Dua minggu berlalu pasca kali pertama aku bertandang
untuk mengurus SIM pertamaku, golongan C, (31/7). Sekarang, Jum’at, (14/8), aku
kembali untuk remidi ujian teori. Fuh. *heavy
breathing. Malam sebelumnya, aku gak belajar sama sekali, mengandalkan apa
yang dulu pernah dipelajari. Latihan drama karang taruna nih *curcol. Paginya pun masih ogah-ogahan
buka buku. Bangun telat pula.
Tapi,
jam 7 aku sudah ada dijalanan. Sendiri kali ini, gak ditemani ayah. As I always say, first time would never be
so easy. Kali kedua, rasa-rasa nervous
itu lenyap drastis. Jadi, 07:30 aku sudah di Colombo, memarkirkan motor dan
berjalan ke arah loket. Pintu-pintu masih tertutup. Polisi-polisi dan PNS
Satpas diberikan pengarahan dan apel pagi. Agenda rutin di hampir semua
instansi resmi.
08:00
Pintu-pintu
dibuka dan muncul seorang polisi bernama R. Nur, yang mem-briefing calon pejuang-pejuang SIM baru. Menyuruh mereka untuk
segera tes kesehatan, sementara bagi yang sudah, diminta mengeluarkan KTP dan
fotokopiannya. Aku bertanya, “Bagaimana yang ngulang, Pak?” Pak Nur mengatakan
bahwa aku bisa langsung ke ruang tunggu teori. Aku mengangguk dan
berterimakasih.
Hanya
ada satu orang di sana dan beberapa petugas berbatik. Aku segera mencari duduk
dan membuka buku, mengulang-ulang soal, menjejalkan segala yang kubisa. Selagi
belajar, petugasnya datang, “Mbaknya ngulang?”
“Ya.”
“Mana kertasnya?”
Segera ku rogoh tasku dan menemukan
kertas hasil ujian teori dua minggu lalu, lalu menyerahkan ke bapak itu. Ia
berjalan menjauh dan menstempelnya. Seorang bapak berwajah dingin dan berjaket
coklat bertanya padaku, “Berapa umurmu?”
(who
the hell are you?) (dalam hati)
“19 pak.”
Ia mengangguk dan mengibaskan tangannya
padaku. Anjir, apa itu tadi gestur
mengusir? Emang w cewek apaan? Kurang ajar-_-
Puluhan menit berlalu dan pejuang SIM
dari Knowledge Room datang berbondong-bondong ke ruang tunggu. Tak lama
setelahnya, namaku dipanggil dari pengeras suara. Wah, perlakuan ekslusif pada
orang yang remidi! Aku segera menutup bukuku dan memasuki ruangan.
“Ini.” Bapak berbaju batik yang lain menyodorkan
hasil ujian teoriku dua minggu lalu. “Kerjakan kayak kemarin ya.”
#SerasaDiperintahGuruSMA
#flashback
Aku memilih PC nomor 6, trauma ama nomor
7, kemarin milih ini gak lulus, lol.
Aku meletakkan jaketku di laci dan tasku di lantai. Melihat berulang-ulang ke
KTP untuk memastikan nomor KTP-nya gak salah dan mengetikkannya sebagai nomor
registrasi tes teori. Enter 3x dan muncul soal pemanasan (pernah dibahas di
postingan INI)
Memasuki soal yang sesungguhnya, secara
otomatis aliran darah ke telapak tanganku menghilang. Dingin banget. Berdoa
sepanjang mungkin sebelum menyentuh soal. Aku menatap soal dan jawaban
berulang-ulang, memastikan tidak ada yang salah. Masih sama seperti dua minggu
lalu. 25 detik yang mengintimidasi masih ada di pojok kanan atas layar. Tek, tek, tek, perlahan angkanya
mengerucut ke 7 detik dan aku cepat-cepat menjawab.
I
DID IT! Aku lulus!
Nilaiku 77! Rasanya lemes campur bahagia, jadi ada kombinasi senyum-senyum
sendiri dan raut tak percaya di wajahku. Tak segera ku beranjak, tapi mencoba
memotret hasil ujian dengan Android jadoel
Xperia X8 yang mulai renta. Dan...apa sobat? Gak kesimpen fotonya! Dasar hape kampret -_-
Aku berjalan menuju meja, menyerahkan
hasil ujian pada dua orang polisi dan satu ibu-ibu berseragam batik. Ada Mas
Wira loh! Masih ingat kan dia siapa? Baca postingan lalu doooong. Wkwk. Tapi
entah mengapa jawaban pada lembar hasil ujianku lebih memuaskan ketimbang yang
lain jadi tidak ada insiden #SalahFokus, lol.
“Mbak, ini hasil ujiannya. Meningkat
pesat ya dari yang pertama, 57 jadi 77.” Ibu-ibu berseragam batik itu berkata.
Serasa di evaluasi dosen. “Habis ini langsung ke ruang tunggu praktek, nunggu
giliran sembari kita carikan berkasnya.” Ucapnya lagi dengan senyuman, yang
kubalas juga dengan senyuman.
Aku lantas pergi dan berjalan menuju
tempat praktek. Ramai orang disana. Beberapa lagi ujian dan sisanya menatap
mereka yang ujian dengan tatapan cemas. Tak jarang ada kalimat seperti, “Aduh,
aduh, garisnya!”, “Aku takut gak bisa”, atau “Pake matic apa gigian, ya?”
Setelah mengawasi singkat, aku lantas
teringat jaketku yang di laci PC nomor 6. Njir,
kelupaan. Aku berlari di sepanjang lorong sampai kerudungku berantakan dan
bersyukur ketika belum ada satupun pejuang SIM kloter pertama yang ujian.
Berjalan tanpa kata-kata ke PC nomor 6 dan ambil jaket. Seorang polwan yang
sama dengan dua minggu lalu, baru sadar bahwa ada penyusup dan bertanya, “Ambil
apa mbak?”
“Ini.” (mengacungkan jaket). Polwan itu
lantas mengangguk.
“Iya, aku lihat mbak ini lari-lari.”
Sebuah suara lantas nyeplos, membuat langkahku terhenti. Mas-mas berseragam
batik. “Cepet banget larinya.”
#Belum tahu dia kalau saya mantan mapala. Eh, mantan calon. Mantan
calon mapala yang sungguh trauma akan binjas.
Aku hanya cengengesan dan kabur.
09:13
Duduk di kursi merah, menunggu praktek,
mataku mendeteksi satu sosok yang sepertinya ku kenal. Mbak yang “seems nice” dulu!
Mbak itu kali ini mengenakan kemeja
warna merah. Ia berjalan ke arah pos depan lapangan praktek lalu ke parkiran.
Oh, rupanya dia mengambil motornya sendiri untuk ujian SIM C. Ia menoleh ke
arahku dan aku tersenyum sembari melambaikan tangan. Senang rasanya melihat
wajah yang familiar ditengah kegundahan akan meliuk-liukkan motor di lintasan.
“Hai mbak.” Aku menyapa duluan.
“Iya dek.” Sahutnya, “Ayahmu gak ikut?”
“Kerja mbak.”
Mbaknya mengambil tempat duduk di
sampingku, “Ngulang ta, mbak?”
“Iya dek. Angka 8-nya susah. Aku aja
sampai latihan hari Minggu kemarin.”
Diam sejenak, kemudian, “Nama Dian belum
dipanggil kan, dek?”
“Belum kok mbak.”
Tak lama setelahnya, nama Dian dipanggil
dan ia bangkit dari tempatnya. Puzzle
resolved, akhirnya tau namanya juga. Ia mengambil rompi biru yang wajib
dikenakan dan berjalan ke arah motornya. Ia mengendarakannya dengan sangat
hati-hati. Dan, dia lulus.
Sembari menunggu motornya yang dipakai
bapak-bapak untuk ujian (dan bapak itu ngulang gara-gara kakinya menjejak
tanah), namaku kemudian dipanggil. “Titip tas ya, mbak.” Ia mengangguk.
Didepan pos, darahku kembali menghilang
dan rasa dingin itu menyergap. Aku memakai rompi yang diletakkan paling atas,
nomor 7 (LAGI). Petugasnya memberikan map uji praktek untuk diisi nomor regis,
nama, alamat, TTD. Setelah itu, partner-nya
memberikan simulasi bagaimana mengendarai yang baik dan benar. Aku jadi grogi.
“Dek.” Suara Mbak Dian tiba-tiba muncul.
“Tasmu tak taruh sini ya, aku mau bayar bank dulu.” Ia repot-repot membawakan
tas ranselku yang cukup berat karena ada jaketnya.
***DEAR
mbak Dian, jika kau membaca ini, maafkan aku yang membuatmu harus repot-repot membawa
tasku. I’m so sorry***
“Oh iya mbak. Makasih.”
Ia berlalu sembari memindahkan motornya
kembali ke parkiran.
------------NOW
IS MY TURN------------------------
Petugas didalam pos itu mengejutkanku
dengan satu kalimat mengerikan, “Silahkan Mbak Nena, ini giliran anda.”
Aku
berjalan dengan tarikan napas yang berat seperti orang sepuh. Menuju motor dan mempertimbangkan motor mana yang akan ku
pakai. Matic? Keliatannya asik gak
perlu pindah gigi, tapi karena stang
kemudi-nya rendah, akhirnya aku memilih pakai Honda Repsol, motor gigian.
Melihat mas yang kini tengah berusaha menyelesaikan lintasan.
Petugas didalam pos me-mention namaku dua kali baru aku berani
menaiki motor itu. Dengan doa yang komat-kamit tentunya. Memasang helm,
mengklik dan men-starter. Ngeri
ngeriiii.
Aku menjalankan motor dengan hati-hati
melintasi jalan zig-zag (track 1),
dua kali. Lalu melewati angka 8 (track
2). Hampir saja ban depanku melewati garis putih, aku berhasil menguasai diri
sebelum kakiku menyentuh tanah. Angka 8 dilakukan 2 putaran. Berhasil. Track nomor 3, meng-gas sekali lalu
melambaikan tangan kanan (gak boleh ngegas lagi) sampai dibelakang pas garis
STOP. Aku masuk pakai gigi 1. Sampai tengah lintasan, motorku hampir berhenti.
Shit,
shit, shit, umpatku dengan berbisik.
Jangan mati dulu, jangannnnnnn. Akhirnya mati juga tuh motor. Aku melihat pos,
menggunakan gestur apakah aku harus lanjut atau tidak. Tak ada respon suara
dari speaker, maka aku lanjut ke track lain.
Track 4, melajukan motor perlahan dengan
di rem. Jalanan sempit, tapi aku berhasil lalui. Track 5, jalan bergelombang, sukses juga. Terakhir, berkendara ke
jalanan curam naik dengan gigi 1 lalu berhenti di belakang tanda STOP. Sukses
juga. Lalu selesai, aku berjalan menuju pos dan menemui petugas.
“Ini
mbak.” Bapak itu menyerahkan selembar kertas bertuliskan tidak lulus ujian
praktek, “Kembali lagi setelah tanggal ini, ya.”
28 Agustus 2015. 2 minggu lagi.
“Oh,
kalau ada urusan, boleh ya gak sesuai sama tanggal?”
“Iya,
gak papa, asal lebih dari tanggal ini, bukan kurang dari.” Aku mengangguk paham
dan mengucapkan terima kasih, lalu melepas rompi dan pergi. This is totally my fault. Gara-gara
ngegas. Fyuh. Aku pikir bakal gagal
di angka 8 ternyata tidak.
Tapi,
yasudah. 28 Agustus gak ada acara. Semula kupikir bakal ngulang tanggal 14
September. Sementara, tanggal 14 September aku (rencananya) masih di Argopuro.
Masa iya, aku turun sendiri trus balik demi SIM? Melewatkan pesona Danau Taman
Hidup, Cisentor, padang rumput, hutan lumut dan Puncak Rengganis? Yang benar
saja.
Alhamdulillah,
seenggaknya gak mengintervensi jadwal muncak. Itu saja.
SEMANGAT, PEJUANG SIM!
Halo mbak nena :)
BalasHapusUntuk latihan hari minggu di satpas colombo bisanya jam berapa ya? Sebelumnya lihat di beberapa blog lain yang bilang bisanya cuma minggu sore aja. apa bener gitu mbak? Kalo mbak kemarin jam berapa ya?
Terima kasih :)
(dari Pejuang sim yang hampir 5 tahun)
hai Nisa :D
Hapusdulu hari minggu aku datang pagi, sepi. izin ke satpamnya untuk latihan (karena dia tanya, "mau apa mbak?") dan diizinkan kok :)
pagi jam 8 kalo gak salah.. aku latihan setengah jam dan ngerasa cukup percaya diri, lalu pulang, hehe :)
gak dibatesin waktu kok, pokoknya setahuku minggu bisa, entah pagi, siang atau sore ^^
semangat ya buat SIM-nya :D