Nama pengarang: Ngarto Februana
Tahun terbit:
2002
Judul buku:
Tapol
Kota terbit:
Yogyakarta
Penerbit:
Media Pressindo
Jumlah halaman:
176 hlm
Sinopsis: Djon adalah seorang pemulung di Yogyakarta, hidup sendirian di
tengah belantara warga kota yang tak berpihak pada kaum marjinal sepertinya. Pekerjaan
sehari-harinya selain mengambil barang-barang bekas tak terpakai atau
mengorek-orek sampah lalu dijual ke penadah untuk mengganjal perut yang lapar, ialah
bersembunyi. Ya, aparat, entah tentara maupun satpol PP, adalah musuhnya. Di
mata mereka, pengemis dan gelandangan adalah sampah masyarakat, tak berguna dan
patut dicurigai, lalu diangkut beramai-ramai ke dinas sosial untuk diberikan
pengarahan, dan kalau apes, disiksa habis-habisan.
Sementara Mirah adalah gadis yang berkuliah
di UGM, tengah menjalani semester akhir, yang seringkali dihantui oleh perasaan
gelisah tak tentu arah. Ingatan masa kecilnya sering kali muncul ke permukaan,
kerinduan akan bapaknya yang hilang pun tak tertahankan. Mirah selalu penasaran
mengenai bapaknya, dan ketika ia bertanya ke ibunya, jawabannya selalu tak
pernah memuaskan. Ibunya, Lastri, hanya bercerita jika bapaknya telah mati,
dibunuh, dan mayatnya dibuang ke laut. Selebihnya, informasi lain mengenai
bapak akan disimpan Lastri rapat-rapat.
Namun, ada hal lain dari Mirah yang
membuatnya berbeda dari gadis kebanyakan. Ia memiliki rasa penasaran tinggi,
jiwa yang pemberontak serta keinginan besar untuk memperjuangkan nasib
bangsanya yang tak tentu arah. Tentu saja, siapapun tahu jika hidup di era Orde
Baru, kebebasan merupakan barang mahal dan represi akan banyak hal merupakan
santapan sehari-hari. Mirah geram dengan kondisi negaranya yang serba stagnan,
bahkan memburuk. Harga-harga barang pokok mahal, rakyat miskin ditindas dan
diabaikan, arena perpolitikan menjadi panggung untuk menyajikan sandiwara penuh
kebusukan, kepalsuan dan kebobrokan, berkumpul dan berdiskusi dilarang, rekan-rekan
penggiat demokrasi ditahan tanpa pengadilan, aparat dan militer berbuat
sewenang-wenang bak Tuhan, bahkan orang-orang sering menghilang lalu tiba-tiba
ditemukan telah meregang nyawa begitu saja.
Sebagai mahasiswa, lebih-lebih sebagai orang
yang peduli akan kemana nasib bangsa ini berlayar, Mirah merasa sudah menjadi
kewajibannya untuk membantu sekuat tenaganya. Jalan yang ia tempuh cukup
berbahaya pada era itu, seperti berdiskusi masalah Marxisme-Leninisme, menganut
paham Komunisme, mengkritik pemerintah, berdemonstrasi menuntut keadilan,
mengadvokasi rakyat yang diperlakukan semena-mena, dan salah bertindak sedikit
akan membuatnya ditangkap dan diperlakukan buruk oleh intel milik pemerintah
Orde Baru, suatu kegiatan yang akan membahayakan nyawanya, serta mengancam
keluarganya.
Namun, berbagai hal mulai terjadi,
seperti ketidaksetujuan Lastri, ibunda Mirah, akan kegiatannya yang dapat
mengancam keselamatannya sendiri, serta rasa traumatis dalam diri Lastri akan
kenangan lampau yang berkaitan dengan komunisme. Lastri sadar bahwa perpolitikan
di era Orde Baru sangat kejam, dan akan melibas habis siapapun yang menganut
paham komunisme, bahkan tidak peduli bila mereka salah tangkap orang yang bukan
penganut komunis sekalipun. Lastri pun menceritakan kisah sebenarnya kepada
Mirah dan Hernowo, adiknya. Bahwa bapak mereka dahulunya adalah korban
kekejaman perpolitikan, yang karena suatu hal, membuatnya ditangkap,
diasingkan, lalu dibunuh. Pergulatan mulai terjadi, Mirah semakin geram dengan
Soeharto dan rezim Orde Baru, namun di sisi lain ia juga harus mempertimbangkan
keselamatan dirinya dan keluarganya.
Lantas, apa yang akan terjadi kemudian?
Apakah Mirah tetap bersikeras dengan idealismenya? Bagaimana dengan
cita-citanya untuk memperjuangkan nasib bangsa? Apakah masyarakat tanpa kelas
memang benar-benar jalan keluar untuk mengatasi problematika pelik di
negerinya? Lalu, siapakah pemulung yang terus-menerus menguntitnya saat tengah
berunjuk rasa? Siapakah Djon dan bagaimanakah asal-usul ia sebenarnya?
Kritik dan
pendapat saya: luar biasa. Novel dengan
penuturan sederhana namun dapat memberikan gambaran yang cukup atas kondisi
Indonesia di masa silam, pada era Orba. Bukan seperti buku Sejarah kita yang
direkayasa pemerintah (ingat, sejarah ditulis oleh pemenang), Ngarto memberikan
gambaran gamblang mengenai fakta-fakta yang real,
perih namun jujur adanya. Ia juga mampu menjelaskan dengan mudah mengenai hal
yang melatarbelakangi insiden 30 September 1965 dahulu, mengenai penculikan
Jenderal “oleh PKI” lalu militer dendam kesumat dan melayangkan ultimatum bahwa
komunis harus ditumpas hingga ke akar-akarnya. Orang-orang hilang, diculik,
dibunuh, bahkan mayatnya tak pernah ditemukan. Bukan hanya PKI dan penganut
komunis yang jadi korban, melainkan keluarganya, serta korban-korban salah
tangkap yang bukan komunis sekalipun. Sebetulnya semua itu adalah permainan
politik tingkat tinggi, di kalangan elit, terlebih terjadi konflik internal di
kalangan TNI AD sendiri.
Tapi intinya, bisa ditangkap, bahwa
Soeharto menginginkan kekuasaan. Menginginkan posisi Presiden berpindah dari
Soekarno ke pundaknya. Cara-cara licik pun ditempuh. Bekerjasama dengan pihak
luar (kalangan negara liberal dan kapitalis), dengan pembagian jatah yang
saling menguntungkan. Soeharto dapat menjadi presiden, menggulingkan Soekarno,
mendapatkan penghormatan dan kekayaan melimpah, namun dengan syarat negara
kapitalis boleh mencengkram dan menguasai sumber daya alam di Indonesia, membuka
keran atas kerjasama pihak asing dengan kontrak hingga puluhan tahun. Berbeda
sekali dengan Soekarno yang amat anti asing (terlebih Amerika), dan memilih
untuk berdiri diatas kakinya sendiri, walaupun terseok-seok. Selain itu,
penggulingan Soekarno juga karena Soekarno memihak ke blok komunis (Rusia dan
China), yang sangat membuat Amerika dan sekutunya berang (karena kapitalnya
tidak dapat berinvestasi dan mengeruk SDA di Indonesia, juga karena perang
ideologi atas Blok Barat dan Blok Timur).
Ya, memang harus kita akui bahwa
negeri ini pernah punya sejarah yang amat kelam. Pembantaian ratusan ribu
bahkan jutaan manusia, digorok begitu saja, diculik, dihilangkan dan dibunuh
paksa, tanpa pengadilan dan sebagian mayatnya tak pernah ditemukan. Anak-anak
kehilangan bapaknya, istri kehilangan suaminya, dan keluarga mereka kehilangan
masa depannya. Namun semuanya tertutupi oleh Sejarah yang ditulis oleh
pemerintah, yang membelokkan pikiran siapapun yang menelan mentah-mentah
informasi yang ada. Maka, tidak heran kan, kalau kita sering menemui
orang-orang yang berkomentar di sosial media bahwa zaman Soeharto itu “lebih
enak”? Tak tahukah mereka bila diperdaya? Atau hanya segolongan orang-orang
malas membaca dan mengkaji ulang informasi, apatis akan kebenaran sejati? Atau
mereka berasal dari kalangan yang diuntungkan oleh rezim Orba?
Entahlah.
Yang jelas, kemalasan berpikir dapat
menjadi bumerang bagi siapa saja.
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)