Senin, 14 November 2016

Representasi Multikulturalisme pada Buku Pelajaran Kelas 2 SD


Ditulis oleh: Nena Zakiah
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga - Semester 5
Sebagai tugas UTS Komunikasi dan Multikulturalisme 

PENDAHULUAN
Penanaman nilai-nilai multikulturalisme bukan lagi barang baru di Indonesia. Berbagai jenis medium menawarkan pesan-pesan dan ideologi multikultural, mulai dari film, program TV, karya jurnalistik, hingga buku-buku, baik buku fiksi, non-fiksi, hingga buku pelajaran. Tak pelak, medium-medium tersebut memiliki andil yang besar dalam menanamkan nilai-nilai multikulturalisme.
Dilansir dari Your Dictionary[1], pengertian multikultural adalah sesuatu yang menggabungkan ide-ide, keyakinan atau orang-orang dari banyak negara dan latar belakang budaya yang berbeda. Sementara menurut Rosado[2], multikulturalisme adalah sistem keyakinan dan perilaku yang mengakui dan menghormati perbedaan dalam suatu kelompok atau organisasi masyarakat, mengakui dan menghargai perbedaan sosio-kultural dan mendorong mereka terus berkontribusi di dalam sebuah konteks budaya yang memberdayakan seluruh organisasi dan masyarakat. Apabila disimpulkan, maka pengertian mengenai multikultural adalah kesadaran akan adanya perbedaan, baik perbedaan budaya, keyakinan hingga ide-ide dan bagaimana manusia menerima, menghargai dan menghormati perbedaan tersebut.
Multikulturalisme merupakan antitesis dari monokulturalisme, dimana paham tersebut lebih menekankan pada keseragaman daripada keberagaman. Dikutip dari English Oxford Living Dictionaries[3], monokulturalisme adalah kebijakan atau proses yang mendukung, mengadvokasi, atau memungkinkan ekspresi budaya dari satu kelompok sosial atau etnis. Dalam paham monokulturalisme, ada satu kelompok sosial yang menonjol dibanding kelompok-kelompok sosial yang lain. Dominasi tersebut muncul dari segi jumlah (quantity), dimana kelompok tersebut memiliki jumlah yang jauh lebih banyak dibanding kelompok sosial lainnya. Keseragaman dalam negara monokultural dilihat dari kesamaan ras, etnis, budaya dan kepercayaan. Beberapa negara monokultural adalah Jepang, China, Korea Utara dan Korea Selatan.
Indonesia adalah negara yang multikultural, hal itu jelas terlihat dari ras (Mongoloid, dengan sub-ras Malayan-Mongoloid dan Asiatik-Mongoloid, Melanesia serta sebagian kecil ras Kaukasia), agama (Islam, Kristen-Protestan, Kristen-Katholik, Hindhu, Buddha, Kong Hu Cu), aliran kepercayaan seperti animisme dan dinamisme, hingga suku, yang dilansir dari laman Badan Pusat Statistik[4], dalam Sensus Penduduk 2010 (SP2010) memiliki jumlah 633 suku. Selain itu, terdapat semboyan bangsa Indonesia yang merepresentasikan ideologi multikultural, yakni Bhinneka Tunggal Ika, yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu. Kalimat ini terdapat di dalam lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila, tepatnya di dalam pita berwarna putih yang dicengkram oleh kaki burung garuda. Kalimat ini sejatinya telah diciptakan beberapa abad yang lalu, tepatnya pada abad ke-14 oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma. Lalu, menjelang proklamasi, kalimat ini diusulkan oleh Muhammad Yamin kepada Soekarno sebagai semboyan negara.[5]

Walaupun Indonesia adalah negara multikultur, sebagaimana di belahan dunia lain, tetap ada dominant ideology yang memiliki pengaruh dan kuasa paling besar dibandingkan ideologi-ideologi yang lain. Menurut WiseGEEK[6], dominant ideology berakar dari teori Karl Marx, dimana sebagian besar masyarakat berbagi nilai dan sikap yang dalam politik dan filsafat, yang ditentukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh. Dilansir dari Study.com[7], yang juga mengutip Karl Marx, dominant ideology adalah sistem nilai dan moral yang diciptakan oleh pihak yang memiliki kuasa untuk mengontrol kaum pekerja. Sederhananya, dominant ideology diciptakan oleh pihak yang memiliki kuasa, dan pihak-pihak yang powerless  pun hanya bisa menerima sistem tersebut begitu saja tanpa bisa melawan dan merubahnya.
Dominant ideology mempunyai relasi dengan hegemony. Dikutip dari Washington Edu[8], hegemoni berarti kesuksesan kelas dominan dalam menampilkan definisi mereka atas realita, pandangan mereka terhadap dunia, yang kemudian diterima oleh kelas yang lain sebagai ‘common sense’ (pandangan umum). Hegemoni dianggap keberhasilan atas dominant ideology. Contoh dari hegemoni adalah pelabelan Orde Baru (pihak penguasa) kepada komunis, bahwa komunis itu atheis dan kejam. Hegemoni itu dilakukan dengan banyak cara dan disebarkan melalui banyak media. Akhirnya, orang-orang yang tak memiliki kuasa dan ruang mereka untuk memperoleh informasi yang sebenar-benarnya dibatasi, perlahan-lahan akan percaya dan memiliki pola pikir yang sama jika komunis itu tak bertuhan dan kejam. Keberhasilan hegemoni itu bahkan masih terasa hingga sekarang, masyarakat masih memiliki ketakutan dan antipati terhadap komunis walau puluhan tahun telah berselang dari era Orde Baru. Hal ini membuktikan betapa powerful-nya propaganda yang dilakukan pihak penguasa pada saat itu dalam menanamkan nilai-nilai versi mereka sendiri  kepada masyarakat luas.
Dominant ideology juga terdapat dalam multikulturalisme. Walaupun diperlihatkan keberagaman ras, suku, agama dan kepercayaan, tetap saja ada satu yang menonjol dibanding dengan yang lain. Seperti anggapan sebagian orang Indonesia bahwa ras Kaukasia itu memiliki paras yang cantik dan tampan. Bila ditelaah lebih lanjut, pendefinisian cantik dan tampan itu dilihat dari physical appearance mereka, yakni dari kulit yang putih, postur tubuh yang tinggi, hidung yang mancung, mata yang memiliki warna aneka ragam, rambut pirang, dan lain sebagainya. Hal itu bukan tanpa sebab, ada penanaman hegemoni dari ras Kaukasia itu sendiri saat era perang dunia, yang memberikan penegasan pada pihak yang kalah perang bahwa ras Kaukasia adalah ras yang paling unggul dan agung. Perlahan-lahan, ras-ras lain yang memiliki kuasa dan kontrol lebih lemah dari ras Kaukasia akan menginternalisasi hegemoni itu dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Selain itu, di media massa, kita selalu terpapar oleh representasi kecantikan dan ketampanan yang diwakili oleh model-model yang memiliki ras Kaukasia. Akibatnya, anggapan bahwa ras Kaukasia itu ras yang superior semakin diperkuat dan dipercaya.
Dalam tulisan ini, peneliti akan menjelaskan mengenai penanaman nilai-nilai multikultural melalui media buku pelajaran jenjang sekolah dasar (SD). Medium yang disorot adalah buku pelajaran kelas 2 SD yang berjudul Tugasku Sehari-hari. Buku ini merupakan seri ketiga dari rangkaian dari Buku Tematik Terpadu Kurikulum 2013, yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan ditujukan untuk pelajar kelas 2 SD/MI. Disadur dari laman Sekolah Oke, kurikulum 2013 dibuat dengan tujuan mendorong peserta didik mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar dan mengkomunikasikan apa yang mereka peroleh setelah menerima materi pelajaran[9]. Kurikulum ini juga lebih menekankan pada fenomena alam, sosial, budaya dan seni[10]. Menurut laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia[11], konsep kurikulum 2013 diciptakan untuk mengakomodasi kemampuan anak yang berbeda-beda dan memahami bahwa perkembangan otak antara anak satu dengan lainnya tidak sama.
Mohammad Nuh menuliskan mengenai kurikulum 2013 saat masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, bahwa kurikulum ini merupakan kurikulum yang berbasis kompetensi. Ada perumusan antara kompetensi sikap. pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai peserta didik, yang juga merumuskan mengenai proses pembelajaran dan penilaian untuk memastikan ketercapaian kompetensi yang diinginkan[12]. Artinya, kurikulum 2013 ini menyesuaikan dengan kompetensi masing-masing anak, dan pada akhirnya akan terlihat dimana bakat dan kompetensi anak itu berada. Apakah di bidang eksakta, bahasa, seni, sosial, dan lain-lainnya. Serta tidak ada anggapan bahwa satu bidang lebih unggul dibanding bidang lain, seperti anggapan orang bahwa anak yang menguasai matematika lebih cerdas dibanding anak yang menguasai bidang seni.
Ada 4 subtema dalam buku ini, yakni: 1) Tugasku Sehari-hari di Rumah; 2) Tugasku Sehari-hari di Sekolah; 3) Tugasku sebagai Umat Beragama; dan 4) Tugasku dalam Kehidupan Sosial. Masing-masing bab akan menjelaskan peran anak-anak dalam lingkungan mereka, mulai dari lingkungan terkecil (keluarga), lingkungan institusi (sekolah), hingga lingkungan yang lebih luas, yakni bermasyarakat. Masing-masing bab akan dibahas secara rinci mengenai konten seperti apa dalam buku teks ini yang mewakili nilai-nilai multikultural. Buku ini cukup representatif sebagai penyebar nilai-nilai multikulturalisme kepada anak-anak usia sekolah dasar. Selain karena ditinjau dari isi konten, juga dilihat dari cara bertuturnya yang mudah dipahami oleh anak-anak sekolah dasar, disertai dengan ilustrasi yang  mampu menunjang pemahaman.

PEMBAHASAN
2.1       Buku yang digunakan sebagai objek dalam penulisan ini adalah:
                         




Gambar 1: Halaman sampul depan dan daftar isi buku Tugasku Sehari-hari

Pengarang
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun terbit
2014
Judul buku
Tugasku Sehari-hari
Kota terbit
Jakarta
Penerbit
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

2.2       Deskripsi dan Perbandingan Aspek Multikultural dalam Konten Buku Ajar “Tugasku         Sehari-hari” pada BAB I


Gambar 2: Suasana di rumah Siti pada hari Minggu

a)      Aspek ras
Yang dimaksud dengan ras adalah sekelompok manusia yang diidentifikasi memiliki kesamaan berdasarkan fisik atau ciri-ciri genetik yang memiliki kemiripan dalam grup tersebut[13]. Di dalam gambar 2, terlihat bahwa ada kemiripan fisik yang sama pada seluruh anggota keluarga Siti, yakni kulit yang berwarna kuning kecoklatan, mata berukuran sedang pada Siti dan Ali (adiknya), sementara kedua orangtuanya memiliki ukuran mata yang sedikit lebih kecil. Pada mata mereka pun terlihat tidak memiliki kelopak mata (eyelid), serta rambut Ali dan ayah Siti berwarna gelap, sementara pada Siti dan ibunya, tidak diketahui warna rambut mereka karena tertutup oleh kerudung. Ciri-ciri tersebut dapat diramu dan disimpulkan bahwa mereka keluarga yang memiliki ras Malayan-Mongoloid.

b)      Aspek agama
Pada gambar 2, terlihat Siti dan ibunya memakai atribut kerudung, atau penutup bagian kepala, pundak dan dada. Pemakaian kerudung pada wanita merupakan perintah dalam  agama Islam, maka dapat disimpulkan bila Siti dan ibunya menganut agama Islam. Sementara, pada Ali dan ayah Siti, tidak diketahui secara gamblang apa agama mereka bila dilihat secara kasat mata dari penampilan dan gaya berpakaian mereka, namun bila ditebak melalui nama, Ali bisa dipastikan Islam, karena nama Ali umum digunakan oleh laki-laki yang beragama Islam. Pada ayah Siti, tidak ditemukan petunjuk apapun mengenai agamanya, baik melalui nama maupun gaya berpakaian dan atribut yang ia kenakan.

c)      Aspek suku
Dalam gambar 2, tidak ditemukan petunjuk apapun mengenai identitas kesukuan Siti dan keluarganya. Tidak ada ciri-ciri yang terlihat dapat menjelaskan identitas kesukuan mereka, baik dari cara berpakaian dan perabotan rumah mereka.

Deskripsi dan Perbandingan Aspek Multikultural dalam Konten Buku Ajar “Tugasku         Sehari-hari” pada BAB II


Gambar 3: Berdoa bersama di kelas
a)      Aspek ras

Dalam gambar 3, terdapat 6 orang anak yang berada di sebuah ruangan kelas di dalam sekolah, yang tengah melaksanakan doa bersama. 6 orang anak tersebut hampir semuanya memiliki perbedaan fisik antara satu sama lain. Tiga diantara anak tersebut (nomor urut 1, 2, 3, dan 5 dari kanan) memiliki warna kulit yang sama, yakni cokelat terang. Satu anak memiliki warna kulit hitam (nomor urut 4 dari kanan), dan satu lagi memiliki warna kulit yang paling terang (nomor 6). Semua anak memiliki rambut berwarna gelap dan berambut lurus, kecuali Siti yang tidak diketahui warna rambutnya dan anak nomor 4 yang memiliki rambut keriting. Sementara itu, semua anak terlihat memejamkan matanya saat tengah berdoa, jadi tidak terlihat bagaimana warna dan ukuran mata mereka. Ciri-ciri yang paling mendekati adalah mereka memiliki ras Malayan-Mongoloid (anak nomor urut 1, 2, 3, dan 5 dari kanan), ras Melanesoid (nomor urut 4 dari kanan) dan ras Asiatik-Mongoloid (nomor urut 6 dari kanan).

b)      Aspek agama
Dalam teks di tulisan yang berbunyi, “Beberapa siswa berbeda suku, bahasa dan agama...”, yang menjelaskan mengenai kepercayaan yang mereka anut, namun tidak menjelaskan lebih jauh mengenai agama masing-masing anak dalam gambar. Namun, cara mereka berdoa dapat menerangkan mengenai apa agama mereka. Anak nomor satu berdoa dengan memejamkan mata dan mengatupkan kedua belah telapak tangannya, dengan kepala yang sedikit menunduk dan bahu yang sedikit turun. Ada kemungkinan bila agama perempuan berambut panjang itu adalah Hindhu, karena cara berdoa umat Hindhu pun dengan mengatupkan kedua belah telapak tangan, dengan posisi bahu turun dan kepala agak menunduk, seperti saat mereka bersembahyang di Pura dan menyembah dewa-dewi mereka. Sementara itu, cara berdoa anak nomor 2 dan 3 dari kanan terlihat sama, yakni menengadahkan tangan, dengan posisi tangan terbuka dan menghadap ke atas. Namun, ada perbedaan, yakni mulut anak perempuan itu terbuka dan tersenyum, sementara mulut anak laki-laki itu tertutup. Dilihat dari atribut yang ia kenakan, anak perempuan nomor 2 dari kanan terlihat jelas bila ia menganut agama Islam, ditambah dari caranya berdoa yang khas. Sementara, ada kemungkinan anak laki-laki nomor urut 3 dari kanan pun menganut agama Islam pula. Lalu, anak laki-laki nomor urut 4 dari kanan terlihat menggenggam tangan erat dan sikunya menempel ke meja. Cara berdoa seperti ini adalah cara berdoa khas umat Katholik. Apabila mereka pergi ke Gereja, siku tersebut disandarkan pada semacam meja kayu dan mereka berdoa dalam posisi duduk atau berdiri, namun ada pula yang berdoa dengan cara berlutut (kedua lutut menyentuh tanah) dan tetap dengan posisi tangan yang sama. Lalu, anak nomor 5 terlihat memejamkan mata, sembari menaruh tangan di atas meja. Tidak diketahui posisi tangan anak tersebut, karena tangannya tertutup oleh kursi yang diduduki anak laki-laki nomor 4 dari kanan. Tidak diketahui pula agama yang ia anut dari cara ia berdoa. Sementara itu, anak perempuan yang berada di nomor urut 6 dari kanan, terlihat memejamkan mata, dengan mimik wajah riang dan mengatupkan kedua tangan, dengan kedua siku yang menempel di meja. Ada beberapa kemungkinan, bisa jadi ia beragama sama dengan anak nomor 1, bisa pula ia menganut agama Kong Hu Cu, yang berdoa dengan mengatupkan kedua tangan, sembari menyisipkan hio (batang seperti lidi berwarna merah, yang dibakar dan mengeluarkan aroma khas) diantara sela-sela jarinya.
            Selain itu, pada gambar 3, dalam narasi yang ada di bawah gambar, ditekankan bahwa berdoa itu penting. Sebelum melakukan kegiatan, dianjurkan untuk berdoa kepada Tuhan karena berdoa mampu memberikan kemudahan. Terdapat semacam persuasi agar anak-anak yang membaca memahami pentingnya berdoa dan mendorong mereka agar berdoa sebelum melakukan aktivitas. Ada elemen religiusitas, ada pula elemen yang berkaitan dengan nasionalisme, yakni berdoa sebagai penerapan sila pertama Pancasila. Berdoa sejatinya adalah interaksi langsung dan privat dengan Tuhan, serta menunjukkan bahwa dengan berdoa, siswa mempercayai entitas yang lebih tinggi dari manusia, yakni mempercayai keberadaan Tuhan. Selain itu, terdapat unsur toleransi yang ditanamkan dalam kalimat, “Beberapa siswa berbeda suku, bahasa dan agama. Semua kompak dan saling menghargai.” Toleransi sendiri merupakan bagian dari multikulturalisme, dimana ada rasa saling menghargai dan menghormati diantara perbedaan yang ada.


c)      Aspek suku

Dalam gambar 3, tidak ditemukan keenam anak itu memiliki suku apa saja, karena mereka sama-sama mengenakan seragam SD, yang membuat mereka semua terlihat sama. Penandaan suku dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, logat mereka saat berbicara, nama/penamaan, tradisi, pakaian atau atribut yang dikenakan, serta ciri-ciri lain, seperti tari-tarian, bentuk rumah, hingga bentuk pakaian adat. Namun, semua itu tidak dapat terlihat dengan pasti, hanya saja ada kalimat yang menjelaskan bahwa, “Beberapa siswa berbeda suku, bahasa dan agama,” yang mampu menjelaskan bahwa sebenarnya mereka memiliki suku yang berbeda-beda, namun tidak dapat dilihat secara gamblang melalui gambar nomor 3.

Gambar 4: Lirik lagu “Aku Anak Indonesia”
Ada pula tambahan lirik lagu dalam BAB II, yang berjudul “Aku Anak Indonesia”. Dalam lirik tersebut, terdapat lirik yang merepresentasikan semangat multikultural sekaligus nilai nasionalisme, yakni, “Sribu pulaunya, ragam sukunya, satu jiwa raganya”. Lirik tersebut menjelaskan bahwa suku-suku di Indonesia itu berlimpah dan beraneka ragam, namun perbedaan itu tak lantas membuat Indonesia terpecah-pecah karena perbedaan, melainkan tetap bersatu padu dan berjiwa raga satu, menjadi sesama bangsa Indonesia.


Deskripsi dan Perbandingan Aspek Multikultural dalam Konten Buku Ajar “Tugasku Sehari-hari” pada BAB III


Gambar 5: Seorang guru bertanya pada murid-muridnya

a)      Aspek ras

Dari ciri-ciri fisik yang terlihat, beberapa anak terlihat memiliki kulit berwarna kecoklatan, satu memiliki kulit berwarna hitam, dan satu lagi memiliki kulit berwarna kuning terang. Semuanya memiliki rambut berwarna gelap, sebagian memiliki rambut yang lurus, sebagian memiliki rambut yang bergelombang, satu diantaranya memiliki rambut keriting dan siswi berjilbab tidak diketahui warna dan tekstur rambutnya. Ukuran mata seluruh siswa-siswi di kelas berukuran sedang, dengan pengecualian siswi yang duduk di bagian paling kanan, memiliki mata yang sipit. Sementara, gurunya sendiri memiliki kulit berwarna kecoklatan dengan rambut gelap dan lurus. Dapat disimpulkan bahwa ada sub-ras dominan yakni sub-ras Malayan-Mongoloid (dari ras utama Mongoloid), dengan jumlah 6 orang, ada satu sub-ras Asiatik-Mongoloid (siswi di bagian paling kanan), serta ras Melanesia (siswa berkulit hitam dan berambut keriting).

b)      Aspek agama

Hanya ada satu siswi yang terlihat jelas mengenakan atribut agama, yakni kerudung, yang menandakan bila ia berasal dari kalangan agama Islam. Sisanya tidak diketahui memiliki identitas agama apa. Namun, terdapat rasa toleransi dan tenggang rasa yang tinggi, terlihat dari hapalnya masing-masing anak terhadap hari raya dari masing-masing agama yang ada di Indonesia (Idul Fitri dan Idul Adha untuk agama Islam, Waisak untuk agama Buddha, Natal untuk agama Kristen-Protestan dan Kristen-Katholik, Nyepi untuk agama Hindhu, dan Imlek untuk agama Kong Hu Cu).
      Ditambah pula dari narasi dibawah gambar yang berbunyi seperti berikut:
“Setiap siswa memiliki agama. Mereka setiap tahun merayakan hari raya. Mereka saling menghormati. Setiap siswa bebas menjalankan agamanya. Antar umat beragama tidak boleh memaksakan kehendak. Tugas siswa menjaga kerukunan antar umat beragama”
Terlihat bahwa terdapat penanaman unsur-unsur toleransi, tenggang rasa dan menghormati agama lain yang berbeda dengan agama kita. Ada kebebasan bagi masing-masing individu untuk memilih agama dan menjalankan agamanya tanpa paksaan. Ada kewajiban pula bagi individu untuk menghormati dan menghargai umat beragama yang berbeda dari yang kita percayai. Ada kewajiban pula untuk senantiasa menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, agar tidak ada konflik dan perpecahan yang ditimbulkan dari perbedaan yang ada. Semua itu merupakan wujud yang nyata dari nilai-nilai multikulturalisme.

c)      Aspek suku

Dalam gambar 5, tidak ditemukan keenam anak itu memiliki suku apa saja, karena mereka sama-sama mengenakan seragam SD, yang membuat mereka semua terlihat sama. Penandaan akan identitas kesukuan terlihat dari banyak hal, seperti bahasa dan logat apa yang digunakan, penamaan, penggunaan atribut seperti pakaian adat atau aksesoris yang dapat memperlihatkan identitas kesukuan, dan lain sebagainya.

Gambar 6: Teman-teman Siti mengantar Siti ke musala

a)      Aspek ras

Dalam gambar 6, terdapat 6 orang anak yang memiliki ras berbeda-beda. Empat diantaranya memiliki ras Malayan-Mongoloid, dengan ciri-ciri kulit berwarna kecoklatan, rambut lurus dan gelap (kecuali Siti yang tidak diketahui warna dan tekstur rambutnya), serta ukuran mata sedang. Ada satu anak yang memiliki ras Asiatik-Mongoloid, dengan ciri-ciri kulit berwarna kuning terang, rambut gelap dan lurus, serta ukuran mata yang cenderung kecil (sipit). Lalu, ada pula satu anak yang memiliki ras Melanesia, dengan ciri-ciri kulit berwarna cokelat gelap, rambut berwarna gelap dan tekstur rambut keriting, serta ukuran mata yang sedang. Hal ini menunjukkan keberagaman multikultur yang dapat ditandai dari ras apakah yang mereka miliki.

b)      Aspek agama

Pada gambar, terlihat enam orang anak menuju ke sebuah musala, atau tempat ibadah umat agama Islam. Mereka semua memasang wajah yang ceria, gembira dan tersenyum. Salah satu anak perempuan yang berada di depan malah menuding musala dengan eye contact dan senyuman kepada anak perempuan lain yang mengenakan kerudung. Hal ini dapat disimpulkan sebagai penerimaan dan dukungan peer group kepada individu dalam menjalankan agama bagi anak perempuan yang menggunakan kerudung yang sedang berjalan menuju musala.
            Ditambah lagi, narasi pendukung yang berbunyi seperti ini:
“Edo, Beni, Meli, Lani, Dayu dan Siti mengakhiri belajar kelompok pukul 18.00. Menjelang pukul 18.00 terdengar suara azan. Siti minta izin untuk melaksanakan salat. Edo dan teman-teman mengantar Siti ke musala depan rumah Dayu. Mereka menunggu Siti di luar musala. Edo dan teman-temannya mendukung Siti untuk beribadah. Menghormati teman beribadah adalah tugas siswa”
Narasi tersebut memperkuat gambar ilustrasi akan makna toleransi dan dukungan untuk bebas menjalankan agama masing-masing. Dan toleransi itu dilakukan secara nyata melalui tindakan, seperti saat Edo, Beni, Meli, Lani dan Dayu mengantar Siti ke musala untuk menjalankan ibadah salat. Teman-temannya bahkan tak hanya mengantar, tapi juga menunggu hingga Siti selesai beribadah. Ditambah lagi dengan dua kalimat terakhir, yang menegaskan bahwa kebebasan untuk memilih agama dan beribadah adalah hak masing-masing individu, dan individu wajib menghormati hak agama yang dipilih oleh orang lain.

c)      Aspek suku

Dalam gambar 6, tidak ditemukan keenam anak itu memiliki suku apa saja, karena mereka sama-sama mengenakan pakaian biasa yang dikenakan sehari-hari. Pakaian tersebut berupa baju, celana dan rok, serta tambahan atribut kerudung pada salah seorang anak perempuan, yaitu Siti. Penandaan suku dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, logat mereka saat berbicara, nama/penamaan, tradisi, pakaian atau atribut yang dikenakan, serta ciri-ciri lain, seperti tari-tarian, bentuk rumah, hingga bentuk pakaian adat. Dan tidak ditemukan identitas suku dari gambar dan narasi pendukung tersebut.

Deskripsi dan Perbandingan Aspek Multikultural dalam Konten Buku Ajar “Tugasku   Sehari-hari” pada BAB IV
Gambar 7: Proses belajar mengajar di kelas

a)      Aspek ras

Dalam gambar 7, terlihat ada 10 orang, termasuk guru yang mengajar. Sekitar 8 orang memiliki ras Malayan-Mongoloid, dengan ciri-ciri berupa kulit yang berwarna kecoklatan, ukuran mata sedang, rambut berwarna gelap dan bertekstur lurus atau bergelombang (kecuali satu anak perempuan berkerudung yang tidak diketahui warna maupun tekstur rambutnya). Satu orang anak perempuan memiliki ras Asiatik-Mongoloid, dengan ciri-ciri kulit berwarna kuning terang, rambut lurus dan berwarna gelap, serta bentuk mata yang cenderung kecil (sipit). Satu lagi anak laki-laki yang berasal dari ras Melanesia, dengan ciri-ciri kulit berwarna cokelat gelap, rambut berwarna gelap dan bertekstur keriting, serta ukuran mata yang sedang.

b)      Aspek agama

Dalam gambar 7, tidak ada ciri-ciri khas keagamaan yang terlihat, kecuali pada satu orang anak perempuan yang menggunakan atribut kerudung sebagai simbol agama Islam. Sisanya tidak terlihat adanya penggunaan atribut agama yang menempel pada penampilan mereka.

c)      Aspek suku

Dalam gambar 7, tidak ditemukan kesembilan anak dan satu guru itu memiliki suku apa saja, karena mereka sama-sama mengenakan pakaian seragam sekolah dan seragam guru. Penandaan suku dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, logat mereka saat berbicara, nama/penamaan, tradisi, pakaian atau atribut yang dikenakan, serta ciri-ciri lain, seperti tari-tarian, bentuk rumah, hingga bentuk pakaian adat. Dan tidak ditemukan identitas suku dari gambar dan narasi pendukung tersebut.

2.2       Kemunculan ideologi multikultural pada bahan ajar dalam buku “Tugasku Sehari-hari”
           
Dapat dilihat bahwa adanya ideologi multikultural yang tersebar dalam bahan ajar di         buku tematik berjudul “Tugasku Sehari-hari” ini. Pesan-pesan multikultural tersebut diwujudkan melalui gambar ilustrasi serta narasi atau tulisan pendukung. Gambar dan narasi tersebut dibuat semudah mungkin untuk dipahami pelajar usia kelas 2 SD, dan menekankan pada mereka bahwa penanaman ideologi multikultural tidak seberat yang kita duga. Penanaman ideologi multikultural  tersebut dapat diwujudkan dalam gambar-gambar dan kalimat sederhana yang sangat mudah dipahami.
Pesan multikultural yang disampaikan adalah adanya perbedaan di sekeliling kita. Seperti Siti dan teman-temannya yang memiliki ras dan agama yang berbeda-beda. Tidak ditemukan identitas kesukuan karena tidak ada atribut penanda yang menjelaskan identitas kesukuan anak tersebut, entah dari penyebutan suku, bahasa yang digunakan, dan penamaan yang dapat menunjukan ciri-ciri khas suku tertentu. Selain itu, pesan lainnya adalah bahwa perbedaan itu ada dan harus diterima dengan terbuka. Harus ada toleransi, saling menghargai dan menghormati walau masing-masing individu memiliki perbedaan ras, suku dan agama.

2.3       Politik identitas dalam buku ajar tematik “Tugasku Sehari-hari”
           
Tidak terdapat adanya politik identitas yang mencolok, kecuali penggunaan seragam yang diwajibkan bagi murid-murid sekolah dasar. Penggunaan seragam adalah bentuk politik identitas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud RI). Alasan mengapa penggunaan seragam adalah politik identitas karena siswa dilarang menggunakan pakaian pilihan mereka sendiri untuk pergi ke sekolah.  Adanya opresi tersebut membatasi ekspresi identitas siswa, yang mana tiap identitas manusia itu berbeda-beda dan unik. Identitas pelajar jenjang SD-SMP ditetapkan oleh pemerintah dengan wajib menggunakan seragam sekolah. Namun, tidak adanya ruang untuk melawan politik identitas yang dilakukan oleh pemerintah, hingga pada akhirnya siswa hanya bisa patuh pada aturan yang berlaku.

2.4       Kemunculan dominant ideological pattern pada bahan ajar dalam buku “Tugasku Sehari-hari”

                        Dominant ideological pattern adalah sistem yang dibuat oleh pihak yang berkuasa, yang digunakan untuk mengontrol pihak lain yang lebih lemah. Dalam buku ini, kemunculan dominant ideological pattern terlihat dari beberapa kalimat yang terdapat dalam buku, seperti anjuran untuk saling menghormati, menghargai dan menyayangi sesama, walaupun ada perbedaan sekalipun. Ideologi ini dinilai positif, karena menghasilkan individu-individu yang memiliki kepekaan sosial dan humanis. Sementara itu, pihak yang berkuasa dalam buku ini adalah penyusun buku ini sendiri, yakni tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud RI), yang memiliki kuasa dan kontrol untuk menanamkan ideologi dan nilai-nilai sesuai standar ideal mereka.
                        Dalam konteks Indonesia, dominant ideological pattern pada konteks toleransi dan menghargai perbedaan tidak dapat dilakukan semudah kalimat dalam buku tersebut, karena pada kenyataannya masih banyak orang-orang yang tidak memiliki kepekaan sosial terhadap sesama, terlebih bila ada perbedaan suku, ras dan agama. Pada kenyataannya, orang-orang Indonesia cenderung mudah dihasut dan diprovokasi oleh isu-isu SARA, dan membuat mereka terpecah belah satu sama lain. Cita-cita dalam buku untuk mewujudkan nilai-nilai multikulturalisme masih dipandang terlalu idealis, karena masih banyak orang yang tidak memiliki respek dan toleransi terhadap perbedaan.
                        Sementara, bila berbicara mengenai dominant culture, dalam buku ini masih didominasi dengan ras Malayan-Mongoloid dan menonjolkan agama Islam. Memang, ras dominan dalam konteks Indonesia adalah ras Malayan-Mongoloid, yang mendiami pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau besar lain. Disusul oleh ras Asiatik-Mongoloid, yang tinggal berpencar di seluruh Indonesia (namun lebih mudah ditemukan di Pulau Jawa dan sebagian wilayah Kalimantan), serta ras Melanesia yang tinggal di wilayah timur Indonesia seperti Papua dan Maluku. Seperti pada BAB I yang menceritakan keluarga Siti yang menganut Islam, dan tokoh utama buku ini yaitu Siti sendiri, yang direpresentasikan sebagai anak perempuan yang menggunakan kerudung atau jilbab kemanapun ia pergi. Representasi itu merupakan wujud dari dominant culture yang ada di Indonesia, yang memiliki agama mayoritas yakni agama Islam. Karena mayoritas, maka lebih diutamakan dan sering dimunculkan ketimbang tokoh-tokoh lain dalam buku ini, misal tokoh Dayu yang beragama Hindhu, atau Edo yang beragama Katholik.

KESIMPULAN
                        Bentuk multikulturalisme diwujudkan dalam berbagai bentuk dan pesan di buku ini, seperti penggambaran tokoh-tokoh yang memiliki ras dan agama yang berbeda-beda, dan bagaimana siswa harus bersikap toleran, menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada. Walaupun terdengar berat, nyatanya penanaman nilai-nilai multikulturalisme bisa dilakukan dengan cara yang mudah dipahami, yakni dengan menyertakan gambar-gambar ilustrasi dengan tokoh-tokoh yang memiliki ras, suku dan agama yang berbeda-beda, serta tulisan atau narasi pendukung yang menekankan pada penerimaan atas perbedaan tersebut.



[1] Multicultural. Your Dictionary. Web. Diakses pada tanggal 13 November 2016. www.yourdictionary.com/multicultural
[2] Rosado, Caleb. 1996. “Toward aDefinition of Multiculturalism”. Dipublikasikan di www.rosado.net
[3] Monoculturalism. English Oxford Living Dictionaries. Web. Diakses pada tanggal 13 November 2016. https://en.oxforddictionaries.com/definition/monoculturalism
[4] Mengulik Data Suku di Indonesia. Badan Pusat Statistik. Web. Diakses pada tanggal 13 November 2016. https://www.bps.go.id/KegiatanLain/view/id/127
[5] Kusuma, R.M.A.B. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pusat Studi HTN FH UI
[6] What is Dominant Ideology? WiseGEEK. Web. Diakses pada tanggal 14 November 2016. www.wisegeek.com/what-is-dominant-ideology.htm
[7] Dominant Ideology: Definition & Examples. Study.com. Web. Diakses pada tanggal 14 November 2016. study.com/academy/lesson/dominant-ideology-definition-examples.html
[8] Hegemony. Washington Edu. Web. Diakses pada 14 November 2016. https://faculty.washington.edu/mlg/courses/definitions/hegemony.html
[9] Apa Isi Kurikulum 2013? Sekolah Oke. Web. Diakses pada tanggal 14 November 2016. www.sekolahoke.com/2012/12/apa-isi-kurikulum-2013.html?m=1
[10] Ibid.
[11] Kurikulum 2013 Mengakomodasi Kemampuan Anak. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Web. Diakses pada tanggal 14 November 2016. www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/08/kurikulum-2013-mengakomodasi-kemampuan-anak-2972-2972-2972
[12] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Tugasku Sehari-hari. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (penerbit).
[13] Race. The Free Dictionary. Web. Diakses pada tanggal 14 November 2016. www.thefreedictionary.com/race

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template