baju tidur, menata kasur dan barang, lalu tidur. Hanya aku sendiri yang buka laptop dan nulis diary di blog seperti sekarang, hehe. Aku nggak mau kalau nantinya ada tanggungan postingan blog yang terlalu banyak, sampai-sampai aku nunda ngerjain lalu aku lupa detailnya bagaimana. Jadi, semuanya harus aku tulis hari ini. Dibelain belum tidur, demi nulis semua ini, hehe.
Alright, goodnight everyone!

Tunggu update-annya besok ya!

BACA JUGA!
·                                PKL di Ngawi (Hari Pertama)
·                                PKL di Ngawi (Hari Ketiga)
·                                PKL di Ngawi (Hari Keempat)

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template