Hadir karena rindu, pergi karena jemu.
Bak terminal bus antar kota, tanah beraspal yang luas, tak serta merta menjanjikan sekuritas. Lalu-lalang orang, juga bisingnya derapan kendaraan, tidak pula menampakkan kenyamanan. Semua yang berkaki dan beroda, seolah tengah diburu oleh marabahaya. Tidak satupun yang menyapa ramah atau sekedar bertegur sapa. Sebaliknya, hanya senyum masam dan langkah gusar yang berulang kali diedarkan disana.
Astaga, itu pula yang terjadi pada kita.
Bintang di atas lapisan polusi langit kota, itulah sebutanmu padaku. Ada, namun dianggap tak nyata. Cerah, namun sinarnya tak memanja. Aku gemerlapan, katamu, hanya jika semua kebisingan tertidur. Aku nampak, jika mana hening telah merangkul. Mulanya, aku senang dengan sebutan itu, namun perlahan ku sadari bila kota sepadat ini tak akan pernah jatuh tertidur. Lima juta jiwa tinggal didalamnya, yang benar saja, batinku.
Bahkan, bila malam menjelang, pabrik-pabrik di pinggiran kota pun masih bekerja, memuntahkan polutan dengan sengaja. Polutan itulah yang membuat bintang-bintang sepertiku tak kasat mata. Menyisakan gelap dan hitam saja bila kungkungan malam tiba.
Tapi toh, tetap ku turuti semua maumu. Bintang, sebutanku, akan tetap berlaku sebagaimana filosofiku diramu. Bintang itu indah, memancarkan cahaya, menyusup dalam sendi-sendi manusia. Abaimu tak pernah membuatku ragu untuk terus memancarkan sinarku. Ragumu pun tak pernah membuatku malu untuk terus menerima bagaimanapun dirimu.
Bintang tak pernah lelah untuk bersinar, membuat seluruh energi dalam dirinya terbakar. Bintang memancarkan senyum, meski dalam dirinya berkobar amarah tak terkira. Bintang menenangkan, meski jiwanya sendiri diselimuti kekalutan. Bintang dianggap kekal abadi. Walau hanya sedikit orang yang tahu bahwa bintang pun bisa kehabisan tenaga juga.
Sekelilingku juga penuh bintang, walau radius terdekat dari wujudku adalah jutaan tahun cahaya jaraknya. Dalam telepati antar bintang, ku tahu bila mereka jauh lebih bersinar. Berlomba-lomba, siapa yang paling cerah. Berpamer-ria, siapa yang paling memesona. Dan, bisa ditebak, akulah yang paling payah.
Meski begitu, ku tabahkan diri untuk terus bersinar.
Redup sekalipun tak mengapa.
***
“Dik, kamu manis, seperti bintang gemerlapan.” Bisik laki-laki itu, mesra, pada telinga kekasihnya. Didekapnya erat seperti tak mau kehilangan selamanya. Sang perempuan tersipu, pipinya merona malu. Lalu bibir keduanya menyatu, larut di dalam syahdu.
Mereka memulai kembali aktivitasnya: bersetubuh di alam raya. Tak peduli walau rerumputan bersisik membuat kulit gatal atau gigitan nyamuk memunculkan rasa sakit yang menyebalkan. Bahkan tak peduli bila orang lain menatapnya tajam.
Dan bintang menyaksikan semua itu.
Surabaya, 8 April 2016, 22:44
Credit picture: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTKTFnEKBrHnPCx-2zciNpcyiQ-6v2Tk15quuBlvA96MysPs1uU865AaS5K
Bak terminal bus antar kota, tanah beraspal yang luas, tak serta merta menjanjikan sekuritas. Lalu-lalang orang, juga bisingnya derapan kendaraan, tidak pula menampakkan kenyamanan. Semua yang berkaki dan beroda, seolah tengah diburu oleh marabahaya. Tidak satupun yang menyapa ramah atau sekedar bertegur sapa. Sebaliknya, hanya senyum masam dan langkah gusar yang berulang kali diedarkan disana.
Astaga, itu pula yang terjadi pada kita.
Bintang di atas lapisan polusi langit kota, itulah sebutanmu padaku. Ada, namun dianggap tak nyata. Cerah, namun sinarnya tak memanja. Aku gemerlapan, katamu, hanya jika semua kebisingan tertidur. Aku nampak, jika mana hening telah merangkul. Mulanya, aku senang dengan sebutan itu, namun perlahan ku sadari bila kota sepadat ini tak akan pernah jatuh tertidur. Lima juta jiwa tinggal didalamnya, yang benar saja, batinku.
Bahkan, bila malam menjelang, pabrik-pabrik di pinggiran kota pun masih bekerja, memuntahkan polutan dengan sengaja. Polutan itulah yang membuat bintang-bintang sepertiku tak kasat mata. Menyisakan gelap dan hitam saja bila kungkungan malam tiba.
Tapi toh, tetap ku turuti semua maumu. Bintang, sebutanku, akan tetap berlaku sebagaimana filosofiku diramu. Bintang itu indah, memancarkan cahaya, menyusup dalam sendi-sendi manusia. Abaimu tak pernah membuatku ragu untuk terus memancarkan sinarku. Ragumu pun tak pernah membuatku malu untuk terus menerima bagaimanapun dirimu.
Bintang tak pernah lelah untuk bersinar, membuat seluruh energi dalam dirinya terbakar. Bintang memancarkan senyum, meski dalam dirinya berkobar amarah tak terkira. Bintang menenangkan, meski jiwanya sendiri diselimuti kekalutan. Bintang dianggap kekal abadi. Walau hanya sedikit orang yang tahu bahwa bintang pun bisa kehabisan tenaga juga.
Sekelilingku juga penuh bintang, walau radius terdekat dari wujudku adalah jutaan tahun cahaya jaraknya. Dalam telepati antar bintang, ku tahu bila mereka jauh lebih bersinar. Berlomba-lomba, siapa yang paling cerah. Berpamer-ria, siapa yang paling memesona. Dan, bisa ditebak, akulah yang paling payah.
Meski begitu, ku tabahkan diri untuk terus bersinar.
Redup sekalipun tak mengapa.
***
“Dik, kamu manis, seperti bintang gemerlapan.” Bisik laki-laki itu, mesra, pada telinga kekasihnya. Didekapnya erat seperti tak mau kehilangan selamanya. Sang perempuan tersipu, pipinya merona malu. Lalu bibir keduanya menyatu, larut di dalam syahdu.
Mereka memulai kembali aktivitasnya: bersetubuh di alam raya. Tak peduli walau rerumputan bersisik membuat kulit gatal atau gigitan nyamuk memunculkan rasa sakit yang menyebalkan. Bahkan tak peduli bila orang lain menatapnya tajam.
Dan bintang menyaksikan semua itu.
Surabaya, 8 April 2016, 22:44
Credit picture: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTKTFnEKBrHnPCx-2zciNpcyiQ-6v2Tk15quuBlvA96MysPs1uU865AaS5K
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)