Travelling, berkelana, berpetualang, atau apapun sebutannya
telah jadi hobi baru bagi banyak orang nih! Puluhan, ratusan bahkan ribuan
kilometer rela dijabani demi tujuan masing-masing, entah refreshing, mencari inspirasi, ingin menyendiri, hunting foto, prewed, hingga terpengaruh ajakan persuasif dari teman, saudara, bahkan
dari tayangan video dokumenter yang bikin kita cepat-cepat pergi dari rumah dan
berkelana segera.
Well, semua petualangan itu biasanya direncanakan dengan
matang. Tapi tidak di kasusku kali ini. Serba dadakan, tapi itu yang membuat
gairah berkelana semakin menyala. Dan maaf sekali, perjalanan ini hampir satu
tahun yang lalu tapi baru kutulis. LATEPOST. So...here, read and enjoy the story....
Bermula dari ajakan sobatku, Annisatul
dan Bagus, yang secara spontan ke Pantai Goa China, Malang Selatan, besok Rabu (24/12/14).
Aku yang biasanya tipe planner-person, mengiyakan saja ajakannya. Waktu
itu sepertinya minggu tenang menjelang UAS. Aku lantas cepat-cepat menyiapkan
apa yang perlu dibawa besok.
Uang, pastinya. Kartu identitas, STNK, kamera,
properti, pakaian ganti hingga gitar akustik. Ada yang salah? Enggak, niatnya
besok sekalian bikin film pendek disana. Atau semacam puisi yang diiringi latar
belakang pantai dan mereka berdua (Annisatul dan Bagus) sebagai pemeran. Ide
itu muncul tiba-tiba dan sama sekali gak direncanakan, tapi diniati saja. Siapa
tahu bagus? Mereka berdua menyanggupi.
Kami bertiga merencanakan berangkat
besok, jam 06.00 pagi. Ngaret, jadi jam 06.30 pagi baru berangkat. Sampai di pom
bensin di Sidoarjo, jam 07.40, isi bensin dulu dan motor matic-ku tambah oli. Yap, karena dadakan, bahkan motor pun gak
dicek! Bahkan, rem dan roda sama sekali gak dilihat baik apa enggak. Padahal
jelas, perjalanan jauh. Ratusan kilometer, bung! Pucuk ke pucuk, dari Utara ke
Selatan pulau Jawa.
Pukul 9 pagi, kami sudah ada di daerah
Singosari. Isi bensin lagi. Mampir toilet sebentar, juga minum atau makan snack.
Setelahnya, kami nyampai didaerah Malang
kota yang belum pernah ku jamah dengan motorku. Beautiful place. Kami
menemui banyak hal, mulai dari kampus-kampus ternama di Malang, stadion
Kanjuruhan, gereja tua yang cantik (pernah nampang di vlog-nya Bayu Skak), pedesaan dan sebagainya. Sampai akhirnya semua
ingar-bingar kota Malang terlewati dan kami mulai memasuki dusun-dusun kecil.
Jalanan aspal mulai menghilang dan kami
masuk ke perkampungan. Batu-batu dan kerikil, setapak tanah dan lumpur
menghiasi jalanan. Kami ingat betul, siang-siang, jam 11-an, kami berhenti di
depan sekolah dasar (SD) dan bertanya pada penduduk lokal. Asli, pedesaan
banget. Sudah cukup jauh juga kami melangkah. Oh ya, kami bertanya kemana arah
menuju pantai yang kami tuju, karena GPS dari hp Atul agak-agak menyesatkan. Setelahnya, kami terus berkendara.
Juga sering berhenti untuk menanyakan arah. Sempat nyasar juga di pertambangan
batu kapur, tapi akhirnya putar balik.
Jalanan makin edan! Semakin terjal, sempit dan
berbatu, jadi khawatir ada apa-apa dengan ban motor. Jika nasib ban motor tamat
dan tidak ada bengkel, nasib pengendara motor juga ikutan tamat. Kami juga menemui
jurang dan motorku pernah hampir gak kuat menaiki tanjakan, hingga rasanya
ingin merosot. Mengerikan.
Masih di jalanan yang berbatu dan
sempit, kami sempat melihat sebuah pantai di kejauhan. Dan bebatuan besar landmark pantai Goa China yang kukenal
lewat foto di internet! Oh, tidak-tidak, tidak jauh. Cukup dekat! We are almost there! Itu membuat
semangat kami kembali bangkit dan melajukan motor kembali.
Tapi....sebenarnya tidak terlalu
dekat.
Motor kembali memasuki jalanan sunyi.
Bebatuan berganti dengan tanah dan lumpur cokelat. Bukan lagi di perkampungan
atau perkebunan, tapi hutan! Tak putus-putus ku berdoa. Yang lalu-lalang sangat
jarang, rasanya hanya kami bertiga. Lebih mengerikan lagi, motor kami sempat
terjebak di lumpur! Bahkan, motorku sempat jatuh ke samping, untungnya
kecepatanku rendah, jadi tidak ada insiden yang mengerikan, mengingat samping
kanan adalah jurang. Jika kami jatuh, entah siapa yang akan menolong.
Lalu, aku dan Bagus menyuruh Atul untuk
berjalan ke depan untuk melihat apakah ada harapan, misal jalanan membaik atau ada
rumah-rumah di kejauhan. Tidak ada. Dengan sedikit perdebatan, kami memutuskan
untuk balik ke perkampungan untuk bertanya sekali lagi pada penduduk lokal.
Dan..harus diakui. Kami sempat putus asa waktu itu. Ingin pulang.
Belum keluar dari hutan itu, kami
bertemu orang. Bapak-bapak dengan motor dan alat pancing di punggungnya. Kami
bertanya arah padanya, katanya jalan yang kami tempuh sudah benar. Kami diminta
mengikuti dirinya. Putar balik. Sekali lagi, melewati jalanan berlumpur itu
dengan ekstra hati-hati. Dan kami berhasil keluar dari hutan itu. Bertemu lagi
dengan jalanan berbatu dan rumah-rumah penduduk. Ternyata, hutan itu cukup
kecil areanya. Kami saja yang terlalu insecure.
Terus, terus berjalan, kami akhirnya
sampai juga dijalanan beraspal! Cihuy! Dan pantai yang kami tuju bisa kami
tempuh dalam waktu 10 menit saja. Di jalanan menuju pantai Goa China, bebatuan
kerikil kembali menyapa. Kami harus mengemudi dengan hati-hati lagi. Disini
kami melihat banyak sekali pengunjung berdatangan dari berbagai wilayah, tapi
paling banyak dari plat N, W, atau L.
Jam
14:00 WIB. Sampai di area Pantai
Goa China. Kami menuju ke tempat parkir dan membayar lima ribu. Lima ribu saja,
sudah termasuk memasuki area pantainya. Aku mengganti sandal karetku dengan
sepatu. Kaki mulai terasa sakit. Bukan karena apa-apa, tapi beberapa hari lalu
ada loadcarry yang diadakan Wanala sebagai
bagian dari Diklatsar XXXVII. Aku meminjam sepatu trekking Rizal dan itu kekecilan, sehingga bagian dalamnya
menggores bagian tumit dan telapak kakiku. FYI, loadcarry adalah simulasi perjalanan/pendakian dengan membawa carrier yang diisi beban belasan
kilogram. Berjalan berkilo-kilometer, bahkan sampai berlari, jalan jongkok atau
merayap (pas balik di kampus C). Satu-satunya yang kukeluhkan pas loadcarry cuma kakiku yang membengkak
dan didalamnya berisi air, dan jika diletuskan, akan bengkak itu akan mengempis
dan terasa perih berhari-hari.
Okay,
enough talking about it. Jadi, aku,
Atul, Bagus, menuju musholla dulu
untuk sholat (dijama’) dan ganti pakaian. Satu kejadian menarik adalah ketika
Atul melarangku untuk memakai sesuatu berwarna merah. Katanya bisa membuat kita
terseret ombak. Diculik oleh “pemilik pantai” ini. Dia juga memaparkan
pengalaman saudaranya yang pernah sampai hilang. Aku tidak percaya dan
mendebatnya, kita punya Tuhan yang akan melindungi dari semua itu, seharusnya
kita merasa aman. Tapi lama-lama dituruti aja. It doesn’t mean I believe that. Lagian kerudung merah agak tidak matching dengan background biru-hijau dan putih (langit, dedaunan dan pasir
pantai). Jadi aku tetap memakai kerudung hijau tuaku.
Kami
menuju ke kantin dulu, beli popmie.
Tapi ujung-ujungnya cuma Atul yang beli popmie,
wkwk, aku hanya minta. Abisnya, duit udah mulai tipis karena isi bensin. Udah
habis berapa liter ini-_- 7 Liter mungkin. Ehmm...waktu itu harga premium
berapa ya seliter? Sekitar 8000-an mungkin. Belum lagi duit abis buat ganti oli
40 ribu tadi-_-
Sesudahnya,
aku mulai men-direct mereka berdua
untuk akting.
Mulai
dari mencipratkan air, berjalan beriringan, duduk-duduk, ngobrol, melihat
langit, main gitar dan nyanyi, dan sebagainya. Nanti, akan digabung-gabung lalu
dijadikan satu video dan diiringi musik serta puisi. Bahkan puisinya tentang
apa dan siapa yang ngisi suara itu sama sekali belum terpikirkan. Yang penting shooting dulu. Kesempatan langka. Itu
nanti...ketika sudah balik ke Surabaya.
scene akting
scene panorama
scene bonus
sumpah mereka malah main buta-butaan -_- kuplak wkwk
dicipratin ama bagus pas ngerekam, mayak--"
semua screenshoot ini no editing, itu warna asli
video dari kamera Nikon S3500
Banyak
kendala saat shooting “ala kadarnya”
ini. Mulai dari terlalu banyak pengunjung di pantai sampai kesulitan nemu clean area, garis horizon yang tidak lurus (miring), bocor (ada
bayanganku masuk ke video), gelap dan bayangan (ketika menghadap ke sisi timur
pantai), lack of acting skill,
rekaman video yang putus-putus (setelahnya, baru kusadari itu terjadi karena memory card-ku terlalu rendah class-nya.
Untuk perekaman video, banyak yang menyarankan pake class 8 atau 10), hingga kepikiran pakai musik apa untuk
mengomposisi latar suara.
Tak
lupa foto-foto, nyantai dan tiduran diatas pasir atau lumut-lumut. Aku baru
nyadar diatas lumut itu ada hewan seperti cacing tapi bukan, yang
menggeliat-geliat. Hii. Begitu mereka nyadar, langsung bangkit dan kabur.
Wkwkw.
Kami
pulang dari pantai jam 16:30-an. Sangat-sangat sore. Kami harus melewati jalan
bebatuan itu lagi, untungnya sudah sampai perkampungan ketika Magrib datang.
Sempat tanya-tanya juga ke penduduk lokal, dan kami sampai didaerah berjalan
aspal ketika menjelang Isya’. Dan musibah terjadi...banku bocor!
Rasanya
ada yang aneh ketika laju motorku mulai meliuk-liuk. Aku menurunkan kecepatan,
menyadari ada yang salah dan mengklakson Bagus yang sedang mengemudi didepan. “Banku
bocor” ucapku. Untungnya, ada tambal ban disebelah kiri jalan, tak lama setelah
obrolan itu terjadi. Tapi tutup. Atul mengambil inisiatif untuk masuk kedalam
dan menemukan nenek-nenek tengah menonton TV. Ia berkata bahwa suaminya, yang
tambal ban, sedang tahlilan/yasinan dan sebentar lagi bakal balik. Kami disuruh
menunggu di warungnya. Thanks God, nenek itu juga jual makanan dan
snack. Kami memesan dua piring lontong tahu dengan harga @4000 rupiah.
Wajah-wajah kelaparan melahap habis itu segera.
Suaminya
datang pukul 19.15, menawariku untuk ganti ban dalam. Aku langsung mengiyakan.
Sembari menunggu, aku dan Atul sholat jama’ Magrib dan Isya dulu, lalu disusul
oleh Bagus. Tempat tambal ban dan warung itu sebelahan pas dengan musholla. Btw, ditempat wudhunya ada banyak kodok gede-gede, serem.
Tambal
ban menghabiskan dana sekitar 40 ribuan, sudah termasuk ban dalam. Sebelum
pergi, aku dengan absurd-nya membeli
jajan rentengan yang rasanya gurih-pedes sebanyak...satu renteng! Mborong cin. Abisnya
enak, lagian produksinya di Malang (beberapa minggu kemudian jajan itu muncul
di Surabaya, jadi pingin ketawa tiap-tiap liat jajan itu hahah). Setelahnya,
kami bergegas melanjutkan perjalanan. Kecepatan cukup tinggi biar segera sampai rumah.
Kami
sempat makan malam di Singosari, tak jauh dari pasar Singosari, Malang. Nasi
goreng di rumah makan pinggir jalan. Untungnya gak mahal, satu orang cuma 13
ribu, termasuk minum dan krupuknya. Sesudah Singosari, kami bergegas ngebut
karena hari sudah malam. Jam 21:00 kami beranjak dari Singosari dengan
kecepatan rata-rata 70-80 km/jam, jalanan aspal panjang dan rata membuat kami
cepat sampai. Di pom bensin Aloha, Sidoarjo, kami berhenti untuk isi bensin dan
tiduran. Cerita-cerita dan ketawa membuat hangat suasana, padahal malam sudah
sangat larut, sudah jam 22:30 waktu disana. Ternyata kami bertiga sudah bersama
selama hampir empat tahun. Banyak kisah-kisah yang sudah terlewati. Tetapi,
setelah masa SMA berakhir justru membuat kami jauh lebih dekat daripada saat
dulu didalam kelas.
Tidak ada yang lebih baik dari pada ini
semua. Malam-malam leyeh-leyeh di pom bensin mirip gembel, melihat langit
dan bercerita tentang banyak hal. Mengenang tadi siang. Mengenang persahabatan
yang terjalin cukup lama. Mengenang masa-masa SMA. Tertawa-tawa. Saling mem-bully. Didekat mereka aku merasa aman.
Obrolan
dan istirahat di pom bensin itu cuma 15 menit tapi terasa begitu magis.
Sampai
dirumah jam 01:30. Benar-benar tepar. Dan beberapa hari setelahnya, di rumah
Atul, mengirim foto dan mencoba edit-edit video tapi gagal. Jelek banget “film
pendek” besutanku. BHAHAHA. Udah cuma 720 p, video kadang putus-putus/korup, gak
ada konsep yang jelas, gak ada ide buat puisi dan backsound musik. Alhasil, sampai detik ini, videonya cuma ngendon
di laptop dan gak ada harapan buat diselesaikan :3
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)