Sore ini (26/8) nampaknya biasa saja, tapi tiba-tiba
muncul pop-up notifikasi di pesan FB.
Dari teman. Berkata bahwa dia baru saja terkena razia dan hendak menjalani
sidang. Ia bercerita juga tentang dirinya yang merasa puas telah mempermalukan
polisi itu dihadapan publik. Bertukar beberapa pengalaman (dan tips), ingatan
samar-samar menarikku ke hari itu. Januari 2015. Awal tahun yang ‘menegangkan’
Waktu
itu, 17 Januari, aku dan sepupuku Zahwa sedang dalam perjalanan hunting foto ke Kebun Raya Purwodadi,
Pasuruan. Lagi libur kuliah, makanya bisa melang-lang buana ke luar kota.
Perjalanan ditempuh dalam waktu 2,5 jam. Tiba-tiba, di jalanan dekat sebuah
Masjid, di kabupaten Pasuruan, sesuatu menghentikan kami. Polantas yang
melambaikan bendera warna putih. Kami (berboncengan) lantas berhenti. Kirain
ada orang mau nyebrang.
Ternyata,
kami di razia.
Tanpa babibu, polantas itu menanyakan SIM dan STNK. Aku hanya memberikan STNK (karena hanya ini yang ku punya). Polisi itu menyuruh kami mengikutinya ke dalam ruangan. Pos polisi kecil. Sempat ku lihat, ada beberapa pengendara dengan “plat khusus” (note: luar kota, kayak L, W, dsb) yang diberhentikan dan dirazia serta membiarkan pergi begitu saja orang-orang berplat N (which is orang lokal).
Tanpa babibu, polantas itu menanyakan SIM dan STNK. Aku hanya memberikan STNK (karena hanya ini yang ku punya). Polisi itu menyuruh kami mengikutinya ke dalam ruangan. Pos polisi kecil. Sempat ku lihat, ada beberapa pengendara dengan “plat khusus” (note: luar kota, kayak L, W, dsb) yang diberhentikan dan dirazia serta membiarkan pergi begitu saja orang-orang berplat N (which is orang lokal).
“Kenapa
gak semua diberhentikan, Pak?” saudaraku tak tahan untuk bertanya atas
perlakuan yang dirasa tidak adil ini.
“Kami
kekurangan personil, Mbak,” jawab polisi itu, “...lagian, disini sudah biasa
ada razia jam segini.”
Polisi
itu lalu mencatatkan itu dalam sebuah surat tilang. “Gak bisa damai, Pak?”
saudaraku bertanya. Aku bimbang, diliputi perasaan tak menentu. Itu lebih baik,
mengingat sidangnya bakal diadakan di Pasuruan, bukan kota asalku. Puluhan
kilometer bukan pekara main-main. Tapi ini menyalahi prinsipku. Aku hanya diam
menantikan jawaban.
Polisi
itu terlihat berpikir. Ia masih muda. Lalu mengatakan tidak dengan nada yang tak terlalu tegas. Ia kembali tenggelam
dalam surat tilang yang berwarna merah muda. Ia memberikan itu padaku.
Tulisan ‘terdakwa’ nya mengintimidasi.
“Sidangnya
di Pengadilan Negeri (PN) Bangil, Pasuruan. Letaknya didekat alun-alun.” Ia
memberikan arah. “Hari Jum’at depan.”
Tanpa
berkata-kata, kami berdua pergi, melanjutkan perjalanan ke Kebun Raya Purwodadi
dengan sumpah serapah dalam hati. Diatas motor saudaraku berucap, “Itu
benar-benar tidak adil. Maksudku, kalau razia seharusnya semua diberhentikan.
Kalau ini pilih kasih sekali.”
“Memang.
Sejak kapan mereka bisa adil?” jawabku diatas motor yang kulajukan. Kami
sepakat untuk tidak membahasnya karena bisa merusak mood hunting kami, meski
pada akhirnya, mood kami benar-benar
rusak.
***
Kamis
malam, sepupuku memutuskan untuk menginap dirumahku, supaya besok bisa
berangkat bareng dan lebih pagi. Sebelumnya, aku sudah meminjam SIM C dari
temanku yang bisa dibilang...wajahnya mirip denganku (cheeky! hehe). Jadi, identitasku sekejap berubah. I know it’s illegal, tapi ini untuk
jaga-jaga.
Pada
malamnya, aku mengecek lokasi PN Bangil, Pasuruan, lewat aplikasi Google Maps.
Ternyata cukup mudah. Dari jembatan sehabis lumpur lapindo, kita belok ke kiri.
Lurus terus sampai masuk bundaran bawah tol. Sehabisnya, akan ada banyak
pabrik-pabrik. Lalu akan berganti dengan kota kecamatan dengan alun-alun dan
pertokoan. Tak jauh dari situ, pengadilan mulai terlihat.
It seems easy. Pukul 02.00 aku tertidur.
***
Kami
berangkat pagi-pagi sekali. Jam 5.30-an. Aku hanya bilang akan hunting pada Mama. Aku tak mau mereka
tahu dulu. Lagian, nanti kami juga bakal foto-foto kok, hehe.
Iseng....hehe
Saudaraku
yang membonceng duluan. Nanti pulangnya giliranku.
Kami
sempat berhenti di minimarket, membeli es krim dan cokelat. “Membuat good mood.”
selorohku. Ekspetasi berlebih tentang sidang memang membuat berpikiran
macam-macam, jadi kami mem-boost
kesenangan kami dengan es krim dan cokelat.
Kami
sampai dilokasi kira-kira jam 7.30. Penuh orang, kebanyakan laki-laki. Kami
bergegas kedalam dan menukarkan kertas tilang dengan nomor antrian 167.
Katanya, nanti kalau dipanggil, kasih saja nomor antrian beserta KTP asli. Kami
berdua menunggu di tangga depan ruang sidang.
Pukul
08.00, ruang sidang dibuka. Orang-orang bergegas masuk. Ugh, kami telat dan gak dapat tempat duduk. Akhirnya, berdiri
didekat pintu samping. Hakim datang dengan kostum kebesarannya dan membuatku
terperangah. Keren sekali. Hakim itu membuka sidangnya dengan memaparkan
beberapa aturan, misalnya tidak berisik dan dilarang memotret kecuali atas izin
pengadilan. Resmi sekali, kaya di film/FTV. Maklum, pengalaman pertama sidang.
Nomor-nomor
dipanggil dan maju satu persatu untuk ditentukan besaran tilangnya. Oh ya,
jelas ya hari ini sidang khusus pelanggar lalu lintas! Jangan salah paham. Samar-samar
ku dengar 60 ribu, atau sekitar itu. Kami mendapat duduk setelah beberapa orang
pergi dan membayar denda di ruangan sebelah kanan tempat sidang.
Nomor
167 masih lama. Kami menghabiskan waktu dengan ngobrol, atau diajak ngobrol
oleh bapak-bapak di kanan-kiri-depan. Sempat ada insiden kecil, yakni seseorang
disemprot oleh hakim karena memotret di ruang sidang. Aku tidak tahu dari apa
peraturan itu bersumber. UU kah? Atau otoritas internal setempat? Yang jelas,
sensitifitas terhadap publikasi itu bisa menjelaskan banyak hal.
Setelah
beberapa lama, aku dipanggil. Aku maju, menunjukkan KTP dan nomor antrian,
hakim itu berkata 60 ribu. Langsung disuruh ke ruangan untuk bayar denda.
Disana antri, nomor urut dan nama dipanggil. Tak butuh waktu lama untuk
membayar. Setidaknya, uang itu masuk ke kas negara (kecuali ada yang mengigiti
uang itu). Total, butuh waktu satu jam dari sidang dan pembayaran. Pukul 09.15
semuanya selesai.
Mampir
dulu ke pom bensin selama 30 menitan lalu pulang. Ditengah jalan dekat
alun-alun, ada razia. Ikut deg-degan juga dong, meski itu terjadi di jalur lain
(jalur menuju Probolinggo, sementara aku berada di jalur menuju Sidoarjo).
Tapi, karena deg-degan, maka kami memutuskan berhenti di.....warung kopi!
Ngetem sampai jam 11
disana. Menurut saudaraku, razia itu bakal buyar segera mengingat ini hari
Jum’at. Waktunya Jum’atan dong mereka. Ekspetasi bakal buyar jam segitu jadi
kami nongkrong-nongkrong dulu. Ngopi-ngopi. Haha.
Kami pulang setelahnya.
Siang yang terik sekali. Rasanya ingin cepat-cepat bertemu kasur dan air
dingin. Yap, akibat gaada SIM. Sekarang, Agustus 2015 ini lagi ngurus. Remidi 2
kali. Jum’at ini (28/8) ngulang uji praktek. Jalur resmi doooong. Doakan lulus
yak!
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)