Kalian pasti punya seseorang, atau beberapa orang,
yang benar-benar ada di samping kalian saat susah. You might called it as a bestfriend. Orang-orang seperti ini, yang
ada disaat kalian sedih, down, susah,
kecewa, dan bakal menemani kalian apapun yang terjadi. Orang-orang seperti ini,
adalah mereka yang bertahan, dikala yang lain hanya datang dan pergi di hidup
kalian. Kadang, keberadaannya jauh dari kita, tak benar-benar ada disamping
kita untuk menenangkan, tapi rasanya mereka ada disini. Mereka menghangatkan
jiwa kita.
Yeah, I have an inner-circle too. Entah
apa yang membuat mereka datang ke hidupku, berteman denganku lalu menjadi
sangat dekat denganku. Seperti diantara kami ada semacam medan magnet yang tak
nampak, gaya tarik misterius yang membuat mereka bertahan menjadi temanku. Padahal,
untuk menjadi “temanku” mereka harus melalui beberapa tahapan yang “sulit”
seperti menghadapi naik-turunnya kondisi emosionalku, labilitas dalam diriku, bahkan
tak jarang, mereka terkena efek sistemik atas tempramenku, kena amuk! Ya, aku
harus mengakui bahwa aku tipe orang yang mudah tersulut emosi, dan kadang,
orang lain juga kena efek dari kemarahanku. Meski setelah itu aku bakal merasa
bersalah atas kelakuanku, dan aku berjanji ga akan melakukan the same thing to them, those people I loved
the most.
Mereka
semua kukenal di masa-masa aku masih bersekolah SMA. Saat pertama kali
menjejakkan langkah, mereka semua adalah orang asing bagiku. Mustahil rasanya
membayangkan kami menjadi teman dekat, tapi itulah yang terjadi. Mereka adalah
orang-orang ini, Annisatul Fauziah (Atul), Ulfa Amalia (Amal) dan M. Rizal.
Semuanya adalah teman kelasku dari kelas X-1. Dan, tak ada yang mengira,
selepas SMA, mereka tetap terus bertahan, tidak pergi dan tetap mendengarkanku,
apapun yang ku keluhkan. Ada ikatan yang tumbuh diantara masing-masing mereka
dan aku.
Padahal,
mereka juga bisa pergi dari hidupku, kalau mereka mau.
Apa yang membuat aku dan mereka
dekat?
Apa
yang membuat mereka bertahan berteman dengan seseorang yang tempramental
sekaligus rapuh sepertiku? Apa feedback
atau benefit yang mereka dapat?
Ketika pertanyaan itu diajukan, maka jawabannya akan positif : TIDAK ADA. Tapi,
itulah esensi pertemanan. Sukarela. We’re
voluntary. We don’t taking, but only giving and giving.
Aku
terikat dengan Atul, waktu kelas 11, saat dia tengah menghadapi polemik dengan
teman-teman sekelasku yang lain. Mulanya, hanya sebatas teman untuk bertanya
soal-soal Matematika/Kimia/Fisika yang sulit, tapi lama-kelamaan kami jadi
dekat. Semasa SMA, dia banyak bercerita tentang hubungan asmaranya padaku, yang
sempat mengalami titik kritis saat SMA, tapi kini semuanya baik-baik saja. Atul
adalah tipikal keras kepala, gigih, tegas dan pantang menyerah, sekaligus
sedikit mellow dan dramatis dalam
mengangap apapun yang ada di hidupnya. Dia baperan, juga cukup hemat tapi
alasannya logis (kalau tidak bisa dibilang kikir, hehe).
Atul adalah
satu-satunya yang akan mengiyakan keinginanku, atau ajakanku, sepanjang dia
bisa dan waktunya tidak berbenturan. Aku sering main ke rumahnya, sekedar
curhat atau malah dia yang membutuhkan kehadiranku untuk curhat padaku. We’ve share our deepest fears, scars and
flaws.
Waktu di UMM DOME,
Malang, sebagai delegasi olimpiade
Aku sudah bersama
dengannya ke banyak sekali tempat, seperti nge-mall (like normal people does),
hunting foto, jogging di KONI, lari pagi mengelilingi Suramadu, ke Pantai Goa
China (berkendara selama 14 jam pulang pergi), sampai naik ke Gunung Penanggungan,
1653 mdpl, Mei 2015 (karena aku percaya, naik gunung itu akan membeberkan watak
kita masing-masing). Sekarang, Atul tengah melanjutkan pendidikannya ke IPDN
Jatinagor, Sumedang, mencoba mewujudkan mimpinya menjadi PNS atau seorang camat
suatu saat nanti. Dia akan disana selama empat tahun, yang jelas sekali
membuatku merasa sangat kesepian di Surabaya tanpa dirinya.
Foto tolol ini diambil
sebelum Atul pergi ke IPDN Jatinagor, Sumedang
Tinggal
tersisa dua orang di Surabaya, Amal dan Rizal. Akan ku ceritakan tentang Amal.
Mulanya, dia tidak dipanggil seperti itu. Nama panggilan awal masuk SMA adalah
Ulfa, tapi nama panggilan saat lulus SMA adalah Amal, dan aku yang memberikan
nama itu, hehe. Suatu pagi di kelas, aku memanggilnya Amal Jariyah (semacam
sedekah gitu, yang biasa kita lihat di kotak-kotak sumbangan di masjid). Tentu
saja dia protes, tapi sambil ketawa-ketawa dan akhirnya aku berhasil “ngompori”
teman-teman yang lain untuk memanggilnya Amal juga, wkwk.
Sehabis pulang “shopping” di TP Pagi,
hahaha
Aku
mulai duduk sebangku dengan Amal ketika masuk kelas 11 SMA. Aku mengenalnya
sebagai sosok yang kalem (impresi awal), tapi ternyata impresi itu mbeleset (tidak tepat), bung! Amal
adalah sosok yang bawel, ngomelan, tukang protes tapi punya sense of humor yang bagus. Tak jarang,
kami ngikik kecil disela-sela jam pelajaran (yang ada gurunya pula). Sebangku
dengan Amal selama dua tahun membuat hari-hariku terasa segar, karena dia juga
cukup open minded, dan tipe-tipe
orang yang sabar dalam menganalisa segala sesuatu. Dia juga cukup sabar
menghadapiku. Dia juga cukup objektif, jadi ketika tahu aku salah, dia gak
bakal memihak. Huuuu, gak seru, Mal :D
Amal
kini melanjutkan pendidikannya di UNTAG, mengambil jurusan Sastra Inggris. She’s good at it. Dia memang punya
insting bagus dalam hal-hal yang berkaitan dengan grammar, hehe. Bakatnya itu sudah menonjol di SMA, menjadikan
teman-teman kelasku selalu berlarian padanya jika ada sesuatu yang sulit di
pelajaran Bahasa Inggris. Entah apa yang menjadikannya seperti itu, mungkin dari
kecil kalau tidur, dia bantalan pake kamus Oxford, hehe.
Pake webcam ini, maafkan kalo jelek
Terakhir
kali aku ngobrol langsung dengan Amal, adalah bulan Oktober 2014. Kami bertemu
di Kebun Bibit waktu itu terus lanjut #ExploreUNTAG wkwk. Entah
apa yang kami obrolkan, yang jelas asik dan ngangeni,
huhu. Amal sekarang ikut banyak organisasi kampus, beda dengan semasa SMA dulu
yang sangat fokus ke pelajaran aja :) Mangat ya luvvv!!!!!
Terakhir,
adalah Rizal. Satu-satunya teman laki-laki yang mau mendengarkanku. Kami tidak
cukup dekat waktu awal-awal SMA, apalagi aku sering sekali memarahinya for unlogical reason. Maaf Zal. Tapi,
dia bertahan sampai sekarang. Dia tidak pergi.
Kami
dekat saat aku mulai banyak curhat tentang “itu”. Taulah “itu” yang ku maksud
siapa. Bagi yang belum, minat PM, gan! Dia sering godain aku waktu SMA dulu
sama “itu” dan tak jarang, kami bekerja sama dengan cara mencari informasi melalui
Rizal wkwk. Ku bongkar deh, semua disini. Kadang, aku juga curhat dengannya
atas masalah lain, dan dia sering curhat juga soal impian besar dalam hidupnya
: menjadi anggota TNI/Polri. Dengar kawan, aku akan mendukungmu, apapun
impianmu. Asal amanah dan tidak jadi “oknum-oknum” ya ^^
Pas wisuda, duhh jadi kangen
Rumahku
dengan Rizal sangat dekat, tak lebih
dari 500 meteran. Aku sering ke rumahnya kalau lagi pengen cerita atau apa, dan
dia mendengarkanku di sela-sela tugasnya menjaga warnet milik keluarganya.
Banyak sekali yang dia lakukan untukku. Waktu dulu, pas loadcarry Wanala, aku sempat dipinjami sepatu trekking TNI milik bapaknya, dan sampai sekarang masih ada di bawah
ranjangku. Entah dia udah lupa atau gimana, hehe. Dia juga meminjamiku beberapa
buku paket IPS saat aku memutuskan ikut SBMPTN IPS. Oh ya, aku juga dulu sempat
mengajaknya ikut bimbingan belajar gratis yang diadakan oleh KORPRI Pemda
Jatim. Beberapa kali, dia menjemputku dan datang bersama ke bimbel. tapi
seringnya sih berangkat sendiri-sendiri. Aku masih ingat ketololan yang kami
lakukan :D
Sekarang, Rizal
melanjutkan pendidikannya di STIESIA, ambil jurusan S-1 Akuntansi. Dia sudah
semester 3 beranjak ke semester 4, tetapi masih menunggu waktu untuk ikut
seleksi masuk bintara kepolisian, entah kapan itu lupa. Aku sih berharap dia
bisa jadi anggota TNI/Polri seperti yang dia impi-impikan sepanjang hidupnya.
Dia harus berhasil meraihnya. Kau dengar, Zal, aku mendukungmu? Aku tahu, minat
dan bakatmu disana. KEJAR! Jangan nyerah, Zal.
***
Sebenarnya,
banyak yang sekali ingin ku tulis tentang mereka, tapi sebagian aku sudah lupa.
Hal-hal kecil yang manis itu, sedikit banyak tersingkir oleh waktu. Aku hanya
berhasil mengingatnya lewat foto-foto atau tulisan-tulisan yang tersimpan di laptop. Padahal, aku ingin menambahkan
banyak sekali detail-detail kecil yang tolol tapi manis, sayang sekali aku
sedikit lupa.
Kadang,
aku membayangkan, apa jadinya jika waktu SMA aku tidak masuk sekolah yang sama
dengan mereka. Apakah aku bisa menemukan orang-orang sebaik dan setulus mereka?
Apakah aku akan dipertemukan dengan mereka dalam kondisi yang lain? Bertemu,
kenal, berteman, hingga menjadi seerat sekarang adalah takdir, campur aduk
tangan Tuhan yang misterius. Mungkin, mereka memang didekatkan kepadaku oleh
Tuhan, karena Tuhan tahu, aku terlalu rapuh tanpa keberadaan orang-orang dekat
yang sangat memahamiku dan menerimaku apa adanya. Mereka adalah “delegasi” atau
utusan, yang datang untuk menemani dan menguatkanku.
Mereka, adalah prosentase kecil dari banyaknya
teman yang ku miliki, yang mau mendengarkan keluh kesahku, masalah-masalahku, kekecewaan,
kesedihan, rasa sakit dan segala luka-lukaku. Kehadiran mereka menyembuhkan
segala luka yang menganga. Mereka yang memilih bertahan daripada pergi. Mereka
adalah satu-satunya bintang yang berpijar cerah saat langit malam kelam. Aku
menghargai ketulusan yang mereka berikan, aku menghargai kasih sayang yang
mereka tawarkan, aku menghargai seluruh waktu yang kita habiskan bersama,
sedetik sekalipun. Mereka pantas
disebut sebagai sahabat, bahkan saudara tanpa hubungan darah ^^
TERIMA
KASIH SUDAH BERTAHAN DAN TIDAK PERGI.
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)