Gelap.
Rem yang diinjak dengan telapak kaki
kanan menghentikan gerak motor seketika. Rembulan masih menyenandungkan
sinarnya yang merambat pada bilah-bilah batang bambu. Berbaur dengan cahaya lampu
neon yang dikerubungi ribuan laron dibawah bangunan kayu. Sayup-sayup, bau
mesin yang terpanggang menguar bersamaan dengan rasa mencekam yang seketika
menghantui ulu hatiku.
Nyatakah ini? Rasa takut yang
berpendar pada bulu halus tanganku?
Dibawah bayang pohon trembesi, aku
memarkirkan motorku. Berusaha menyingkirkan gemuruh yang melalap keberanianku,
seperti ombak yang menghempaskan perahu kayu nelayan ke daratan. Ku pasang seulas
senyuman sembari mengangkat kaki, meninggalkan jejak bergerigi di atas tanah
lembek. Tas ransel bermuatan penuh yang tersampir di pundak, terayun-ayun
bersamaan dengan bergeraknya tubuhku.
“Sudah siap?” tanya laki-laki
berkulit gelap itu, selepas doa bersama didepan pos jaga. Aku mengangguk,
menelan ludah dalam-dalam. “Ambil sentermu dan kita berangkat.”
Ucapkan
selamat tinggal pada benderangnya lampu,Mir, bisikku pada diri sendiri. Laki-laki
itu memimpin didepan, sesekali menengok untuk memastikan tim-nya yang berjumlah
belasan orang tak berpencar.
Setengah jam pertama tidak berarti
apa-apa, selain hanya melangkahkan kaki lamat-lamat diatas jalan datar yang berkerikil.
Namun, tikungan tajam vertikal setelahnya hampir membuat semangatku mati. Malam
hanya menyisakan pekat ketika ku mulai mendengar deru napasku yang berkejaran.
“Butuh istirahat, Mir?” tanya
laki-laki itu,Doni namanya, mendapatiku hampir tertinggal di belakang.Raut
mukanya menyiratkan kecemasan, namun aku hanya menjawab dengan gelengan.
“Jangan gengsi kalau mau istirahat,”
giliran Zay, sweeperdalam tim, angkat
bicara. “Kita ini satu tim.”
“Iya Mas, nanti saya bakal bilang.
Terima kasih.” sahutku ditengah-tengah kepayahan dalam menstabilkan napas. Zay
menemaniku di belakang, sementara Doni memberitahu tim untuk berjalan lebih
perlahan.
Payah,
keluhku dalam hati. Merutuki, betapa kehadiranku hanya menyusahkan tim ini. Padahal,
ini bukan yang pertama bagiku. Aku sudah memulai “debut”-ku sejak enam tahun
yang lalu. Kala itu, usiaku masih dua belas tahun. Menapaki tanah-tanah yang
beranjak naik bersama paman, sepupu dan tiga teman laki-lakinya. Tidur dibawah
langit berbintang, duduk dibawah kokohnyacemara dan pinussertabersenda gurau
sembari menghangatkan diri didalam lingkaran api unggun.
Menarik mundur ingatan, rasanya
debut itu tak bisa dibanggakan kala ku sadari bahwa setelah itu, aku tak pernah
lagi melakukan hal yang sama. Enam tahun vakum dalam pendakian. Enam tahun pula
hanya bisa terkenang dan terbayang.
Hingga
hari ini, di usiaku yang ke-delapan belas. Saat larik kenangan itu hampir
pudar, merebut kembali mimpi yang mati suri adalah hal yang pasti. Semata
karena ku tak ingin terbangun di usia tujuh puluh dan menyesali apa yang tak
terjadi.
“Minum dulu, Mir.” Zay menyodorkan
air mineral dalam botol satu setengah liter, isinya sudah tandas setengah. Aku
meraihnya dengan kuyu, lantas menyesapnya sedikit.
“Semangat dong, Mir! Sepuluh menit
lagi sampai.” goda Doni yang berdiri tak jauh dariku, menyunggingkan cengiran
jahil. Matras diatas carrier bag-nya
terlihat miring. Kegelian merambat dari ulu hatiku dan meledak lewat tawa
kecil. “Uh, dari tadi bilangnya sepuluh menit terus.”
“Emang tinggal sepuluh menit lagi
kok, bener gak, Re?” tanya Doni ke Rendra, yang membalasnya dengan anggukan
mantap. Aku tersenyum, aliran energi mulai menyusup perlahan ke pembuluh
darahku. Meski ku tahu, perjalanan masih jauh dan tanjakan-tanjakan didepan
bakal lebih gila lagi. Doni dan kawan-kawannya melapisi fakta itu dengan
kebohongan, semata-mata untuk membuat rekan se-timnya kembali semangat.
Bulan masih tergantung di langit
timur. Napasku kembali memburu ketika menghadapi tanjakan demi tanjakan. Betisku
terasa kaku. Terbayang, kasur busa, bantal dan guling yang menari-nari sembari mengejek
di rumah.
“Mir, tau gak?” suara Doni memecah
keheningan. Ia menoleh singkat ke arahku, lalu kembali berjalan. “Kamu harusnya
bangga.”
“Kenapa?”
“Di saat orang-orang tengah
terlelap, pulas dalam mimpi, kita justru berjalan tertatih dalam gelap malam untuk
menggapai mimpi itu sendiri.”
Deg!
Hatiku berhenti berdetak untuk seketika.
“Buktikan. Kamu bisa, Mir!”
Tidak ada cengiran jahil di wajah Doni.
Alih-alih, ia justru membentuk sepotong bulan sabit dengan bibirnya. Tersenyum
begitu tulus dibalik keremangan cahaya.
Lalu, sontak, ribuan voltase listrik
menyetrum sel-sel dalam tubuhku. Membuat segalanya terasa jauh lebih ringan. Rasa
lelah dan terengah-engah memang belum pudar, namun ucapan Doni lebih dari cukup
untuk mencambukku agar berjalan lebih jauh.
Dan...
“Kita
sampai!” teriak Doni yang berada pada posisi terdepan. Rasa penasaran melecutku
begitu dalam. Tak kurang dari satu menit, aku sudah berdiri di samping Doni
yang tersenyum sumringah. Aku memicingkan mata, menangkap tenda-tenda beraneka
warna. Jumlahnya cukup banyak. Orang-orang berlalu lalang, tak jauh dari tenda
mereka. Sebagian sedang membuat kopi atau mie rebus, sebagian mengobrol, dan
sisanya hanya duduk-duduk didepan tenda sembari merapatkan tubuh yang
kedinginan.
“Selamat
datang di Puncak Bayangan, Mir!” ucap Doni. Ia menepuk bahuku, lalu berbisik
perlahan. “Jangan coba-coba lihat ke belakang karena akan menghantuimu seumur
hidup!”
Aku
membalikkan badan dan terperangah. Hanya sepatah kata yang terlontar dari
bibirku, “Wuah!”
Dari
tempatku berdiri, terlihat kilauan cahaya lampu kota, berkedip-kedip genit
menggodaku. Ribuan, bahkan jutaan bola lampu, membentuk untaian kalung emas
yang menakjubkan. Dibawah sana, kota-kota tengah tertidur pulas, namun pancaran
sinarnya tetap berpendaran bak berlian. Kota-kota itu terasa hidup dan seolah
berbicara padaku. Dan, tak kalah menariknya, siluet kokoh Gunung Arjuno-Welirang,
tepat didepan mata, mampu membuat lututku menjadi lemas seketika.
Ini
terlalu indah.
“Ku bilang juga apa.” ujar Doni
sembari terkekeh geli. Ia mendaratkan tubuhnya pada rerumputan kering, memeluk kakinya
dan menatap ke arah yang sama denganku. “Terlalu indah untuk dilupakan.”
Aku mengangguk. “Terima kasih sudah
membawaku kemari.”
“Sama-sama, Mir.”
Sisa-sisa malam ku habiskan dengan
menatap gemerlapan cahaya lampu kota. Tidak melakukan apa-apa, kecuali duduk
dan diam. Ketika lelah mulai menghempas, ku langkahkan kaki ke arah tenda, sekali
lagi menatap pemandangan yang sama, lalu terlelap dengan cepat didalamnya.Aku jatuh cinta, pikirku. Dalam hati,
diam-diam ku berjanji merencanakan pendakian lagi setelah ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)