Senin, 08 Mei 2017

Tiga Jam Lebih Dekat

Sengaja aku bikin artikel khusus ini terpisah dengan artikel kuliner. Sebab, pertemuan kami lebih dari sekedar kulineran. Tiga jam itu, mulai dari jam 2 siang sampai jam 5 sore, ada banyak sekali hal yang kami bicarakan. Sampai nggak kerasa kalau waktu hampir beranjak petang. Menyenangkan, ya, sampai waktu terlewat begitu cepat?
Juli 2014
Jadi singkatnya, aku dan mas Yahya ketemuan di cafe.  Setelah berbulan-bulan nggak ketemu, terakhir kali sih sekitar bulan Juli tahun 2016 (am I right?). Sebenernya, aku dan mas Yahya bukan teman yang benar-benar kenal dari awal. Pertemanan kami terjalin sejak ia diundang makan-makan oleh Zahwa, sepupuku, 25 Juli 2014 lalu. Zahwa mengaku kalau Yahya cukup dekat dengannya saat SMA. Mereka berdua sama-sama di kelas 12 IPS, dan sama-sama berstatus sebagai siswa pindahan dari sekolah lain. 25 Juli 2014 itu-lah aku tau kalau mas Yahya juga kuliah di Universitas Airlangga, sama denganku yang saat itu lagi bahagia karena baru diterima SBMPTN di Unair.  

Lamaaaa berselang. Sampai akhirnya aku menceburkan diri di UKM Pecinta Alam Unair, atau lebih dikenal dengan Wanala Unair. Sebagai peserta Diklatsar XXXVII, aku cuma dua bulan disana. Mulai akhir Oktober sampai Desember 2014. Ya, sebut saja aku lemah, payah dan pengecut karena nggak tahan dengan penderitaan fisik di Wanala. Sedih banget. Padahal, memakai jaket oren kebanggaan dan mengibarkan bendera Wanala di puncak gunung adalah impianku sejak lama. Apalagi, teman-teman Diklatsar XXXVII sangaaaat baikk kepadaku. Mereka benar-benar bahu-membahu untuk saling menolong dan menguatkan. Apalagi saat materi kelas, saat kena hukuman seri, saat binjas. Duh! Panjang ceritanya. Pokoknya, anak-anak Diklatsar XXXVII menyimpan memori indah di hatiku. Kini, mimpi-mimpi itu harus kupendam dalam-dalam di tanah. Melupakan bahwa dulu pernah ada.
Nah, di Wanala, nggak disangka ada mas Yahya disana. Dia sempat nge-binjasin aku beberapa kali. Dan sikapnya super dingin ke aku! Kayak nggak kenal sama sekali. Hahahaa. Padahal, jelas-jelas dia kenal aku. Tapi aku tau, sikapnya itu suatu bentuk profesionalitas yang memang harus dijaga. Jadi, biarlah. Lalu, aku juga beberapa kali ketemu dia di Student Center (SC). Statusku? Oh, aku sudah jadi anggota UKM Fotografi (APS Unair) dong! Menemukan pelampiasan di tempat lain. Nggak sedih lagi dan sudah move on dari Wanala, wkwk.
 Kemudian, lamaaaa berselang sampai kami bertemu secara nggak sengaja di depan cafe, di dekat Grand City, Juli 2016. Itu sudah pernah ku ceritakan di postingan blogku, baca aja DISINI. Dan sampai ia nge-follow aku di Instagram, nge-like foto, ngomentari foto dan Insta Story-ku. Disaat itulah, pertemanan kami kembali terjalin. Aku pun senang bisa akrab dengan dia secara personal.
Baiklah, kembali lagi ke hari Minggu (30/4). Janjian untuk ketemu Minggu siang jam 2. Tapi, aku agak telat, baru datang jam 14.15, hehe. Maklum, ada haul akbar di pesantren dekat rumah, jadi jalanan macet dimana-mana. Dia sudah duduk di sofa lantai 2 dan melontarkan kalimat pertamanya, “Tak pikir kamu datang lebih dulu, Nen.”
Sembari mengucapkan maaf, aku menaruh tas dan duduk di sebelahnya. Lalu, kami memesan menu. Sembari menunggu pesanan, kami ngobrol-ngobrol. Banyak hal yang ia ceritakan dengan antusias, seperti kisahnya mendaki Gunung Sumbing, tahun lalu. Betapa ia struggle naik Gn. Sumbing disaat kondisi fisik temannya lagi lemah, sampai perjuangannya untuk meminjam tenda dari seseorang yang tidak ia kenal sama sekali. Atau saat ia di Gunung Kelud, dan merasa takjub dengan keindahan kawahnya dan ingin kesana lagi. Atau saat ia naik ke Semeru dan merasa fisiknya drop, sampai ia tertidur di jalur pasir Semeru, jam 3 subuh! Can you imagine that?
Kisah-kisah petualangannya menarik untuk didengar. Ia juga menceritakan 10 harinya di Gunung Argopuro, dengan misi membuka jalur dan menemukan danau baru (bukan danau Taman Hidup). Banyak sekali gunung yang telah ia daki, membuatku merasa tidak ada apa-apanya. Seru, sumpah. Jadi pingin, tapi apa daya? Cuma bisa mendengarkan aja wkwk.
“Kita lho sebenernya ngerasa eman (sayang) kalau kamu keluar,” ucapnya suatu waktu.
“Hah, sumpah mas?” aku seperti salah dengar. Ada lebah yang memasuki telingaku, kah? Lalu ia menceritakan bahwa seseorang di Wanala (sengaja nggak sebut nama), pernah bilang kalau, “Seandainya Nena masuk, pasti Wanala lebih dikenal dimana-mana. Kan dia penulis.”
Like, seriously?
Tanpa aku pun, Wanala juga sudah dikenal oleh banyak orang. Sudah 40 tahun lebih berdiri dan punya ribuan alumni. Misi-misinya yang mendebarkan, ekspedisinya di puncak-puncak tertinggi dunia. Bahkan, habis ini mau ke Denali, AS. Ah, bahkan disebut sebagai mantan-calon anggotanya pun, aku merasa tak pantas. Aku yang payah, mudah menyerah dan egois ini? Rasanya tidak yakin.
Lalu ia juga bertanya soal pekerjaanku sebagai reporter di Zetizen Jawa Pos. “Enak ya, yang sudah punya pekerjaan tetap,” ucapnya. Aku pun bersyukur. Jalan yang ku tempuh hingga menjadi seorang reporter di Zetizen pun sangat berliku. Bahkan, aku hampir nggak diterima, lho! Di tahap awal seleksi berkas pula. Belum tau kan? Nanti bakal ku bikin tulisan tersendiri tentang Zetizen, hahaha.
Mas Yahya pun kemudian bercerita tentang dirinya sendiri. Tentang skripsi di depan mata dan kebingungan yang melanda dirinya. I know how it feels. Aku kena Bab 1 aja udah nggak karu-karuan hidupku, apalagi skripsi? Haha.
30 April 2017
Banyak sekali yang ia ceritakan disini, hanya saja, ia tidak ingin hal-hal personal itu dibuka ke publik. Jadi, aku hanya meng-highlight soal pembicaraan tentang gunung dan Wanala. Oh ya, dia juga cerita tentang KKN-nya, semester lalu. Ia menjadi ketua KKN dan tahukah kamu ia ditempatkan dimana? WONOKROMO! “Huh, padahal kan aku seneng jalan-jalan, ku pikir bakal keluar kota. Ternyata... di Surabaya,” ucapnya dengan sebal. “Jadi, nggak terlalu berkesan. Berangkat pagi, pulang sore. Macet-macetan di jalan.” lanjutnya lagi.
Ia juga bercerita tentang masa-masa SMA-nya di sekolah yang terancam bangkrut. Ketika murid barunya tinggal 10 orang, saat kelas 12 pun ia pindah ke SMA Muhammadiyah 1 Surabaya, sekolah yang sama denganku. Ia pun berteman akrab dengan saudaraku, Zahwa. Ia mengatakan, “Aku kenal jalanan Surabaya ya sama dia. Dulu, bahkan menuju ke THR (Jl. Kusuma Bangsa) aja nyasar!” ucapnya dengan tertawa. Wah, itu mah kelewatan wkwk.
Selain itu, aku juga menceritakan tentang Angga, sobatku dari Jogja. Aku menceritakan kalau Angga adalah lulusan SMK jurusan Boga, dan dijamin 100% bakal masakin kita semua di gunung, wkwk. Angga pun bukan seorang amatir di gunung. Ia sudah 4 kali mendaki, di Lawu, Merbabu, Merapi dan Ngelanggeran. Rencananya, kami bertiga (aku, Angga, mas Yahya) bakal ke Gunung Prau, September nanti. SEMOGA TERLAKSANA!!! Ini menjadi ajang pertemuan perdanaku dengan Angga, karena sejak bertahun-tahun berteman, kami hanya mengobrol via sosial media! I wanna know him in reality! Hehehe. Tapi, jujur saja aku ngerasa cemas. Takutnya, aku nggak dapat izin kerja. Angga yang sekarang punya pekerjaan baru, juga dikhawatirkan bakal dipersulit saat cuti. Ini membuatku was-was setengah mati. Kini kami hanya berharap ridho Allah, semoga bisa dipertemukan di Gunung Prau, September nanti....
Jam 5 sore, kami bergegas pulang. Aku ada tanggungan untuk me-laundry pakaian pinjaman pemotretan kemarin, dan mas Yahya sendiri ada janji dengan temannya. Kami berpencar ke arah yang berbeda, sore itu.

Tiga jam yang menyenangkan. Terima kasih :)

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template