Into the everblack from where
there’s no coming back
–The Black Dahlia Murder
Jika
dirunut, tujuan kita hidup sebenarnya sudah sangat jelas. Sejernih air di permukaan
danau pada pagi, seterang angkasa raya kala siang. Alur yang sama, tak pernah
berubah sejak manusia pertama tercipta. Kronologis yang sama, tanpa bisa
melawan dan kita hanyut bagaikan dedaunan layu yang terbawa oleh arus deras.
Kita
dulunya pernah lemah. Benih-benih mani hasil ejakulasi yang bisa mati dalam hitungan
menit. Sel telur yang runtuh, meluruh berwujud darah dan berbau seamis ikan. Kau
pernah berwujud seperti itu, dulu. Tapi nyatanya, keduanya bertemu. Ribuan
sel-sel bekerja keras menyusun komposisi tubuh. Minggu ini, kau hanya
segumpalan darah. Bulan depan, jantungmu tercipta. Trimester selanjutnya,
organ-organmu mulai menyelaras sempurna. Dan datanglah hari itu: kelahiranmu.
Selamat
datang ke dunia, tempat dimana orang saling menyikut untuk bertahan hidup. Kau
akan dikhianati. Kau akan dikecewakan. Kau akan terpuruk. Kau akan merasakan
pahit dan duka, yang harus kau telan sendiri. Bukan berarti tidak ada bahagia
yang nantinya kau rasa, hanya saja kebahagiaan begitu semu. Tak pernah
benar-benar menetap. Sementara, kematian menunggumu dimana saja. Ia bisa datang
dalam wujud apa saja. Kala kau dengan cueknya menerobos palang perlintasan
kereta api, merasa tergesa akan sesuatu, dan –begitu cepat, tahu-tahu kau sudah
tersambar, terseret puluhan meter jauhnya. Wajah rupawan yang kau banggakan,
tercincang-cincang, berlumuran darah segar. Potongan kakimu terlempar ke
rerumputan, tulang-tulangmu mencuat ke permukaan. Kau mungkin menyesal. Kau
ingin mundurkan waktu, mengundurkan niat untuk bertindak serampangan. Kau
bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal pada orang-orang yang kau
sayang.
Pernahkah
kau terpikir, betapa muaknya hidup seperti ini? Aku memikirkannya sepanjang
waktu. Kau bisa menebak, apa yang hendak kau lakukan dengan jatah umur yang kau
miliki. Betapa membosankan. Enam tahun pertama, kau boleh bersenang-senang.
Berlari-larian di taman, bersenandung tanpa beban. Tahu-tahu, kau sudah berdiri
di depan bangunan, dengan seragam, sepatu dan tas yang menggelayut di badan. Satu-satunya
yang kau takuti hanya PR Matematika. Atau amukan Papa-Mama, melarangmu untuk
bermain lewat dari senja. Waktu kembali bergulir, kewajibanmu untuk sekolah
tuntas sudah. Kini, kebutuhanmu semakin tinggi. Tak sekedar untuk mengganjal
perut, namun juga mengganjal gengsi. Membeli barang-barang ‘tuk tunjukan
statusmu yang tinggi. Berangkatlah kau mencari kerja, dan bersyukur ketika
telah memperolehnya. Kau akan menukar segalanya: waktu, tenaga, keringat, darah
dan air mata, untuk lembaran-lembaran uang. Bak tiket yang kau tukar dengan
kesenangan di taman hiburan.
Dan
tanpa sadar, kau telah berada di penghujung usia.
Namun,
kematian bisa terjadi tanpa menunggu tua. Kau sadar, kan? Betapa mengerikannya
melihat korban kecelakaan, bencana alam atau penyakit ganas? Atau orang-orang
yang tercabut nyawanya tanpa peringatan? Dalam tidur, mereka mati. Dalam tawa,
jantung mereka terhenti. Tanpa berbuat apa-apa pun, maut akan tetap menanti. Mengincar,
menatap, menelanjangi, bak hyena
berburu rusa di padang savannah. Kau
berharap, itu tak pernah terjadi. Namun, kau salah. Seluruh kebahagiaanmu akan
lenyap ketika kau dikebumikan dalam tanah. Lantas,
apa gunanya kita hidup, apabila hanya untuk menunggu mati?
Surabaya,
25 Mei 2017, dini hari
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)