12
Mei 2017 – 00.20
Aku
terbangun dengan perasaan rindu.
Gelisah, tanganku terjulur,
menggapai-gapai dalam gelap. Lampu kamarku memang telah padam sejak pukul 23.00
tadi. Menemukan benda persegi panjang, yang ketika ditekan memunculkan cahaya
menyilaukan. Tiba-tiba aku sudah mendarat di profilnya. Tertera nama dan foto,
serta pilihan untuk menelepon, membuka obrolan atau video call. Mengabaikan semua itu, jariku menyentuh foto profilnya.
Terdiam. Hanya menatap hal yang sama, selama bermenit-menit lamanya. Yang
berteriak lantang hanya lamunanku, bibirku tetap terkunci. Pun, tak ku miliki
keberanian untuk menyapa terlebih dahulu. Pecundang!
bisikku dalam hati.
Hening. Sekian puluh tahun
rasanya terlewat. Seperti time travel,
pikiranku kembali saat menjumpainya beberapa bulan yang lalu. Saat ku pertama
kali mengenalnya. Tapi, belum tumbuh rasa sukaku padanya, tunasnya pun tidak.
Masih menabur benih di ladang, ku rasa. Rupanya, alam bawah sadarku berkata
lain: ia berbeda. Dan, ya. Aku menyukainya.
Kamu.
Laki-laki yang menarik,
sungguh.
12
Mei 2017 – 00.51
Untuk menyebutnya sebagai
yang terakhir, aku tidak yakin. Memangnya, aku cenayang? Dari mana aku tahu?
Urusan itu sungguh gelap. Benar-benar tiada cahaya, hingga pupil mata ku paksa
untuk mengejan, lalu pecah. Detik ini, secara resmi aku buta. Biarlah, toh sama
saja, tidak bisa melihat cahaya walau sekecil kuman sekalipun.
Tak bisa ku pungkiri,
setegar apapun ku tunjukkan, ada kegelisahan membayang. Beberapa temanku sudah
menikah, bahkan sebelum mereka beranjak dua puluh. Ada yang belum genap dua
puluh dua, tapi telah memiliki dua orang bocah di rumahnya. Beberapa telah
menjalin hubungan spesial selama bertahun-tahun, dan ada indikasi kuat bahwa
mereka akan berlanjut ke jenjang lebih tinggi. Beberapa baru menjalin kasih
dengan orang yang benar-benar baru. Sisanya? Adalah pecundang-pecundang
sepertiku, yang tak memiliki apa-apa untuk dijual.
Kami berdiri di pojokan,
dengan penerangan seadanya dan kabut melapisi wajah. Menyaksikan drama
kehidupan berganti, tanpa tahu kapan giliran kami. Memaki dalam hati ketika
orang yang kami kenal menyia-nyiakan cinta yang telah ia genggam. Bangsat!
Begitu mudahnya mereka! Lalu, seperti berganti kaus kaki, mereka mendapatkan
penggantinya dalam hitungan hari. Betapa hebat. Ilmu apa yang mereka punya?
Hasil bersemedi di goa mana?
Ah, sungguh.
Lebih mudah mengerjakan
soal SBMPTN lalu lulus dan masuk perguruan tinggi negeri, dibanding mendapatkan
kekasih, ya? Setidaknya, itu yang aku alami.
12
Mei 2017 – 01.08
Ia laki-laki yang berbeda. Dalam
studi feminis yang ku pelajari mulai semester 3, kami menyebutnya maskulin. Male-masculine, menurut Prof. Rachmah Ida,
dosen favoritku. Garang. Dengan tampilannya yang demikian, rasa-rasanya tak
susah baginya untuk mendapatkan wanita mana saja. Dan, memang demikian.
Instagram-nya banjir dengan komentar perempuan-perempuan, sebagian genit
memang, yang tak ku ketahui mereka siapa dan ia bertemu dengan mereka semua
dimana. Mungkin, sudah ada satu yang telah ditiduri. Mungkin dua. Mungkin
sepuluh. Mungkin juga tidak. Ia bisa memanfaatkan pesonanya untuk itu, kan? Semuanya
serba tidak pasti.
Dan lagi-lagi, aku hanya
bisa menatap di pojokan. Ruang temaram tempat biasa ku bersandar. Tanpa bisa
berbuat apa-apa. Tanpa bisa merubah. Bahkan keberuntunganku sekalipun, telah
lebur dan mati sejak lama.
Sebagian diriku mengutuk
diri sendiri. Betapa memalukan seorang feminis dengan prinsip-prinsip
tangguhnya, namun tak memiliki daya untuk melakukan apapun yang ia bisa. Secara
teori, kami memang diajarkan untuk being
talkative, being active not passive. Tapi implementasinya? Masyarakat kita
masih menghujat perempuan-perempuan yang memiliki bara di hatinya untuk
mengungkapkan perasaan. Mengejar-ngejar? Apalagi itu. Sirna sudah kesempatan
untuk mendapatkan feedback perasaan,
justru yang ada ia akan semakin menjauh.
12
Mei 2017 – 01.23
“Betapa bodohnya.”
“Tapi....”
“Jadi, kau akan membiarkan dirimu menanti?”
“Tunggu sebentar...”
“Dan jika kau terlambat bergerak, kau akan menyaksikan
dirimu dan dirinya di kuade pelaminan. Bukan, bukan. Kalian tidak akan menikah,
kau datang sebagai tamu dan ia berdiri, berseri-seri, tegak sebagai pengantin
baru. Dengan seorang perempuan lain disampingnya.”
“Itu sangat menyedihkan.”
“Ya, memang.”
“Lantas, aku harus apa?”
“Pertanyaan bodoh lagi.”
“Masalahnya, tidak semudah
itu. Kau mau aku untuk menyatakan perasaan?”
“Kalau bukan itu, lalu apa?”
“Lalu aku akan membuat
kekacauan, tentu saja. Menggemparkan orang-orang. Membuat mereka menertawakanku
dari belakang. Membuatku tersisih.”
“Kalau yang terjadi sebaliknya?”
“Itu tidak mungkin. Apa
yang ia cari dari aku? Aku tidak punya apa-apa untuk dibanggakan, selain
menuliskan gerutuan dan mengubahnya menjadi uang. Tidak ada laki-laki yang mau
beresiko menghabiskan sisa hidupnya denganku.”
“Rumit, ya?”
“Tuh kan. Kau sendiri
bahkan sudah mulai ragu. Aku adalah segala sesuatu yang mereka sebut dengan marjinal, outcast. Bahkan, aku bukan pilihan terakhir. Aku orang buangan.”
“Kau tidak begitu.”
“Aku sudah berusaha
mengubah semuanya. Well. Tidak juga
sih. Hanya wajah dengan polesan saja. Tapi, itu tidak cukup, kan? Dibalik itu,
aku masih saja seorang ugly duckling.
Aku telur bebek yang tersasar dalam kandang angsa putih. Aku menetas di tempat
yang salah.”
“Berhentilah.”
“Bullshit juga, ya? Semua orang berkoar-koar untuk menerima diri apa
adanya, di media sosial, di iklan, di media massa. Tapi, ketika dihadapkan pada
situasi yang nyata, semuanya lari-tunggang langgang. Bergerak serabutan ke arah
status quo yang dilanggengkan. Memuja kondisi fisik yang menawan. Dan yang
tidak, akan tersingkirkan.”
“Aku tidak tahu harus berkata apa.”
“Aku juga.”
“Mari kita akhiri semua ini.”
“Kau menyuruhku mati,
begitu?”
“Bukan. Tulisan ini.”
“Oke.”
Credit picture: Favim.com
Credit picture: Favim.com
hayo buat sapa tuuu
BalasHapushayo buat sapa tuuu
BalasHapusHai nena, aku sudah lihat blogmu dari lama. Aku salah satu fans beratmu. Aku harap kita bisa kenal lebih dekat hehe ^^
BalasHapusHalo :)
HapusSerius? Blog sampah kayak gini? Wah makasih banyak yaa, nggak nyangka wkwk
Sure you can, kenapa enggak? :)