Sabtu, 13 Mei 2017

Temaram #1

Remang. Aku tak bisa mengartikan sorot mata itu. Teduh, namun terlihat lapar, inginkan sentuhan. Pun juga senyuman di sudut bibirmu.  Apakah itu untukku?
Menggeleng, ku hapuskan pikiran sia-sia itu. Mengalihkan tatapan pada langit-langit ruangan. Tak ada noda sejauh mata memandang. Ku larikan jauh-jauh perasaan, karena ku tak ingin lagi terluka.
Namun, sekuat apapun aku berusaha, egoku runtuh juga.
***

Tidak banyak memori yang telah kami ukir bersama. Kami hanyalah individu-individu yang kebetulan dipertemukan pada ruang dan waktu yang sama. Dua orang yang berada di akhir usia dua puluh, dengan ambisi dan impiannya masing-masing. Manusia yang menjalani ritme kehidupan yang sama seperti jutaan orang dewasa lainnya.
Kami sering bertemu, hampir tujuh hari dalam seminggu. Namun, dinding-dinding yang kami bangun terlalu tinggi untuk dipanjat. Melebihi menara Eiffel, melampaui Tokyo Tower, bahkan Burj Khalifa. Sebentar lagi, sekat yang memisahkan kami akan menyaingi Everest, dan berhenti di atmosfer. Ruang hampa udara.
Sembari merutuki diri, ku teguk kembali cairan bening dalam gelas kaca kecil. Warnanya kuning keemasan, berbau pekat seperti wewangian. Barley, gandum dan biji-bijian adalah bahan dasarnya, yang difermentasikan dalam jangka waktu tertentu untuk memunculkan citarasa mewah. Perlahan-lahan, rasa getir melapisi rongga mulutku. Hangat. Cairan itu mengalir bak lahar dalam tenggorokanku.
“Yang mana sih dia?” ujar Emil kepadaku. Ku letakkan gelas kaca itu di atas meja, lalu membuka Instagram dan menunjukkan sebuah foto kepadanya.
“Oh yang kayak gini seleramu?” goda Emil. Aku tersenyum, getir. Segetir whiskey yang baru saja ku teguk. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari dua orang yang saling tak menyapa, gumamku dalam hati. Rupanya, seulas senyum palsu itu dibaca Emil. Laki-laki metroseksual itu kembali menuangkan Johnny Walker ke gelasku, lalu menuangkan ke gelasnya sendiri. “Udah, jangan terlalu dipikirin.”
“Aku gak bisa membohongi perasaanku, Mil.” kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Sepertinya, pengaruh alkohol baru bekerja pada gelas yang ketiga.
Emil pasang telinga. Seperti biasa, ia selalu siap sedia mendengarkan muntahan-muntahan yang terlontar dari mulutku. Tentang kami yang tak saling sapa. Tentang kecanggungan yang melanda tiap kali bola mata kami bertemu. Tentang rasa pahit yang harus ku telan sendiri ketika melihatnya bersama gadis lain. Tentang perasaan menggebu yang hanya bisa ku simpan dalam-dalam di dasar hatiku.
“Mmm... Dia sudah punya, nggak?”
Aku mengendikkan bahu. “Kurang tahu. Tapi, dia punya segalanya untuk memikat wanita. Seolah dia bisa memilih siapapun yang ia mau. Dan tentu saja, aku tidak termasuk dalam radarnya,” ujarku, sembari tertawa sumbang. Tawa itu begitu kering, serak dan menyedihkan.
“Kau tidak pernah sesedih ini,” ujar Emil.
“Ya, aku dan kesengsaraan memang telah berteman akrab sejak lama. Ia menggelayuti langkahku tiap waktu. Tak memberiku kesempatan sedikit pun untuk berbahagia dalam hal asmara,” keluhku, lagi dan lagi.
“Jangan bilang begitu,” Emil mengusap-usap pundakku. Ia mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. Cairan kuning itu terombang-ambing dalam wadah kaca, sedikit luberan tumpah ke meja.
Mau tak mau, aku mengambil gelasku sendiri. Lalu menghabiskan beberapa teguk sekaligus, seperti musafir yang mengembara di padang gurun luas dan menemukan mata air segar. Tak peduli pahit dan rasa panas yang membakar, perlahan-lahan Johnny Walker itu lenyap di balik tenggorokan. Di sisa waktu malam, ku habiskan semuanya dalam teguk demi teguk kemaksiatan.
***
            Pening menguasai ketika hari telah beranjak pagi. Oh, ralat, aku salah. Sudah pukul 4 sore rupanya. Untungnya, ini hari libur. Persetan dengan segala tetek bengek urusan pekerjaan, setidaknya sampai dua hari ke depan.
            Butuh waktu lebih dari 10 menit untuk membuatku duduk di tepi ranjang. Johnny Walker sialan! umpatku dalam hati. Aku mengingat-ingat berapa gelas yang telah ku habiskan kemarin, tapi sekeras apapun berusaha, aku tetap gagal. Yang ku ingat, aku dan Emil membeli sebotol besar kemarin, 750 ml, dan membaginya berdua. Dengan sempoyongan, ku gerakkan kaki, tertatih-tatih melangkah seorang diri. Tanganku menggapai-gapai untuk mencari pegangan. Tubuhku bergerak menuju arah kulkas, berharap susu cair plain dalam box karton masih tersisa. Setidaknya, dapat meredakan sedikit pening di kepala.
            Gotcha! Ternyata susu itu masih sisa setengah. Dengan tergesa-gesa, ku gelontorkan cairan berwarna putih itu ke mulutku. Seulas rasa manis menyentuh lidah dan sensasi dingin menggelitik tenggorokan. Dan dalam hitungan detik, semuanya habis tak bersisa.
            Semalam, maksudku tadi pagi, Emil mengantarku pulang jam tiga. Aku tak ingat detailnya, tapi ku ingat mulutku meracau-racau tak karuan, sembari kepalaku tergolek lemah ke pundaknya. Sekalipun dikenal brengsek, Emil tak akan pernah tega membiarkan temannya membusuk di bar sendirian dalam kondisi mabuk berat. Kadang, aku diinapkan di apartment-nya –yang jauh lebih luas dan mewah dibanding milikku, tapi tidak hari ini. Entah mengapa, mungkin Fio, pacarnya, sedang bermalam disana.
            Bermenit-menit termangu di depan kulkas, aku mulai bertanya-tanya mengapa aku bertindak bodoh semalam. Sifat self destructive-ku memang kerap muncul saat merasa stress, tapi tidak pernah hingga semabuk ini. Aku mulai membenci diriku sendiri, pantulan menyedihkan yang tergambar di kaca dapur. Lihatlah. Rambut awut-awutan, lingkar hitam di sekitar mata, tatapan yang tak bergairah. Ini aku? Meratapi laki-laki bukan hal yang biasa kulakukan. Betapa menjijikkannya.
            Aku punya dua hari untuk membuat otakku waras kembali. Sebelum nanti bertemu dengannya lagi, di kantor, seperti biasa. Sebelum hatiku kembali porak-poranda. Tapi, menyusun strategi itu nanti. Mataku mendadak berat. Bergumul (lagi) bersama selimut, sepertinya menyenangkan. 

Credit picture: Favim.com

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template