Rabu malam (23/3) aku mendapat sms yang sangat mengejutkan dari sobatku, Annnisatul (sebut saja Atul), yang kini tengah menjalani pendidikan di IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Dia mengabarkan akan pulang besok, dengan bis, dan baru sampai di Surabaya hari Jum’at pagi. Aku terkejut, bisa-bisanya dia pulang sekarang, padahal menurut jadwal, dia baru pulang tanggal 30 Juni 2016 nanti, saat libur puasa dan lebaran. Sampai aku menyadari bahwa dia pernah mengabariku soal kepulangannya di bulan Maret ini, kira-kira dua-tiga minggu lalu.
Tapi, kepulangan itu tidak lama, hanya mulai hari Jum’at hingga Sabtu malam. Mengingat akhir pekan ini ada libur paskah selama tiga hari, masuk akal juga apabila waktu yang singkat itu dibuat untuk balik ke kampung halaman. Minggu pagi ia harus balik kembali ke kampusnya. Betapa singkatnya, namun pasti ada alasan mengapa ia harus buru-buru balik lagi.
Tapi, kepulangan itu tidak lama, hanya mulai hari Jum’at hingga Sabtu malam. Mengingat akhir pekan ini ada libur paskah selama tiga hari, masuk akal juga apabila waktu yang singkat itu dibuat untuk balik ke kampung halaman. Minggu pagi ia harus balik kembali ke kampusnya. Betapa singkatnya, namun pasti ada alasan mengapa ia harus buru-buru balik lagi.
Jadi, aku cukup excited untuk menyambutnya. Penasaran, seperti apa perubahannya setelah “didadar” berbulan-bulan di IPDN Jatinangor, Sumedang. Bagi yang tidak tahu, IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) merupakan gabungan antara pendidikan formal perkuliahan + pendidikan semi militer. Bisa dibayangkan tentunya, seperti apa praja-prajanya (sebutan untuk mahasiswanya) setelah menjalani pendidikan disana? Yang jelas, aku yakin, hari demi hari mereka bakal bergulat dengan latihan-latihan fisik dan pendidikan disiplin tingkat tinggi yang sangat melelahkan.
Jum’at siang, Atul mengabarkan bahwa ia baru saja sampai di rumah. Aku baru datang ke rumahnya, selepas Isya. Memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan bawel mengenai kehidupannya di kampus barunya. Aku melihat rona bahagia di wajahnya, mengingat dahulu-dahulu waktu masih di Poltekkes dan UIN Surabaya, rona bahagia itu jarang atau bahkan tidak pernah sama sekali ia tunjukkan kepadaku. She seems so happy with her new place. Dan membuat orang semacam Atul betah di lingkungan baru sebenarnya sangat sulit, karena aku tahu sendiri gimana dia.
Dia banyak bercerita mengenai latihan-latihan fisiknya yang harus dijalani tiap hari. Entah harus lari keliling bukit, push up, sit up, senam, upacara, dan lain-lain. Belum lagi, hukuman fisik tambahan apabila ia mangkir/melanggar aturan. Jam tidur yang cukup singkat, pekerjaan segunung yang tak ada habisnya (seperti beres-beres asrama, cuci baju, setrika, menjaga wisma, dan lain-lain), belum lagi jam perkuliahan yang lumayan panjang. Apel siang-malam. Jam makan diatur, porsi diatur, dan makanan harus dihabiskan sampai tak bersisa.
Wah, wah. Aku tak bisa membayangkan bagaimana itu terjadi padaku. Aku yang pemberontak, susah diatur dan menjunjung tinggi kebebasan dan “persamaan hak” instead of senioritas yang membelenggu dan disiplin ala militerisme, bakal meronta-ronta jika aturan-aturan itu diterapkan kepadaku. Apalagi, saat praja-praja itu harus say goodbye to gadget, seolah diasingkan dengan dunia luar yang serba dinamis. Gak bisa membayangkan, keluar-keluar bisa jadi alien di negeri sendiri. Bakal kaget dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar mereka, karena terbiasa untuk tidak peka dengan dunia luar.
Well, itu pandanganku sih sebagai orang luar.
Yang jelas, beberapa orang memang suka untuk diatur dan didisiplinkan serta menganggap itu baik untuk mereka, dan ada pula yang tidak. Dan aku termasuk pada golongan yang terakhir.
Atul bakal berada di IPDN dalam kurun waktu 3,5-4 tahun kedepan, selayaknya mahasiswa normal lainnya. Memang, dia mengakui bahwa rumah memang selalu lebih nyaman ketimbang tinggal di asrama yang penuh aturan, tapi memang masa depan harus dibayar dengan perjuangan. Setidaknya, Atul dan keluarganya senang karena sama sekali tidak mengeluarkan sepeser uang pun untuk membayar pendidikan di IPDN, alih-alih Atul justru mendapat uang jajan sebesar 250 ribu/bulan.
Oh ya, ada pula hal menarik seperti larangan membawa BARANG HARAM ke asrama. Ayo, coba tebak, seperti apa barang haram yang mereka maksud? Narkoba? Benda-benda tajam? Rokok? Hm, well itu benar, tapi sebenarnya barang haram itu adalah benda-benda yang sehari-hari ada di sekitar kita! Seperti jajanan/roti, buku-buku yang tak relevan dengan pendidikan (novel/komik), pakaian-pakaian yang tak dianjurkan, handphone berkamera, bahkan bedak sekalipun disebut haram. Kalau ketemu bakal disita/dibuang, bahkan pernah ada kasus iPhone selundupan milik temannya sampai dibanting! Untungnya saja, ia boleh membawa laptop yang ada front camera-nya, hehe.
Uh, pokoknya banyak deh. Tapi, ada saat-saat yang kunantikan. Dia bilang, saat dia sudah tingkat dua (which is.. sekitar bulan September ke atas), dia boleh membawa orang luar untuk berkunjung ke kampusnya! Yehe! Aku penasaran dengan apa yang dia bilang bahwa kampusnya memiliki pemandangan yang indah.
Terletak di dataran tinggi, dengan belakang kampusnya pas ada Gunung (Atul bakal mendaki gunung itu bersama teman seangkatannya demi mendapatkan sebuah baret, tanda kenaikan tingkat, beberapa bulan ke depan). Dan pemandangannya saat malam begitu memesona. “Kayak suasana malam waktu kita di Gunung Penanggungan, Nen. Mirip pol. Lampunya dibawah kerlap-kerlip gitu.”
Lalu, dia juga cerita bahwa saat ujian kenaikan tingkat, bakal ada Yudisium dan PKL, dan setiap tingkat ada kedua hal itu. Njir, kayak mahasiswa semester akhir, ya? Trus, kalau nilai-nilainya bagus, dia bakal stay di IPDN Sumedang, tapi jika jelek, dia akan “dibuang” ke IPDN-IPDN yang ada di luar pulau, kayak Sumatera atau Kalimantan. Atul sih berharap kalau dia tetep stay di Sumedang, karena kalau dia dilempar ke luar pulau, bakal makan biaya banyak buat pulang kampung ke Surabaya nanti.
Dia juga cerita kalau dia termasuk yang paling rajin di kelasnya. Teman-temannya sering tidur dan melamun di kelas waktu kuliah, tapi dia sendiri yang tidak. Katanya, mereka kelelahan akibat dihajar oleh latihan fisik terus menerus, makanya jadi gak fokus waktu kuliah. Oh.. Jadi bener ya, kata Bu Ida (dosen komunikasi-ku) waktu kelas Komunikasi Politik, kalau mahasiswa semi militer itu memang sering tidur di kelas, karena kecapekan latihan fisik melulu.
Selama kurang dari satu jam, mulai jam 19:30 sampai 20:30 kami bercerita, sembari dia main hape (aku maklum, karena di asrama, gadget yang menghubungkan ke internet itu hal yang amat sangat langka). Karena dia ada keperluan, jadi besok pagi kami lanjut cerita. Ngajaki Bagus juga, her lover. Janjinya di KONI.
Sabtu, 26 Maret 2016
Ketiduran! Janjian jam 6 tapi bangun jam 7! Bodoh.
Jadi, aku ngebut dan sampai di KONI jam 8 pagi. Dia bilang, ganti lokasi, ke Taman Sakura, Keputih aja. Okelah. Kami menuju kesana, dan mulai bercerita dan bercanda. FYI, tempat ini bagus juga buat hunting foto. Mungkin kapan-kapan bakal ngajak Lilik dan Novita buat photoshoot di Taman Sakura. Tapi, harus datang sebelum jam 9 karena panasnya sangat menyengat, menggelapkan kulit!
Well, Atul dan Bagus kayaknya saling merindukan satu sama lain (yaiyalah, LDR berbulan-bulan, jarang komunikasi pula). Jadi kubiarkan saja mereka bermanja-manjaan satu sama lain wkwk. Setelahnya, kami foto-foto dan mulai membahas masalah pendidikan mereka berdua (STAN versus IPDN, ngeri ngeriii)
Bagus bilang kalau di STAN lebih kejam. Masa iya, muntahan teman harus dimakan???? WTH! Okelah, kalau guling-gulingan di tanah dan lumpur masih bisa ditoleransi, tapi melakukan hal semenjijikan makan muntahan, apa iya bisa disebut manusiawi? Itukah mendidik? Itukah membentuk mental? Mental apanya? Yang ada mereka direndahkan derajatnya sebagai manusia!
Mungkin mereka pikir, dengan itu mental mereka bakal jadi kuat. Padahal, hal seperti itu malah menimbulkan rasa benci dan dendam yang tak tersalurkan. Mereka pikir, dengan melakukan hal seperti itu, bakal muncul rasa solidaritas dan pertemanan yang kuat. Melakukan penderitaan bersama-sama. Belum lagi, kekerasan fisik yang PASTI ADA di institusi semacam itu. Dengan dalih “melatih mental” kekerasan demi kekerasan sah-sah aja dilakukan. Tapi, yang ada, justru “pelatihan mental” semacam itu membuat mereka berpikir bahwa mereka BOLEH melakukan kekerasan fisik yang sama pada orang lain. Coba tengok berita-berita yang melibatkan anggota tentara, polisi, atau institusi lain yang menerapkan militer. Banyak yang kasusnya melibatkan kekerasan dan penganiayaan. Menurutku, itu adalah efek sistemik dan berjangka panjang yang terlanjur melekat pada otak mereka.
Ini gak bisa dibiarkan.
Cerita-cerita sampai kelosotan
Sumpah serapahku dalam hati menggumpal-gumpal dan ku lampiaskan dalam bentuk omelan. Gila. Tapi bagaimanapun “berkobarnya” hatiku, toh gak bakal merubah sistem yang ada. Yang jelas, bagiku itu TOLOL. Tidak manusiawi. Perendahan derajat dan hak. Titik.
Sisa-sisa rasa muakku menguap ketika kami membicarakan hal lain. Mulai dari membahas hantu gentayangan di asrama Atul, yang dia lihat sendiri (dia punya sixth sense sedikit-sedikit), latihan-latihan rutin yang mereka jalani dan lain-lain. Kami tidak lama di Taman Sakura, hanya satu jam karena masih banyak hal yang akan Atul lakukan hari itu. Jadwalnya sudah sangat padat, jadi kami langsung pulang.
Minggu, 27 Maret 2016, 03:00 WIB
Seperti janjiku, hari ini aku akan ikut melepas Atul di bandara. Aku tidak tidur semalaman karena takut kebablasan bangun siang. Maka jam 02:50 aku sudah berangkat dari rumah, jalanan yang ku kira sepi ternyata masih ada orang. Mungkin karena ini malam Minggu.
Sesampainya disana, sudah ada taxi Bluebird yang menanti, sementara Atul dan keluarganya sibuk beres-beres, menyiapkan ini itu. Satu keluarga diajak semua (ayah, ibu, adik dan neneknya). Aku merencanakan untuk mengikutinya dengan motor dari belakang, tapi rencana itu gagal total karena satu hal: sopir taxi-nya bilang jalanan segini rawan, dan dia bilang bakal lewat tol WHICH IS aku gak ngerti jalan dan gak bakal bisa membuntuti -_-
Minggu, 27 Maret 2016, 03:00 WIB
Seperti janjiku, hari ini aku akan ikut melepas Atul di bandara. Aku tidak tidur semalaman karena takut kebablasan bangun siang. Maka jam 02:50 aku sudah berangkat dari rumah, jalanan yang ku kira sepi ternyata masih ada orang. Mungkin karena ini malam Minggu.
Sesampainya disana, sudah ada taxi Bluebird yang menanti, sementara Atul dan keluarganya sibuk beres-beres, menyiapkan ini itu. Satu keluarga diajak semua (ayah, ibu, adik dan neneknya). Aku merencanakan untuk mengikutinya dengan motor dari belakang, tapi rencana itu gagal total karena satu hal: sopir taxi-nya bilang jalanan segini rawan, dan dia bilang bakal lewat tol WHICH IS aku gak ngerti jalan dan gak bakal bisa membuntuti -_-
Oke, jujur aku gak takut dengan jalanan yang rawan seperti katanya, tapi aku hanya takut gak tau jalan dan gak bisa membuntuti. Secara, dia bakal ngebut dan lewat tol, sementara bandara Juanda adalah tempat yang belum pernah sama sekali ku pijak. Belum lagi, kayaknya ada yang salah dengan motorku. Sejak beberapa hari terakhir suka mbeleyot sendiri, jadi pas nyetir di jalan lurus, eh tiba-tiba agak nyamping sendiri, entah kenapa.
Didalam taksi
Dan kau tahu apa? Ya tuhan aku malu sumpah, opsi terakhir adalah keluarga Atul menyuruhku untuk ikut ke dalam taksi! Satu keluarga Atul berjumlah 5 orang, ditambah 1 sopir taksi dan aku = total 7 orang! Cukup? Jangan tanya, ajaibnya cukup! Kedatanganku untuk melepas kok jadi merepotkan gini, hiksssss
Sampai di bandara Juanda
with my luv
Oke, kami berangkat dari rumah dengan taksi jam 03:15, sampai di Bandara Juanda (penerbangan domestik) sekitar jam 04:00. Langsung angkat-angkat koper dan tas, lalu menuju ke arah teman-teman Atul. Kelihatan mencolok sih, dengan seragam cokelat khas-nya dan tubuh tegap + kepala gundul milik cowok-cowoknya. Hm, seksi juga ya mereka, haha, udah taken belum? *eh*
Mas mas IPDN hehe
Atul berbincang-bincang dengan teman-temannya, dan surprisingly, teman-teman Atul yang cowok gagah itu spontan langsung menyalimi orang tua dan nenek Atul. Hm, padahal gak kenal tapi sopan juga ya. Sampai jam 04:45-an baru ribut menuju gate, dan terjadilah drama mengharukan. Berpisah dari keluarga untuk jangka waktu yang lama memang susah ya. Aku hampir ikut terbawa suasana, tapi pikiranku mengingatkan, “Tenang, tenang, jangan terpengaruh... Nanti make up-nya luntur, hehe.”
Atul sekeluarga
Rata-rata teman-teman Atul memang membawa keluarga mereka ke bandara. Ada belasan orang anak IPDN, baik cowok maupun cewek. Gak semuanya dari Surabaya, ada juga dari kota-kota kecil lain di Jawa Timur. Bahkan, ada yang dibela-belain berangkat dari kota mereka ke bandara jam 11 malam KEMARIN. Wah, wah perjuangan. Eh btw surprisingly lagi, 2 mas-mas IPDN nyalami aku lho! Yang cakep-cakep dan tinggi pula #kaget #speechless #berdebar #oke #alay
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)