Seperti yang kalian
ketahui, 5 Oktober 2016 lalu aku
pergi ke Ponorogo, salah satu kota yang ada di ujung paling barat provinsi Jawa
Timur. Some of you might wondering,
apa sih alasanku berkelana kesana? Apa yang ingin ku datangi? Dan kenapa
memilih tempat yang tak terlalu popular sebagai destinasi wisata (bila
dibandingkan dengan Malang, Batu dan Banyuwangi, misalnya). Terlebih, aku
melakukan perjalanan ini sendirian dan tak ada yang menemani (solo traveling). Mengapa aku nekat
‘menceburkan diri’ seperti itu? Aku diserbu bertubi-tubi oleh banyak
pertanyaan, dan kali ini aku akan membahasnya panjang lebar.
Baiklah, mari kita bahas.
Bicara soal sejarahnya, aku sudah memikirkan soal solo traveling sejak hari Minggu (2/10). Rasanya kok asyik aja
berkelana ke tempat asing tanpa ditemani siapapun. Aku jadi ngerasa lebih
mandiri, kuat, gak ribet dan gak bergantung ke orang lain. Dan, hari Selasa
(4/10), aku mulai nggak fokus kuliah. Saat kuliah Jurnalisme Media Cetak (JMC),
aku malah buka browser dan
nyari-nyari lokasi buat solo traveling.
Dan ketemulah kota ini: Ponorogo.
Apa yang istimewa?
Pertama, suatu kesenian spesial lahir dari
kota ini. Kita semua tahu soal Reog Ponorogo yang begitu fenomenal dan popular.
Kesenian ini sering sekali dimainkan di pagelaran budaya dan event-event kota Surabaya. Aku ingin
sekali berkunjung ke tanah kelahiran kesenian itu. Sekedar ingin tau saja. Kedua, memilih destinasi wisata yang tidak
terlalu populer biasanya nggak terlalu ramai juga. Aku nggak terlalu suka kalau
banyak orang, membuatku kehilangan esensi dari wisata itu sendiri. Wisata kan
sejatinya membuat pikiran kita lebih tenang dan damai, sementara keramaian
justru akan memecah belah semuanya. Seperti di Air Terjun Dlundung,
misalnya. Disana nggak pernah sepi pengunjung, malah cenderung ramai orang. Nggak
enak banget harus desak-desakan dengan orang lain dan telinga kita dihiasi oleh
suara-suara yang bising. Di lokasi yang tenang pula, kita bisa berpikir jernih
dan menghayati keindahan lokasi itu sendiri. Ketiga, aku ingin merasakan perbedaan budaya.
Walaupun masih lingkup Jawa Timur dan mayoritas suku-nya masih suku Jawa, tapi
menurutku kota ini berbeda. Kenapa? Karena Ponorogo berbatasan dengan Jawa
Tengah, which is pasti ada asimilasi
budaya yang berbeda dari dua provinsi itu. Selain itu, walaupun masih
sama-sama suku Jawa, tentunya suku Jawa yang ada di Jawa Timur bagian utara
(Surabaya, Gresik, Sidoarjo dkk,), bagian Timur (Banyuwangi, Situbondo,
Probolinggo, dkk, yang sangat kental dengan suku Madura), dan bagian Selatan
(Malang, dkk), bakal sangat berbeda dengan suku Jawa yang ada di bagian Barat
(Ponorogo, Magetan, Madiun, dkk). Istilahnya, ada sub-kultur di dalam kultur
yang lebih luas.
Jadi, begitulah.
Pada hari Selasa, sepulang
kuliah, aku mulai sibuk packing.
Menyiapkan apa saja yang perlu ku bawa. Tentunya, kamera adalah barang wajib
yang pasti selalu ada di saku. Nikon Coolpix S3500-ku akan setia menemani
setiap perjalananku. Aku bawa 3 baterai kamera kapasitas 700 mAh (total 2100
mAh) dan memory card 12 GB.
Rencananya sih mau bikin vlog juga. Uang,
pastinya dong. Bekal makanan dan 3 botol air mineral, ku bawa untuk penghematan
biaya, hahaha. Sempat terpikir untuk bawa tripod,
tapi karena berat, akhirnya nggak jadi.
Aku merencanakan untuk solo traveling selama sehari, alias
nggak nginep. Gini ceritanya: tiap Rabu, aku nggak ada kuliah sama sekali.
Esoknya, Kamis, aku ada kuliah 4 matkul FULL, dari jam 7 pagi hingga jam 6
sore. Aku bertekad untuk tetap masuk kuliah hari Kamis, selain karena nggak mau
absen bolong, juga untuk menantang diriku: “Apakah aku sanggup untuk tetap
patuh pada jadwal kuliah?” “Apakah aku bakal malas atau nggak?”
Semua itu adalah bagian
dari pembuktian. Walau aku
berpetualang ke tempat yang jauh, tanggung jawab tetap tidak boleh lepas.
Ingat, ortu yang bersusah payah bayar UKT! Rasanya nggak tahu diri banget kalau
kita tinggal kuliah dan belajar, eh kok seenaknya sendiri. Lagian, pengen tau
aja sekuat apa fisik ini setelah seharian keluar kota dan esoknya harus kuliah
:)
Selain itu, aku juga browsing mengenai lokasi mana yang akan
ku sambangi. Salah satu yang paling popular di kota itu adalah sebuah danau
yang bernama Telaga Ngebel. Oke, sebut aku “turis”
karena aku hanya mengunjungi tempat yang popular. Tapi itu ku lakukan karena semata-mata
waktu yang ku miliki terbatas. Selain itu, mengunjungi destinasi yang
popular akan memudahkan dalam transportasi. Aku juga akan merencanakan pergi ke
Alun-Alun, sekedar untuk mengetahui saja seperti apa Alun-Alun di kota
tersebut, dan apa bedanya dengan Alun-Alun di kota lain yang pernah ku
sambangi.
Oke, urusan packing dan browsing soal lokasi baru selesai jam 12 malam. Aku merasa lelah
sekali. Aku memasang alarm dan
meniatkan diri untuk bangun jam 2. Singkat, kan? Bukan apa-apa, aku ingin
berangkat menggunakan bis yang paling pagi, agar sampai di Ponorogo lebih awal.
Saat aku bangun, aku langsung bikin bekal, packing
ulang, mengecek ini itu, lalu berangkat dari rumah dengan motor jam 3 pagi.
Menuju ke Terminal Bungurasih. Sendirian.
Jalanan memang sepi, tapi
gak menyeramkan seperti yang ku duga. Aku menyetir motor dengan santai sembari
nyanyi-nyanyi lagu dari Sleeping with Sirens. Sesampainya di Darmo, aku ambil
uang di ATM Mandiri (sebelah MCD). Gak banyak, cuman 150 ribu aja. Trus ke
Bungurasih, melakukan kebodohan karena nggak tau dimana tempat parkir motornya.
Muter-muter deh. Akhirnya ketemu. Tempatnya sempit dan jalannya penuh dengan
bebatuan kerikil. Harusnya sih dipaving, biar enak pas mau parkir. Biaya parkir
per-jam 500 rupiah. Dan disuruh bayar parkir di awal sebesar 7.500, karena
masnya tanya: “Sampai jam berapa Mbak?”
“Sampai nanti malam mas.”
kataku.
Tiket parkir
Oke, aku langsung berjalan menuju terminal bis
antar kota. Aku melihat sekeliling. Bungurasih memang terminal yang tak pernah
mati, selalu ada saja penumpang yang datang dan pergi selama 24 jam. Aku
melangkah dan mencari bisku. Sesuai saran dari blog, aku harus menaiki P.O Restu, sebuah bis AC tarif ekonomi,
yang harga tiketnya nggak sampai 30.000. Aku menaiki Bis Restu dan menjumpai
isinya masih kosong, hanya ada beberapa orang saja. Aku duduk tepat di belakang
Ibu-ibu berkerudung, di seat yang
isinya 2 kursi, sebelah kiri. Aku (hampir) selalu memilih seat yang isinya 2 kursi, dan selalu duduk di pinggir jendela.
Selain karena privasi dan lebih mudah untuk keluar, juga karena suka banget
nonton pemandangan dari jendela.
Siap berangkat gan!
Jam 4.14, bis berangkat
dari Terminal Bungurasih. Bismillah,
semoga perjalanannya lancar dan tanpa hambatan. I’m getting excited because this
is my very first time doing solo traveling, and I wanna know how it feels.
Oh ya, akan ku ceritakan dengan detail mengapa aku melakukan perjalanan ini
dengan solo traveling.
·
Yang
perlu kalian ketahui dari aku adalah aku sangat impulsif. Spontan. Aku memilih
mengikuti kata hatiku, karena aku tahu kata hatiku benar dan tidak pernah
berbohong. Ya, walaupun kadang ada momen di mana kata hatiku terlalu ceroboh
dalam memutuskan sesuatu. Walau impulsif, perjalanan ini tidak dilakukan secara
ngawur. Semua ku rencanakan
baik-baik, mulai dari apa yang kubawa, berapa uang yang akan ku habiskan (ku
hitung dulu dari rumah), transportasi apa yang akan ku pakai, apa yang akan ku
makan hari itu, jalan mana yang akan ku lalui, masalah apa yang (mungkin) akan
dihadapi, bagaimana mengatasi jika ada masalah dan sebagainya. Maka, solo traveling ini bisa jadi ajang pembuktian mengenai seberapa siapkah
aku dalam melakukan perjalanan, dan juga sebagai bukti bahwa aku BISA mandiri.
Tidak bergantung ke orang lain, tidak menyusahkan siapapun. Come on, aku sudah 20 tahun kan? Sudah
saatnya memang untuk melatih kemandirian.
·
Tempat
baru selalu membuatku excited.
Dimanapun itu. Ponorogo adalah kota yang sama sekali belum pernah ku pijak
seumur hidupku, dan kini adalah saatnya aku bertandang ke tanah yang belum
pernah ku datangi.
·
Tes
keberanian dan mental. Walaupun hanya ke kota yang jaraknya +/- 200 km dari Surabaya, tapi tetap saja aku harus sadar bahwa
tempat yang akan ku pijak ini asing. Aku harus siap menghadapi kendala apapun
yang bakal terjadi. Apa aku bisa mengatasi masalah itu sendiri, sementara tak
ada satupun yang ku kenal dan bisa ku mintai bantuan disana. Aku juga bisa
menguji, apakah aku bisa bertahan disana selama satu hari, dengan bekal uang
yang pas-pasan?
·
Solo traveling kali ini juga ku jadikan sebagai ajang melarikan diri dari tugas dan
perkuliahan yang menjemukan, HAHAHHA. Bosen kuliah, itu normal. Yang nggak
normal, bosen kuliah trus melupakan segala tanggung jawab. Gimana caranya kita escape dari rutinitas, dengan membawa
pulang kegembiraan sebagai suntikan semangat buat kuliah ke depannya. Jadi,
perjalanan ini sebagai refreshing
otak dari kegilaan kuliah.
·
Solo traveling juga membuat kita belajar kebudayaan
baru. Walau aku cuman pergi satu hari, namun kita bisa ngerti gimana kota yang
akan kita datangi, gimana sikap orang-orangnya ke pendatang, nambah pengalaman
dan sebagainya.
·
Lagi-lagi
sebagai pembuktian. Jika kali ini solo traveling-ku
berhasil, maka lain kali aku akan berhasil di tempat yang lebih jauh. Setelah
ini, aku akan menargetkan untuk pergi ke Jawa Tengah (tahun 2017), dan rencana
jangka panjangku adalah pergi ke Sumatera Barat dan Sulawesi, dengan solo traveling juga.
·
Tak
pelak, solo traveling juga cara jitu
buat nambah foto-foto di Instagram (HAHAHA) dan juga nambah konten tulisan di
blog :)
***
Bis
melewati jalanan Sidoarjo, menuju ke arah Mojokerto. Gelap masih melingkupi
langit. Belum ada selarik cahaya apapun, karena masih sangat pagi. Aku mulai
tersenyum ke luar jendela, dan membayangkan sesuatu. Aku menyetel pula sebuah
lagu yang mengingatkanku pada seseorang. FALL
OUT BOY – Sugar We’re Goin’ Down. Di tengah-tengah mendengarkan lagu, eh
pundakku ditepuk seseorang, yang ternyata kondektur bis. Ah, bapak ini merusak
imajinasiku sajaaaaa, sebal. Harga tiketnya Rp. 26.000, dan aku membayar pakai uang
Rp. 50.000. Karena nggak ada kembalian, uangnya dia bawa.
Sesudah
bapaknya pergi, aku kembali menyetel lagu yang sama. Perlahan-lahan, dari
langit timur, munculah cahaya keemasan. Indah sekali menyaksikan matahari
terbit dari bis yang tengah berjalan. Sayangnya, nggak bisa diabadikan dengan
kamera. Waktu itu, bis sudah memasuki daerah Mojokerto.
Sepanjang
perjalanan aku mendengarkan lagu. Mulai dari memutar semua lagunya Sleeping
with Sirens, Fall Out Boy dan Little Heroes (band pop-punk dari Depok). Bis melewati jalur Trowulan, tempat dimana
situs bersejarah peninggalan dari kerajaan Majapahit. Di pinggir jalan begitu
banyak rumah-rumah joglo, dengan ukiran yang bagus-bagus. Banyak pula pengrajin
patung. Lalu, bis memasuki daerah Jombang. Kesan pertamaku mengenai Jombang
adalah..... ya ampun, sungainya bersih banget. Jernih. Ga ada sampah dan airnya
mengalir. Selain itu, banyak areal persawahan yang luas, ditanami jagung dan
padi. Indah sekali, apalagi ladang jagung/padi tersebut disinari oleh cahaya
matahari terbit dari belakang, lalu ada petani-petani yang menggarap lahannya.
Magis. Kayak foto-foto di film dokumenter NATGEO.
Beberapa
waktu kemudian, bis memasuki daerah Nganjuk. Sama seperti Jombang, di Nganjuk
juga masih ada ladang/sawah yang terletak di pinggir jalan. Jadi kelihatan dari
bis yang aku tumpangi. Aku jadi ingat Esti, temenku di APS UNAIR. Dia kan dari
Nganjuk, haha. Dan dia cukup sering pulkam,
tiap beberapa minggu sekali pas weekend
pasti dia balik. Bis juga sempat melewati Kediri, ada percabangan jalan dengan
papan bergambar Gunung Kelud dari Pemkab setempat.
Di
daerah Jombang dan Nganjuk, aku melihat pengunungan yang konturnya asing. Aku
menebak-nebak, gunung apakah itu? Gunungnya panjang banget, membentang dari
satu sisi ke sisi lain. Aku sempat salah menebak, tapi kemudian aku tersadar.
Jangan-jangan itu Gunung Wilis, ya? Modelnya yang membentang, mengingatkan aku
pada Gunung Argopuro yang pernah ku daki pada Agustus 2016 lalu.
Bis
sempat memasuki Terminal Nganjuk, dan kondisi badanku mendadak gak enak. Inilah
dampak nyata akibat cuman tidur kurang dari 2 jam. Serasa masuk angin, akhirnya
aku ambil tolak angin dan menatap keluar jendela. Penjual-penjual nasi mulai
memasuki bis, menawarkan makanan ke penumpang, karena bis dalam kondisi ngetem sebentar. Harusnya jam segini
sudah makan tapi aku nggak ada mood
sama sekali, entahlah. Aku cuma ingin rasa mual ini hilang dan tubuhku menjadi
bugar.
Lalu,
bis memasuki wilayah Madiun. Apa kesan pertamaku mengenai Madiun? Well, datang-datang, sudah disambut
hutan! Jadi, kanan-kiri kayak hutan yang cukup lebat, dengan pepohonan yang
tinggi-tinggi, tapi nggak selebat dan seluas Baluran sih. Lalu, kami lewati
rumah-rumah penduduk juga, hal yang umum ditemui dalam setiap perjalanan. Di
perjalanan daerah Madiun pula, aku juga banyak menemui spanduk sekolah kru perkapalan
dan sebuah kantor penyedia jasa TKI. Wah.
Dari
pagi hingga kini aku belum tidur sama sekali. Aku masih senang melihat-lihat
pemandangan luar dari dalam bis. Bis juga nggak terlalu penuh, sehingga nggak
ada satupun orang yang duduk di sebelahku (bagus, emang aku butuh privasi
hehe). Aku ngerasa excited dan gak
sabar. Sekaligus ngerasa lelah karena kurang istirahat. Hiks. What a nice combination.
Jam
8.35, bis memasuki gerbang masuk Kabupaten Ponorogo. Wow. Di gerbangnya pun
terlihat nyeni dan artistik banget. Ada semacam patung gitu yang menggambarkan
kesenian Reog Ponorogo. Aku mulai bersiap-siap buat turun. Dan jam 9-an, bis
sampai di Terminal Ponorogo. Sebelum turun, aku tanya ke bapak kondektur yang
jutek itu.
“Pak,
bis terakhir dari sini ke Surabaya jam berapa ya?” tanyaku pada kondektur yang
sibuk merapikan uang kertas.
“Paling
sore jam 5 mbak.” katanya.
Waduh, waktuku disini lumayan singkat juga
ya, pikirku.
Terminal Ponorogo (maaf buram)
Akhirnya
aku turun. Sesuai rencana, aku mau nyari bis DAMRI buat ke Telaga Ngebel. Tapi,
sepanjang mata memandang, nggak ada tuh bis DAMRI. Tiba-tiba, aku ditanyai
seseorang yang memakai rompi biru, “Mau kemana, Mbak?”
“Mau
ke Telaga, pak.”
“Ikut
saya, Mbak.” katanya.
At first, I thought aku ketemu dengan
supir bis DAMRI atau angkutan kota. Nggak sadar, efek mabuk darat mungkin. Dan
baru sadar ketika ia membawaku ke sepeda motornya dan memberiku sebuah helm. Oh, kang ojek?
“Lho,
aku mau naik bis DAMRI pak.” ucapku.
“Nunggu
bis DAMRI lama lho, Mbak.” ucapnya, tengah bernegosiasi agar aku naik motornya.
Aku berpikir akan waktuku yang lumayan limit.
“Emangnya
kalau ojek berapa, Pak?” kataku, pura-pura polos. Aku sempat baca di sebuah
blog kalau ojek dari terminal ke Telaga PP cuman sekitar 50-55 ribu. Eh, dia
menawarkan 70 ribu PP. Gila, bisa bangkrut aku.
“Mbaknya
mau berapa, wes?” katanya.
Aku
bilang, “Tunggu sebentar ya, Pak.” Aku berjalan menuju petugas DISHUB yang ada
di pos deket pintu masuk dan keluar terminal. “Pak, bis DAMRI kapan datangnya,
ya?” tanyaku.
“Mau
kemana, Mbak? Telaga Ngebel?” Aku mengangguk. “Jam 11-an Mbak,” katanya. Widih. Lama banget, jadi aku harus nunggu 2
jam gitu? batinku protes.
Aku
belum bisa mengambil keputusan. Bingung. Jadinya aku duduk di bangku sebelah
pos, sembari mengeluarkan tisu dan face
paper, lalu membersihkan wajahku dari debu dan minyak. Bapak ojek yang tadi
duduk di dekatku. Masih berusaha menawariku agar aku menaiki ojeknya. Sementara
dalam hati aku masih galau mau naik transportasi apa. Jauh-jauh dateng kesini,
ternyata harus bertemu kembali dengan ketidakpastian.
Setelah
lama merenung, aku akhirnya tanya ke tukang ojeknya. “60 ribu mau nggak, Pak?”
“Wah,
kurang itu, Mbak, bla...bla..blaa..”
Lama
nego, akhirnya dia mau harga 60 ribu/PP terminal Ponorogo sampai Telaga Ngebel,
trus bonus main-main ke Alun-Alun Ponorogo juga. Kalau aku boleh bilang sih,
harga segitu ternyata lumayan worth it
juga, karena tukang ojeknya mau nungguin kita, lho!
Nungguin
gimana? Ya kita ke Telaga Ngebel 2 jam misalnya, tukang ojeknya bakal stay disana buat menanti sampai kita
bosan (cuman, jangan terlalu lama banget sih, kasihan). Jadi, nggak perkara
cuman jauh dan dekat aja, atau berapa banyak bensin yang akan dihabiskan di
perjalanan, tapi juga service ke
pelanggan. Wah-wah.
Baiklah,
aku kemudian naik ojek bapaknya. Bapak yang sampai sekarang aku nggak ngerti
namanya (karena nggak tanya). Kita pertamanya lewat sawah-sawah, lalu belok dan
masuk ke jalan menanjak. Kita juga ngelewatin perkampungan penduduk.
Dan
ternyata cukup jauh juga ya...
Mungkin
kalau diitung dari bensin bisa habis 2 literan(?)
Oke,
di beberapa titik jalannya lumayan nanjak, tapi gak separah yang pernah aku
lewatin di Mojokerto dan Probolinggo (menuju Ranu Agung). Tapi, aspalnya gak
terlalu bagus, masih bagus aspalnya daerah Pacet, hehe. Kadang, ada belokan
tajam. Tapi pemandangannya emang bagus, sepi dan sunyi. Ngelewatin hutan-hutan
juga.
Dan
aku bikin video sepanjang perjalanan. Apalagi pas masuk gerbang Telaga Ngebel,
aku rekam sampai berhenti (sekitar 4-5 menit).
Jam
9:50 kita sampai, setelah berangkat mulai jam 09:10.
Perjalanannya lumayan juga
ya, ternyata.
Dan aku amaze banget sama Telaga Ngebel.
Mungkin, danau paling luas yang pernah aku sambangi? Sepanjang hidupku,
aku hanya pernah pergi ke Danau Bedugul dan Ranu Agung. Keduanya ku anggap
cukup luas, tapi ternyata ada yang lebih luas lagi ya, hehe.
Aku berhenti disini for a while
Hari Rabu gini, suasananya
nggak terlalu rame, walau juga lumayan banyak pengunjung. Aku berhenti di
semacam gerbang warna kuning yang bertuliskan “Telaga Ngebel Ponorogo” dekat
sama stan-stan penjual makanan. Aku langsung berjalan ke arah dalam gerbang
tersebut, dan mencari tempat untuk menyendiri. Niatnya sih pingin foto-foto
langsung tapi kayaknya harus bersihin wajah ulang biar nggak kumus-kumus :(
Pemandangan~
Welcome!
Edisi lensa fish eye 15 ribuan :)
Selfie boleh dong?
Setelah itu, aku memotret
pemandangan di sekeliling danau. Nggak banyak angle bagus dari tempatku duduk, kecuali aku berjalan-jalan
berkeliling mencari angle baru. Tapi
berhubung aku masih males, jadinya aku tetep stay di tempatku, hehe. Aku juga
memotret benda kesayanganku yang (hampir) selalu ku bawa ketika traveling, yakni si Qerr.
Say “hi” to Qerr!
Tuh lihat
Bersandar
Aku cukup lama duduk-duduk
disana. Dibawah ada semacam dock
untuk kapal motor bersandar. Dan sempet ada pemilik kapal yang datang, lalu
pergi lagi. Selain itu, aku juga memotret kata-kata yang ku tuliskan untuk
diriku sendiri, sobatku Tita dan Lusy. Nggak kepikiran nama temen-temen yang
lain, bahkan aku nggak kepikiran nama sobatku Annisatul, jadi maaf ya buat yang
nggak dapet salam dari Telaga Ngebel :(
For myself
Buat my little bitch :3
Buat si tangguh Lusy :)
Selain
itu, aku juga upload foto selfie dengan background telaga di Instagram. Lalu, tiba-tiba temenku Hata dari
Unair Music Community (UMC) komentar. Ternyata dia orang Ponorogo juga, dan
cerita-cerita kalau rumahnya di daerah pedesaan deket Pacitan gitu. Wah, baru
tau.
Merenung. Lama banget. Lalu
kembali foto-foto. Tak lama, bapak ojeknya duduk di sampingku, lalu
bertanya-tanya dan bercerita. Bapaknya bilang kalau seharusnya aku kesini pas
Suro’an kemarin (sekitar tanggal 1 Oktober?), karena waktu itu ada event yang fenomenal di Telaga Ngebel.
Semacam larung hasil bumi ke telaga gitu. Dan yang nonton buanyak banget, he said. Interesting.
Bapak ojek dari belakang
Selain
itu, bapaknya juga cerita-cerita kalau dulu ia pernah kerja di Surabaya. Di
pelabuhan Tanjung Perak, lebih tepatnya di PT. PAL. Sebagai kuli, katanya, pas
waktu beliau masih muda. Katanya dia nggak tahan udara Surabaya yang panas
(astaga, sedari dulu sudah panas berarti?), dan banyak nyamuk, wkwk. Dan dia
bilang kalau masih ada temen di Surabaya, waktu aku bilang rumahku di sekitaran
daerah Kenjeran.
Kinda miss this place
Aku
nggak terlalu ingat apa saja percakapan kami. Lalu, aku minta bapaknya buat
ngefotoin aku pakai camera pocket-ku.
Ya, memang harus minta bantuan orang kalau nggak bawa tripod. Dasar kebodohan.
Harusnya aku bawa tripod, kenapa aku mengabaikan instingku :(
Btw, kalau bicara soal suhu, sebenarnya
di Telaga Ngebel nggak sejuk-sejuk amat. Malah, waktu itu matahari sedang
bersinar terik, walau kemudian berganti dengan mendung, tapi nggak lama kok.
Namun, beda dengan Surabaya, walau panas tapi nggak bikin lengket kulit (nggak
lembab). Padahal, Telaga Ngebel ini berada di ketinggian 700 meter diatas
permukaan laut. Nggak beda sama pos perizinan Tamiajeng, Gunung Penanggungan
hehe.
Suasananya~
Di
Telaga Ngebel juga ada beberapa fasilitas, seperti penginapan, speed boat dan perahu kayuh berbentuk
hewan-hewan di danau. Tapi, aku nggak ngeliat ada toilet, mungkin ada tapi nggak deket dari lokasiku berpijak. Untuk stan makanan, jelas ada, nggak mungkin kelaparan. Tadi,
aku disarankan sama orang DISHUB terminal buat nginep, daripada ribet
bolak-balik. Harga penginapannya semalam nggak sampe 100 ribu. Belum tau dia
kalau besok pagi jam 7 aku harus kuliah :)
I’ll
remember this place :))))
Jam 11.15, karena gabut, belum pengen pulang dan masih
pengen menikmati suasana telaga, aku nge-chat
temenku Ajib dari APS yang juga berdomilisi di Ponorogo. Dia bilang, kenapa
datang sekarang disaat sepi event?
Beberapa hari yang lalu banyak event, karena setiap suro'an selalu banyak event, katanya. Wah, kan baru ada kesempatan traveling
sekarang, wehehe. Dan kemudian kita
cerita-cerita. He’s kinda surprised
ketika aku bilang aku datang sendirian kemari, dan lebih menyarankan kalau pergi-pergi mending sama sahabat-sahabat kita. Ya emang bener sih seru
banget kalau kemana-mana bareng temen kita, tapi ada satu waktu dimana aku bener-bener
pingin pergi sendiri, seperti alasan yang sudah ku jelaskan di awal
tulisan. We also talked about the city, the
weather and the transportation, dan hal-hal umum lainnya.
VN misterius :)))))
Selain
itu, aku juga nge-chat my gank from
APS 2015, yakni Shella dan Esti. Karena males ngetik, jadinya aku kirim-kiriman
voice note sama mereka. Aku ngasih
tau posisiku dimana dan mereka mulai rumpi.
Tau sendiri lah kalau aku sama mereka pasti heboh, jadi kita VN-an puanjanggg
banget mbahas suatu hal, hehe.
Mendadak bocor :(
Jam
12.10 aku memutuskan untuk balik. Motor mengarah ke Alun-alun, dan ketika mau
sampai (kurang beberapa ratus meter), eh ban belakang bocor. Waktu itu jam 13.10
siang. Untungnya, ada tambal ban nggak jauh dari lokasi. Jadi tinggal jalan
sebentar dan nungguin. Disini aku sekalian ngasih ongkos ke bapak tukang
ojeknya, Rp. 80.000 udah sekalian sama ongkos tambal ban. Kenapa jadi lebih
banyak? Karena aku ngerasa bapaknya udah bener-bener memperlakukan aku dengan
baik, hehe. Bayangkan, beliau mau menemani aku dari jam 9 pagi sampai selesai,
dan nggak banyak komplain. Kurang baik apa? He
deserves better :)
Alun-alun
Logo pemkab
I've been here
Lalu,
aku pergi ke Alun-alun. Jadi lokasi pertama berupa lapangan berpaving yang
luas, dengan panggung (stage) di area
belakang, juga ada stan makanan yang deket dengan jalan raya. Di seberangnya
ada patung macan kumbang dengan seorang laki-laki di belakang yang mengayunkan pecut (cambuk). Aku bergegas menyebrang
dan mulai berfoto-foto. Di saat foto, aku tersadar akan satu hal: kenapa nggak
daritadi bikin vlog dan ngomong di
depan kamera? Akhirnya, TANPA SCRIPT aku langsung ngomong seadanya. Tau sendiri
kalo vlog nggak direncanain
betul-betul script-nya bisa
berantakan dan nggak menarik.
Impressive!
Suasana sekeliling
Motret dari seberang :)
Oh
ya, lokasi dimana ada patung macan kumbang, patung laki-laki dan seorang perempuan (ada
di tengah-tengah kolam air mancur), bersebelahan dengan gedung Pemkab Ponorogo.
Dan jalanannya pun cukup sepi juga untuk ukuran siang-siang begini. Setelah
itu, aku ambil beberapa foto lagi, dan balik ke terminal.
Ngapain mbak? :)
Namun,
sebelum balik, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah gang. Random banget, jadi aku milih gang yang
di depannya ada patung Reog, dan menurutku berfoto dengan patung reog (walau
bukan dengan reog aslinya) itu kewajiban jika aku bertandang di kota ini. Formalitas,
iya. Sebagai kenangan, iya. Aku juga ambil beberapa scene buat video dari patung ini.
Balik
pulang, aku melihat-lihat kota ini dengan penuh antusias. Hampir semua gang (gapura)
ada dekorasi dan ornamen serba reog. Macem-macem bentuknya dan kreatif. Dan
sesungguhnya bentuk gapura bisa menjelaskan seperti apa masyarakat daerah itu dalam
konteks ruang dan waktu tertentu. Misal, gapuranya yang bentuknya berupa punden
berundak (semakin ke atas, bentuknya semakin mengerucut/mengecil) melambangkan
kebijaksanaan entitas yang lebih tinggi (a
higher power, contohnya: Tuhan atau pada era kerajaan dulu adalah Dewa),
gapura yang dihiasi tulisan “17-8-45” punya nuansa nasionalis dan patriotis
(gapura kayak gini lumayan banyak di Surabaya), gapura tinggi seperti gerbang
dengan besi-besi melambangkan kekuasaan, wealth
and privacy, dan lain sebagainya. Menarik. Butuh studi lebih lanjut untuk
menjelaskan fenomena seperti ini :)
Akhirnya, jam 14.45 aku
sampai di Terminal Ponorogo. Di depan aku liat bis Restu, namun kata bapak ojek
itu bis Patas, akhirnya aku gak jadi naik, hehe. Ya kali bis Patas ongkos bisa
2 kali lipat :(
Go home :)
Nunggu beberapa saat sampai
muncul bis Restu yang standar. Aku tanya ke kernetnya sampai 2 kali untuk
memastikan ini bis jurusan Surabaya. Dan betapa kagetnya aku mengetahui kalau
bis Restu yang aku tumpangi ini adalah bis terakhir! Padahal, sekarang masih
jam 3 sore. Waduh. Telat sedikit bisa nggembel
di Ponorogo aku :)
Aku seperti biasa mengambil
seat 2 kursi, memilih yang paling pojok (dekat jendela) dan di posisi tengah
bis. Tadinya, mau ambil agak kedepan, eh ternyata ada mbak dan mas yang lagi
kasmaran dan sayang-sayangan. Mesra banget sumpah. Anjir. Mendadak ilfeel, wkwk. Eh atau ngerasa a little bit jealous karena nggak bisa
kayak gitu? Aku nge-chat Tita dan dia
langsung ngakak. AHAHAHAHH.
Bis Restu masih ngetem
sampai jam 4, sembari menunggu bis terisi penuh. Aku sempatkan diri juga untuk
membuka bekalku. Setelah belasan jam, baru makan sekarang. Emang kalau traveling itu nggak kerasa laper soalnya
terlalu antusias dengan suasana sekeliling, haha. Kebiasaan yang sama terjadi
saat pendakian, selalu lupa makan dan lebih banyak minum :)
Masih menunggu. Suasana
yang tadinya mendung, kini beranjak hujan. Ah, jadi mendadak galau. Aku kembali
nge-VN Esti dan Shella, dan kami mulai heboh membahas sesuatu (lagi). Saking
bawelnya aku bercerita, sampai dilihatin sama beberapa orang, terutama
berkaitan dengan topik yang sedang kami bahas, hehe.
Karena baterai mulai habis
(tinggal 10%), sekitar jam 4 aku matiin hp.
Bis pun mulai berjalan, diiringi dengan hujan yang kian deras. Terima kasih
Ponorogo untuk hari ini, bisikku diam-diam. Segala hal yang terjadi hari ini
sungguh berkesan. Tentu saja selalu ada yang bisa dipelajari dari setiap
perjalanan. Nggak cuman bersenang-senang saja lalu melupakan, right?
Kami melewati jalur yang
berbeda, yakni lewat jalanan kecil pedesaan (namun muat untuk bis). Dalam waktu
kurang dari 20 menit, kami meninggalkan gerbang kabupaten Ponorogo dan memasuki
kabupaten Madiun.
Masih di Madiun, suasana
mulai gelap. Dan akhirnya, karena lelah aku tertidur. Nggak lama sih, sampai
Nganjuk aku terbangun dan menyalakan handphone-ku.
Aku bakal mendengarkan lagu dari Sleeping with Sirens, band yang akhir-akhir
ini ku gandrungi karena musiknya yang asik banget dan karena Kellin Quinn juga
tentunya. Music describe who you are, so if you
know I love Sleeping with Sirens and another post-hardcore band, then describe who
I am! :)
Kadang, aku nge-VN Esti dan
Shella lagi selama beberapa menit, lalu hp
di mode pesawat biar hemat baterai, hehe. Bosen juga sih kalau malem-malem di
bis, sementara mata sudah nggak ngantuk. Orang-orang juga pada tidur semua.
Dari Nganjuk ke Jombang kerasa lama banget. Jombang ke Mojokerto, lalu ke
Sidoarjo mulai banyak pengamen haha, apalagi sempat ada pedangdut yang bawa
speaker dan duet maut antara bapak-bapak dan mbak-mbak pedangdut :)
Aku sudah mulai capek duduk
di bis, rasanya kok nggak sampai-sampai. Capek semua rasanya, tapi perjalanan
masih lama. Akhirnya, setelah dengan tabah menanti, jam 21.30 bisku masuk ke
Terminal Bungurasih. FINALLY!
Langsung, aku turun.
Kebetulan diturunkan nggak jauh dari parkir motorku. Aku nambah biaya Rp. 2500
buat parkir, lalu beranjak pulang. Baterai hp tinggal 2% tapi tetep kubuat
nyetel musik, sembari nyanyi-nyanyi di jalan, hehe. Dan sesampainya di rumah,
setelah bersih-bersih, langsung deh memejamkan mata di kasur kesayangan.
Tiduuuur!
NOTE:
- · Keesokan harinya aku masih bisa bangun buat kelas Kombang jam 7 pagi. What an achievement!
- · Temen kelas (obik) mendadak tanya-tanya soal traveling pas kelas lagi kosong dan dia kaget begitu ku ceritakan aku baru solo traveling kemarin. Bahkan, sampe menyalami aku segala, haha dasar obik!
- · Aku baru sadar kekurangan scene buat vlog! Harusnya aku lebih banyak ngomong di depan kamera dan menjelaskan situasiku lagi ada dimana, dan lain-lain. Gak mungkin lah balik lagi, LOL.
- · Aku habis sekitar 150 ribu. 50 ribu/PP untuk bis, 80 ribu untuk ojek, 10 ribu parkir motor di Bungurasih, dan sisanya beli obat-obatan di Alfamart sebelum berangkat.
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)