Menggeleng,
ku hapuskan pikiran sia-sia itu. Mengalihkan tatapan pada langit-langit
ruangan. Tak ada noda sejauh mata memandang. Ku larikan jauh-jauh perasaan,
karena ku tak ingin lagi terluka.
Namun,
sekuat apapun aku berusaha, egoku runtuh juga.
***
Tidak banyak
memori yang telah kami ukir bersama. Kami hanyalah individu-individu yang
kebetulan dipertemukan pada ruang dan waktu yang sama. Dua orang yang berada di
akhir usia dua puluh, dengan ambisi dan impiannya masing-masing. Manusia yang
menjalani ritme kehidupan yang sama seperti jutaan orang dewasa lainnya.
Kami sering
bertemu, hampir tujuh hari dalam seminggu. Namun, dinding-dinding yang kami
bangun terlalu tinggi untuk dipanjat. Melebihi menara Eiffel, melampaui Tokyo
Tower, bahkan Burj Khalifa. Sebentar lagi, sekat yang memisahkan kami akan
menyaingi Everest, dan berhenti di atmosfer. Ruang hampa udara.
Sembari
merutuki diri, ku teguk kembali cairan bening dalam gelas kaca kecil. Warnanya
kuning keemasan, berbau pekat seperti wewangian. Barley, gandum dan biji-bijian adalah bahan dasarnya, yang
difermentasikan dalam jangka waktu tertentu untuk memunculkan citarasa mewah. Perlahan-lahan,
rasa getir melapisi rongga mulutku. Hangat. Cairan itu mengalir bak lahar dalam
tenggorokanku.
“Yang mana
sih dia?” ujar Emil kepadaku. Ku letakkan gelas kaca itu di atas meja, lalu
membuka Instagram dan menunjukkan sebuah foto kepadanya.
“Oh yang
kayak gini seleramu?” goda Emil. Aku tersenyum, getir. Segetir whiskey yang baru saja ku teguk. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari dua
orang yang saling tak menyapa, gumamku dalam hati. Rupanya, seulas senyum
palsu itu dibaca Emil. Laki-laki metroseksual itu kembali menuangkan Johnny
Walker ke gelasku, lalu menuangkan ke gelasnya sendiri. “Udah, jangan terlalu
dipikirin.”
“Aku gak
bisa membohongi perasaanku, Mil.” kata-kata itu meluncur begitu saja dari
bibirku. Sepertinya, pengaruh alkohol baru bekerja pada gelas yang ketiga.
Emil pasang
telinga. Seperti biasa, ia selalu siap sedia mendengarkan muntahan-muntahan
yang terlontar dari mulutku. Tentang kami yang tak saling sapa. Tentang
kecanggungan yang melanda tiap kali bola mata kami bertemu. Tentang rasa pahit
yang harus ku telan sendiri ketika melihatnya bersama gadis lain. Tentang
perasaan menggebu yang hanya bisa ku simpan dalam-dalam di dasar hatiku.
“Mmm... Dia
sudah punya, nggak?”
Aku
mengendikkan bahu. “Kurang tahu. Tapi, dia punya segalanya untuk memikat
wanita. Seolah dia bisa memilih siapapun yang ia mau. Dan tentu saja, aku tidak
termasuk dalam radarnya,” ujarku, sembari tertawa sumbang. Tawa itu begitu
kering, serak dan menyedihkan.
“Kau tidak
pernah sesedih ini,” ujar Emil.
“Ya, aku dan
kesengsaraan memang telah berteman akrab sejak lama. Ia menggelayuti langkahku
tiap waktu. Tak memberiku kesempatan sedikit pun untuk berbahagia dalam hal
asmara,” keluhku, lagi dan lagi.
“Jangan
bilang begitu,” Emil mengusap-usap pundakku. Ia mengangkat gelasnya
tinggi-tinggi. Cairan kuning itu terombang-ambing dalam wadah kaca, sedikit
luberan tumpah ke meja.
Mau tak mau,
aku mengambil gelasku sendiri. Lalu menghabiskan beberapa teguk sekaligus,
seperti musafir yang mengembara di padang gurun luas dan menemukan mata air
segar. Tak peduli pahit dan rasa panas yang membakar, perlahan-lahan Johnny
Walker itu lenyap di balik tenggorokan. Di sisa waktu malam, ku habiskan semuanya
dalam teguk demi teguk kemaksiatan.
***
Pening menguasai ketika hari telah
beranjak pagi. Oh, ralat, aku salah. Sudah pukul 4 sore rupanya. Untungnya, ini
hari libur. Persetan dengan segala tetek bengek urusan pekerjaan, setidaknya
sampai dua hari ke depan.
Butuh waktu lebih dari 10 menit
untuk membuatku duduk di tepi ranjang. Johnny
Walker sialan! umpatku dalam hati. Aku mengingat-ingat berapa gelas yang
telah ku habiskan kemarin, tapi sekeras apapun berusaha, aku tetap gagal. Yang
ku ingat, aku dan Emil membeli sebotol besar kemarin, 750 ml, dan membaginya
berdua. Dengan sempoyongan, ku gerakkan kaki, tertatih-tatih melangkah seorang
diri. Tanganku menggapai-gapai untuk mencari pegangan. Tubuhku bergerak menuju
arah kulkas, berharap susu cair plain
dalam box karton masih tersisa.
Setidaknya, dapat meredakan sedikit pening di kepala.
Gotcha!
Ternyata susu itu masih sisa setengah. Dengan tergesa-gesa, ku gelontorkan
cairan berwarna putih itu ke mulutku. Seulas rasa manis menyentuh lidah dan
sensasi dingin menggelitik tenggorokan. Dan dalam hitungan detik, semuanya
habis tak bersisa.
Semalam, maksudku tadi pagi, Emil
mengantarku pulang jam tiga. Aku tak ingat detailnya, tapi ku ingat mulutku
meracau-racau tak karuan, sembari kepalaku tergolek lemah ke pundaknya. Sekalipun
dikenal brengsek, Emil tak akan pernah tega membiarkan temannya membusuk di bar
sendirian dalam kondisi mabuk berat. Kadang, aku diinapkan di apartment-nya –yang jauh lebih luas dan
mewah dibanding milikku, tapi tidak hari ini. Entah mengapa, mungkin Fio,
pacarnya, sedang bermalam disana.
Bermenit-menit termangu di depan
kulkas, aku mulai bertanya-tanya mengapa aku bertindak bodoh semalam. Sifat self destructive-ku memang kerap muncul saat
merasa stress, tapi tidak pernah hingga semabuk ini. Aku mulai membenci diriku
sendiri, pantulan menyedihkan yang tergambar di kaca dapur. Lihatlah. Rambut
awut-awutan, lingkar hitam di sekitar mata, tatapan yang tak bergairah. Ini aku? Meratapi laki-laki bukan hal
yang biasa kulakukan. Betapa menjijikkannya.
Aku punya dua hari untuk membuat
otakku waras kembali. Sebelum nanti bertemu dengannya lagi, di kantor, seperti
biasa. Sebelum hatiku kembali porak-poranda. Tapi, menyusun strategi itu nanti.
Mataku mendadak berat. Bergumul (lagi) bersama selimut, sepertinya
menyenangkan.
Credit picture: Favim.com
Credit picture: Favim.com
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)