Jumat, 19 Mei 2017

Temaram #2

                This love was out of control
            Tell me where did it go?
–Pierce The Veil
Seminggu terakhir, aku terbangun jauh lebih lambat dari alarm yang ku pasang. Tapi, khusus hari ini, aku bisa kembali terbangun tepat waktu. Sebenarnya, aku masih ingin berkubang di dalam kesenyapan, menghabiskan hari bergelung di ranjang dan mendengarkan lagu cengeng hingga petang menjelang. Namun, hari ini aku sudah berjanji pada Robbin, staf HRD, untuk masuk. Satu hari lagi ku habiskan tanpa keterangan, maka SP1 akan dilayangkan. Aku tidak mau membuang waktu untuk mencari pekerjaan baru di tengah usia 27 seperti ini.
            Dengan malas, kusibakkan tirai. Langit masih berwarna kebiruan, larik-larik jingga menghias ufuk timur. Alam masih menampakkan keindahannya, rupanya. Ku kira, tak ada lagi yang bersahabat denganku. Kondisi luar kamar apartemen rupanya berbeda jauh dengan di dalam. Jangan tanya kenapa tumpukan box pizza belum dibuang, bungkus saus berceceran maupun pakaian tergeletak di seluruh ruangan. Dalam kondisi kejiwaan yang normal, aku tak betah membiarkan debu sedikitpun bersarang di kamar. Tapi, sungguh berbeda dengan yang terjadi selama seminggu terakhir.
            Ayo, Dave, lawan setan-setan yang bersarang di kepalamu, bisik suara itu.
Menghela napas, kurasa memang ini saatnya bangkit dari keterpurukan. Kakiku melangkah dengan senyap ke arah lemari dan kembali dengan trashbag di tangan. Saatnya membereskan kekacauan. Ku punguti semua yang berserakan –bungkus makanan, box pizza, plastik, tissue, daun selada layu, french fries berjamur, lalu memasukkannya ke dalam kantung plastik besar berwarna hitam itu. Mengumpat, betapa joroknya aku selama ini. Setelah usai, trashbag ku ikat kencang dan kuletakkan di sudut ruangan. Biarlah kupinta cleaning service untuk mengambilnya nanti. Tak lupa, meletakkan pakaian-pakaian kotor ke dalam keranjang plastik dan membawanya sore ini ke tempat laundry.
Tak lama kemudian, aku telah berada di balik tirai kamar mandi. Hanya ada dua puluh menit tersisa, lalu segera bergegas ke kantor. Jalanan pasti akan sangat macet pagi ini, gumamku sembari menikmati guyuran shower dingin.
***
Sisa hari itu berjalan biasa saja. Kecuali, sesi interogasi dengan Bu Mira, manager HRD tempatku bekerja. Ia memang telah mendapatkan laporan dari Robbin perihal izin yang kuajukan selama lima hari –dan dua hari weekend, tapi itu tentu tak masuk hitungan, namun ia ingin mendengarnya sendiri dari mulutku. Dengan berhati-hati, kususun kalimat agar Bu Mira percaya. Syukurlah, berkat repurtasiku sebagai best employee, perempuan empat puluh tiga tahun itu percaya. Padahal, sebagian kalimat yang kulontarkan merupakan karangan belaka.
Aku mengecek jam yang melingkari pergelangan tangan. Pukul 17.02. Aneh, magnet yang biasa menyeretku untuk cepat-cepat pulang ke apartemen mendadak lenyap tak bersisa. Alih-alih, aku malah terpaku di rooftop gedung kantor, 59 meter dari permukaan aspal yang dipenuhi oleh kendaraan. Kulepaskan jas dan kusampirkan di bahu, sementara tanganku menggenggam erat pagar pembatas setinggi dada. Teduh, langit nampak bersahaja dengan rona jingga dan angin lembut membelai wajah.
            Ada alasan mengapa aku bersikap aneh selama seminggu terakhir. Menjadi sosok yang pelamun, linglung dan tanpa gairah hidup. Bahkan, sempat terbersit pikiran untuk mengakhiri hidup waktu itu. Menyilet leher, membiarkan darah segar mengucur deras di lantai kamar mandi rasanya lebih melegakan, dibanding merasakan luka itu kembali. Luka yang tak pernah diduga akan tiba. Luka yang mengacaukan segalanya. Luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Luka yang disebabkan oleh gadis yang kusayangi.
            Nindita.
            Nama yang tak ingin kusebut lagi.
            Namun, sekeras apapun aku berusaha, nama itu adalah satu-satunya nama yang menyesaki pikiranku selama dua setengah tahun terakhir. Nama yang memberikan secercah harapan bagiku, laki-laki yang lebih tua lima tahun darinya. Memori indah itu kembali bergulir, membuat bibirku tersenyum sendiri. Ratusan hari telah ku lalui dengannya. Nindita yang manis. Nindita yang kalem. Nindita yang innocent. Nindita yang selalu membuatku bahagia.
            Dan Nindita pula yang membuatku terpuruk sedemikian dalamnya...

Credit pictures: Premium Fenster

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template