Jumat, 01 April 2016

Jejak dalam Malam (CERPEN)

Gelap.
            Rem yang diinjak dengan telapak kaki kanan menghentikan gerak motor seketika. Rembulan masih menyenandungkan sinarnya yang merambat pada bilah-bilah batang bambu. Berbaur dengan cahaya lampu neon yang dikerubungi ribuan laron dibawah bangunan kayu. Sayup-sayup, bau mesin yang terpanggang menguar bersamaan dengan rasa mencekam yang seketika menghantui ulu hatiku. 
            Nyatakah ini? Rasa takut yang berpendar pada bulu halus tanganku?

            Dibawah bayang pohon trembesi, aku memarkirkan motorku. Berusaha menyingkirkan gemuruh yang melalap keberanianku, seperti ombak yang menghempaskan perahu kayu nelayan ke daratan. Ku pasang seulas senyuman sembari mengangkat kaki, meninggalkan jejak bergerigi di atas tanah lembek. Tas ransel bermuatan penuh yang tersampir di pundak, terayun-ayun bersamaan dengan bergeraknya tubuhku.
            “Sudah siap?” tanya laki-laki berkulit gelap itu, selepas doa bersama didepan pos jaga. Aku mengangguk, menelan ludah dalam-dalam. “Ambil sentermu dan kita berangkat.”
            Ucapkan selamat tinggal pada benderangnya lampu,Mir, bisikku pada diri sendiri. Laki-laki itu memimpin didepan, sesekali menengok untuk memastikan tim-nya yang berjumlah belasan orang tak berpencar.
            Setengah jam pertama tidak berarti apa-apa, selain hanya melangkahkan kaki lamat-lamat diatas jalan datar yang berkerikil. Namun, tikungan tajam vertikal setelahnya hampir membuat semangatku mati. Malam hanya menyisakan pekat ketika ku mulai mendengar deru napasku yang berkejaran.
            “Butuh istirahat, Mir?” tanya laki-laki itu,Doni namanya, mendapatiku hampir tertinggal di belakang.Raut mukanya menyiratkan kecemasan, namun aku hanya menjawab dengan gelengan.
            “Jangan gengsi kalau mau istirahat,” giliran Zay, sweeperdalam tim, angkat bicara. “Kita ini satu tim.”
            “Iya Mas, nanti saya bakal bilang. Terima kasih.” sahutku ditengah-tengah kepayahan dalam menstabilkan napas. Zay menemaniku di belakang, sementara Doni memberitahu tim untuk berjalan lebih perlahan.
            Payah, keluhku dalam hati. Merutuki, betapa kehadiranku hanya menyusahkan tim ini. Padahal, ini bukan yang pertama bagiku. Aku sudah memulai “debut”-ku sejak enam tahun yang lalu. Kala itu, usiaku masih dua belas tahun. Menapaki tanah-tanah yang beranjak naik bersama paman, sepupu dan tiga teman laki-lakinya. Tidur dibawah langit berbintang, duduk dibawah kokohnyacemara dan pinussertabersenda gurau sembari menghangatkan diri didalam lingkaran api unggun.
            Menarik mundur ingatan, rasanya debut itu tak bisa dibanggakan kala ku sadari bahwa setelah itu, aku tak pernah lagi melakukan hal yang sama. Enam tahun vakum dalam pendakian. Enam tahun pula hanya bisa terkenang dan terbayang.
Hingga hari ini, di usiaku yang ke-delapan belas. Saat larik kenangan itu hampir pudar, merebut kembali mimpi yang mati suri adalah hal yang pasti. Semata karena ku tak ingin terbangun di usia tujuh puluh dan menyesali apa yang tak terjadi.
            “Minum dulu, Mir.” Zay menyodorkan air mineral dalam botol satu setengah liter, isinya sudah tandas setengah. Aku meraihnya dengan kuyu, lantas menyesapnya sedikit.
            “Semangat dong, Mir! Sepuluh menit lagi sampai.” goda Doni yang berdiri tak jauh dariku, menyunggingkan cengiran jahil. Matras diatas carrier bag-nya terlihat miring. Kegelian merambat dari ulu hatiku dan meledak lewat tawa kecil. “Uh, dari tadi bilangnya sepuluh menit terus.”
            “Emang tinggal sepuluh menit lagi kok, bener gak, Re?” tanya Doni ke Rendra, yang membalasnya dengan anggukan mantap. Aku tersenyum, aliran energi mulai menyusup perlahan ke pembuluh darahku. Meski ku tahu, perjalanan masih jauh dan tanjakan-tanjakan didepan bakal lebih gila lagi. Doni dan kawan-kawannya melapisi fakta itu dengan kebohongan, semata-mata untuk membuat rekan se-timnya kembali semangat.
            Bulan masih tergantung di langit timur. Napasku kembali memburu ketika menghadapi tanjakan demi tanjakan. Betisku terasa kaku. Terbayang, kasur busa, bantal dan guling yang menari-nari sembari mengejek di rumah.
            “Mir, tau gak?” suara Doni memecah keheningan. Ia menoleh singkat ke arahku, lalu kembali berjalan. “Kamu harusnya bangga.”
            “Kenapa?”
            “Di saat orang-orang tengah terlelap, pulas dalam mimpi, kita justru berjalan tertatih dalam gelap malam untuk menggapai mimpi itu sendiri.”
            Deg! Hatiku berhenti berdetak untuk seketika.
            “Buktikan. Kamu bisa, Mir!”
            Tidak ada cengiran jahil di wajah Doni. Alih-alih, ia justru membentuk sepotong bulan sabit dengan bibirnya. Tersenyum begitu tulus dibalik keremangan cahaya.
            Lalu, sontak, ribuan voltase listrik menyetrum sel-sel dalam tubuhku. Membuat segalanya terasa jauh lebih ringan. Rasa lelah dan terengah-engah memang belum pudar, namun ucapan Doni lebih dari cukup untuk mencambukku agar berjalan lebih jauh.
            Dan...
“Kita sampai!” teriak Doni yang berada pada posisi terdepan. Rasa penasaran melecutku begitu dalam. Tak kurang dari satu menit, aku sudah berdiri di samping Doni yang tersenyum sumringah. Aku memicingkan mata, menangkap tenda-tenda beraneka warna. Jumlahnya cukup banyak. Orang-orang berlalu lalang, tak jauh dari tenda mereka. Sebagian sedang membuat kopi atau mie rebus, sebagian mengobrol, dan sisanya hanya duduk-duduk didepan tenda sembari merapatkan tubuh yang kedinginan.
“Selamat datang di Puncak Bayangan, Mir!” ucap Doni. Ia menepuk bahuku, lalu berbisik perlahan. “Jangan coba-coba lihat ke belakang karena akan menghantuimu seumur hidup!”
Aku membalikkan badan dan terperangah. Hanya sepatah kata yang terlontar dari bibirku, “Wuah!”
Dari tempatku berdiri, terlihat kilauan cahaya lampu kota, berkedip-kedip genit menggodaku. Ribuan, bahkan jutaan bola lampu, membentuk untaian kalung emas yang menakjubkan. Dibawah sana, kota-kota tengah tertidur pulas, namun pancaran sinarnya tetap berpendaran bak berlian. Kota-kota itu terasa hidup dan seolah berbicara padaku. Dan, tak kalah menariknya, siluet kokoh Gunung Arjuno-Welirang, tepat didepan mata, mampu membuat lututku menjadi lemas seketika.
            Ini terlalu indah.
            “Ku bilang juga apa.” ujar Doni sembari terkekeh geli. Ia mendaratkan tubuhnya pada rerumputan kering, memeluk kakinya dan menatap ke arah yang sama denganku. “Terlalu indah untuk dilupakan.”
            Aku mengangguk. “Terima kasih sudah membawaku kemari.”
            “Sama-sama, Mir.”
            Sisa-sisa malam ku habiskan dengan menatap gemerlapan cahaya lampu kota. Tidak melakukan apa-apa, kecuali duduk dan diam. Ketika lelah mulai menghempas, ku langkahkan kaki ke arah tenda, sekali lagi menatap pemandangan yang sama, lalu terlelap dengan cepat didalamnya.Aku jatuh cinta, pikirku. Dalam hati, diam-diam ku berjanji merencanakan pendakian lagi setelah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template