Rabu, 06 April 2016

Sepasang Kaki yang (Tak Ingin) Selalu Terkatup



Aku ingin tidur dengan banyak laki-laki.

Sepotong tubuh ranum milik Sessyl terbolak-balik di atas ranjang, berguling-gulingan dengan gusar. Kelopak yang dihiasi bulu mata seperti ekor merak tak jua memejam. Sesekali, sebilah tangannya menyeka bulir-bulir air yang mengucur deras di dahi. Baling-baling kipas angin yang terus berputar seolah tak bisa menghapus titik-titik keringat yang terus berjatuhan. Usai menyeka, tangannya dirapatkan kembali untuk mendekap guling kesayangannya. Mencari sedikit kenyamanan dari sebuah bantal, guling dan kasur kapuk bermodel lama. Menghempaskan beratnya kepala (dan isinya) pada lembut dakron-dakron yang menggeliat di dalamnya.

Sisa hari ini sama saja, keluh Sessyl.
Pupil matanya mengerjap, menarik mundur ingatan yang telah terlewatkan. Satu hari di kelas Mekanika Fluida, tak kurang dari dua puluh empat jam yang lalu. Ditengah-tengah sibuknya Sessyl menghitung laju aliran fluida pada venturimeter, mata yang harusnya tertambat pada pipa berwarna abu-abu muda, malah berlarian dengan lapar pada sepenggal tubuh berbalut jas laboratorium. Pemilik kulit serupa kayu jati dengan larik-larik bulu tipis di bawah hidungnya. Pemilik kerangka menjulang itu juga. Sebelah tangan kirinya tengah menggenggam papan dada, selembar kertas HVS putih terselip rapi di atasnya. Sisa tangannya mengguratkan kata demi kata dengan sebuah pena.
Laki-laki berkulit kayu jati itu, Evan, berjalan ke arahnya, langkahnya berderap-derap lambat di sekujur ruangan praktikum. Harmoni mengiringi dalam tiap ayunan lengan dan kakinya. Ia lalu berbincang mengenai jumlah tekanan stagnasi pada venturimeter dengan Anton, rekan praktikum Sessyl, kembali mencoretkan beberapa patah kata di atas kertas setelahnya. Sessyl tak peduli dengan obrolan mereka ataupun tugas yang seharusnya ia kerjakan, bola matanya sudah jatuh, tertambat pada gembungan di pangkal paha yang berbalut dengan celana jeans gelap yang dikenakan Evan.
Sessyl menelan ludah.
Sesuatu seperti merambati tengkuknya, menyambar lingkaran kewarasannya. Sekujur tubuhnya meremang, pias wajahnya menyingkirkan tenang. Tidak. Jantungnya memang berdegup kencang, aliran darahnya meronta-ronta senang, namun tak mengirimkan sinyal-sinyal elektromagnetik yang mampu mencekik paru-parunya. Alih-alih, justru bagian terdalam dari labia minora-nya yang berdenyut-denyut penuh gairah.
Ini bukan cinta.
Ini hanyalah hasrat yang membara.
***
            Lain waktu, mundur ke belakang, satu minggu yang lalu. Di bawah pohon angsana yang memeluk rindang. Di atas gerombolan Cyperus rotundus yang membelai siang. Di sekitar bebangkuan kayu tempat menghempaskan pantat dan betis yang meraung-raung, membutuhkan sandaran.
            Sessyl berlari-lari kecil. Menyebrangi gedung E menuju gedung G yang ratusan meter jauhnya adalah ide yang sangat buruk. Kelas Matematika II yang dipangku oleh Professor Boris tinggal tiga menit lagi, sementara ia harus menyebrangi luasnya jalan dan menaiki ratusan anak tangga di depan. Matahari tengah bertingkah menyebalkan, mengirimkan sinarnya yang menyengat kulit dengan tajam. Lembaran-lembaran handout Kalkulus pun bersikap masa bodo dengan kondisi memprihatinkan Sessyl. Mungkin, karena merasa penting dan dibutuhkan. Berterbangan tak keruan menuju selokan di saat-saat yang tak memungkinkan. Untungnya, Sessyl berhasil menyelamatkannya dalam sepersekian detik sebelum handout-nya berenang bersama ikan-ikan kecil di pelimbahan.
            Saat tengah membungkuk itulah matanya menangkap sesuatu.
            Sepasang kaki berbalut sneakers biru gelap mengalihkan fokusnya. Bukan sneakers biasa dari orang yang biasa pula. Melainkan sneakers dari pemilik otot-otot liat yang tersembunyi dibalik kemeja. Fendy.
            Tiba-tiba, Sessyl teringat sesuatu.
Tersenyum, ia kala tengah mengingat-ingat. Ia tak memiliki kenangan yang spesifik dengan laki-laki itu. Perkenalan mereka bermula dari satu klub seni yang sama. Mereka jarang bicara. Hanya saja, tanpa aba-aba, tatapan mata laki-laki itu selalu berhasil mengunci dirinya pada posisi ternganga. Tatapan mata yang membuat manusia, benda dan apapun di sekitarnya menjadi remang-remang dengan mudah.
            Sessyl menelan ludah lagi.
            Ia kemudian menjilat ujung bibirnya yang mulai mengering. Kelembaban perlahan mengaliri dua belah bibirnya. Tak lama, ia merasa kecewa. Kecewa, karena hanya lidahnya sendiri yang membasahi bibirnya, bukan lidah atau ludah laki-laki itu.
            Kalau saja mampu, ia sudah pasti akan melemparkan handout Kalkulus-nya ke udara, juga tas ranselnya, lalu berlarian menerjang angin dengan gila. Melemparkan dirinya pada bahu lebar, rambut berantakan dan leher kokoh itu. Merasakan ribuan voltase listrik menjalari permukaan epidermis-nya. Membiarkan tubuhnya terseok-seok kala dibanjiri oleh keinginan yang begitu membuncah. Mencengkram erat ujung kemejanya dengan segenap jiwa. Menyeretnya ke laboratorium gedung A yang acapkali tak berpenghuni, lalu menumpahkan seluruh hormonnya disana.
            “Permisi.” ucap laki-laki itu, tepat di balik telinganya. Kini, giliran suaranya yang memporak-porandakan dunianya. Merambat melalui medium udara dan meninggalkan jejak samar pada relung hatinya. Membuat Sessyl tergagap, lalu bergeser, memberikan ruang bagi laki-laki itu untuk terus berjalan.
            Selintas itu hanya khayalan, bukan kenyataan. Laki-laki dengan sneakers biru gelap itu meneruskan berjalan sembari mengobrol bersama temannya, beranjak pergi dan menghilang dibalik taman di depan gedung D.
            Labia minora-nya kembali berkedut, namun ia tak tahu harus berbuat apa.
***
            Dengung mesin kipas angin yang ribut memenuhi rongga telinga perempuan itu. Ia masih berguling-guling tak keruan di atas kasurnya, sesekali mengelap keringatnya yang mudah sekali tumpah. Suhu udara kamarnya mendadak meningkat berlipat-lipat, padahal larut makin menyelimuti malam.  Bukan suara mesin kipas angin dan panasnya temperatur yang membuat kedua bola mata perempuan itu tak dapat terpejam, namun satu hal lain yang mengganggu pikirannya sedari tadi.
            Kaki perempuan itu bergelinjang gusar. Membuat seprai yang rapi terhampar menjadi agak berantakan. Sebagian dirinya sudah tak tahan lagi. Tumitnya menjerit, lututnya meringkik, pahanya mengaum. Seluruh organ dari pinggul ke bawah melantunkan kemarahan. Meneriakkan nada-nada protes pada pemiliknya, mengapa dalam belasan tahun mereka tercipta, tak pernah sekalipun dibiarkan terbuka.
            Terbuka bersama seorang laki-laki, dua, atau mungkin tiga. Membiarkan mereka menari-nari dengan lincah. Membiarkan aroma hasrat membayangi langit-langit kamarnya. Membiarkan derit ranjang bergerak memekakkan telinga. Membiarkan tetes demi tetes keringat berjatuhan bersama-sama.             Membiarkan kedua kelamin mereka berjumpa. Membiarkan kedua pahanya membuka. Bukannya terkatup gelisah tanpa arah. Atau membiarkan angan bertebaran kemana-mana.
            Aku ingin tidur dengan banyak laki-laki.
            Bukan hanya satu.

5 komentar:

  1. waaah bercita-cita jadi seperti ayu utami/djenar yaaa mbak nen?:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bercita cita sih nggak day. Aku memang suka genre penulisan yg kayak gini dan kedua orang itu memang inspirasiku. Dan tentunya aku punya gaya penulisan sendiri dong :p

      Hapus

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template