Minggu, 02 Oktober 2016

#Diary: Camping di Air Terjun Dlundung

Weekend menjadi saat yang tepat untuk melepas penat. Begitu pula aku, yang menghabiskan weekend-ku dengan camping! Tak jauh kok, hanya di bumi perkemahan Dlundung, Mojokerto, yang juga satu komplek dengan air terjunnya yang fenomenal. A short escape sebelum masuk kuliah nih ceritanya, hehe. Kali ini, aku berperan sebagai leader grup yang terdiri dari 3 orang cewek-cewek strong, yakni aku sendiri (haha), Tita dan Lusy.
WE’RE ON CAMPING!
            Camping ini sudah kurencanakan sejak 2 minggu yang lalu, dan kami sepakat memutuskan untuk memilih tanggal 3-4 September 2016. Berangkat Sabtu siang, pulang Minggu sore. Beberapa hari sebelum camp, aku sudah merilis daftar-daftar barang yang wajib dibawa, baik barang individu maupun barang kelompok. Barang individu berkaitan dengan pakaian, obat-obatan dan alat mandi pribadi, air, senter, piring, sendok, gelas, matras (untuk alas tenda), jas hujan hingga makanan. Sementara barang kelompok dibagi-bagi menurut kapasitas tas. Karena hanya aku yang memiliki carrier, maka aku kebagian membawa tenda, kompor dan nesting. Tita kebagian membawa logistik (makanan), sementara Lusy membawa beberapa barang pelengkap.

            Oke, Sabtu pagi, barang-barang pribadiku sudah ku packing, tinggal mengambil barang kelompok (tenda, nesting, kompor, sleeping bag dan matras) yang ku sewa di langgananku, JB Adventure, yang berlokasi di jalan Pumpungan 3 No. 77 Surabaya. Di JB Adventure, harga sewa jauh lebih murah dibanding penyewaan alat outdoor lainnya. Tenda kapasitas 4 orang hanya 20 ribu/hari, matras 3 ribu/hari, kompor, nesting dan sleeping bag, masing-masing hanya 5 ribu per hari.
Aku berangkat jam 10, menuju ke pom bensin Kapas Krampung (tempat janjian dengan Tita) lalu langsung mengambil barang sewaan di JB Adventure. Ada sepenggal masalah sih, Tita datang telat 30 menit dan pemilik JB Adventure ga ada di tempat, jadi waktunya molor banget. Setelah semuanya selesai, aku bergegas membeli gas tabung kecil di Indomaret, mengisi bensin di pom bensin Nginden, lalu menjemput Lusy di dekat Jatim Expo. Kami pompa ban dulu, lalu dengan bismillah, meluncur ke Dlundung hari itu juga.
            Kami lewat jalanan Krian lalu tembus Pacet, karena dengan asumsi tanjakan disana tidak separah tanjakan dari arah Pandaan. Di Pandaan, ada satu tanjakan super ekstrim, memiliki belokan tajam dan terlalu vertikal untuk dilewati motor yang jarang servis seperti motorku. Aku dan Tita dahulunya pernah melewati tanjakan itu, dan mesin motorku mati di tanjakan itu. Ngeri deh. Lokasinya di dekat hutan pinus dan area flying fox. Lewat Pacet, ada lebih banyak tanjakan, meski begitu tanjakan di Pacet relatif pendek-pendek dan gak terlalu curam. Jalanan Pacet pun aspalnya jauh lebih mulus. Apalagi aku membonceng Lusy, gak yakin bisa melewati tanjakan di daerah Pandaan itu. Atas dasar itu, kami memilih jalur Pacet untuk naik, dan jalur Pandaan untuk turun.
            Kami berangkat dari Surabaya jam 12.30, panas menyengat banget di kepala dan tubuh. Seperti biasa, kecepatan mengemudiku selalu kalah dengan Tita. Padahal dia gak terlalu ngebut, tapi jarak antara motorku dan motornya selalu terpaut jauh. Heran deh ama anak itu, wkwk. Kami melewati bunderan waru, daerah Taman, SDA, yang penuh dengan pabrik dan truk-truk besar. Sempat ada macet parah di perempatan Pasar Krian, sampe kendaraan ga bisa bergerak cukup lama. Untungnya, kami pakai motor, jadi bisa mencari celah-celah sempit untuk dilewati, haha.
Kami berhenti di Krian, SDA, untuk makan di warung. Ibu penjual warungnya ramah banget, harga makanannya pun amat terjangkau, haha. 1 porsi nasi pecel (lauk tempe goreng dan lentho), serta 1 gelas es teh, harganya hanya Rp. 8.500! Wah, wah, perlu buka cabang di kampusku ini, biar bisa jadi langganan, hehe, nasinya cukup banyak pula. Setelahnya, kami langsung menuju ke arah Pacet.
Setelah perempatan di sekolah dasar, mulai deh siksaan untuk mesin motor. Apalagi kalau bukan jalan menanjak, hehe. Pertamanya masih santai, belum terlalu vertikal, namun lama kelamaan terasa berat. Apa ya? Pikirku selama bermenit-menit, lalu kemudian tersadar, “Oalah, pantes aja berat walaupun sudah gas maksimal, ternyata aku naik pake gigi empat!”
Segera ku pindah gigiku antara dua dan tiga, secara bergantian. Ketika tanjakan sudah mulai terasa, terutama di areal hutan-hutan itu, aku mulai kewalahan. Kini gigi motor hanya bermain di angka satu dan dua. Gas maksimal, jalan pun zig-zag agar lebih mudah melewati tanjakan. Tita naik SUPER NYANTAI (jelas lah, dia kan nyetir sendirian, gak mbonceng orang), jadinya dia sudah jauh meninggalkanku. Huh.
Sampai akhirnya, aku merasa mesin motorku sudah mulai kepayahan, aku memberi isyarat untuk berhenti. Dari knalpot motor, terlihat ada asap putih yang keluar. Selalu seperti itu jika mengalami overheat. Untungnya, waktu itu kami berhenti di gubuk-gubuk kayu yang kosong, yang dahulunya adalah bekas orang jualan. Kami disana selama 20 menitan, sambil ngobrol sana-sini, juga mengamati kendaraan yang melintas. Melihat mana kendaraan yang sangat struggle di jalan menanjak, dan mana kendaraan yang nyantai-nyantai saja.
“Huh, ayo rek nabung buat beli CBR atau Ninja!” kataku ngasal, sebal karena mesin motorku yang sudah K.O dihajar jalanan Pacet. “Aku 10 juta, kamu 10 juta dan kamu 10 juta. Nanti dipakainya joinan.” ucapku sambil menuding Tita dan Lusy.
“Lah dipikir beli Ninja kayak beli bawang di pasar.” seloroh Tita. “Mendingan beli itu lho, motor yang buat trail atau semacam motorcross.”
“Leh uga.” kataku.
Setelah cukup lama, aku disadarkan oleh mereka. “Ayo Nen lanjut lagi, emangnya mau buka tenda disini ta?”
“Aku masih grogi sama jalanannya lho.” ucapku. “Tapi yaudah deh, bismillah aja.”
Lusy membuka Google Maps dan mengarahkan kami. “Habis ini lurus aja, ikuti jalan besar. Udah deket kok. Dlundung ada di sebelah kanan jalan.”
“Tit, kamu jalan duluan. Nanti sesampai di Koramil, kamu berhenti.” ucapku.
Almost there!
Kami berjalan terus. Gak terlalu parah tanjakannya, dan mulai memasuki perkampungan penduduk. Di sebelah kiri, ada jalanan menuju Pos Tamiajeng, Penanggungan. Lalu, kami berbelok ke kanan jalan, menuju Bumi Perkemahan Dlundung.
Perkampungan & sawah penduduk
Jalanan masih nanjak, cukup vertikal juga. Apalagi, aspalnya tidak mulus. Mesinku masih meraung-raung. Tapi itu tidak lama, gak sampai 5 menit, kami sudah berada di pintu gerbang Bumi Perkemahan Dlundung. “Ah, leganya.”
Loket utama Bumi Perkemahan dan air terjun Dlundung
Jarum jam menunjukkan angka 15.30 WIB. Kami masuk dan memarkirkan motor, sementara petugas gerbang menghitung ongkos masuk kami. Pada awalnya, petugas gerbang mematok tarif 54 ribu (tiket masuk + biaya camping) untuk kami bertiga, lalu ia menurunkan menjadi 48 ribu untuk tiga orang, haha, tau aja nih petugasnya akan kondisi finansial kami yang menyedihkan :’)
Setelahnya, aku melihat wajah seseorang yang familiar. Lho, itu kan mas Hariyadi dari Jatim Backpacker. Oh iya ding, mereka ada acara anniversary di Dlundung juga. Aku menyalaminya, dan bertanya, “JB camp di blok mana mas?”
“Di blok H, agak ke atas letaknya.” jawab mas Hariyadi.
Oh iya, ngomong-ngomong soal blok, aku, Tita dan Lusy sempat berdebat, mana spot yang paling asyik dibuat camp. Apakah blok A & B yang berupa padang rumput luas, di dekat gerbang masuk Dlundung? Apakah blok F & G yang berada di lembah yang cukup curam dan letaknya paling bawah? Apakah di blok H, bersamaan dengan area camp Jatim Backpacker? Apakah ke area yang memiliki spot matahari terbit terindah?
Setelah eker-ekeran, akhirnya kami memutuskan untuk ambil spot di blok F & G. Disana jauh lebih sepi, hening dan tenang, dibandingkan dengan blok A & B yang luas namun cenderung ramai. “Jangan disana Nen, pasti banyak anak-anak Persami/LDKS. Berisik.”
“Iya, nanti pas jerit malam jangan-jangan kita ikut dibangunkan, wkwk.”
Tita with her motorcycle
Kami memarkirkan motor di parkiran dekat toilet umum blok F. Lalu, kami turun kebawah, mencari ground yang tepat untuk memasang tenda.
Lokasi camp!
“Ini lho, luas.”
“Jangan, itu agak miring. Gak enak nanti tidurnya.”
“Ini banyak batunya, rek.”
“Nah ini lho, cukup rata alasnya, rek.”
“Blok G?”
“Hmm... Boleh.”
Ground pilihan kami
Jadi, kami memasang tenda PAS di depan tiang yang bertuliskan huruf G yang besar. Sebelah kiri ada pohon, sebelah kanan kosong, depan ada turunan curam dan belakang ada jalanan setapak. Terlihat sempit sih, tapi nyaman. Entah kenapa, spot ini terasa lebih privat dibanding dengan spot yang lain.
Masang tenda kuyy
Dengan sekejap, aku menaruh jaketku, membuka carrier dan mengeluarkan tenda. Kami bertiga bahu membahu untuk memasang tenda, apalagi saat itu gerimis mulai berjatuhan. Tenda dihamparkan, kerangka tenda dimasukkan, lalu setelah berdiri, kami pasang pasak-pasaknya. Tanahnya cukup gembur dan tidak banyak kerikil didalamnya, jadi pasak bisa masuk dengan mudah. Setelah itu, kami hamparkan rain cover tenda, dan memasang pasak lagi, agar lebih kokoh berdiri.
Hufff. Selesai sudah.
Pukul 15:45 tenda kami sudah officially berdiri di bumi perkemahan dlundung. Yeah!
Kami langsung mengungsikan barang-barang ke dalam karena gerimis bertambah deras. Bagian tenda sebelah kanan (tempatku tidur) aja sudah mulai merembes. Basah. Untung saja airnya ga masuk tenda, cuma lembab aja. Ah, nanti juga bakal kering sendiri.
Tenda sebelah
Karena gerimis masih tak kunjung berhenti, membuat rencana kami yang awalnya pingin langsung masak gagal (padahal baru makan satu jam yang lalu), akhirnya kami memutuskan buat stay di dalam tenda saja. Lusy langsung mengambil sleeping bag dan tertidur, sementara aku dan Tita cerita dari hati ke hati (kalah Mamah Dedeh, wkwk).  Banyak yang kami ceritakan, termasuk soal sisi gelap kami yang tidak diketahui media (lu siapa emang?). Kisah-kisah favorit kami, hal bodoh yang dilakukan Tita yang diperbuat beberapa tahun lalu dibahas habis-habisan, wkwk. Biasanya sih cuma kami bahas di chatroom BBM/Line, tapi kalo dibahas langsung jauh lebih seru. Jauh lebih menegangkan wkwk.
Hari kemudian menjadi gelap. Gerimis pun mulai reda, walau sisa-sisa air masih menempel di rain cover tenda kami. Jam 7 malam, kami memutuskan untuk membuat makanan. Lapar.
Ye-ye-ye, masak!
Dengan sigap, kami membuka tas khusus untuk logistik, dan mengambil kacang panjang, tempe, bawang putih dan bawang merah, cabe merah besar, saus tiram, margarin (pengganti minyak goreng), dan bakso ikan. Bodohnya adalah kami hanya membawa pisau satu (oke, itu 100% ketololan leader, karena aku cuman bilang pisau hanya dibawa oleh Tita), jadi untuk memotong-motong bahan makanan harus gantian. Alhasil jadi jauh lebih lama, dan perut pun meronta-ronta. Duh, sabar ya nak..
Setelah itu, bahan makanan dicuci di kamar mandi, sekaligus mengisi ulang botol kami yang mulai kosong dengan air bersih nan segar yang mengalir dari keran. Brr, dinginnya asli, kayak dimasukkin ke kulkas! Tak sampai 10 menit, masakan kami (tumis tempe dan kacang panjang) akhirnya matang. Kami “gado” makanan itu langsung (karena kami mikir, kalo masak nasi pasti lama banget, sementara kami terlalu kelaparan untuk menunggu dan menghabiskan gas pula). Rasanya ternyata lumayan, padahal percobaan pertama, haha. Agak creamy karena kita pakai margarin instead of minyak goreng.
Makan malam kedua
Makanan pun habis, kami pun terdiam. Ternyata, kami tak bisa membohongi sanubari (dan perut) kami. MASIH LAPAR! Hahaha, yaampun, kita rupanya terbiasa dengan porsi kuli, jadi makan lauk saja tidak cukup, wkwk. Akhirnya, kami memasak 3 bungkus mie goreng untuk menuntaskan lapar. Bumbunya langsung diaduk juga di nesting, jadi gak perlu cuci piring. Kami masukkan pula beberapa butir bakso ikan sebagai tambahan lauk.
Jam 21.30, selesai sudah sesi makan-makan kami. Nesting, sendok dan kawan-kawan langsung dicuci di kamar mandi, sekalian pipis juga. Agak challenging untuk menuju ke kamar mandi yang letaknya ada diatas, jalannya licin men! Maklum, abis kena hujan, jadi beberapa kali aku terpeleset dan jatuh, huhu. Seandainya saja punya sandal gunung, pasti resiko jatuh bisa diminimalisir deh.
Setelahnya, kami duduk-duduk dan bercerita kesana kemari. Mulai dari mbahas demam sepatu roda yang menjangkiti anak-anak usia SD, bahas perkuliahan masing-masing, flashback pada zaman SMP-SMA, menceritakan kisah asmara kami yang minim pengalaman (HA-HA), sampai berdiskusi soal zaman Orde Baru menurut sudut pandang masing-masing. Seengaknya, ada satu kesepahaman pada kami, yakni era Orde Baru sangat tiran, kejam dan diktator, apalagi kalau membahas pembunuhan dan penculikan orang-orang tak bersalah tanpa pengadilan, sementara sang penjagalnya masih hidup dan berkeliaran, sedih rasanya.
Akhirnya, jam 12 malam satu persatu dari kami tidur.
Beberapa kali aku terbangun tengah malam. Bukan karena dingin (apanya, gak dingin sama sekali, mungkin karena masuk era kemarau kali ya), tapi aku terbangun karena tendanya terlalu pendek untuk kakiku. Gak lega rasanya, kalau nggak selonjoran dengan leluasa. Alhasil, aku ngusrek-ngusrek (?) tenda sebelah tengah, karena yang tengah lebih panjang beberapa senti daripada yang pinggir-pinggir (aku tidur sebelah pinggir kanan, Tita di tengah dan Lusy di sebelah kiri).
Selamat pagi!
Aku terbangun dalam keadaan langit separuh gelap. Awalnya pas subuh-subuh karena dengar orang di tenda belakang guyonan, apalagi pas salah satu cowok nyanyi lagunya Bayu Skak yang berjudul “Kuburan Sama’an” wkwk.
Jam 5 pagi waktu itu. Matahari terbit di arah jam 2 dari tenda kami. Sinarnya membuat langit berwarna kemerahan berpadu dengan cahaya keemasan dan rona ungu di langit. Tita dan Lusy belum bangun, sampai akhirnya setengah jam kemudian Tita bangun.
Jam 6 pagi aku dan Tita langsung masak. Lusy masih tidur waktu itu. Tita memasang gas ke kompor, kami bersiap-siap menyalakan kompor. Tita bagian memutar volume gas dan aku yang menyalakan api. Eh, gak taunya, volume gas yang dihidupkan oleh Tita terlalu besar sampai apinya merembet ke gas!
PANIK! Tentunya! Walau disiram dengan air terus menerus, tapi apinya masih hidup. Apinya berada pas di mulut gas, tidak terlalu besar, tapi tetap berkobar. Serem. Sumpah serem. Kehebohan kami diperhatikan orang dari tenda sebelah, kata bapak-bapaknya, langsung ditutupi saja dengan handuk atau kain basah. Oke, pertama disini gak ada pakaian kotor yang bisa dibasahi, dan kedua, kami terlanjur panik sampai rasanya otak kami tidak bekerja. Aku terus menerus menyiram air sampai habis, dan untungnya... api bisa padam! Fyuuuh lega.
Sampai beberapa menit, tidak ada yang berkata-kata di dalam tenda, kecuali “Haduh.. haduh..” “Serem pek” atau “He medeni sumpah”. Selama itu pula kami membiarkan kompor dan gas tetap pada posisinya, tidak menyalakannya lagi karena masih trauma. Rasa lapar kami rasanya hilang begitu saja, tergantikan oleh shock yang tak terkira. Namun, Lusy, dengan berani dan kalem mencoba memasang gas ulang, lalu mendengarkan dengan jeli suara desisan yang keluar dari gas. Jika suaranya pelan, berarti volume gas pada kompornya kecil, jika suara desisannya kencang, berarti volume gas pada kompornya besar.
Sarapan mie instan
Lauk tambahan
Setelah trauma berangsur hilang, kami membuka plastik logistik dan mengeluarkan 3 bungkus mie kuah. Kami memasukkan masing-masing bumbu ke mangkok, lalu menanti mie matang dengan sabar. Kami juga menggoreng sisa bakso ikan, menghabiskan semua margarin untuk dijadikan minyak. Agak kesulitan ternyata menggoreng pakai margarin, karena sisa-sisa bakso ikan menempel di nesting. Lengket, susah dibersihkan.
Mie matang, kecerobohan kembali terulang. Aku hendak keluar dengan membawa botol-botol untuk mengisinya dengan air di kamar mandi. Aku tidak sengaja menendang mieku sendiri hingga kuahnya tumpah ke matras dan ujung tenda. Hebat. Akhirnya, Tita dan Lusy mengeluarkan matrasnya (diangin-anginkan), setelah itu kami lanjut sarapan. Lalu, ketika Tita dan Lusy bergantian ke kamar mandi untuk cuci muka dst, aku berusaha menghilangkan aroma mie soto yang semerbak, dengan cara mencucinya dengan sedikit air dan sabun Citra. Tidak 100% hilang sih, tapi mendingan lah. Lalu, aku berdiri dan mengibaskan tenda yang separuh basah secara terus-menerus, sampai akhirnya berhasil dan kering. Yes!
Let’s go!
Menuju air terjun
Setelahnya, entah kenapa merasa ngantuk jadi tidur mulai jam 8.30 sampai 9.40. Maklum lah, makan karbohidrat memang memicu kantuk, jadi kami beristirahat selama satu jam.             Lalu, kami bergegas merapikan tenda, membawa hp dan kamera, lalu pergi main-main ke air terjun. Tenda ditinggalkan dalam keadaan tertutup, kami merasa gak ada barang berharga didalamnya. Bismillah aman!
Kami berjalan naik, melewati jalanan aspal, lalu berjalan naik tangga untuk ke air terjunnya. Sudah bisa diprediksi jika penuh dengan lautan manusia. Ada rombongan keluarga, sepasang kekasih, anak-anak, hingga gerombolan anak SD usai pramuka. Kami segera mencari tempat untuk duduk dan mengamati sekitar. Kesejukan dari udara gunung plus percikan-percikan air terasa menyegarkan pikiran kami. Damai rasanya. Ugh.. How I wish Surabaya has a place like this. Bosan rasanya berada di kota yang panas, padat dan sering macet, hehe. Bikin stress kalo lama-lama disana tanpa refreshing ke tempat sejuk seperti ini.
Untuk beberapa saat, yang kami lakukan hanya mengamati keadaan sekitar dan kedamaian yang perlahan menyusup ke hati kami.
Sungai di bawah jembatan
Tak begitu lama, kami memutuskan ke tempat tersembunyi. Yap, kami menuju sungai kecil yang ada di bawah jembatan, tak jauh dari parkiran motor. Ada jalanan setapak menuju ke sungai. Sesampainya di sungai, kami menggulung celana hingga ke betis dan Lusy melepas sepatunya. Brr... dingin, tapi asyik sekali. Rasanya langsung lupa dengan segala tuntutan dan tekanan dalam kehidupan nyata, wahaha.
Main-main air!
Wajah hepi
Disini cukup sepi, walau ada juga orang yang main air dan bahkan pacaran diatas batu, haha. Tapi seenggaknya jauh lebih sepi dari air terjun utama tadi. We get enough privacy here. Meski begitu, harus cukup hati-hati karena aliran sungainya cukup deras. Salah-salah, sandal bisa terbawa arus (kayak Tita, haha), atau gadget berharga kami terjun ke air (Alhamdulillah, untungnya enggak).
Putri duyung
Air terjun mini
Motret aliran sungai atau motret orang pacaran?
            What we did here hanya duduk-duduk diatas batu sembari menikmati air sungai yang dingin di kaki kami, foto-foto, ngobrol-ngobrol dan bercanda. Oh ya, karena masih dalam pengaruh AMERTA (pengenalan Universitas Airlangga ke mahasiswa baru), aku sempat nyanyiin Jingle Amerta beserta menarikan gerakan flashmob juga, ahaha. Abisnya, asyik sih gerakan dan lagunya, hehe. Dibawah ini adalah salah satu gerakan Jingle Amerta wkwk (jangan salah fokus ama orang pacaran di belakang yaaaa hehe).
Masih dalam pengaruh AMERTA, hehe.
Sini sini tak fotoin.
Sekitar jam 11, kami balik ke tenda. Alhamdulillah ngerasa puas dan energi kembali terisi. Segarnya air sungai membawa kesegaran ke otak. Apakah ini berarti kami siap menghadapi kuliah keesokan hari? Apakah kami siap untuk belajar keras dan menaikkan indeks prestasi di semester ini? Apakah kami sanggup menghadapi tugas-tugas dan deadline? Itu masih misteri, HAHAHA.
Balik ke tenda
Maafkan tenda kami yang berantakan
Sebelum beres-beres tenda, kami sempat foto-fotoan (lagi) di batang kayu yang melintang. Bagus deh view-nya. Sayangnya, foto itu hanya ada di kamera Lusy, sementara waktu aku mintain fotonya ternyata udah di cut ke laptop dan laptopnya lagi gak bisa dipake.
Dalam waktu kurang dari 30 menit, kami packing ulang dan membongkar tenda. Karena tas Tita lagi kosong, maka sebagian barang aku taruh disana (nesting, matras dan 2 sleeping bag). Setelah usai, kami langsung menuju parkiran dan bersiap-siap untuk pulang. Bismillah, semoga selamat sampai rumah.
Kami berkendara pulang jam 12.15, sesampainya di polsek Pandaan jam 12:45. Kami sempat melewati beberapa tanjakan yang vertikal serta turunan yang curam, Alhamdulillah terlintasi dengan baik. Lalu, sesampainya di jalan raya Gempol-Surabaya, kami memaju laju kendaraan hingga kecepatan tinggi, sekitar 70 hingga 80 km/jam. Biar cepet sampai rumah gitu ceritanya.
Aku kehilangan jejak Tita di sekitar Museum Mpu Tantular Sidoarjo. Asumsiku adalah dia sangat ngebut, apalagi aku dan Lusy sempat terjebak lampu merah selama 2 menit. Bisa dipastikan Tita sudah jauh sekali, pikirku. Yaudah, dia tahu jalan kok, jadi aku merasa baik-baik saja. Namun aku merasa cemas karena barang-barang sewaan (nesting, sleeping bag dan matras) ia bawa juga, dan rencananya akan ku kembalikan langsung siang ini. Gampanglah, aku bisa menghubungi Tita lagi nanti.
Jam 14:30-an, aku sampai di rumah. Tadi sempet gantian nyetir ama Lusy pas di depan Pasar Wonokromo. Gak sanggup nyetir lagi haha, mana cuaca panas dan jalanan macet pula. Bikin pingin cepet-cepet tiduran di kasur, wkwk.

*NOTE* beberapa gambar diatas memiliki resolusi yang rendah dan kualitas yang buruk. Maafkan, karena itu diambil dari screenshot video, bukan jepretan biasa.

THANK YOU TITA DAN LUSY ATAS 2 HARI YANG MENYENANGKAN!

LOVE YA GURLS!!!

7 komentar:

  1. fotoku kok mirip bapak2 lagi narik ojek seh WKWK!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak cak, koyok emak-emak sing nyusul anake nang sekolah, wkwk

      Hapus
  2. Hadeeww senengnya ingat aku dulu suka camping. Tapi aku belum pernah ngecamp di Dlundung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe iya coba aja camp di Dlundung. Areanya luas, dingin, toiletnya juga bersih dan airnya segar :)
      Plus, kalo males masak, tinggal keluar aja beli makanan hahaha

      Hapus
  3. Mbak kontaknyaa JB adventure ada ga? Saya mau coba sewa disana terimakasih :)))

    BalasHapus
  4. Mbak boleh minta kontaknyaa jb aadventure? Sayaa jadi pengen nyewa disana kalo murah😁

    BalasHapus
  5. kalo sampe sana pagian bgt gt, bisa gak ya,,,?

    BalasHapus

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template