Ditulis oleh: Nena Zakiah
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga - Semester 5
Sebagai tugas UTS Komunikasi dan Multikulturalisme
PENDAHULUAN
Penanaman nilai-nilai
multikulturalisme bukan lagi barang baru di Indonesia. Berbagai jenis medium
menawarkan pesan-pesan dan ideologi multikultural, mulai dari film, program TV,
karya jurnalistik, hingga buku-buku, baik buku fiksi, non-fiksi, hingga buku
pelajaran. Tak pelak, medium-medium tersebut memiliki andil yang besar dalam
menanamkan nilai-nilai multikulturalisme.
Dilansir dari Your
Dictionary[1],
pengertian multikultural adalah sesuatu yang menggabungkan ide-ide, keyakinan
atau orang-orang dari banyak negara dan latar belakang budaya yang berbeda. Sementara
menurut Rosado[2], multikulturalisme adalah
sistem keyakinan dan perilaku yang mengakui dan menghormati perbedaan dalam
suatu kelompok atau organisasi masyarakat, mengakui dan menghargai perbedaan
sosio-kultural dan mendorong mereka terus berkontribusi di dalam sebuah konteks
budaya yang memberdayakan seluruh organisasi dan masyarakat. Apabila
disimpulkan, maka pengertian mengenai multikultural adalah kesadaran akan
adanya perbedaan, baik perbedaan budaya, keyakinan hingga ide-ide dan bagaimana
manusia menerima, menghargai dan menghormati perbedaan tersebut.
Multikulturalisme
merupakan antitesis dari monokulturalisme, dimana paham tersebut lebih
menekankan pada keseragaman daripada keberagaman. Dikutip dari English Oxford
Living Dictionaries[3], monokulturalisme adalah
kebijakan atau proses yang mendukung, mengadvokasi, atau memungkinkan ekspresi
budaya dari satu kelompok sosial atau etnis. Dalam paham monokulturalisme, ada
satu kelompok sosial yang menonjol dibanding kelompok-kelompok sosial yang
lain. Dominasi tersebut muncul dari segi jumlah (quantity), dimana kelompok tersebut memiliki jumlah yang jauh lebih
banyak dibanding kelompok sosial lainnya. Keseragaman dalam negara monokultural
dilihat dari kesamaan ras, etnis, budaya dan kepercayaan. Beberapa negara
monokultural adalah Jepang, China, Korea Utara dan Korea Selatan.
Indonesia adalah negara
yang multikultural, hal itu jelas terlihat dari ras (Mongoloid, dengan sub-ras
Malayan-Mongoloid dan Asiatik-Mongoloid, Melanesia serta sebagian kecil ras
Kaukasia), agama (Islam, Kristen-Protestan, Kristen-Katholik, Hindhu, Buddha,
Kong Hu Cu), aliran kepercayaan seperti animisme dan dinamisme, hingga suku,
yang dilansir dari laman Badan Pusat Statistik[4],
dalam Sensus Penduduk 2010 (SP2010) memiliki jumlah 633 suku. Selain itu,
terdapat semboyan bangsa Indonesia yang merepresentasikan ideologi
multikultural, yakni Bhinneka Tunggal Ika, yang memiliki arti berbeda-beda tetapi
tetap satu. Kalimat ini terdapat di dalam lambang negara Indonesia, Garuda
Pancasila, tepatnya di dalam pita berwarna putih yang dicengkram oleh kaki
burung garuda. Kalimat ini sejatinya telah diciptakan beberapa abad yang lalu,
tepatnya pada abad ke-14 oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma. Lalu,
menjelang proklamasi, kalimat ini diusulkan oleh Muhammad Yamin kepada Soekarno
sebagai semboyan negara.[5]
Walaupun Indonesia
adalah negara multikultur, sebagaimana di belahan dunia lain, tetap ada dominant ideology yang memiliki pengaruh
dan kuasa paling besar dibandingkan ideologi-ideologi yang lain. Menurut
WiseGEEK[6], dominant ideology berakar dari teori
Karl Marx, dimana sebagian besar masyarakat berbagi nilai dan sikap yang dalam
politik dan filsafat, yang ditentukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dan
pengaruh. Dilansir dari Study.com[7],
yang juga mengutip Karl Marx, dominant
ideology adalah sistem nilai dan moral yang diciptakan oleh pihak yang
memiliki kuasa untuk mengontrol kaum pekerja. Sederhananya, dominant ideology diciptakan oleh pihak
yang memiliki kuasa, dan pihak-pihak yang powerless pun hanya bisa menerima sistem tersebut begitu
saja tanpa bisa melawan dan merubahnya.
Dominant
ideology mempunyai relasi
dengan hegemony. Dikutip dari
Washington Edu[8], hegemoni berarti
kesuksesan kelas dominan dalam menampilkan definisi mereka atas realita,
pandangan mereka terhadap dunia, yang kemudian diterima oleh kelas yang lain
sebagai ‘common sense’ (pandangan umum). Hegemoni dianggap keberhasilan atas dominant ideology. Contoh dari hegemoni
adalah pelabelan Orde Baru (pihak penguasa) kepada komunis, bahwa komunis itu
atheis dan kejam. Hegemoni itu dilakukan dengan banyak cara dan disebarkan
melalui banyak media. Akhirnya, orang-orang yang tak memiliki kuasa dan ruang
mereka untuk memperoleh informasi yang sebenar-benarnya dibatasi,
perlahan-lahan akan percaya dan memiliki pola pikir yang sama jika komunis itu
tak bertuhan dan kejam. Keberhasilan hegemoni itu bahkan masih terasa hingga
sekarang, masyarakat masih memiliki ketakutan dan antipati terhadap komunis
walau puluhan tahun telah berselang dari era Orde Baru. Hal ini membuktikan
betapa powerful-nya propaganda yang
dilakukan pihak penguasa pada saat itu dalam menanamkan nilai-nilai versi
mereka sendiri kepada masyarakat luas.
Dominant
ideology juga terdapat dalam
multikulturalisme. Walaupun diperlihatkan keberagaman ras, suku, agama dan
kepercayaan, tetap saja ada satu yang menonjol dibanding dengan yang lain.
Seperti anggapan sebagian orang Indonesia bahwa ras Kaukasia itu memiliki paras
yang cantik dan tampan. Bila ditelaah lebih lanjut, pendefinisian cantik dan
tampan itu dilihat dari physical
appearance mereka, yakni dari kulit yang putih, postur tubuh yang tinggi,
hidung yang mancung, mata yang memiliki warna aneka ragam, rambut pirang, dan
lain sebagainya. Hal itu bukan tanpa sebab, ada penanaman hegemoni dari ras
Kaukasia itu sendiri saat era perang dunia, yang memberikan penegasan pada
pihak yang kalah perang bahwa ras Kaukasia adalah ras yang paling unggul dan
agung. Perlahan-lahan, ras-ras lain yang memiliki kuasa dan kontrol lebih lemah
dari ras Kaukasia akan menginternalisasi hegemoni itu dan menganggapnya sebagai
sebuah kebenaran. Selain itu, di media massa, kita selalu terpapar oleh
representasi kecantikan dan ketampanan yang diwakili oleh model-model yang
memiliki ras Kaukasia. Akibatnya, anggapan bahwa ras Kaukasia itu ras yang
superior semakin diperkuat dan dipercaya.
Dalam tulisan ini,
peneliti akan menjelaskan mengenai penanaman nilai-nilai multikultural melalui
media buku pelajaran jenjang sekolah dasar (SD). Medium yang disorot adalah
buku pelajaran kelas 2 SD yang berjudul Tugasku Sehari-hari. Buku ini merupakan
seri ketiga dari rangkaian dari Buku Tematik Terpadu Kurikulum 2013, yang
disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan ditujukan untuk pelajar
kelas 2 SD/MI. Disadur dari laman Sekolah Oke, kurikulum 2013 dibuat dengan
tujuan mendorong peserta didik mampu lebih baik dalam melakukan observasi,
bertanya, bernalar dan mengkomunikasikan apa yang mereka peroleh setelah
menerima materi pelajaran[9].
Kurikulum ini juga lebih menekankan pada fenomena alam, sosial, budaya dan seni[10]. Menurut
laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia[11], konsep
kurikulum 2013 diciptakan untuk mengakomodasi kemampuan anak yang berbeda-beda
dan memahami bahwa perkembangan otak antara anak satu dengan lainnya tidak sama.
Mohammad Nuh menuliskan
mengenai kurikulum 2013 saat masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI, bahwa kurikulum ini merupakan kurikulum yang berbasis
kompetensi. Ada perumusan antara kompetensi sikap. pengetahuan dan keterampilan
yang harus dikuasai peserta didik, yang juga merumuskan mengenai proses
pembelajaran dan penilaian untuk memastikan ketercapaian kompetensi yang
diinginkan[12]. Artinya, kurikulum 2013
ini menyesuaikan dengan kompetensi masing-masing anak, dan pada akhirnya akan
terlihat dimana bakat dan kompetensi anak itu berada. Apakah di bidang eksakta,
bahasa, seni, sosial, dan lain-lainnya. Serta tidak ada anggapan bahwa satu
bidang lebih unggul dibanding bidang lain, seperti anggapan orang bahwa anak
yang menguasai matematika lebih cerdas dibanding anak yang menguasai bidang
seni.
Ada 4 subtema dalam
buku ini, yakni: 1) Tugasku Sehari-hari di Rumah; 2) Tugasku Sehari-hari di
Sekolah; 3) Tugasku sebagai Umat Beragama; dan 4) Tugasku dalam Kehidupan
Sosial. Masing-masing bab akan menjelaskan peran anak-anak dalam lingkungan
mereka, mulai dari lingkungan terkecil (keluarga), lingkungan institusi
(sekolah), hingga lingkungan yang lebih luas, yakni bermasyarakat. Masing-masing
bab akan dibahas secara rinci mengenai konten seperti apa dalam buku teks ini
yang mewakili nilai-nilai multikultural. Buku ini cukup representatif sebagai
penyebar nilai-nilai multikulturalisme kepada anak-anak usia sekolah dasar.
Selain karena ditinjau dari isi konten, juga dilihat dari cara bertuturnya yang
mudah dipahami oleh anak-anak sekolah dasar, disertai dengan ilustrasi yang mampu menunjang pemahaman.
PEMBAHASAN
2.1 Buku yang digunakan sebagai objek dalam
penulisan ini adalah:
Gambar 1: Halaman sampul depan
dan daftar isi buku Tugasku Sehari-hari
Pengarang
|
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
|
Tahun terbit
|
2014
|
Judul buku
|
Tugasku
Sehari-hari
|
Kota terbit
|
Jakarta
|
Penerbit
|
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
|
2.2 Deskripsi dan Perbandingan Aspek
Multikultural dalam Konten Buku Ajar “Tugasku Sehari-hari”
pada BAB I
Gambar 2: Suasana di rumah Siti pada hari Minggu
a)
Aspek ras
Yang dimaksud dengan ras adalah sekelompok manusia
yang diidentifikasi memiliki kesamaan berdasarkan fisik atau ciri-ciri genetik
yang memiliki kemiripan dalam grup tersebut[13]. Di
dalam gambar 2, terlihat bahwa ada kemiripan fisik yang sama pada seluruh
anggota keluarga Siti, yakni kulit yang berwarna kuning kecoklatan, mata
berukuran sedang pada Siti dan Ali (adiknya), sementara kedua orangtuanya
memiliki ukuran mata yang sedikit lebih kecil. Pada mata mereka pun terlihat
tidak memiliki kelopak mata (eyelid),
serta rambut Ali dan ayah Siti berwarna gelap, sementara pada Siti dan ibunya,
tidak diketahui warna rambut mereka karena tertutup oleh kerudung. Ciri-ciri
tersebut dapat diramu dan disimpulkan bahwa mereka keluarga yang memiliki ras
Malayan-Mongoloid.
b)
Aspek agama
Pada gambar 2, terlihat Siti dan ibunya memakai atribut
kerudung, atau penutup bagian kepala, pundak dan dada. Pemakaian kerudung pada
wanita merupakan perintah dalam agama
Islam, maka dapat disimpulkan bila Siti dan ibunya menganut agama Islam.
Sementara, pada Ali dan ayah Siti, tidak diketahui secara gamblang apa agama
mereka bila dilihat secara kasat mata dari penampilan dan gaya berpakaian
mereka, namun bila ditebak melalui nama, Ali bisa dipastikan Islam, karena nama
Ali umum digunakan oleh laki-laki yang beragama Islam. Pada ayah Siti, tidak
ditemukan petunjuk apapun mengenai agamanya, baik melalui nama maupun gaya
berpakaian dan atribut yang ia kenakan.
c)
Aspek suku
Dalam gambar 2, tidak
ditemukan petunjuk apapun mengenai identitas kesukuan Siti dan keluarganya. Tidak
ada ciri-ciri yang terlihat dapat menjelaskan identitas kesukuan mereka, baik
dari cara berpakaian dan perabotan rumah mereka.
Deskripsi
dan Perbandingan Aspek Multikultural dalam Konten Buku Ajar “Tugasku Sehari-hari” pada BAB II
Gambar
3: Berdoa bersama di kelas
a)
Aspek ras
Dalam gambar 3,
terdapat 6 orang anak yang berada di sebuah ruangan kelas di dalam sekolah,
yang tengah melaksanakan doa bersama. 6 orang anak tersebut hampir semuanya
memiliki perbedaan fisik antara satu sama lain. Tiga diantara anak tersebut
(nomor urut 1, 2, 3, dan 5 dari kanan) memiliki warna kulit yang sama, yakni
cokelat terang. Satu anak memiliki warna kulit hitam (nomor urut 4 dari kanan),
dan satu lagi memiliki warna kulit yang paling terang (nomor 6). Semua anak
memiliki rambut berwarna gelap dan berambut lurus, kecuali Siti yang tidak
diketahui warna rambutnya dan anak nomor 4 yang memiliki rambut keriting. Sementara
itu, semua anak terlihat memejamkan matanya saat tengah berdoa, jadi tidak terlihat
bagaimana warna dan ukuran mata mereka. Ciri-ciri yang paling mendekati adalah
mereka memiliki ras Malayan-Mongoloid (anak nomor urut 1, 2, 3, dan 5 dari
kanan), ras Melanesoid (nomor urut 4 dari kanan) dan ras Asiatik-Mongoloid
(nomor urut 6 dari kanan).
b)
Aspek agama
Dalam
teks di tulisan yang berbunyi, “Beberapa siswa berbeda suku, bahasa dan
agama...”, yang menjelaskan mengenai kepercayaan yang mereka anut, namun tidak
menjelaskan lebih jauh mengenai agama masing-masing anak dalam gambar. Namun,
cara mereka berdoa dapat menerangkan mengenai apa agama mereka. Anak nomor satu
berdoa dengan memejamkan mata dan mengatupkan kedua belah telapak tangannya,
dengan kepala yang sedikit menunduk dan bahu yang sedikit turun. Ada
kemungkinan bila agama perempuan berambut panjang itu adalah Hindhu, karena
cara berdoa umat Hindhu pun dengan mengatupkan kedua belah telapak tangan,
dengan posisi bahu turun dan kepala agak menunduk, seperti saat mereka
bersembahyang di Pura dan menyembah dewa-dewi mereka. Sementara itu, cara
berdoa anak nomor 2 dan 3 dari kanan terlihat sama, yakni menengadahkan tangan,
dengan posisi tangan terbuka dan menghadap ke atas. Namun, ada perbedaan, yakni
mulut anak perempuan itu terbuka dan tersenyum, sementara mulut anak laki-laki
itu tertutup. Dilihat dari atribut yang ia kenakan, anak perempuan nomor 2 dari
kanan terlihat jelas bila ia menganut agama Islam, ditambah dari caranya berdoa
yang khas. Sementara, ada kemungkinan anak laki-laki nomor urut 3 dari kanan
pun menganut agama Islam pula. Lalu, anak laki-laki nomor urut 4 dari kanan
terlihat menggenggam tangan erat dan sikunya menempel ke meja. Cara berdoa
seperti ini adalah cara berdoa khas umat Katholik. Apabila mereka pergi ke
Gereja, siku tersebut disandarkan pada semacam meja kayu dan mereka berdoa
dalam posisi duduk atau berdiri, namun ada pula yang berdoa dengan cara
berlutut (kedua lutut menyentuh tanah) dan tetap dengan posisi tangan yang
sama. Lalu, anak nomor 5 terlihat memejamkan mata, sembari menaruh tangan di
atas meja. Tidak diketahui posisi tangan anak tersebut, karena tangannya
tertutup oleh kursi yang diduduki anak laki-laki nomor 4 dari kanan. Tidak
diketahui pula agama yang ia anut dari cara ia berdoa. Sementara itu, anak
perempuan yang berada di nomor urut 6 dari kanan, terlihat memejamkan mata,
dengan mimik wajah riang dan mengatupkan kedua tangan, dengan kedua siku yang
menempel di meja. Ada beberapa kemungkinan, bisa jadi ia beragama sama dengan
anak nomor 1, bisa pula ia menganut agama Kong Hu Cu, yang berdoa dengan
mengatupkan kedua tangan, sembari menyisipkan hio (batang seperti lidi berwarna merah, yang dibakar dan
mengeluarkan aroma khas) diantara sela-sela jarinya.
Selain itu, pada gambar 3, dalam
narasi yang ada di bawah gambar, ditekankan bahwa berdoa itu penting. Sebelum
melakukan kegiatan, dianjurkan untuk berdoa kepada Tuhan karena berdoa mampu
memberikan kemudahan. Terdapat semacam persuasi agar anak-anak yang membaca
memahami pentingnya berdoa dan mendorong mereka agar berdoa sebelum melakukan
aktivitas. Ada elemen religiusitas, ada pula elemen yang berkaitan dengan
nasionalisme, yakni berdoa sebagai penerapan sila pertama Pancasila. Berdoa
sejatinya adalah interaksi langsung dan privat dengan Tuhan, serta menunjukkan
bahwa dengan berdoa, siswa mempercayai entitas yang lebih tinggi dari manusia,
yakni mempercayai keberadaan Tuhan. Selain itu, terdapat unsur toleransi yang
ditanamkan dalam kalimat, “Beberapa siswa berbeda suku, bahasa dan agama. Semua
kompak dan saling menghargai.” Toleransi sendiri merupakan bagian dari
multikulturalisme, dimana ada rasa saling menghargai dan menghormati diantara
perbedaan yang ada.
c)
Aspek suku
Dalam
gambar 3, tidak ditemukan keenam anak itu memiliki suku apa saja, karena mereka
sama-sama mengenakan seragam SD, yang membuat mereka semua terlihat sama.
Penandaan suku dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, logat mereka saat
berbicara, nama/penamaan, tradisi, pakaian atau atribut yang dikenakan, serta
ciri-ciri lain, seperti tari-tarian, bentuk rumah, hingga bentuk pakaian adat.
Namun, semua itu tidak dapat terlihat dengan pasti, hanya saja ada kalimat yang
menjelaskan bahwa, “Beberapa siswa berbeda suku, bahasa dan agama,” yang mampu
menjelaskan bahwa sebenarnya mereka memiliki suku yang berbeda-beda, namun tidak
dapat dilihat secara gamblang melalui gambar nomor 3.
Gambar 4:
Lirik lagu “Aku Anak Indonesia”
Ada pula tambahan lirik
lagu dalam BAB II, yang berjudul “Aku Anak Indonesia”. Dalam lirik tersebut, terdapat
lirik yang merepresentasikan semangat multikultural sekaligus nilai
nasionalisme, yakni, “Sribu pulaunya,
ragam sukunya, satu jiwa raganya”. Lirik tersebut menjelaskan bahwa
suku-suku di Indonesia itu berlimpah dan beraneka ragam, namun perbedaan itu
tak lantas membuat Indonesia terpecah-pecah karena perbedaan, melainkan tetap
bersatu padu dan berjiwa raga satu, menjadi sesama bangsa Indonesia.
Deskripsi
dan Perbandingan Aspek Multikultural dalam Konten Buku Ajar “Tugasku Sehari-hari”
pada BAB III
Gambar 5:
Seorang guru bertanya pada murid-muridnya
a)
Aspek ras
Dari
ciri-ciri fisik yang terlihat, beberapa anak terlihat memiliki kulit berwarna kecoklatan,
satu memiliki kulit berwarna hitam, dan satu lagi memiliki kulit berwarna
kuning terang. Semuanya memiliki rambut berwarna gelap, sebagian memiliki
rambut yang lurus, sebagian memiliki rambut yang bergelombang, satu diantaranya
memiliki rambut keriting dan siswi berjilbab tidak diketahui warna dan tekstur
rambutnya. Ukuran mata seluruh siswa-siswi di kelas berukuran sedang, dengan
pengecualian siswi yang duduk di bagian paling kanan, memiliki mata yang sipit.
Sementara, gurunya sendiri memiliki kulit berwarna kecoklatan dengan rambut
gelap dan lurus. Dapat disimpulkan bahwa ada sub-ras dominan yakni sub-ras
Malayan-Mongoloid (dari ras utama Mongoloid), dengan jumlah 6 orang, ada satu
sub-ras Asiatik-Mongoloid (siswi di bagian paling kanan), serta ras Melanesia
(siswa berkulit hitam dan berambut keriting).
b)
Aspek agama
Hanya
ada satu siswi yang terlihat jelas mengenakan atribut agama, yakni kerudung,
yang menandakan bila ia berasal dari kalangan agama Islam. Sisanya tidak
diketahui memiliki identitas agama apa. Namun, terdapat rasa toleransi dan
tenggang rasa yang tinggi, terlihat dari hapalnya masing-masing anak terhadap
hari raya dari masing-masing agama yang ada di Indonesia (Idul Fitri dan Idul
Adha untuk agama Islam, Waisak untuk agama Buddha, Natal untuk agama
Kristen-Protestan dan Kristen-Katholik, Nyepi untuk agama Hindhu, dan Imlek
untuk agama Kong Hu Cu).
Ditambah pula dari narasi dibawah gambar
yang berbunyi seperti berikut:
“Setiap siswa memiliki agama.
Mereka setiap tahun merayakan hari raya. Mereka saling menghormati. Setiap
siswa bebas menjalankan agamanya. Antar umat beragama tidak boleh memaksakan
kehendak. Tugas siswa menjaga kerukunan antar umat beragama”
Terlihat bahwa terdapat
penanaman unsur-unsur toleransi, tenggang rasa dan menghormati agama lain yang
berbeda dengan agama kita. Ada kebebasan bagi masing-masing individu untuk
memilih agama dan menjalankan agamanya tanpa paksaan. Ada kewajiban pula bagi
individu untuk menghormati dan menghargai umat beragama yang berbeda dari yang
kita percayai. Ada kewajiban pula untuk senantiasa menjaga kedamaian dan
kerukunan antar umat beragama, agar tidak ada konflik dan perpecahan yang
ditimbulkan dari perbedaan yang ada. Semua itu merupakan wujud yang nyata dari
nilai-nilai multikulturalisme.
c)
Aspek suku
Dalam
gambar 5, tidak ditemukan keenam anak itu memiliki suku apa saja, karena mereka
sama-sama mengenakan seragam SD, yang membuat mereka semua terlihat sama.
Penandaan akan identitas kesukuan terlihat dari banyak hal, seperti bahasa dan
logat apa yang digunakan, penamaan, penggunaan atribut seperti pakaian adat
atau aksesoris yang dapat memperlihatkan identitas kesukuan, dan lain
sebagainya.
Gambar 6: Teman-teman Siti mengantar Siti ke musala
a)
Aspek ras
Dalam
gambar 6, terdapat 6 orang anak yang memiliki ras berbeda-beda. Empat
diantaranya memiliki ras Malayan-Mongoloid, dengan ciri-ciri kulit berwarna
kecoklatan, rambut lurus dan gelap (kecuali Siti yang tidak diketahui warna dan
tekstur rambutnya), serta ukuran mata sedang. Ada satu anak yang memiliki ras
Asiatik-Mongoloid, dengan ciri-ciri kulit berwarna kuning terang, rambut gelap
dan lurus, serta ukuran mata yang cenderung kecil (sipit). Lalu, ada pula satu
anak yang memiliki ras Melanesia, dengan ciri-ciri kulit berwarna cokelat
gelap, rambut berwarna gelap dan tekstur rambut keriting, serta ukuran mata
yang sedang. Hal ini menunjukkan keberagaman multikultur yang dapat ditandai
dari ras apakah yang mereka miliki.
b)
Aspek agama
Pada
gambar, terlihat enam orang anak menuju ke sebuah musala, atau tempat ibadah
umat agama Islam. Mereka semua memasang wajah yang ceria, gembira dan
tersenyum. Salah satu anak perempuan yang berada di depan malah menuding musala
dengan eye contact dan senyuman
kepada anak perempuan lain yang mengenakan kerudung. Hal ini dapat disimpulkan
sebagai penerimaan dan dukungan peer
group kepada individu dalam menjalankan agama bagi anak perempuan yang
menggunakan kerudung yang sedang berjalan menuju musala.
Ditambah lagi, narasi pendukung yang
berbunyi seperti ini:
“Edo, Beni, Meli, Lani, Dayu dan
Siti mengakhiri belajar kelompok pukul 18.00. Menjelang pukul 18.00 terdengar
suara azan. Siti minta izin untuk melaksanakan salat. Edo dan teman-teman
mengantar Siti ke musala depan rumah Dayu. Mereka menunggu Siti di luar musala.
Edo dan teman-temannya mendukung Siti untuk beribadah. Menghormati teman
beribadah adalah tugas siswa”
Narasi tersebut
memperkuat gambar ilustrasi akan makna toleransi dan dukungan untuk bebas
menjalankan agama masing-masing. Dan toleransi itu dilakukan secara nyata
melalui tindakan, seperti saat Edo, Beni, Meli, Lani dan Dayu mengantar Siti ke
musala untuk menjalankan ibadah salat. Teman-temannya bahkan tak hanya
mengantar, tapi juga menunggu hingga Siti selesai beribadah. Ditambah lagi
dengan dua kalimat terakhir, yang menegaskan bahwa kebebasan untuk memilih
agama dan beribadah adalah hak masing-masing individu, dan individu wajib
menghormati hak agama yang dipilih oleh orang lain.
c)
Aspek suku
Dalam gambar 6, tidak ditemukan keenam
anak itu memiliki suku apa saja, karena mereka sama-sama mengenakan pakaian
biasa yang dikenakan sehari-hari. Pakaian tersebut berupa baju, celana dan rok,
serta tambahan atribut kerudung pada salah seorang anak perempuan, yaitu Siti. Penandaan
suku dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, logat mereka saat berbicara,
nama/penamaan, tradisi, pakaian atau atribut yang dikenakan, serta ciri-ciri
lain, seperti tari-tarian, bentuk rumah, hingga bentuk pakaian adat. Dan tidak
ditemukan identitas suku dari gambar dan narasi pendukung tersebut.
Deskripsi
dan Perbandingan Aspek Multikultural dalam Konten Buku Ajar “Tugasku Sehari-hari” pada BAB IV
Gambar 7:
Proses belajar mengajar di kelas
a)
Aspek ras
Dalam gambar 7, terlihat ada 10 orang,
termasuk guru yang mengajar. Sekitar 8 orang memiliki ras Malayan-Mongoloid,
dengan ciri-ciri berupa kulit yang berwarna kecoklatan, ukuran mata sedang,
rambut berwarna gelap dan bertekstur lurus atau bergelombang (kecuali satu anak
perempuan berkerudung yang tidak diketahui warna maupun tekstur rambutnya). Satu
orang anak perempuan memiliki ras Asiatik-Mongoloid, dengan ciri-ciri kulit
berwarna kuning terang, rambut lurus dan berwarna gelap, serta bentuk mata yang
cenderung kecil (sipit). Satu lagi anak laki-laki yang berasal dari ras
Melanesia, dengan ciri-ciri kulit berwarna cokelat gelap, rambut berwarna gelap
dan bertekstur keriting, serta ukuran mata yang sedang.
b)
Aspek agama
Dalam gambar 7, tidak ada ciri-ciri khas
keagamaan yang terlihat, kecuali pada satu orang anak perempuan yang
menggunakan atribut kerudung sebagai simbol agama Islam. Sisanya tidak terlihat
adanya penggunaan atribut agama yang menempel pada penampilan mereka.
c)
Aspek suku
Dalam gambar 7, tidak ditemukan
kesembilan anak dan satu guru itu memiliki suku apa saja, karena mereka
sama-sama mengenakan pakaian seragam sekolah dan seragam guru. Penandaan suku
dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, logat mereka saat berbicara,
nama/penamaan, tradisi, pakaian atau atribut yang dikenakan, serta ciri-ciri
lain, seperti tari-tarian, bentuk rumah, hingga bentuk pakaian adat. Dan tidak
ditemukan identitas suku dari gambar dan narasi pendukung tersebut.
2.2
Kemunculan
ideologi multikultural pada bahan ajar dalam buku “Tugasku Sehari-hari”
Dapat dilihat bahwa
adanya ideologi multikultural yang tersebar dalam bahan ajar di buku tematik berjudul “Tugasku
Sehari-hari” ini. Pesan-pesan multikultural tersebut diwujudkan melalui gambar
ilustrasi serta narasi atau tulisan pendukung. Gambar dan narasi tersebut
dibuat semudah mungkin untuk dipahami pelajar usia kelas 2 SD, dan menekankan
pada mereka bahwa penanaman ideologi multikultural tidak seberat yang kita
duga. Penanaman ideologi multikultural
tersebut dapat diwujudkan dalam gambar-gambar dan kalimat sederhana yang
sangat mudah dipahami.
Pesan multikultural
yang disampaikan adalah adanya perbedaan di sekeliling kita. Seperti Siti dan
teman-temannya yang memiliki ras dan agama yang berbeda-beda. Tidak ditemukan
identitas kesukuan karena tidak ada atribut penanda yang menjelaskan identitas
kesukuan anak tersebut, entah dari penyebutan suku, bahasa yang digunakan, dan
penamaan yang dapat menunjukan ciri-ciri khas suku tertentu. Selain itu, pesan
lainnya adalah bahwa perbedaan itu ada dan harus diterima dengan terbuka. Harus
ada toleransi, saling menghargai dan menghormati walau masing-masing individu
memiliki perbedaan ras, suku dan agama.
2.3 Politik identitas dalam buku ajar tematik
“Tugasku Sehari-hari”
Tidak terdapat adanya
politik identitas yang mencolok, kecuali penggunaan seragam yang diwajibkan
bagi murid-murid sekolah dasar. Penggunaan seragam adalah bentuk politik
identitas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini adalah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud RI). Alasan
mengapa penggunaan seragam adalah politik identitas karena siswa dilarang
menggunakan pakaian pilihan mereka sendiri untuk pergi ke sekolah. Adanya opresi tersebut membatasi ekspresi identitas
siswa, yang mana tiap identitas manusia itu berbeda-beda dan unik. Identitas
pelajar jenjang SD-SMP ditetapkan oleh pemerintah dengan wajib menggunakan
seragam sekolah. Namun, tidak adanya ruang untuk melawan politik identitas yang
dilakukan oleh pemerintah, hingga pada akhirnya siswa hanya bisa patuh pada
aturan yang berlaku.
2.4
Kemunculan
dominant ideological pattern pada
bahan ajar dalam buku “Tugasku Sehari-hari”
Dominant ideological pattern adalah
sistem yang dibuat oleh pihak yang berkuasa, yang digunakan untuk mengontrol
pihak lain yang lebih lemah. Dalam buku ini, kemunculan dominant ideological pattern terlihat dari beberapa kalimat yang
terdapat dalam buku, seperti anjuran untuk saling menghormati, menghargai dan
menyayangi sesama, walaupun ada perbedaan sekalipun. Ideologi ini dinilai
positif, karena menghasilkan individu-individu yang memiliki kepekaan sosial
dan humanis. Sementara itu, pihak yang berkuasa dalam buku ini adalah penyusun
buku ini sendiri, yakni tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia (Kemdikbud RI), yang memiliki kuasa dan kontrol untuk menanamkan
ideologi dan nilai-nilai sesuai standar ideal mereka.
Dalam konteks Indonesia, dominant ideological pattern pada konteks toleransi dan menghargai
perbedaan tidak dapat dilakukan semudah kalimat dalam buku tersebut, karena
pada kenyataannya masih banyak orang-orang yang tidak memiliki kepekaan sosial
terhadap sesama, terlebih bila ada perbedaan suku, ras dan agama. Pada
kenyataannya, orang-orang Indonesia cenderung mudah dihasut dan diprovokasi
oleh isu-isu SARA, dan membuat mereka terpecah belah satu sama lain. Cita-cita
dalam buku untuk mewujudkan nilai-nilai multikulturalisme masih dipandang
terlalu idealis, karena masih banyak orang yang tidak memiliki respek dan
toleransi terhadap perbedaan.
Sementara, bila
berbicara mengenai dominant culture,
dalam buku ini masih didominasi dengan ras Malayan-Mongoloid dan menonjolkan
agama Islam. Memang, ras dominan dalam konteks Indonesia adalah ras
Malayan-Mongoloid, yang mendiami pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
pulau-pulau besar lain. Disusul oleh ras Asiatik-Mongoloid, yang tinggal berpencar
di seluruh Indonesia (namun lebih mudah ditemukan di Pulau Jawa dan sebagian
wilayah Kalimantan), serta ras Melanesia yang tinggal di wilayah timur
Indonesia seperti Papua dan Maluku. Seperti pada BAB I yang menceritakan
keluarga Siti yang menganut Islam, dan tokoh utama buku ini yaitu Siti sendiri,
yang direpresentasikan sebagai anak perempuan yang menggunakan kerudung atau
jilbab kemanapun ia pergi. Representasi itu merupakan wujud dari dominant culture yang ada di Indonesia,
yang memiliki agama mayoritas yakni agama Islam. Karena mayoritas, maka lebih
diutamakan dan sering dimunculkan ketimbang tokoh-tokoh lain dalam buku ini,
misal tokoh Dayu yang beragama Hindhu, atau Edo yang beragama Katholik.
KESIMPULAN
Bentuk multikulturalisme
diwujudkan dalam berbagai bentuk dan pesan di buku ini, seperti penggambaran
tokoh-tokoh yang memiliki ras dan agama yang berbeda-beda, dan bagaimana siswa
harus bersikap toleran, menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang
ada. Walaupun terdengar berat, nyatanya penanaman nilai-nilai multikulturalisme
bisa dilakukan dengan cara yang mudah dipahami, yakni dengan menyertakan
gambar-gambar ilustrasi dengan tokoh-tokoh yang memiliki ras, suku dan agama
yang berbeda-beda, serta tulisan atau narasi pendukung yang menekankan pada
penerimaan atas perbedaan tersebut.
[1] Multicultural. Your Dictionary.
Web. Diakses pada tanggal 13 November 2016. www.yourdictionary.com/multicultural
[3] Monoculturalism. English Oxford
Living Dictionaries. Web. Diakses pada tanggal 13 November 2016. https://en.oxforddictionaries.com/definition/monoculturalism
[4] Mengulik Data Suku di Indonesia.
Badan Pusat Statistik. Web. Diakses pada tanggal 13 November 2016. https://www.bps.go.id/KegiatanLain/view/id/127
[5] Kusuma, R.M.A.B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945.
Jakarta: Pusat Studi HTN FH UI
[6] What is Dominant Ideology?
WiseGEEK. Web. Diakses pada tanggal 14 November 2016. www.wisegeek.com/what-is-dominant-ideology.htm
[7] Dominant Ideology: Definition
& Examples. Study.com. Web. Diakses pada tanggal 14 November 2016. study.com/academy/lesson/dominant-ideology-definition-examples.html
[8] Hegemony. Washington Edu. Web.
Diakses pada 14 November 2016. https://faculty.washington.edu/mlg/courses/definitions/hegemony.html
[9] Apa Isi Kurikulum 2013? Sekolah
Oke. Web. Diakses pada tanggal 14 November 2016. www.sekolahoke.com/2012/12/apa-isi-kurikulum-2013.html?m=1
[10] Ibid.
[11] Kurikulum 2013 Mengakomodasi
Kemampuan Anak. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Web.
Diakses pada tanggal 14 November 2016. www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/08/kurikulum-2013-mengakomodasi-kemampuan-anak-2972-2972-2972
[12] Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. 2014. Tugasku Sehari-hari.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (penerbit).
[13] Race. The Free Dictionary. Web.
Diakses pada tanggal 14 November 2016. www.thefreedictionary.com/race
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)