Aku sedang
disibukkan dengan penulisan naskah novel pertamaku saat ini. Ditengah-tengah
semangatku yang masih menggelora, seorang penulis sepertiku jelas butuh
buku-buku penunjang sebagai sumber refrensi tulisannya. Memperkaya diksi,
merancang plot atau alur,
menggambarkan karakter, dapat dengan mudah dibuat jika kau sudah banyak melahap
karya-karya sastra. Karena aku menulis kisah fiksi, maka aku butuh asupan
tambahan berupa buku-buku fiksi lain yang telah dicetak oleh penerbit ternama.
Ilustrasi
buku
Sebuah buku
fiksi (sebut saja dengan novel), telah melalui tahapan-tahapan panjang sebelum
ia dipublikasikan dan disebarluaskan ke pasaran. Apalagi jika buku itu
diterbitkan oleh penerbit mayor, maka naskah novel itu tidak serta merta
diterima dan disetujui untuk dicetak karena mereka punya standar literasi
tersendiri mengenai tulisan fiksi. Jika novel itu telah disebarkan di pasaran,
maka selamat, setidaknya karya itu sudah memenuhi standar literasi dan sastra,
dimana masing-masing penerbit punya definisi berbeda akan standar tersebut.
Berbicara
soal refrensi, aku mendapatkannya dengan mudah di salah satu tempat terbaik di
dunia : perpustakaan. It’s free and you
can choose whatever book you want. Perpustakaan yang sering ku kunjungi
dalam hidupku adalah Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur atau
lebih sering di sebut BAPERSIP/PERPUSDA. Perpustakaan tercinta itu berada di
jalan Menur Pumpungan Surabaya, sebelah pas dengan STIESIA dan Apartemen
Gunawangsa Manyar. Koleksi untuk buku-buku fiksi buatan Indonesia cukup
lengkap, mulai dari model chicklit-chicklit-an, novel terjemahan, novel pop-culture
(yang mengusung gaya hidup masa kini), novel bertemakan kedaerahan, novel dari
penulis-penulis ternama dan sebagainya. Lengkap, sampai rasanya hingga detik
ini aku baru membaca 0,01 % dari seluruh koleksinya. Padahal aku sudah menjadi
anggota disana selama empat tahun belakangan.
Aku juga
menjadi anggota tetap dari Perpustakaan Umum Kota Surabaya yang berada di
komplek bangunan Balai Pemuda, yang berada pas di sebelah kantor DPRD Kota
Surabaya dan SMAN 6 Surabaya. Dan tentunya, keanggotaan tetap selama menjadi
mahasiswa di Universitas Airlangga, meski sejujurnya aku tak terlalu suka
meminjam buku disana dengan alasan simple
: males naik turun tangga (perpus ada di lantai 3, hiks). Lagian, fokus utama
perpustakaan kampus B Unair adalah literatur non-fiksi dan sangat ilmiah, jadi
aku tidak terlalu berharap banyak, kecuali akan meminjam literatur fiksi
berbahasa inggris yang cukup lengkap di American Corner.
Dan tujuan
dari dibuatnya postingan bertemakan khusus : #BukuBulanIni adalah dengan tujuan aku ingin membagikan review singkat mengenai buku-buku apa
saja yang telah berhasil ku lahap bulan ini, berapa statistik kepuasanku
terhadap buku itu, bagaimana rekomendasiku terhadap buku itu, apa buku itu
berhasil membuatku menemukan kata-kata atau kalimat baru yang akan memperkaya
tulisanku dan sejenisnya. Pun jika aku merasa tidak puas dengan buku tertentu,
bukan berarti aku menganggap buku itu tidak layak untuk dibaca, hanya saja
standar kepuasan masing-masing orang berbeda dan sangat subjektif.
Jadi...Inilah
yang bisa kupersembahkan. Selamat melahap buku!
1. ABG Dibalik Runway
Penulis: Armadina A.Z
Penerbit: PlotPoint
Fresh dan ABG banget! Itu
kesan yang kudapat ketika membaca buku ini. Buku ini adalah literatur non fiksi
sebenarnya, dan lebih mirip tulisan seorang blogger,
tetapi sangat renyah untuk dibaca. Dan apa yang membuatnya spesial? Buku ini di
review oleh model-model catwalk papan atas, desainer, penulis
dan fashion enthusiast lain. Kenapa?
Karena simply, buku ini menceritakan
sesuatu yang berkaitan dengan dunia fashion
dan catwalk. Ini dunia yang mereka
geluti setiap hari.
Buku
ini ditulis oleh seorang gadis muda, Armadina, yang lebih suka dipanggil Nina
yang bekerja sebagai jurnalis di kantor berita online dan dia ditugaskan untuk meliput hal-hal yang berkenaan
dengan event fashion di Jakarta. Gadis kelahiran 1995 ini awalnya tidak tahu
banyak tentang fashion waktu dia
menceburkan diri menjadi jurnalis fashion.
Tapi ajaibnya, karena kecintaan yang dipupuk, lama kelamaan dia jadi tahu
banyak mengenai fashion dan dunia
model catwalk, bahkan berteman dengan
model-model catwalk itu. Menarik
juga, karena stereotype yang beredar
adalah model-model itu cenderung menjaga jarak dan tidak mudah menjalin
hubungan dengan orang asing, bisa akrab bahkan menjadikan Nina sebagai teman
dan adik. Nina juga membongkar kisah-kisah dan kehidupan pribadi beberapa model
yang ia kenal dari kacamata seorang “adik tersayang” dari model itu, bukan dari
kacamata orang asing yang sinis dan memanfaatkan kisah-kisah pribadi itu untuk kepentingan
yang salah. Model-model yang terlihat begitu tanpa cela, ternyata bisa juga
punya masa lalu yang menyedihkan, seperti menjadi korban bullying dan kekerasan. Model-model yang terlihat sempurna itu,
ternyata bisa merasa tertekan dan tersudutkan dalam pekerjaannya sebagai model catwalk profesional. Semua ini seperti
melunturkan kesan model di mata kita. Seberapa glamour-nya kehidupan yang mereka jalani, toh mereka juga sama-sama
manusia biasa seperti kita.
Dengan
gaya bercerita yang lugas, penuh dengan rasa penasaran dan apa adanya, Nina
berhasil membawaku untuk mengenal lebih dekat dunia model catwalk. Seolah aku berjabat tangan sendiri dan berbicara dengan
para model-model itu, saking bagusnya gaya penceritaan Nina dari sudut pandang
“adik tersayang yang penasaran”. Dialog-dialog yang ditampilkan pun serasa
membangun kisah, yang berkombinasi dengan narasi dari sudut pandang orang
pertama.
Skor?
8,5/10
Tidak
membantu untuk menulis naskahku, tetapi membantu untuk menambah wawasan dan
pengetahuanku akan dunia model catwalk.
Setidaknya, kini aku lebih memahami mereka dan kehidupannya yang terlihat “WAH”.
2. Stasiun
Penulis: Cynthia Febrina
Penerbit: PlotPoint
Buku fiksi baru pertama
yang ku baca untuk bulan ini! Dengan sampul yang sangat menarik dan ketiadaan
sinopsis di belakang buku, menjadikan rasa penasaranku kian menjadi-jadi dan
kuputuskan untuk meminjam buku ini. Tentang apa ini? Siapa saja tokohnya? Apa
konfliknya? Apa yang terjadi kemudian?
Buku
ini bercerita tentang dua tokoh sentral, Adinda dan Ryan, yang sama-sama
pengguna kereta api dan “mencegatnya” di Stasiun Bogor. Adinda, seorang
perempuan karir, baru saja mengalami masa paling buruk dalam hidupnya:
diputuskan oleh tunangannya, Rangga, karena tunangannya ternyata masih menyukai
perempuan lain dan meninggalkan Adinda, lalu bertunangan secara impulsif dengan
perempuan itu. Adinda yang terbiasa di antar jemput dengan mobil kekasihnya,
kini “turun derajat” (seperti istilahnya sendiri) menjadi pengguna kereta api
Commuter Line. Beberapa waktu pertama ia menggunakan kereta, terlihat jelas ia
masih ogah-ogahan tetapi tidak ada pilihan lain baginya. Tidak ada lagi moda
transportasi yang lebih cepat dan terjangkau baginya, kecuali kereta. Dan
keputusannya menjadi “anak kereta” sendiri adalah hasil bujukan dari
sahabatnya, Sasha, seorang perempuan tegas dan blak-blakan yang mempunyai jiwa
lembut dan humanis dibaliknya.
Ryan,
adalah seorang karyawan yang juga mempunyai profesi lain dalam hidupnya:
menjadi pelukis. Ia sendiri telah memiliki studio lukis dan memperkerjakan
beberapa karyawan. Ryan tinggal di rumah ibunya sebagai anak tunggal. Ayahnya
telah meninggal karena terserang penyakit sirosis hati. Semasa kecil, Ryan
telah terbiasa bekerja keras membantu mencari uang untuk menyokong perekonomian
keluarga yang ambruk karena perusahaan Ayahnya terkena penipuan. Ryan menjadi pekerja serabutan dan seorang
semir sepatu cilik. Karena latar belakangnya itulah, Ryan terbiasa untuk hidup
secara sederhana, dan salah satu contohnya adalah selalu berpergian menggunakan
kereta, khususnya kereta api ekonomi yang bertarif sangat murah, yang dibarengi
dengan fasilitas yang buruk. Ryan, yang berumur 26 tahun ini belum menunjukkan
minatnya dalam menjalin hubungan asmara dengan perempuan manapun pasca ia putus
dari kekasihnya beberapa tahun silam karena tidak merasakan “getaran” dalam
hatinya, juga karena ia dan mantan kekasihnya saling sibuk sendiri dan tidak
ada keinginan untuk saling mencari dan mengisi. Ibu Ryan yang ingin menimang
seorang cucu, hanya bisa meminta ke anaknya untuk segera mencari pendamping
hidup, namun ditanggapi secara santai oleh Ryan sendiri.
Adinda
dan Ryan memiliki kenalan seorang penjual koran di stasiun itu, yang dengan
bantuannya, membuat Ryan dan Adinda penasaran satu sama lain. Lama kelamaan,
Adinda dan Ryan bertemu. Bukan karena kesengajaan, tetapi anehnya, ada perasaan
berdebar-debar yang sama pada mereka berdua ketika memandang satu sama lain. Adinda
menganggap Ryan sebagai lelaki pemberani yang berjiwa sosial tinggi, sementara
Ryan terpikat dengan kelembutan dan paras Adinda, yang ia tatap secara tidak
sengaja.
Novel
ini tidak hanya menceritakan tentang Adinda dan Ryan serta kehidupan pribadi
mereka, namun juga mengekspos kehidupan kalangan marginal yang berada di
sekitar stasiun : mulai dari perempuan tua yang menjadi gila karena ditinggal
mati suaminya dalam kecelakaan kereta, penjual koran, penjual buku lawas yang
sangat idealis, bapak dan anak yang berprofesi sebagai penyemir sepatu, anak
penyapu gerbong kereta, dan lain sebagainya. Membuka mata kita bahwa dibalik
kehidupan kita yang seringkali kita keluhkan, masih banyak lagi orang dibawah
kita yang harus berjuang untuk sekedar mencari makan dan kehidupan yang layak.
Skor? 8/10
Membantu untuk penulisan tetapi tidak
terlalu signifikan. Mengapa? Tidak ada permainan diksi yang ajaib atau
kalimat-kalimat yang mindblowing.
Kisah dalam novel ini cukup sederhana, begitu pula penyuguhannya dalam tulisan.
Gaya penuturannya pun tak terlalu spesial. Ada sedikit ledakan emosional di
beberapa bagian. Tetapi, pesan yang ingin disampaikan terutama soal kaum
marginal dan kehidupan, cukup mengenai kita secara telak.
3. Miss Hola Holic : Kisah Super Konyol
Anak Magang ala Bonbin
Penulis: Vanny Chrisma W.
Penerbit: D-Teens, Diva Publisher
Buku ini kutemukan di Perpustakaan Umum
Kota Surabaya, yang menurutku masih sangat minim akan koleksi literatur sastra.
Aku mengambilnya secara asal dari rak, tertarik karena hal sederhana : buku ini
mengambil setting tempat di Surabaya!
Seperti yang kita tahu, setting
tempat yang paling mainstream adalah
di Ibukota Jakarta, maka keberadaan novel yang menceritakan lokasi lain,
apalagi berkaitan dengan tempat asalku, adalah hal yang menarik.
Novel
ini menceritakan tentang Vanny, pelajar kelas tiga SMK 1 Surabaya, yang harus
mencari tempat magang sebagai salah satu syarat mutlak sebagai pelajar SMK. Vanny,
sebagai siswi SMK Jurusan Sekretaris, sangat mendambakan lokasi magang di
kantor Jawa Pos, yang menurutnya akan membantu karirnya dalam menjadi pegawai
kantoran suatu saat nanti. Tapi impian Vanny kandas ketika mengetahui lokasi
magang mereka dipindah oleh ketua kelompoknya ke Kebun Binatang Surabaya!
Ada
premis utama di kisah ini, yakni keengganan Vanny untuk magang di KBS karena ia
sudah merasa antipati terlebih dahulu. Rasa antipatinya muncul karena rasa
jijik akan hewan dan aromanya, juga karena ia memandang kebun binatang sebagai
sarang penyakit. Bahkan, rasa antipati itu bertahan hingga akhir kisah. Premis
lain adalah, yang cukup ku herankan, adalah Vanny sering menyebut dirinya
sendiri sebagai “gadis bodoh yang pantas dibodohi” yang secara singkat dapat
menyulap dirinya menjadi karakter utama menjadi seorang loser (pecundang). Begitu seringnya sang penulis (yang juga bernama
Vanny Chrisma) menempatkan karakter Vanny sebagai sosok yang begitu bodoh, baik
dalam narasi maupun dialog hingga tingkah lakunya, bahkan hingga di akhir
cerita. Semua itu membuatku bosan dan mengernyitkan dahi dengan heran,
bertanya, kenapa ending-nya begitu
anti klimaks? Apa tujuan penulis menempatkan karakternya menjadi begitu lemah
tak berdaya tanpa tujuan yang jelas?
Kelemahan
lain dari novel ini adalah sering kali ada kisah yang tak tahu bagaimana
rimbanya, yang ditulis dan membuat pembaca penasaran namun tidak diteruskan.
Seperti kisah Vannya dengan Ruhut, atau kelanjutan pertemanan Vanny dengan 3
temannya yang pada awalnya dipanggil “sahabat” namun di tengah dan akhir kisah,
Vanny menyebut mereka sebagai teman (atau musuh dalam selimut) yang selalu
mempermainkan dia, hingga ketidakpastian atau ketidak-konsistenan pendirian
Vanny dalam bertingkah dan memandang sesuatu.
Seharusnya,
sebuah kisah fiksi yang ditulis bisa menjalin satu persatu kisah dengan rapi,
menempatkan karakter dengan logis dan bertujuan, tidak melanjutkan kisah yang
sudah ditulis, dan lainnya. Buku ini sebenarnya punya potensi untuk menjadi
bagus, tetapi dimentahkan sendiri oleh penulisnya dengan kerapuhan karakter
utamanya, plot yang mengambang, kisah yang hilang atau tak berlanjut, gaya
bertutur yang mirip diary namun
kurang diolah dengan matang, ending
yang anti-klimaks, data-data tentang Kebun Binatang Surabaya yang kurang
dieksplor lebih dalam dan lain sebagainya. Buku ini, bisa dibilang, selalu mengulang
premisnya dengan kalimat-kalimat sama yang seringkali berulang (contohnya,
Vanny sering menyebut dirinya gadis bodoh sekitar ribuan kali, tanpa
mengeksplor lebih dalam atau membuat diksi lain mengenai “seperti apa
sebenarnya gadis bodoh itu?”). Sangat disayangkan, buku ini berakhir menjadi
tulisan yang tanpa greget dan meninggalkan kesan, padahal, sekali lagi, buku
ini punya potensi untuk menjadi novel yang bagus dan menarik, bahkan bisa
meningkatkan popularitas Kebun Binatang Surabaya ke publik.
Skor? 4/10
Baca sendiri mendingan, hehe.
4. Love for Sale (Bisnis Asmara)
Penulis: Sharon Stewart
Penerbit: Gramedia (novel terjemahan)
Apa jadinya jika
seorang laki-laki pebisnis yang berpikiran logis, memandang roman dan
percintaan sebagai hal remeh yang ditujukan bagi orang bodoh, bertemu dengan
perempuan pemilik separuh tokoh roman yang menjual barang-barang yang berkaitan
dengan cinta?
Matthew Kent, CEO dari
Kent Enterprises dan keponakan dari Ava LaMont, seorang wanita kaya raya dan
pemilik banyak saham, mendapatkan warisan dari Ava LaMont dengan syarat khusus,
yakni berlibur selama 6 minggu di kota bekas pertambangan Jerome. Dengan arti,
Matthew yang gila kerja harus beristirahat total 6 minggu tanpa menyentuh
pekerjaan. Bagi Matthew, hal itu hampir mustahil dan jika ia tolak, harta itu
akan jatuh ke tangan Hodgepodge, anjing kesayangan milik Ava. Matthew jelas
tidak rela apabila harta bibinya jatuh ke tangan seekor anjing konyol itu. Maka,
mulailah usaha Matthew untuk meliburkan diri di Jerome.
Rachel McCarty adalah
separuh pemilik (separuh sahamnya dimiliki Ava LaMont) dari toko khusus, Realm
of Romance, yang menjual pernak-pernik berkaitan dengan asmara adalah teman
baik Ava, dan akan menemani Matthew mengisi kebosanannya di Jerome. Tanpa
paksaan, Matthew mulai “bekerja” di Realm of Romance, mengatur barang,
mengurusi keuangan toko dan apapun, asal membuatnya melupakan kebosanannya.
Matthew tinggal di lantai dua toko, tepat dibawah kamar Rachel di lantai 3.
Mulanya, diantara mereka
tidak ada apa-apa. Matthew menganggap Rachel sebagai wanita kebanyakan yang
menyukai roman dan hidup dalam dongeng-dongeng indah kisah cinta yang cengeng,
sementara Rachel menganggap Matthew sebagai laki-laki dingin yang lebih
mencintai pekerjaan daripada melibatkan diri dalam hubungan asmara. Satu sama
lain saling berpikir bahwa mereka sangat bertolak belakang dan tidak diciptakan
untuk bersama.
Meski sering berselisih
pendapat, suatu kejadian membuat mereka dekat dan saling tertarik. Ketika
keduanya terbakar dalam gairah dan tak sanggup menolaknya, Rachel memikirkan
efek dari menjalin hubungan dengan pria yang tidak percaya akan cinta dan
asmara. Akankah hubungan yang diawali dengan hubungan fisik akan bertahan
selamanya tanpa cinta? Lalu apakah yang akan terjadi diantara Matthew dan
Rachel kemudian?
Novel ini begitu khas
fiksi Amerika: penuh deskripsi detail, penuh dialog-dialog segar dan agak
“bawel”, penuh eksplanasi atas pemikiran, ideologi yang dianut dan emosi-emosi
tokoh, penuh gambaran gamblang akan hubungan seks, pria dingin dengan
kelembutan didalam, perempuan lembut dan menggoda tetapi keras hati, berkaitan
dengan kehidupan pekerjaan dan tokoh yang bertolak belakang tapi kemudian
saling jatuh cinta. Sangat tipikal novel Amerika. Kisah berpindah-pindah secara
cepat, dari satu tokoh ke tokoh lain, setting
lokasi satu ke lokasi lain, dan bisa membuat pembaca kesulitan mengikuti
kecepatan perpindahan kisahnya.
Skor: 7,5/10
Penggambaran karakter, lokasi, dialog
penuh dengan diksi dan kalimat yang menarik, cukup membantu dalam menata alur
dan kata-kata dalam gaya penuturan baru, meski kisahnya cukup tipikal dan mudah
ditebak akhirnya. Hanya saja, karena penggambaran kisahnya yang terlalu cepat
berpindah dan adegan kilas balik yang terlalu spesifik (hingga kadang ada hal
tidak penting yang ditulis), kisah yang sudah diduga ending-nya, membuat saya tidak terlalu menemukan kenyamanan dalam
membaca novel ini. Mungkin ini masalah selera saja.
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)