Weekend
menjadi saat yang tepat untuk melepas penat. Begitu pula aku, yang menghabiskan
weekend-ku dengan camping! Tak jauh kok, hanya di bumi
perkemahan Dlundung, Mojokerto, yang juga satu komplek dengan air terjunnya
yang fenomenal. A short escape
sebelum masuk kuliah nih ceritanya, hehe. Kali ini, aku berperan sebagai leader grup yang terdiri dari 3 orang
cewek-cewek strong, yakni aku sendiri
(haha), Tita dan Lusy.
WE’RE
ON CAMPING!
Camping
ini sudah kurencanakan sejak 2 minggu yang lalu, dan kami sepakat memutuskan
untuk memilih tanggal 3-4 September 2016. Berangkat Sabtu siang, pulang Minggu
sore. Beberapa hari sebelum camp, aku
sudah merilis daftar-daftar barang yang wajib dibawa, baik barang individu
maupun barang kelompok. Barang individu berkaitan dengan pakaian, obat-obatan
dan alat mandi pribadi, air, senter, piring, sendok, gelas, matras (untuk alas
tenda), jas hujan hingga makanan. Sementara barang kelompok dibagi-bagi menurut
kapasitas tas. Karena hanya aku yang memiliki carrier, maka aku kebagian membawa tenda, kompor dan nesting. Tita
kebagian membawa logistik (makanan), sementara Lusy membawa beberapa barang
pelengkap.
Oke, Sabtu pagi, barang-barang
pribadiku sudah ku packing, tinggal
mengambil barang kelompok (tenda, nesting, kompor, sleeping bag dan matras) yang ku sewa di langgananku, JB Adventure,
yang berlokasi di jalan Pumpungan 3 No. 77 Surabaya. Di JB Adventure, harga
sewa jauh lebih murah dibanding penyewaan alat outdoor lainnya. Tenda kapasitas 4 orang hanya 20 ribu/hari, matras
3 ribu/hari, kompor, nesting dan sleeping bag, masing-masing hanya 5 ribu
per hari.
Aku berangkat jam 10, menuju ke pom bensin Kapas Krampung (tempat
janjian dengan Tita) lalu langsung mengambil barang sewaan di JB Adventure. Ada
sepenggal masalah sih, Tita datang telat 30 menit dan pemilik JB Adventure ga
ada di tempat, jadi waktunya molor banget. Setelah semuanya selesai, aku
bergegas membeli gas tabung kecil di Indomaret, mengisi bensin di pom bensin
Nginden, lalu menjemput Lusy di dekat Jatim Expo. Kami pompa ban dulu, lalu
dengan bismillah, meluncur ke
Dlundung hari itu juga.
Kami lewat jalanan Krian lalu tembus
Pacet, karena dengan asumsi tanjakan disana tidak separah tanjakan dari arah
Pandaan. Di Pandaan, ada satu tanjakan super ekstrim, memiliki belokan tajam
dan terlalu vertikal untuk dilewati motor yang jarang servis seperti motorku.
Aku dan Tita dahulunya pernah melewati tanjakan itu, dan mesin motorku mati di
tanjakan itu. Ngeri deh. Lokasinya di dekat hutan pinus dan area flying fox. Lewat Pacet, ada lebih banyak tanjakan, meski begitu
tanjakan di Pacet relatif pendek-pendek dan gak terlalu curam. Jalanan Pacet pun
aspalnya jauh lebih mulus. Apalagi aku membonceng Lusy, gak yakin bisa melewati
tanjakan di daerah Pandaan itu. Atas dasar itu, kami memilih jalur Pacet untuk
naik, dan jalur Pandaan untuk turun.
Kami berangkat dari Surabaya jam
12.30, panas menyengat banget di kepala dan tubuh. Seperti biasa, kecepatan
mengemudiku selalu kalah dengan Tita. Padahal dia gak terlalu ngebut, tapi
jarak antara motorku dan motornya selalu terpaut jauh. Heran deh ama anak itu,
wkwk. Kami melewati bunderan waru, daerah Taman, SDA, yang penuh dengan pabrik
dan truk-truk besar. Sempat ada macet parah di perempatan Pasar Krian, sampe
kendaraan ga bisa bergerak cukup lama. Untungnya, kami pakai motor, jadi bisa
mencari celah-celah sempit untuk dilewati, haha.
Kami berhenti di Krian, SDA, untuk makan di warung. Ibu penjual
warungnya ramah banget, harga makanannya pun amat terjangkau, haha. 1 porsi nasi
pecel (lauk tempe goreng dan lentho),
serta 1 gelas es teh, harganya hanya Rp. 8.500! Wah, wah, perlu buka cabang di
kampusku ini, biar bisa jadi langganan, hehe, nasinya cukup banyak pula. Setelahnya,
kami langsung menuju ke arah Pacet.
Setelah perempatan di sekolah dasar, mulai deh siksaan untuk mesin
motor. Apalagi kalau bukan jalan menanjak, hehe. Pertamanya masih santai, belum
terlalu vertikal, namun lama kelamaan terasa berat. Apa ya? Pikirku selama
bermenit-menit, lalu kemudian tersadar, “Oalah, pantes aja berat walaupun sudah
gas maksimal, ternyata aku naik pake gigi empat!”
Segera ku pindah gigiku antara dua dan tiga, secara bergantian.
Ketika tanjakan sudah mulai terasa, terutama di areal hutan-hutan itu, aku
mulai kewalahan. Kini gigi motor hanya bermain di angka satu dan dua. Gas
maksimal, jalan pun zig-zag agar lebih mudah melewati tanjakan. Tita naik SUPER NYANTAI (jelas lah, dia kan
nyetir sendirian, gak mbonceng orang), jadinya dia sudah jauh meninggalkanku.
Huh.
Sampai akhirnya, aku merasa mesin motorku sudah mulai kepayahan,
aku memberi isyarat untuk berhenti. Dari knalpot motor, terlihat ada asap putih
yang keluar. Selalu seperti itu jika mengalami overheat. Untungnya, waktu itu kami berhenti di gubuk-gubuk kayu
yang kosong, yang dahulunya adalah bekas orang jualan. Kami disana selama 20
menitan, sambil ngobrol sana-sini, juga mengamati kendaraan yang melintas.
Melihat mana kendaraan yang sangat struggle
di jalan menanjak, dan mana kendaraan yang nyantai-nyantai saja.
“Huh, ayo rek nabung buat beli CBR atau Ninja!” kataku ngasal,
sebal karena mesin motorku yang sudah K.O dihajar jalanan Pacet. “Aku 10 juta,
kamu 10 juta dan kamu 10 juta. Nanti dipakainya joinan.” ucapku sambil menuding Tita dan Lusy.
“Lah dipikir beli Ninja kayak beli bawang di pasar.” seloroh Tita.
“Mendingan beli itu lho, motor yang buat trail
atau semacam motorcross.”
“Leh uga.” kataku.
Setelah cukup lama, aku disadarkan oleh mereka. “Ayo Nen lanjut
lagi, emangnya mau buka tenda disini ta?”
“Aku masih grogi sama jalanannya lho.” ucapku. “Tapi yaudah deh, bismillah aja.”
Lusy membuka Google Maps dan mengarahkan kami. “Habis ini lurus
aja, ikuti jalan besar. Udah deket kok. Dlundung ada di sebelah kanan jalan.”
“Tit, kamu jalan duluan. Nanti sesampai di Koramil, kamu
berhenti.” ucapku.
Almost there!
Kami berjalan terus. Gak terlalu parah tanjakannya, dan mulai
memasuki perkampungan penduduk. Di sebelah kiri, ada jalanan menuju Pos
Tamiajeng, Penanggungan. Lalu, kami berbelok ke kanan jalan, menuju Bumi
Perkemahan Dlundung.
Perkampungan & sawah penduduk
Jalanan masih nanjak, cukup vertikal juga. Apalagi, aspalnya tidak
mulus. Mesinku masih meraung-raung. Tapi itu tidak lama, gak sampai 5 menit,
kami sudah berada di pintu gerbang Bumi Perkemahan Dlundung. “Ah, leganya.”
Loket utama Bumi Perkemahan dan air terjun Dlundung
Jarum jam menunjukkan angka 15.30 WIB. Kami masuk dan memarkirkan
motor, sementara petugas gerbang menghitung ongkos masuk kami. Pada awalnya,
petugas gerbang mematok tarif 54 ribu (tiket masuk + biaya camping) untuk kami bertiga, lalu ia menurunkan menjadi 48 ribu
untuk tiga orang, haha, tau aja nih petugasnya akan kondisi finansial kami yang
menyedihkan :’)
Setelahnya, aku melihat wajah seseorang yang familiar. Lho, itu kan
mas Hariyadi dari Jatim Backpacker. Oh iya ding, mereka ada acara anniversary di Dlundung juga. Aku
menyalaminya, dan bertanya, “JB camp di blok mana mas?”
“Di blok H, agak ke atas letaknya.” jawab mas Hariyadi.
Oh iya, ngomong-ngomong soal blok, aku, Tita dan Lusy sempat
berdebat, mana spot yang paling asyik dibuat camp. Apakah blok A & B yang berupa padang rumput luas, di
dekat gerbang masuk Dlundung? Apakah blok F & G yang berada di lembah yang
cukup curam dan letaknya paling bawah? Apakah di blok H, bersamaan dengan area camp Jatim Backpacker? Apakah ke area
yang memiliki spot matahari terbit terindah?
Setelah eker-ekeran, akhirnya kami memutuskan untuk ambil spot di
blok F & G. Disana jauh lebih sepi, hening dan tenang, dibandingkan dengan
blok A & B yang luas namun cenderung ramai. “Jangan disana Nen, pasti
banyak anak-anak Persami/LDKS. Berisik.”
“Iya, nanti pas jerit malam jangan-jangan kita ikut dibangunkan,
wkwk.”
Tita with her motorcycle
Kami memarkirkan motor di parkiran dekat toilet umum blok F. Lalu,
kami turun kebawah, mencari ground
yang tepat untuk memasang tenda.
Lokasi camp!
“Ini lho, luas.”
“Jangan, itu agak miring. Gak enak nanti tidurnya.”
“Ini banyak batunya, rek.”
“Nah ini lho, cukup rata alasnya, rek.”
“Blok G?”
“Hmm... Boleh.”
Ground pilihan kami
Jadi, kami memasang tenda PAS di depan tiang yang bertuliskan
huruf G yang besar. Sebelah kiri ada pohon, sebelah kanan kosong, depan ada
turunan curam dan belakang ada jalanan setapak. Terlihat sempit sih, tapi
nyaman. Entah kenapa, spot ini terasa lebih privat dibanding dengan spot yang
lain.
Masang tenda kuyy
Dengan sekejap, aku menaruh jaketku, membuka carrier dan mengeluarkan tenda. Kami bertiga bahu membahu untuk
memasang tenda, apalagi saat itu gerimis mulai berjatuhan. Tenda dihamparkan,
kerangka tenda dimasukkan, lalu setelah berdiri, kami pasang pasak-pasaknya.
Tanahnya cukup gembur dan tidak banyak kerikil didalamnya, jadi pasak bisa
masuk dengan mudah. Setelah itu, kami hamparkan rain cover tenda, dan memasang pasak lagi, agar lebih kokoh
berdiri.
Hufff. Selesai sudah.
Pukul 15:45 tenda kami sudah officially
berdiri di bumi perkemahan dlundung. Yeah!
Kami langsung mengungsikan barang-barang ke dalam karena gerimis
bertambah deras. Bagian tenda sebelah kanan (tempatku tidur) aja sudah mulai
merembes. Basah. Untung saja airnya ga masuk tenda, cuma lembab aja. Ah, nanti
juga bakal kering sendiri.
Tenda sebelah
Karena gerimis masih tak kunjung berhenti, membuat rencana kami
yang awalnya pingin langsung masak gagal (padahal baru makan satu jam yang
lalu), akhirnya kami memutuskan buat stay
di dalam tenda saja. Lusy langsung mengambil sleeping bag dan tertidur, sementara aku dan Tita cerita dari hati
ke hati (kalah Mamah Dedeh, wkwk). Banyak
yang kami ceritakan, termasuk soal sisi gelap kami yang tidak diketahui media
(lu siapa emang?). Kisah-kisah favorit kami, hal bodoh yang dilakukan Tita yang
diperbuat beberapa tahun lalu dibahas habis-habisan, wkwk. Biasanya sih cuma
kami bahas di chatroom BBM/Line, tapi
kalo dibahas langsung jauh lebih seru. Jauh lebih menegangkan wkwk.
Hari kemudian menjadi gelap. Gerimis pun mulai reda, walau
sisa-sisa air masih menempel di rain
cover tenda kami. Jam 7 malam, kami memutuskan untuk membuat makanan.
Lapar.
Ye-ye-ye, masak!
Dengan sigap, kami membuka tas khusus untuk logistik, dan
mengambil kacang panjang, tempe, bawang putih dan bawang merah, cabe merah
besar, saus tiram, margarin (pengganti minyak goreng), dan bakso ikan. Bodohnya
adalah kami hanya membawa pisau satu (oke, itu 100% ketololan leader, karena aku cuman bilang pisau
hanya dibawa oleh Tita), jadi untuk memotong-motong bahan makanan harus
gantian. Alhasil jadi jauh lebih lama, dan perut pun meronta-ronta. Duh, sabar
ya nak..
Setelah itu, bahan makanan dicuci di kamar mandi, sekaligus
mengisi ulang botol kami yang mulai kosong dengan air bersih nan segar yang
mengalir dari keran. Brr, dinginnya
asli, kayak dimasukkin ke kulkas! Tak sampai 10 menit, masakan kami (tumis
tempe dan kacang panjang) akhirnya matang. Kami “gado” makanan itu langsung
(karena kami mikir, kalo masak nasi pasti lama banget, sementara kami terlalu
kelaparan untuk menunggu dan menghabiskan gas pula). Rasanya ternyata lumayan, padahal
percobaan pertama, haha. Agak creamy
karena kita pakai margarin instead of
minyak goreng.
Makan malam kedua
Makanan pun habis, kami pun terdiam. Ternyata, kami tak bisa
membohongi sanubari (dan perut) kami. MASIH LAPAR! Hahaha, yaampun, kita
rupanya terbiasa dengan porsi kuli, jadi makan lauk saja tidak cukup, wkwk.
Akhirnya, kami memasak 3 bungkus mie goreng untuk menuntaskan lapar. Bumbunya
langsung diaduk juga di nesting, jadi gak perlu cuci piring. Kami masukkan pula
beberapa butir bakso ikan sebagai tambahan lauk.
Jam 21.30, selesai sudah sesi makan-makan kami. Nesting, sendok
dan kawan-kawan langsung dicuci di kamar mandi, sekalian pipis juga. Agak challenging untuk menuju ke kamar mandi
yang letaknya ada diatas, jalannya licin men! Maklum, abis kena hujan, jadi
beberapa kali aku terpeleset dan jatuh, huhu. Seandainya saja punya sandal
gunung, pasti resiko jatuh bisa diminimalisir deh.
Setelahnya, kami duduk-duduk dan bercerita kesana kemari. Mulai
dari mbahas demam sepatu roda yang menjangkiti anak-anak usia SD, bahas
perkuliahan masing-masing, flashback
pada zaman SMP-SMA, menceritakan kisah asmara kami yang minim pengalaman
(HA-HA), sampai berdiskusi soal zaman Orde Baru menurut sudut pandang
masing-masing. Seengaknya, ada satu kesepahaman pada kami, yakni era Orde Baru
sangat tiran, kejam dan diktator, apalagi kalau membahas pembunuhan dan
penculikan orang-orang tak bersalah tanpa pengadilan, sementara sang
penjagalnya masih hidup dan berkeliaran, sedih rasanya.
Akhirnya, jam 12 malam satu persatu dari kami tidur.
Beberapa kali aku terbangun tengah malam. Bukan karena dingin
(apanya, gak dingin sama sekali, mungkin karena masuk era kemarau kali ya),
tapi aku terbangun karena tendanya terlalu pendek untuk kakiku. Gak lega
rasanya, kalau nggak selonjoran dengan leluasa. Alhasil, aku ngusrek-ngusrek (?) tenda sebelah tengah, karena yang tengah lebih panjang
beberapa senti daripada yang pinggir-pinggir (aku tidur sebelah pinggir kanan,
Tita di tengah dan Lusy di sebelah kiri).
Selamat pagi!
Aku terbangun dalam keadaan langit separuh gelap. Awalnya pas
subuh-subuh karena dengar orang di tenda belakang guyonan, apalagi pas salah
satu cowok nyanyi lagunya Bayu Skak yang berjudul “Kuburan Sama’an” wkwk.
Jam 5 pagi waktu itu. Matahari terbit di arah jam 2 dari tenda
kami. Sinarnya membuat langit berwarna kemerahan berpadu dengan cahaya keemasan
dan rona ungu di langit. Tita dan Lusy belum bangun, sampai akhirnya setengah
jam kemudian Tita bangun.
Jam 6 pagi aku dan Tita langsung masak. Lusy masih tidur waktu
itu. Tita memasang gas ke kompor, kami bersiap-siap menyalakan kompor. Tita
bagian memutar volume gas dan aku yang menyalakan api. Eh, gak taunya, volume
gas yang dihidupkan oleh Tita terlalu besar sampai apinya merembet ke gas!
PANIK! Tentunya! Walau disiram dengan air terus menerus, tapi
apinya masih hidup. Apinya berada pas di mulut gas, tidak terlalu besar, tapi
tetap berkobar. Serem. Sumpah serem. Kehebohan kami diperhatikan orang dari
tenda sebelah, kata bapak-bapaknya, langsung ditutupi saja dengan handuk atau
kain basah. Oke, pertama disini gak ada pakaian kotor yang bisa dibasahi, dan
kedua, kami terlanjur panik sampai rasanya otak kami tidak bekerja. Aku terus
menerus menyiram air sampai habis, dan untungnya... api bisa padam! Fyuuuh
lega.
Sampai beberapa menit, tidak ada yang berkata-kata di dalam tenda,
kecuali “Haduh.. haduh..” “Serem pek” atau “He medeni sumpah”. Selama itu pula
kami membiarkan kompor dan gas tetap pada posisinya, tidak menyalakannya lagi
karena masih trauma. Rasa lapar kami rasanya hilang begitu saja, tergantikan
oleh shock yang tak terkira. Namun,
Lusy, dengan berani dan kalem mencoba memasang gas ulang, lalu mendengarkan
dengan jeli suara desisan yang keluar dari gas. Jika suaranya pelan, berarti
volume gas pada kompornya kecil, jika suara desisannya kencang, berarti volume
gas pada kompornya besar.
Sarapan mie instan
Lauk tambahan
Setelah trauma berangsur hilang, kami membuka plastik logistik dan
mengeluarkan 3 bungkus mie kuah. Kami memasukkan masing-masing bumbu ke
mangkok, lalu menanti mie matang dengan sabar. Kami juga menggoreng sisa bakso
ikan, menghabiskan semua margarin untuk dijadikan minyak. Agak kesulitan
ternyata menggoreng pakai margarin, karena sisa-sisa bakso ikan menempel di
nesting. Lengket, susah dibersihkan.
Mie matang, kecerobohan kembali terulang. Aku hendak keluar dengan
membawa botol-botol untuk mengisinya dengan air di kamar mandi. Aku tidak
sengaja menendang mieku sendiri hingga kuahnya tumpah ke matras dan ujung
tenda. Hebat. Akhirnya, Tita dan Lusy mengeluarkan matrasnya
(diangin-anginkan), setelah itu kami lanjut sarapan. Lalu, ketika Tita dan Lusy
bergantian ke kamar mandi untuk cuci muka dst, aku berusaha menghilangkan aroma
mie soto yang semerbak, dengan cara mencucinya dengan sedikit air dan sabun Citra.
Tidak 100% hilang sih, tapi mendingan lah. Lalu, aku berdiri dan mengibaskan
tenda yang separuh basah secara terus-menerus, sampai akhirnya berhasil dan
kering. Yes!
Setelahnya, entah kenapa merasa ngantuk jadi tidur mulai jam 8.30
sampai 9.40. Maklum lah, makan karbohidrat memang memicu kantuk, jadi kami
beristirahat selama satu jam. Lalu,
kami bergegas merapikan tenda, membawa hp dan kamera, lalu pergi main-main ke
air terjun. Tenda ditinggalkan dalam keadaan tertutup, kami merasa gak ada
barang berharga didalamnya. Bismillah
aman!
Kami berjalan naik, melewati jalanan aspal, lalu berjalan naik
tangga untuk ke air terjunnya. Sudah bisa diprediksi jika penuh dengan lautan
manusia. Ada rombongan keluarga, sepasang kekasih, anak-anak, hingga gerombolan
anak SD usai pramuka. Kami segera mencari tempat untuk duduk dan mengamati
sekitar. Kesejukan dari udara gunung plus percikan-percikan air terasa
menyegarkan pikiran kami. Damai rasanya. Ugh..
How I wish Surabaya has a place like this. Bosan rasanya berada di kota
yang panas, padat dan sering macet, hehe. Bikin stress kalo lama-lama disana tanpa refreshing ke tempat sejuk seperti ini.
Untuk beberapa saat, yang kami lakukan hanya mengamati keadaan
sekitar dan kedamaian yang perlahan menyusup ke hati kami.
Sungai di bawah jembatan
Tak begitu lama, kami memutuskan ke tempat tersembunyi. Yap, kami menuju sungai kecil yang ada
di bawah jembatan, tak jauh dari parkiran motor. Ada jalanan setapak menuju ke
sungai. Sesampainya di sungai, kami menggulung celana hingga ke betis dan Lusy
melepas sepatunya. Brr... dingin,
tapi asyik sekali. Rasanya langsung lupa dengan segala tuntutan dan tekanan
dalam kehidupan nyata, wahaha.
Main-main air!
Wajah hepi
Disini cukup sepi, walau ada juga orang yang main air dan bahkan
pacaran diatas batu, haha. Tapi seenggaknya jauh lebih sepi dari air terjun
utama tadi. We get enough privacy here.
Meski begitu, harus cukup hati-hati karena aliran sungainya cukup deras. Salah-salah,
sandal bisa terbawa arus (kayak Tita, haha), atau gadget berharga kami terjun ke air (Alhamdulillah, untungnya
enggak).
Putri duyung
Air terjun mini
Motret aliran sungai atau motret orang pacaran?
What
we did here hanya duduk-duduk diatas batu sembari menikmati air sungai yang
dingin di kaki kami, foto-foto, ngobrol-ngobrol dan bercanda. Oh ya, karena
masih dalam pengaruh AMERTA (pengenalan Universitas Airlangga ke mahasiswa
baru), aku sempat nyanyiin Jingle Amerta beserta menarikan gerakan flashmob juga, ahaha. Abisnya, asyik sih
gerakan dan lagunya, hehe. Dibawah ini adalah salah satu gerakan Jingle Amerta
wkwk (jangan salah fokus ama orang pacaran di belakang yaaaa hehe).
Masih
dalam pengaruh AMERTA, hehe.
Sini
sini tak fotoin.
Sekitar jam 11, kami balik ke tenda. Alhamdulillah ngerasa puas
dan energi kembali terisi. Segarnya air sungai membawa kesegaran ke otak.
Apakah ini berarti kami siap menghadapi kuliah keesokan hari? Apakah kami siap
untuk belajar keras dan menaikkan indeks prestasi di semester ini? Apakah kami
sanggup menghadapi tugas-tugas dan deadline?
Itu masih misteri, HAHAHA.
Balik ke tenda
Maafkan tenda kami yang berantakan
Sebelum beres-beres tenda, kami sempat foto-fotoan (lagi) di
batang kayu yang melintang. Bagus deh view-nya.
Sayangnya, foto itu hanya ada di kamera Lusy, sementara waktu aku mintain
fotonya ternyata udah di cut ke
laptop dan laptopnya lagi gak bisa dipake.
Dalam waktu kurang dari 30 menit, kami packing ulang dan membongkar tenda. Karena tas Tita lagi kosong,
maka sebagian barang aku taruh disana (nesting,
matras dan 2 sleeping bag). Setelah
usai, kami langsung menuju parkiran dan bersiap-siap untuk pulang. Bismillah, semoga selamat sampai rumah.
Kami berkendara pulang jam 12.15, sesampainya di polsek Pandaan
jam 12:45. Kami sempat melewati beberapa tanjakan yang vertikal serta turunan
yang curam, Alhamdulillah terlintasi
dengan baik. Lalu, sesampainya di jalan raya Gempol-Surabaya, kami memaju laju
kendaraan hingga kecepatan tinggi, sekitar 70 hingga 80 km/jam. Biar cepet
sampai rumah gitu ceritanya.
Aku kehilangan jejak Tita di sekitar Museum Mpu Tantular Sidoarjo.
Asumsiku adalah dia sangat ngebut, apalagi aku dan Lusy sempat terjebak lampu
merah selama 2 menit. Bisa dipastikan Tita sudah jauh sekali, pikirku. Yaudah,
dia tahu jalan kok, jadi aku merasa baik-baik saja. Namun aku merasa cemas
karena barang-barang sewaan (nesting,
sleeping bag dan matras) ia bawa juga, dan rencananya akan ku kembalikan langsung
siang ini. Gampanglah, aku bisa menghubungi Tita lagi nanti.
Jam 14:30-an, aku sampai di rumah. Tadi sempet gantian nyetir ama
Lusy pas di depan Pasar Wonokromo. Gak sanggup nyetir lagi haha, mana cuaca
panas dan jalanan macet pula. Bikin pingin cepet-cepet tiduran di kasur, wkwk.
*NOTE* beberapa gambar diatas memiliki
resolusi yang rendah dan kualitas yang buruk. Maafkan, karena itu diambil dari
screenshot video, bukan jepretan biasa.
THANK YOU TITA DAN LUSY ATAS 2 HARI YANG MENYENANGKAN!
LOVE YA GURLS!!!
fotoku kok mirip bapak2 lagi narik ojek seh WKWK!
BalasHapusGak cak, koyok emak-emak sing nyusul anake nang sekolah, wkwk
HapusHadeeww senengnya ingat aku dulu suka camping. Tapi aku belum pernah ngecamp di Dlundung
BalasHapusHehehe iya coba aja camp di Dlundung. Areanya luas, dingin, toiletnya juga bersih dan airnya segar :)
HapusPlus, kalo males masak, tinggal keluar aja beli makanan hahaha
Mbak kontaknyaa JB adventure ada ga? Saya mau coba sewa disana terimakasih :)))
BalasHapusMbak boleh minta kontaknyaa jb aadventure? Sayaa jadi pengen nyewa disana kalo murah😁
BalasHapuskalo sampe sana pagian bgt gt, bisa gak ya,,,?
BalasHapus