This love
was out of control
Tell me where did
it go?
–Pierce The
Veil
Seminggu
terakhir, aku terbangun jauh lebih lambat dari alarm yang ku pasang. Tapi, khusus hari ini, aku bisa kembali terbangun
tepat waktu. Sebenarnya, aku masih ingin berkubang di dalam kesenyapan,
menghabiskan hari bergelung di ranjang dan mendengarkan lagu cengeng hingga
petang menjelang. Namun, hari ini aku sudah berjanji pada Robbin, staf HRD, untuk masuk. Satu hari lagi ku
habiskan tanpa keterangan, maka SP1 akan dilayangkan. Aku tidak mau membuang waktu
untuk mencari pekerjaan baru di tengah usia 27 seperti ini.
Dengan malas, kusibakkan tirai.
Langit masih berwarna kebiruan, larik-larik jingga menghias ufuk timur. Alam
masih menampakkan keindahannya, rupanya. Ku kira, tak ada lagi yang bersahabat
denganku. Kondisi luar kamar apartemen rupanya berbeda jauh dengan di dalam.
Jangan tanya kenapa tumpukan box pizza
belum dibuang, bungkus saus berceceran maupun pakaian tergeletak di seluruh ruangan.
Dalam kondisi kejiwaan yang normal, aku tak betah membiarkan debu sedikitpun
bersarang di kamar. Tapi, sungguh berbeda dengan yang terjadi selama seminggu
terakhir.
Menghela napas, kurasa memang ini saatnya bangkit dari
keterpurukan. Kakiku melangkah dengan senyap ke arah lemari dan kembali dengan trashbag di tangan. Saatnya membereskan
kekacauan. Ku punguti semua yang berserakan –bungkus makanan, box pizza, plastik, tissue, daun selada layu, french
fries berjamur, lalu memasukkannya ke dalam kantung plastik besar berwarna
hitam itu. Mengumpat, betapa joroknya aku selama ini. Setelah usai, trashbag ku ikat kencang dan kuletakkan
di sudut ruangan. Biarlah kupinta cleaning
service untuk mengambilnya nanti. Tak lupa, meletakkan pakaian-pakaian
kotor ke dalam keranjang plastik dan membawanya sore ini ke tempat laundry.
Tak lama kemudian, aku telah berada di balik tirai kamar mandi. Hanya
ada dua puluh menit tersisa, lalu segera bergegas ke kantor. Jalanan pasti akan sangat macet pagi ini,
gumamku sembari menikmati guyuran shower
dingin.
***
Sisa hari itu berjalan biasa saja. Kecuali, sesi interogasi dengan
Bu Mira, manager HRD tempatku
bekerja. Ia memang telah mendapatkan laporan dari Robbin perihal izin yang
kuajukan selama lima hari –dan dua hari weekend,
tapi itu tentu tak masuk hitungan, namun ia ingin mendengarnya sendiri dari
mulutku. Dengan berhati-hati, kususun kalimat agar Bu Mira percaya. Syukurlah,
berkat repurtasiku sebagai best employee,
perempuan empat puluh tiga tahun itu percaya. Padahal, sebagian kalimat yang
kulontarkan merupakan karangan belaka.
Aku mengecek jam yang melingkari pergelangan tangan. Pukul 17.02. Aneh,
magnet yang biasa menyeretku untuk cepat-cepat pulang ke apartemen mendadak
lenyap tak bersisa. Alih-alih, aku malah terpaku di rooftop gedung kantor, 59 meter dari permukaan aspal yang dipenuhi
oleh kendaraan. Kulepaskan jas dan kusampirkan di bahu, sementara tanganku
menggenggam erat pagar pembatas setinggi dada. Teduh, langit nampak bersahaja
dengan rona jingga dan angin lembut membelai wajah.
Ada alasan mengapa aku bersikap aneh
selama seminggu terakhir. Menjadi sosok yang pelamun, linglung dan tanpa gairah
hidup. Bahkan, sempat terbersit pikiran untuk mengakhiri hidup waktu itu. Menyilet
leher, membiarkan darah segar mengucur deras di lantai kamar mandi rasanya
lebih melegakan, dibanding merasakan luka itu kembali. Luka yang tak pernah
diduga akan tiba. Luka yang mengacaukan segalanya. Luka yang mungkin tak akan
pernah sembuh. Luka yang disebabkan oleh gadis yang kusayangi.
Nindita.
Nama yang tak ingin kusebut lagi.
Namun, sekeras apapun aku berusaha, nama
itu adalah satu-satunya nama yang menyesaki pikiranku selama dua setengah tahun
terakhir. Nama yang memberikan secercah harapan bagiku, laki-laki yang lebih
tua lima tahun darinya. Memori indah itu kembali bergulir, membuat bibirku
tersenyum sendiri. Ratusan hari telah ku lalui dengannya. Nindita yang manis.
Nindita yang kalem. Nindita yang innocent.
Nindita yang selalu membuatku bahagia.
Dan Nindita pula yang membuatku
terpuruk sedemikian dalamnya...
Credit pictures: Premium Fenster
Credit pictures: Premium Fenster
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)