Sengaja aku bikin artikel
khusus ini terpisah dengan artikel kuliner. Sebab, pertemuan kami lebih dari
sekedar kulineran. Tiga jam itu, mulai dari jam 2 siang sampai jam 5 sore, ada
banyak sekali hal yang kami bicarakan. Sampai nggak kerasa kalau waktu hampir
beranjak petang. Menyenangkan, ya, sampai waktu terlewat begitu cepat?
Juli 2014 |
Jadi singkatnya, aku dan
mas Yahya ketemuan di cafe. Setelah berbulan-bulan nggak ketemu, terakhir
kali sih sekitar bulan Juli tahun 2016 (am
I right?). Sebenernya, aku dan mas Yahya bukan teman yang benar-benar kenal
dari awal. Pertemanan kami terjalin sejak ia diundang makan-makan oleh Zahwa,
sepupuku, 25 Juli 2014 lalu. Zahwa mengaku kalau Yahya cukup dekat dengannya
saat SMA. Mereka berdua sama-sama di kelas 12 IPS, dan sama-sama berstatus
sebagai siswa pindahan dari sekolah lain. 25 Juli 2014 itu-lah aku tau kalau
mas Yahya juga kuliah di Universitas Airlangga, sama denganku yang saat itu
lagi bahagia karena baru diterima SBMPTN di Unair.
Lamaaaa berselang. Sampai
akhirnya aku menceburkan diri di UKM Pecinta Alam Unair, atau lebih dikenal
dengan Wanala Unair. Sebagai peserta Diklatsar XXXVII, aku cuma dua bulan
disana. Mulai akhir Oktober sampai Desember 2014. Ya, sebut saja aku lemah,
payah dan pengecut karena nggak tahan dengan penderitaan fisik di Wanala. Sedih
banget. Padahal, memakai jaket oren kebanggaan dan mengibarkan bendera Wanala
di puncak gunung adalah impianku sejak lama. Apalagi, teman-teman Diklatsar
XXXVII sangaaaat baikk kepadaku. Mereka benar-benar bahu-membahu untuk saling
menolong dan menguatkan. Apalagi saat materi kelas, saat kena hukuman seri,
saat binjas. Duh! Panjang ceritanya. Pokoknya, anak-anak Diklatsar XXXVII
menyimpan memori indah di hatiku. Kini, mimpi-mimpi itu harus kupendam
dalam-dalam di tanah. Melupakan bahwa dulu pernah ada.
Nah, di Wanala, nggak
disangka ada mas Yahya disana. Dia sempat nge-binjasin aku beberapa kali. Dan
sikapnya super dingin ke aku! Kayak nggak kenal sama sekali. Hahahaa. Padahal,
jelas-jelas dia kenal aku. Tapi aku tau, sikapnya itu suatu bentuk
profesionalitas yang memang harus dijaga. Jadi, biarlah. Lalu, aku juga
beberapa kali ketemu dia di Student Center (SC). Statusku? Oh, aku sudah jadi
anggota UKM Fotografi (APS Unair) dong! Menemukan pelampiasan di tempat lain. Nggak
sedih lagi dan sudah move on dari
Wanala, wkwk.
Kemudian, lamaaaa berselang sampai kami
bertemu secara nggak sengaja di depan cafe,
di dekat Grand City, Juli 2016. Itu sudah pernah ku ceritakan di postingan
blogku, baca aja DISINI. Dan sampai ia
nge-follow aku di Instagram, nge-like foto, ngomentari foto dan Insta
Story-ku. Disaat itulah, pertemanan kami kembali terjalin. Aku pun senang bisa
akrab dengan dia secara personal.
Baiklah, kembali lagi ke
hari Minggu (30/4). Janjian untuk ketemu Minggu siang jam 2. Tapi, aku agak
telat, baru datang jam 14.15, hehe. Maklum, ada haul akbar di pesantren dekat rumah, jadi jalanan macet
dimana-mana. Dia sudah duduk di sofa lantai 2 dan melontarkan kalimat
pertamanya, “Tak pikir kamu datang lebih
dulu, Nen.”
Sembari mengucapkan maaf,
aku menaruh tas dan duduk di sebelahnya. Lalu, kami memesan menu. Sembari
menunggu pesanan, kami ngobrol-ngobrol. Banyak hal yang ia ceritakan dengan
antusias, seperti kisahnya mendaki Gunung Sumbing, tahun lalu. Betapa ia struggle naik Gn. Sumbing disaat kondisi
fisik temannya lagi lemah, sampai perjuangannya untuk meminjam tenda dari
seseorang yang tidak ia kenal sama sekali. Atau saat ia di Gunung Kelud, dan
merasa takjub dengan keindahan kawahnya dan ingin kesana lagi. Atau saat ia
naik ke Semeru dan merasa fisiknya drop, sampai ia tertidur di jalur pasir
Semeru, jam 3 subuh! Can you imagine that?
Kisah-kisah petualangannya
menarik untuk didengar. Ia juga menceritakan 10 harinya di Gunung Argopuro,
dengan misi membuka jalur dan menemukan danau baru (bukan danau Taman Hidup). Banyak
sekali gunung yang telah ia daki, membuatku merasa tidak ada apa-apanya. Seru,
sumpah. Jadi pingin, tapi apa daya? Cuma bisa mendengarkan aja wkwk.
“Kita lho sebenernya
ngerasa eman (sayang) kalau kamu
keluar,” ucapnya suatu waktu.
“Hah, sumpah mas?” aku
seperti salah dengar. Ada lebah yang memasuki telingaku, kah? Lalu ia menceritakan
bahwa seseorang di Wanala (sengaja nggak sebut nama), pernah bilang kalau,
“Seandainya Nena masuk, pasti Wanala lebih dikenal dimana-mana. Kan dia
penulis.”
Like, seriously?
Tanpa aku pun, Wanala juga
sudah dikenal oleh banyak orang. Sudah 40 tahun lebih berdiri dan punya ribuan
alumni. Misi-misinya yang mendebarkan, ekspedisinya di puncak-puncak tertinggi
dunia. Bahkan, habis ini mau ke Denali, AS. Ah, bahkan disebut sebagai
mantan-calon anggotanya pun, aku merasa tak pantas. Aku yang payah, mudah
menyerah dan egois ini? Rasanya tidak yakin.
Lalu ia juga bertanya soal
pekerjaanku sebagai reporter di
Zetizen Jawa Pos. “Enak ya, yang sudah punya pekerjaan tetap,” ucapnya. Aku pun
bersyukur. Jalan yang ku tempuh hingga menjadi seorang reporter di Zetizen pun sangat berliku. Bahkan, aku hampir nggak
diterima, lho! Di tahap awal seleksi berkas pula. Belum tau kan? Nanti bakal ku
bikin tulisan tersendiri tentang Zetizen, hahaha.
Mas Yahya pun kemudian
bercerita tentang dirinya sendiri. Tentang skripsi di depan mata dan
kebingungan yang melanda dirinya. I know
how it feels. Aku kena Bab 1 aja udah nggak karu-karuan hidupku, apalagi
skripsi? Haha.
30 April 2017 |
Banyak sekali yang ia
ceritakan disini, hanya saja, ia tidak ingin hal-hal personal itu dibuka ke publik.
Jadi, aku hanya meng-highlight soal
pembicaraan tentang gunung dan Wanala. Oh ya, dia juga cerita tentang KKN-nya,
semester lalu. Ia menjadi ketua KKN dan tahukah kamu ia ditempatkan dimana?
WONOKROMO! “Huh, padahal kan aku seneng jalan-jalan, ku pikir bakal keluar
kota. Ternyata... di Surabaya,” ucapnya dengan sebal. “Jadi, nggak terlalu
berkesan. Berangkat pagi, pulang sore. Macet-macetan di jalan.” lanjutnya lagi.
Ia juga bercerita tentang
masa-masa SMA-nya di sekolah yang terancam bangkrut. Ketika murid barunya
tinggal 10 orang, saat kelas 12 pun ia pindah ke SMA Muhammadiyah 1 Surabaya,
sekolah yang sama denganku. Ia pun berteman akrab dengan saudaraku, Zahwa. Ia
mengatakan, “Aku kenal jalanan Surabaya ya sama dia. Dulu, bahkan menuju ke THR
(Jl. Kusuma Bangsa) aja nyasar!” ucapnya dengan tertawa. Wah, itu mah kelewatan
wkwk.
Selain itu, aku juga
menceritakan tentang Angga, sobatku dari Jogja. Aku menceritakan kalau Angga
adalah lulusan SMK jurusan Boga, dan dijamin 100% bakal masakin kita semua di
gunung, wkwk. Angga pun bukan seorang amatir di gunung. Ia sudah 4 kali
mendaki, di Lawu, Merbabu, Merapi dan Ngelanggeran. Rencananya, kami bertiga
(aku, Angga, mas Yahya) bakal ke Gunung Prau, September nanti. SEMOGA
TERLAKSANA!!! Ini menjadi ajang pertemuan perdanaku dengan Angga, karena sejak
bertahun-tahun berteman, kami hanya mengobrol via sosial media! I wanna know him in reality! Hehehe. Tapi,
jujur saja aku ngerasa cemas. Takutnya, aku nggak dapat izin kerja. Angga yang
sekarang punya pekerjaan baru, juga dikhawatirkan bakal dipersulit saat cuti.
Ini membuatku was-was setengah mati. Kini kami hanya berharap ridho Allah, semoga bisa dipertemukan di
Gunung Prau, September nanti....
Jam 5 sore, kami bergegas
pulang. Aku ada tanggungan untuk me-laundry
pakaian pinjaman pemotretan kemarin, dan mas Yahya sendiri ada janji dengan
temannya. Kami berpencar ke arah yang berbeda, sore itu.
Tiga jam yang menyenangkan.
Terima kasih :)
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)