Jumat, 26 Mei 2017

Lamunan Dini Hari

Into the everblack from where
there’s no coming back
–The Black Dahlia Murder
Jika dirunut, tujuan kita hidup sebenarnya sudah sangat jelas. Sejernih air di permukaan danau pada pagi, seterang angkasa raya kala siang. Alur yang sama, tak pernah berubah sejak manusia pertama tercipta. Kronologis yang sama, tanpa bisa melawan dan kita hanyut bagaikan dedaunan layu yang terbawa oleh arus deras.
Kita dulunya pernah lemah. Benih-benih mani hasil ejakulasi yang bisa mati dalam hitungan menit. Sel telur yang runtuh, meluruh berwujud darah dan berbau seamis ikan. Kau pernah berwujud seperti itu, dulu. Tapi nyatanya, keduanya bertemu. Ribuan sel-sel bekerja keras menyusun komposisi tubuh. Minggu ini, kau hanya segumpalan darah. Bulan depan, jantungmu tercipta. Trimester selanjutnya, organ-organmu mulai menyelaras sempurna. Dan datanglah hari itu: kelahiranmu.

Selamat datang ke dunia, tempat dimana orang saling menyikut untuk bertahan hidup. Kau akan dikhianati. Kau akan dikecewakan. Kau akan terpuruk. Kau akan merasakan pahit dan duka, yang harus kau telan sendiri. Bukan berarti tidak ada bahagia yang nantinya kau rasa, hanya saja kebahagiaan begitu semu. Tak pernah benar-benar menetap. Sementara, kematian menunggumu dimana saja. Ia bisa datang dalam wujud apa saja. Kala kau dengan cueknya menerobos palang perlintasan kereta api, merasa tergesa akan sesuatu, dan –begitu cepat, tahu-tahu kau sudah tersambar, terseret puluhan meter jauhnya. Wajah rupawan yang kau banggakan, tercincang-cincang, berlumuran darah segar. Potongan kakimu terlempar ke rerumputan, tulang-tulangmu mencuat ke permukaan. Kau mungkin menyesal. Kau ingin mundurkan waktu, mengundurkan niat untuk bertindak serampangan. Kau bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal pada orang-orang yang kau sayang.
Pernahkah kau terpikir, betapa muaknya hidup seperti ini? Aku memikirkannya sepanjang waktu. Kau bisa menebak, apa yang hendak kau lakukan dengan jatah umur yang kau miliki. Betapa membosankan. Enam tahun pertama, kau boleh bersenang-senang. Berlari-larian di taman, bersenandung tanpa beban. Tahu-tahu, kau sudah berdiri di depan bangunan, dengan seragam, sepatu dan tas yang menggelayut di badan. Satu-satunya yang kau takuti hanya PR Matematika. Atau amukan Papa-Mama, melarangmu untuk bermain lewat dari senja. Waktu kembali bergulir, kewajibanmu untuk sekolah tuntas sudah. Kini, kebutuhanmu semakin tinggi. Tak sekedar untuk mengganjal perut, namun juga mengganjal gengsi. Membeli barang-barang ‘tuk tunjukan statusmu yang tinggi. Berangkatlah kau mencari kerja, dan bersyukur ketika telah memperolehnya. Kau akan menukar segalanya: waktu, tenaga, keringat, darah dan air mata, untuk lembaran-lembaran uang. Bak tiket yang kau tukar dengan kesenangan di taman hiburan.
Dan tanpa sadar, kau telah berada di penghujung usia.
Namun, kematian bisa terjadi tanpa menunggu tua. Kau sadar, kan? Betapa mengerikannya melihat korban kecelakaan, bencana alam atau penyakit ganas? Atau orang-orang yang tercabut nyawanya tanpa peringatan? Dalam tidur, mereka mati. Dalam tawa, jantung mereka terhenti. Tanpa berbuat apa-apa pun, maut akan tetap menanti. Mengincar, menatap, menelanjangi, bak hyena berburu rusa di padang savannah. Kau berharap, itu tak pernah terjadi. Namun, kau salah. Seluruh kebahagiaanmu akan lenyap ketika kau dikebumikan dalam tanah. Lantas, apa gunanya kita hidup, apabila hanya untuk menunggu mati?

Surabaya, 25 Mei 2017, dini hari

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template