Aku
ingin tidur dengan banyak laki-laki.
Sepotong tubuh ranum milik Sessyl terbolak-balik
di atas ranjang, berguling-gulingan dengan gusar. Kelopak yang dihiasi bulu
mata seperti ekor merak tak jua memejam. Sesekali, sebilah tangannya menyeka
bulir-bulir air yang mengucur deras di dahi. Baling-baling kipas angin yang
terus berputar seolah tak bisa menghapus titik-titik keringat yang terus
berjatuhan. Usai menyeka, tangannya dirapatkan kembali untuk mendekap guling
kesayangannya. Mencari sedikit kenyamanan dari sebuah bantal, guling dan kasur
kapuk bermodel lama. Menghempaskan beratnya kepala (dan isinya) pada lembut
dakron-dakron yang menggeliat di dalamnya.
Sisa
hari ini sama saja,
keluh Sessyl.
Pupil matanya mengerjap, menarik mundur
ingatan yang telah terlewatkan. Satu hari di kelas Mekanika Fluida, tak kurang
dari dua puluh empat jam yang lalu. Ditengah-tengah sibuknya Sessyl menghitung
laju aliran fluida pada venturimeter,
mata yang harusnya tertambat pada pipa berwarna abu-abu muda, malah berlarian dengan
lapar pada sepenggal tubuh berbalut jas laboratorium. Pemilik kulit serupa kayu
jati dengan larik-larik bulu tipis di bawah hidungnya. Pemilik kerangka
menjulang itu juga. Sebelah tangan kirinya tengah menggenggam papan dada,
selembar kertas HVS putih terselip rapi di atasnya. Sisa tangannya mengguratkan
kata demi kata dengan sebuah pena.
Laki-laki berkulit kayu jati itu, Evan,
berjalan ke arahnya, langkahnya berderap-derap lambat di sekujur ruangan
praktikum. Harmoni mengiringi dalam tiap ayunan lengan dan kakinya. Ia lalu
berbincang mengenai jumlah tekanan stagnasi pada venturimeter dengan Anton, rekan praktikum Sessyl, kembali
mencoretkan beberapa patah kata di atas kertas setelahnya. Sessyl tak peduli
dengan obrolan mereka ataupun tugas yang seharusnya ia kerjakan, bola matanya
sudah jatuh, tertambat pada gembungan di pangkal paha yang berbalut dengan celana
jeans gelap yang dikenakan Evan.
Sessyl menelan ludah.
Sesuatu seperti merambati tengkuknya,
menyambar lingkaran kewarasannya. Sekujur tubuhnya meremang, pias wajahnya menyingkirkan
tenang. Tidak. Jantungnya memang berdegup kencang, aliran darahnya
meronta-ronta senang, namun tak mengirimkan sinyal-sinyal elektromagnetik yang mampu
mencekik paru-parunya. Alih-alih, justru bagian terdalam dari labia minora-nya yang berdenyut-denyut
penuh gairah.
Ini bukan cinta.
Ini hanyalah hasrat yang membara.
***
Lain
waktu, mundur ke belakang, satu minggu yang lalu. Di bawah pohon angsana yang
memeluk rindang. Di atas gerombolan Cyperus
rotundus yang membelai siang. Di sekitar bebangkuan kayu tempat menghempaskan
pantat dan betis yang meraung-raung, membutuhkan sandaran.
Sessyl
berlari-lari kecil. Menyebrangi gedung E menuju gedung G yang ratusan meter
jauhnya adalah ide yang sangat buruk. Kelas Matematika II yang dipangku oleh
Professor Boris tinggal tiga menit lagi, sementara ia harus menyebrangi luasnya
jalan dan menaiki ratusan anak tangga di depan. Matahari tengah bertingkah
menyebalkan, mengirimkan sinarnya yang menyengat kulit dengan tajam. Lembaran-lembaran
handout Kalkulus pun bersikap masa bodo dengan kondisi memprihatinkan Sessyl.
Mungkin, karena merasa penting dan dibutuhkan. Berterbangan tak keruan menuju
selokan di saat-saat yang tak memungkinkan. Untungnya, Sessyl berhasil
menyelamatkannya dalam sepersekian detik sebelum handout-nya berenang bersama ikan-ikan kecil di pelimbahan.
Saat
tengah membungkuk itulah matanya menangkap sesuatu.
Sepasang
kaki berbalut sneakers biru gelap mengalihkan
fokusnya. Bukan sneakers biasa dari
orang yang biasa pula. Melainkan sneakers
dari pemilik otot-otot liat yang tersembunyi dibalik kemeja. Fendy.
Tiba-tiba,
Sessyl teringat sesuatu.
Tersenyum, ia kala tengah
mengingat-ingat. Ia tak memiliki kenangan yang spesifik dengan laki-laki itu. Perkenalan
mereka bermula dari satu klub seni yang sama. Mereka jarang bicara. Hanya saja,
tanpa aba-aba, tatapan mata laki-laki itu selalu berhasil mengunci dirinya pada
posisi ternganga. Tatapan mata yang membuat manusia, benda dan apapun di
sekitarnya menjadi remang-remang dengan mudah.
Sessyl
menelan ludah lagi.
Ia
kemudian menjilat ujung bibirnya yang mulai mengering. Kelembaban perlahan
mengaliri dua belah bibirnya. Tak lama, ia merasa kecewa. Kecewa, karena hanya
lidahnya sendiri yang membasahi bibirnya, bukan lidah atau ludah laki-laki itu.
Kalau
saja mampu, ia sudah pasti akan melemparkan handout
Kalkulus-nya ke udara, juga tas ranselnya, lalu berlarian menerjang angin dengan
gila. Melemparkan dirinya pada bahu lebar, rambut berantakan dan leher kokoh
itu. Merasakan ribuan voltase listrik
menjalari permukaan epidermis-nya. Membiarkan
tubuhnya terseok-seok kala dibanjiri oleh keinginan yang begitu membuncah. Mencengkram
erat ujung kemejanya dengan segenap jiwa. Menyeretnya ke laboratorium gedung A
yang acapkali tak berpenghuni, lalu menumpahkan seluruh hormonnya disana.
“Permisi.”
ucap laki-laki itu, tepat di balik telinganya. Kini, giliran suaranya yang
memporak-porandakan dunianya. Merambat melalui medium udara dan meninggalkan
jejak samar pada relung hatinya. Membuat Sessyl tergagap, lalu bergeser,
memberikan ruang bagi laki-laki itu untuk terus berjalan.
Selintas
itu hanya khayalan, bukan kenyataan. Laki-laki dengan sneakers biru gelap itu meneruskan berjalan sembari mengobrol
bersama temannya, beranjak pergi dan menghilang dibalik taman di depan gedung
D.
Labia minora-nya kembali berkedut, namun
ia tak tahu harus berbuat apa.
***
Dengung
mesin kipas angin yang ribut memenuhi rongga telinga perempuan itu. Ia masih
berguling-guling tak keruan di atas kasurnya, sesekali mengelap keringatnya
yang mudah sekali tumpah. Suhu udara kamarnya mendadak meningkat
berlipat-lipat, padahal larut makin menyelimuti malam. Bukan suara mesin kipas angin dan panasnya
temperatur yang membuat kedua bola mata perempuan itu tak dapat terpejam, namun
satu hal lain yang mengganggu pikirannya sedari tadi.
Kaki
perempuan itu bergelinjang gusar. Membuat seprai yang rapi terhampar menjadi agak
berantakan. Sebagian dirinya sudah tak tahan lagi. Tumitnya menjerit, lututnya
meringkik, pahanya mengaum. Seluruh organ dari pinggul ke bawah melantunkan
kemarahan. Meneriakkan nada-nada protes pada pemiliknya, mengapa dalam belasan
tahun mereka tercipta, tak pernah sekalipun dibiarkan terbuka.
Terbuka
bersama seorang laki-laki, dua, atau mungkin tiga. Membiarkan mereka
menari-nari dengan lincah. Membiarkan aroma hasrat membayangi langit-langit
kamarnya. Membiarkan derit ranjang bergerak memekakkan telinga. Membiarkan
tetes demi tetes keringat berjatuhan bersama-sama. Membiarkan kedua kelamin mereka berjumpa. Membiarkan
kedua pahanya membuka. Bukannya terkatup gelisah tanpa arah. Atau membiarkan
angan bertebaran kemana-mana.
Aku
ingin tidur dengan banyak laki-laki.
Bukan
hanya satu.
waaah bercita-cita jadi seperti ayu utami/djenar yaaa mbak nen?:)
BalasHapusBercita cita sih nggak day. Aku memang suka genre penulisan yg kayak gini dan kedua orang itu memang inspirasiku. Dan tentunya aku punya gaya penulisan sendiri dong :p
Hapusapik'e ya awwoohhh
BalasHapusapik'e ya awwoohhh
BalasHapusHwee makasih luv! 😘
Hapus