Sabtu, 30 Januari 2016

#BukuBulanIni (Januari 2016)

Aku sedang disibukkan dengan penulisan naskah novel pertamaku saat ini. Ditengah-tengah semangatku yang masih menggelora, seorang penulis sepertiku jelas butuh buku-buku penunjang sebagai sumber refrensi tulisannya. Memperkaya diksi, merancang plot atau alur, menggambarkan karakter, dapat dengan mudah dibuat jika kau sudah banyak melahap karya-karya sastra. Karena aku menulis kisah fiksi, maka aku butuh asupan tambahan berupa buku-buku fiksi lain yang telah dicetak oleh penerbit ternama.
Ilustrasi buku
Sebuah buku fiksi (sebut saja dengan novel), telah melalui tahapan-tahapan panjang sebelum ia dipublikasikan dan disebarluaskan ke pasaran. Apalagi jika buku itu diterbitkan oleh penerbit mayor, maka naskah novel itu tidak serta merta diterima dan disetujui untuk dicetak karena mereka punya standar literasi tersendiri mengenai tulisan fiksi. Jika novel itu telah disebarkan di pasaran, maka selamat, setidaknya karya itu sudah memenuhi standar literasi dan sastra, dimana masing-masing penerbit punya definisi berbeda akan standar tersebut.

Berbicara soal refrensi, aku mendapatkannya dengan mudah di salah satu tempat terbaik di dunia : perpustakaan. It’s free and you can choose whatever book you want. Perpustakaan yang sering ku kunjungi dalam hidupku adalah Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur atau lebih sering di sebut BAPERSIP/PERPUSDA. Perpustakaan tercinta itu berada di jalan Menur Pumpungan Surabaya, sebelah pas dengan STIESIA dan Apartemen Gunawangsa Manyar. Koleksi untuk buku-buku fiksi buatan Indonesia cukup lengkap, mulai dari model chicklit-chicklit-an, novel terjemahan, novel pop-culture (yang mengusung gaya hidup masa kini), novel bertemakan kedaerahan, novel dari penulis-penulis ternama dan sebagainya. Lengkap, sampai rasanya hingga detik ini aku baru membaca 0,01 % dari seluruh koleksinya. Padahal aku sudah menjadi anggota disana selama empat tahun belakangan.
Aku juga menjadi anggota tetap dari Perpustakaan Umum Kota Surabaya yang berada di komplek bangunan Balai Pemuda, yang berada pas di sebelah kantor DPRD Kota Surabaya dan SMAN 6 Surabaya. Dan tentunya, keanggotaan tetap selama menjadi mahasiswa di Universitas Airlangga, meski sejujurnya aku tak terlalu suka meminjam buku disana dengan alasan simple : males naik turun tangga (perpus ada di lantai 3, hiks). Lagian, fokus utama perpustakaan kampus B Unair adalah literatur non-fiksi dan sangat ilmiah, jadi aku tidak terlalu berharap banyak, kecuali akan meminjam literatur fiksi berbahasa inggris yang cukup lengkap di American Corner.
Dan tujuan dari dibuatnya postingan bertemakan khusus : #BukuBulanIni adalah dengan tujuan aku ingin membagikan review singkat mengenai buku-buku apa saja yang telah berhasil ku lahap bulan ini, berapa statistik kepuasanku terhadap buku itu, bagaimana rekomendasiku terhadap buku itu, apa buku itu berhasil membuatku menemukan kata-kata atau kalimat baru yang akan memperkaya tulisanku dan sejenisnya. Pun jika aku merasa tidak puas dengan buku tertentu, bukan berarti aku menganggap buku itu tidak layak untuk dibaca, hanya saja standar kepuasan masing-masing orang berbeda dan sangat subjektif.
Jadi...Inilah yang bisa kupersembahkan. Selamat melahap buku!

1.  ABG Dibalik Runway
Penulis: Armadina A.Z
Penerbit: PlotPoint

Fresh dan ABG banget! Itu kesan yang kudapat ketika membaca buku ini. Buku ini adalah literatur non fiksi sebenarnya, dan lebih mirip tulisan seorang blogger, tetapi sangat renyah untuk dibaca. Dan apa yang membuatnya spesial? Buku ini di review oleh model-model catwalk papan atas, desainer, penulis dan fashion enthusiast lain. Kenapa? Karena simply, buku ini menceritakan sesuatu yang berkaitan dengan dunia fashion dan catwalk. Ini dunia yang mereka geluti setiap hari.
     Buku ini ditulis oleh seorang gadis muda, Armadina, yang lebih suka dipanggil Nina yang bekerja sebagai jurnalis di kantor berita online dan dia ditugaskan untuk meliput hal-hal yang berkenaan dengan event fashion di Jakarta. Gadis kelahiran 1995 ini awalnya tidak tahu banyak tentang fashion waktu dia menceburkan diri menjadi jurnalis fashion. Tapi ajaibnya, karena kecintaan yang dipupuk, lama kelamaan dia jadi tahu banyak mengenai fashion dan dunia model catwalk, bahkan berteman dengan model-model catwalk itu. Menarik juga, karena stereotype yang beredar adalah model-model itu cenderung menjaga jarak dan tidak mudah menjalin hubungan dengan orang asing, bisa akrab bahkan menjadikan Nina sebagai teman dan adik. Nina juga membongkar kisah-kisah dan kehidupan pribadi beberapa model yang ia kenal dari kacamata seorang “adik tersayang” dari model itu, bukan dari kacamata orang asing yang sinis dan memanfaatkan kisah-kisah pribadi itu untuk kepentingan yang salah. Model-model yang terlihat begitu tanpa cela, ternyata bisa juga punya masa lalu yang menyedihkan, seperti menjadi korban bullying dan kekerasan. Model-model yang terlihat sempurna itu, ternyata bisa merasa tertekan dan tersudutkan dalam pekerjaannya sebagai model catwalk profesional. Semua ini seperti melunturkan kesan model di mata kita. Seberapa glamour-nya kehidupan yang mereka jalani, toh mereka juga sama-sama manusia biasa seperti kita.
     Dengan gaya bercerita yang lugas, penuh dengan rasa penasaran dan apa adanya, Nina berhasil membawaku untuk mengenal lebih dekat dunia model catwalk. Seolah aku berjabat tangan sendiri dan berbicara dengan para model-model itu, saking bagusnya gaya penceritaan Nina dari sudut pandang “adik tersayang yang penasaran”. Dialog-dialog yang ditampilkan pun serasa membangun kisah, yang berkombinasi dengan narasi dari sudut pandang orang pertama.

     Skor? 8,5/10
     Tidak membantu untuk menulis naskahku, tetapi membantu untuk menambah wawasan dan pengetahuanku akan dunia model catwalk. Setidaknya, kini aku lebih memahami mereka dan kehidupannya yang terlihat “WAH”.

2.  Stasiun
Penulis: Cynthia Febrina
Penerbit: PlotPoint

Buku fiksi baru pertama yang ku baca untuk bulan ini! Dengan sampul yang sangat menarik dan ketiadaan sinopsis di belakang buku, menjadikan rasa penasaranku kian menjadi-jadi dan kuputuskan untuk meminjam buku ini. Tentang apa ini? Siapa saja tokohnya? Apa konfliknya? Apa yang terjadi kemudian?
     Buku ini bercerita tentang dua tokoh sentral, Adinda dan Ryan, yang sama-sama pengguna kereta api dan “mencegatnya” di Stasiun Bogor. Adinda, seorang perempuan karir, baru saja mengalami masa paling buruk dalam hidupnya: diputuskan oleh tunangannya, Rangga, karena tunangannya ternyata masih menyukai perempuan lain dan meninggalkan Adinda, lalu bertunangan secara impulsif dengan perempuan itu. Adinda yang terbiasa di antar jemput dengan mobil kekasihnya, kini “turun derajat” (seperti istilahnya sendiri) menjadi pengguna kereta api Commuter Line. Beberapa waktu pertama ia menggunakan kereta, terlihat jelas ia masih ogah-ogahan tetapi tidak ada pilihan lain baginya. Tidak ada lagi moda transportasi yang lebih cepat dan terjangkau baginya, kecuali kereta. Dan keputusannya menjadi “anak kereta” sendiri adalah hasil bujukan dari sahabatnya, Sasha, seorang perempuan tegas dan blak-blakan yang mempunyai jiwa lembut dan humanis dibaliknya.
     Ryan, adalah seorang karyawan yang juga mempunyai profesi lain dalam hidupnya: menjadi pelukis. Ia sendiri telah memiliki studio lukis dan memperkerjakan beberapa karyawan. Ryan tinggal di rumah ibunya sebagai anak tunggal. Ayahnya telah meninggal karena terserang penyakit sirosis hati. Semasa kecil, Ryan telah terbiasa bekerja keras membantu mencari uang untuk menyokong perekonomian keluarga yang ambruk karena perusahaan Ayahnya terkena penipuan.  Ryan menjadi pekerja serabutan dan seorang semir sepatu cilik. Karena latar belakangnya itulah, Ryan terbiasa untuk hidup secara sederhana, dan salah satu contohnya adalah selalu berpergian menggunakan kereta, khususnya kereta api ekonomi yang bertarif sangat murah, yang dibarengi dengan fasilitas yang buruk. Ryan, yang berumur 26 tahun ini belum menunjukkan minatnya dalam menjalin hubungan asmara dengan perempuan manapun pasca ia putus dari kekasihnya beberapa tahun silam karena tidak merasakan “getaran” dalam hatinya, juga karena ia dan mantan kekasihnya saling sibuk sendiri dan tidak ada keinginan untuk saling mencari dan mengisi. Ibu Ryan yang ingin menimang seorang cucu, hanya bisa meminta ke anaknya untuk segera mencari pendamping hidup, namun ditanggapi secara santai oleh Ryan sendiri.
     Adinda dan Ryan memiliki kenalan seorang penjual koran di stasiun itu, yang dengan bantuannya, membuat Ryan dan Adinda penasaran satu sama lain. Lama kelamaan, Adinda dan Ryan bertemu. Bukan karena kesengajaan, tetapi anehnya, ada perasaan berdebar-debar yang sama pada mereka berdua ketika memandang satu sama lain. Adinda menganggap Ryan sebagai lelaki pemberani yang berjiwa sosial tinggi, sementara Ryan terpikat dengan kelembutan dan paras Adinda, yang ia tatap secara tidak sengaja.
     Novel ini tidak hanya menceritakan tentang Adinda dan Ryan serta kehidupan pribadi mereka, namun juga mengekspos kehidupan kalangan marginal yang berada di sekitar stasiun : mulai dari perempuan tua yang menjadi gila karena ditinggal mati suaminya dalam kecelakaan kereta, penjual koran, penjual buku lawas yang sangat idealis, bapak dan anak yang berprofesi sebagai penyemir sepatu, anak penyapu gerbong kereta, dan lain sebagainya. Membuka mata kita bahwa dibalik kehidupan kita yang seringkali kita keluhkan, masih banyak lagi orang dibawah kita yang harus berjuang untuk sekedar mencari makan dan kehidupan yang layak.

Skor? 8/10
Membantu untuk penulisan tetapi tidak terlalu signifikan. Mengapa? Tidak ada permainan diksi yang ajaib atau kalimat-kalimat yang mindblowing. Kisah dalam novel ini cukup sederhana, begitu pula penyuguhannya dalam tulisan. Gaya penuturannya pun tak terlalu spesial. Ada sedikit ledakan emosional di beberapa bagian. Tetapi, pesan yang ingin disampaikan terutama soal kaum marginal dan kehidupan, cukup mengenai kita secara telak.

3.  Miss Hola Holic : Kisah Super Konyol Anak Magang ala Bonbin
Penulis: Vanny Chrisma W.
Penerbit: D-Teens, Diva Publisher

Buku ini kutemukan di Perpustakaan Umum Kota Surabaya, yang menurutku masih sangat minim akan koleksi literatur sastra. Aku mengambilnya secara asal dari rak, tertarik karena hal sederhana : buku ini mengambil setting tempat di Surabaya! Seperti yang kita tahu, setting tempat yang paling mainstream adalah di Ibukota Jakarta, maka keberadaan novel yang menceritakan lokasi lain, apalagi berkaitan dengan tempat asalku, adalah hal yang menarik.
     Novel ini menceritakan tentang Vanny, pelajar kelas tiga SMK 1 Surabaya, yang harus mencari tempat magang sebagai salah satu syarat mutlak sebagai pelajar SMK. Vanny, sebagai siswi SMK Jurusan Sekretaris, sangat mendambakan lokasi magang di kantor Jawa Pos, yang menurutnya akan membantu karirnya dalam menjadi pegawai kantoran suatu saat nanti. Tapi impian Vanny kandas ketika mengetahui lokasi magang mereka dipindah oleh ketua kelompoknya ke Kebun Binatang Surabaya!
     Ada premis utama di kisah ini, yakni keengganan Vanny untuk magang di KBS karena ia sudah merasa antipati terlebih dahulu. Rasa antipatinya muncul karena rasa jijik akan hewan dan aromanya, juga karena ia memandang kebun binatang sebagai sarang penyakit. Bahkan, rasa antipati itu bertahan hingga akhir kisah. Premis lain adalah, yang cukup ku herankan, adalah Vanny sering menyebut dirinya sendiri sebagai “gadis bodoh yang pantas dibodohi” yang secara singkat dapat menyulap dirinya menjadi karakter utama menjadi seorang loser (pecundang). Begitu seringnya sang penulis (yang juga bernama Vanny Chrisma) menempatkan karakter Vanny sebagai sosok yang begitu bodoh, baik dalam narasi maupun dialog hingga tingkah lakunya, bahkan hingga di akhir cerita. Semua itu membuatku bosan dan mengernyitkan dahi dengan heran, bertanya, kenapa ending-nya begitu anti klimaks? Apa tujuan penulis menempatkan karakternya menjadi begitu lemah tak berdaya tanpa tujuan yang jelas?
     Kelemahan lain dari novel ini adalah sering kali ada kisah yang tak tahu bagaimana rimbanya, yang ditulis dan membuat pembaca penasaran namun tidak diteruskan. Seperti kisah Vannya dengan Ruhut, atau kelanjutan pertemanan Vanny dengan 3 temannya yang pada awalnya dipanggil “sahabat” namun di tengah dan akhir kisah, Vanny menyebut mereka sebagai teman (atau musuh dalam selimut) yang selalu mempermainkan dia, hingga ketidakpastian atau ketidak-konsistenan pendirian Vanny dalam bertingkah dan memandang sesuatu.
     Seharusnya, sebuah kisah fiksi yang ditulis bisa menjalin satu persatu kisah dengan rapi, menempatkan karakter dengan logis dan bertujuan, tidak melanjutkan kisah yang sudah ditulis, dan lainnya. Buku ini sebenarnya punya potensi untuk menjadi bagus, tetapi dimentahkan sendiri oleh penulisnya dengan kerapuhan karakter utamanya, plot yang mengambang, kisah yang hilang atau tak berlanjut, gaya bertutur yang mirip diary namun kurang diolah dengan matang, ending yang anti-klimaks, data-data tentang Kebun Binatang Surabaya yang kurang dieksplor lebih dalam dan lain sebagainya. Buku ini, bisa dibilang, selalu mengulang premisnya dengan kalimat-kalimat sama yang seringkali berulang (contohnya, Vanny sering menyebut dirinya gadis bodoh sekitar ribuan kali, tanpa mengeksplor lebih dalam atau membuat diksi lain mengenai “seperti apa sebenarnya gadis bodoh itu?”). Sangat disayangkan, buku ini berakhir menjadi tulisan yang tanpa greget dan meninggalkan kesan, padahal, sekali lagi, buku ini punya potensi untuk menjadi novel yang bagus dan menarik, bahkan bisa meningkatkan popularitas Kebun Binatang Surabaya ke publik.

Skor? 4/10
Baca sendiri mendingan, hehe.

4.  Love for Sale (Bisnis Asmara)
Penulis: Sharon Stewart
Penerbit: Gramedia (novel terjemahan)

Apa jadinya jika seorang laki-laki pebisnis yang berpikiran logis, memandang roman dan percintaan sebagai hal remeh yang ditujukan bagi orang bodoh, bertemu dengan perempuan pemilik separuh tokoh roman yang menjual barang-barang yang berkaitan dengan cinta?
Matthew Kent, CEO dari Kent Enterprises dan keponakan dari Ava LaMont, seorang wanita kaya raya dan pemilik banyak saham, mendapatkan warisan dari Ava LaMont dengan syarat khusus, yakni berlibur selama 6 minggu di kota bekas pertambangan Jerome. Dengan arti, Matthew yang gila kerja harus beristirahat total 6 minggu tanpa menyentuh pekerjaan. Bagi Matthew, hal itu hampir mustahil dan jika ia tolak, harta itu akan jatuh ke tangan Hodgepodge, anjing kesayangan milik Ava. Matthew jelas tidak rela apabila harta bibinya jatuh ke tangan seekor anjing konyol itu. Maka, mulailah usaha Matthew untuk meliburkan diri di Jerome.
Rachel McCarty adalah separuh pemilik (separuh sahamnya dimiliki Ava LaMont) dari toko khusus, Realm of Romance, yang menjual pernak-pernik berkaitan dengan asmara adalah teman baik Ava, dan akan menemani Matthew mengisi kebosanannya di Jerome. Tanpa paksaan, Matthew mulai “bekerja” di Realm of Romance, mengatur barang, mengurusi keuangan toko dan apapun, asal membuatnya melupakan kebosanannya. Matthew tinggal di lantai dua toko, tepat dibawah kamar Rachel di lantai 3.
Mulanya, diantara mereka tidak ada apa-apa. Matthew menganggap Rachel sebagai wanita kebanyakan yang menyukai roman dan hidup dalam dongeng-dongeng indah kisah cinta yang cengeng, sementara Rachel menganggap Matthew sebagai laki-laki dingin yang lebih mencintai pekerjaan daripada melibatkan diri dalam hubungan asmara. Satu sama lain saling berpikir bahwa mereka sangat bertolak belakang dan tidak diciptakan untuk bersama.
Meski sering berselisih pendapat, suatu kejadian membuat mereka dekat dan saling tertarik. Ketika keduanya terbakar dalam gairah dan tak sanggup menolaknya, Rachel memikirkan efek dari menjalin hubungan dengan pria yang tidak percaya akan cinta dan asmara. Akankah hubungan yang diawali dengan hubungan fisik akan bertahan selamanya tanpa cinta? Lalu apakah yang akan terjadi diantara Matthew dan Rachel kemudian?
Novel ini begitu khas fiksi Amerika: penuh deskripsi detail, penuh dialog-dialog segar dan agak “bawel”, penuh eksplanasi atas pemikiran, ideologi yang dianut dan emosi-emosi tokoh, penuh gambaran gamblang akan hubungan seks, pria dingin dengan kelembutan didalam, perempuan lembut dan menggoda tetapi keras hati, berkaitan dengan kehidupan pekerjaan dan tokoh yang bertolak belakang tapi kemudian saling jatuh cinta. Sangat tipikal novel Amerika. Kisah berpindah-pindah secara cepat, dari satu tokoh ke tokoh lain, setting lokasi satu ke lokasi lain, dan bisa membuat pembaca kesulitan mengikuti kecepatan perpindahan kisahnya.

Skor: 7,5/10

Penggambaran karakter, lokasi, dialog penuh dengan diksi dan kalimat yang menarik, cukup membantu dalam menata alur dan kata-kata dalam gaya penuturan baru, meski kisahnya cukup tipikal dan mudah ditebak akhirnya. Hanya saja, karena penggambaran kisahnya yang terlalu cepat berpindah dan adegan kilas balik yang terlalu spesifik (hingga kadang ada hal tidak penting yang ditulis), kisah yang sudah diduga ending-nya, membuat saya tidak terlalu menemukan kenyamanan dalam membaca novel ini. Mungkin ini masalah selera saja.

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template