Duduk.
Hanya duduk dan diam. Tenggelam dalam lautan lamunan dan angan. Kedua belah tangannya dirapatkan ke paha, sementara matanya menjelajah kemana-mana. Pada setangkai anggrek plastik yang dijadikan hiasan meja. Pada cangkir-cangkir keramik yang berisi teh panas yang mengepulkan asap. Pada ubin putih mengilap yang memantulkan bayangan.
"Nak, ingat pesan ibu," wanti Marinah, ibunya, pagi ini saat ia tengah mengancingkan baju muslim. Peninggalan almarhum Bapak, tiga lebaran yang lalu. Ia sontak menoleh, menghadap perempuan berusia empat puluhan itu. "Nanti, di rumah Lik Yanti, bersikaplah seperti yang ibu ajarkan!"
Gadis itu, Wati namanya, hanya membalas dengan anggukan patuh. Seperti biasa. Seperti yang sudah-sudah.
Kini, wanita yang dipanggilnya ibu itu tengah mengobrol dengan Lik Yanti. Perempuan yang lebih muda dua tahun dari ibunya itu tinggal sendiri di rumah besar ini. Perempuan lajang yang mengendarai Pajero Sport dan sedan Lexus secara bergantian. Perempuan bergaris rahang tajam dengan hidung yang melengkung ke dalam. Lehernya bertahtahkan seuntai kalung berlian. Raut mukanya selalu masam, dengan rambut pendek berwarna cokelat kemerahan. Kulitnya kencang, tak ada tanda-tanda penuaan.
Bandingkan dengan ibu, ucap Wati dalam hati. Datang sepagi ini, hanya mengenakan kebaya lawas berwarna kuning gading. Jarik cokelat yang pudar membalut hingga mata kaki. Wajah pucat dan polos tanpa kecupan bedak sedikit pun. Kantung mata yang kian hitam, dengan garis-garis keriput samar membayang di area dahi dan sudut mata. Dan tak lupa, selembar kerudung berbahan licin, tersampir rapi di atas rambut hitam panjangnya.
Malu? Tidak, Wati sama sekali tidak merasa malu memiliki orang tua seperti ibu. Walaupun miskin, setidaknya ibu tak pernah membabatnya dengan penjalin, seperti yang dilakukan Lik Tati, ibu dari Sari, tetangga depan rumahnya itu.
Wati hanya membandingkan, betapa kontrasnya ibu dengan Lik Yanti, yang merupakan adik kandung ibunya sendiri. Dalam hampir segala hal, ibu dan Lik Yanti bagaikan langit dan bumi, kecuali fakta bahwa mereka berdua tumbuh dari rahim yang sama. Melewati lorong vagina yang sama sebelum mencecap oksigen yang pertama.
"Gimana kerjaanmu, Dik?" tanya ibu, lengannya menyender santai di sandaran kursi jati. Sudut bibirnya membentuk senyuman yang dipaksakan. Yang ditanya hanya membalas dengan helaan napas panjang, sebelum mengucap kata-kata jawaban.
"Biasa, Mbak." jawabnya singkat.
Alis ibu naik ke atas, lalu senyuman tadi meledak dalam tawa kecil yang hambar. "Lha iya, biasa itu yang kayak gimana, Dik?"
"Masih di posisi yang sama, Mbak. Manager keuangan. Minggu lalu barusan dapat tender besar dari perusahaan swasta."
"Tender iku opo, tho?"
Lik Yanti menghela napas lagi, dan kali ini terdengar berat. "Tender itu dapat bonus gedhe, Mbakyu." ucapnya dengan nada ramah yang dibuat-buat. Ibu hanya manggut-manggut seolah paham dengan apa yang dibicarakan. Padahal, kurang dari sepuluh detik yang lalu, ia baru saja dibohongi oleh adik kandungnya sendiri.
Wati memandangi mereka berdua dengan bola mata penuh tanda tanya. Ia selalu senang dengan istilah-istilah modern yang terlontar dari mulut Bulik-nya itu. Sepulang dari sini, Wati akan memberi tebakan ke Sari tentang apa arti dari kata tender. Pasti dia tidak tahu, gumam Wati dalam hati.
"Dimakan, Nduk!" sahut Lik Yanti, menuding ke arah toples-toples kaca. Suaranya yang bervolume tinggi menyadarkan Wati dari lamunannya.
Wati hanya membalas dengan anggukan rikuh.
Didepannya, hanya ada tiga toples kaca. Isinya berbeda-beda, memanggil-manggil untuk dijamah. Sayangnya, tidak ada satupun yang ia sukai. Mulai dari jenang durian (bikin lengket di gigi), permen jahe (rasanya aneh) dan kastangel keju (baunya bikin perut Wati mual). Hidangan yang sama, yang disajikan dari tahun ke tahun dalam kunjungannya ke rumah Lik Yanti.
Selera orang kaya aneh juga ya, pikir Wati.
Jadi, satu-satunya hidangan yang dapat ia jejalkan ke lambungnya hanyalah secangkir teh manis hangat. Lagipula, perutnya sudah penuh oleh sarapan opor ayam dan lontong kiriman dari Mbah Sumini, tetangganya yang bertubuh ginuk-ginuk dengan senyuman yang tampaknya terpasang secara permanen di wajah tuanya itu.
"Lho, kok gak dimakan, Nduk?" tanya Lik Yanti pada Wati. Mata serupa kucing miliknya memicing, menimbulkan ketegangan yang memancar, berputar-putar tajam di sepanjang ruang tamu.
Wati menelan ludah.
Ibu menyikutnya dari samping, membuat tangan kanan Wati otomatis membuka toples kaca terdekat dari jangkauannya. Toples yang berisi kastangel keju.
"Ayo, dimakan, Nak. Jangan dipandangi terus, hehehe." tawa ibunya bergema, mencairkan ketegangan yang melanda. Mau tak mau, Wati meraih sepotong kastangel berukuran paling kecil, lalu menjejalkannya secara paksa ke dalam mulutnya.
Lik Yanti tersenyum.
Mereka berdua kembali mengobrol. Setidaknya, itulah yang ditangkap oleh Wati. Meski bagi orang lain, ibu yang mendominasi pembicaraan dan Lik Yanti yang menjawab pendek-pendek tidak bisa disebut obrolan dua arah yang baik.
Perut Wati mulai bergejolak. Tanda-tanda bahwa keberadaan kastangel keju bertekstur kering itu tak diterima dengan baik di rongga pencernaannya.
Pertanda buruk.
"Oh iya, Dik...." ucap ibu, nada misterius terpancar dalam suaranya. Wati menoleh, mendapati pipi ibunya memerah dan senyumnya kian merekah. Tanpa berkata-kata, Wati sudah bisa menebak kelanjutan ucapan ibunya. Template yang sama, tak pernah diubah, hingga isinya mudah diterka.
Benar saja. Lik Yanti masuk ke dalam rumah dan datang dengan dua amplop putih berbeda ukuran. Besar untuk ibu, dan kecil untuk Wati. Senyum di bibir ibu kian bertambah-tambah.
"Makasih ya, Dik."
Sikut ibu menyodok perut Wati, mengingatkannya pada sesuatu. "Iya, terima kasih, nggih, Lik."
Lik Yanti mengangguk-angguk takzim. Tujuan ibu tercapai. Sempurna sudah harinya, terjamin pula kehidupannya untuk satu bulan ke depan. Jumlah uang yang tersimpan di dalam amplop itu berkali-kali lipat besarnya dari upah ibu sebagai buruh cuci pakaian. Ibu tersenyum, memasukkan kedua amplop itu di tas tangan lusuhnya, dan sebelum ibu sempat berdiri....
Hoekkkkk!!!!
Tanpa bisa Wati cegah, isi perutnya tergelontor percuma di ubin mahal itu. Serpih-serpih lontong, opor ayam dan teh hangat berserakan, berbaur dengan cairan lambung yang berbau tajam. Sedikit cipratannya mengenai ujung jarik ibu dan sepatu kulit Lik Yanti.
Hilang sudah hari sempurna milik ibu, juga senyuman irit dari sudut bibir Lik Yanti. Makian dan umpatan memang layak dialamatkan pada sepotong kastangel keju yang dilesakkan paksa ke dalam perut Wati.
Ingin rasanya Wati menciut, berubah menjadi daun kering dan terhempas oleh angin menuju tempat antah-berantah. Tempat manapun, asal jangan rumah mewah milik Lik Yanti ini lagi....
By Nena Zakiah
Surabaya, 21 Maret 2016, 22:45 WIB
Hanya duduk dan diam. Tenggelam dalam lautan lamunan dan angan. Kedua belah tangannya dirapatkan ke paha, sementara matanya menjelajah kemana-mana. Pada setangkai anggrek plastik yang dijadikan hiasan meja. Pada cangkir-cangkir keramik yang berisi teh panas yang mengepulkan asap. Pada ubin putih mengilap yang memantulkan bayangan.
"Nak, ingat pesan ibu," wanti Marinah, ibunya, pagi ini saat ia tengah mengancingkan baju muslim. Peninggalan almarhum Bapak, tiga lebaran yang lalu. Ia sontak menoleh, menghadap perempuan berusia empat puluhan itu. "Nanti, di rumah Lik Yanti, bersikaplah seperti yang ibu ajarkan!"
Gadis itu, Wati namanya, hanya membalas dengan anggukan patuh. Seperti biasa. Seperti yang sudah-sudah.
Kini, wanita yang dipanggilnya ibu itu tengah mengobrol dengan Lik Yanti. Perempuan yang lebih muda dua tahun dari ibunya itu tinggal sendiri di rumah besar ini. Perempuan lajang yang mengendarai Pajero Sport dan sedan Lexus secara bergantian. Perempuan bergaris rahang tajam dengan hidung yang melengkung ke dalam. Lehernya bertahtahkan seuntai kalung berlian. Raut mukanya selalu masam, dengan rambut pendek berwarna cokelat kemerahan. Kulitnya kencang, tak ada tanda-tanda penuaan.
Bandingkan dengan ibu, ucap Wati dalam hati. Datang sepagi ini, hanya mengenakan kebaya lawas berwarna kuning gading. Jarik cokelat yang pudar membalut hingga mata kaki. Wajah pucat dan polos tanpa kecupan bedak sedikit pun. Kantung mata yang kian hitam, dengan garis-garis keriput samar membayang di area dahi dan sudut mata. Dan tak lupa, selembar kerudung berbahan licin, tersampir rapi di atas rambut hitam panjangnya.
Malu? Tidak, Wati sama sekali tidak merasa malu memiliki orang tua seperti ibu. Walaupun miskin, setidaknya ibu tak pernah membabatnya dengan penjalin, seperti yang dilakukan Lik Tati, ibu dari Sari, tetangga depan rumahnya itu.
Wati hanya membandingkan, betapa kontrasnya ibu dengan Lik Yanti, yang merupakan adik kandung ibunya sendiri. Dalam hampir segala hal, ibu dan Lik Yanti bagaikan langit dan bumi, kecuali fakta bahwa mereka berdua tumbuh dari rahim yang sama. Melewati lorong vagina yang sama sebelum mencecap oksigen yang pertama.
"Gimana kerjaanmu, Dik?" tanya ibu, lengannya menyender santai di sandaran kursi jati. Sudut bibirnya membentuk senyuman yang dipaksakan. Yang ditanya hanya membalas dengan helaan napas panjang, sebelum mengucap kata-kata jawaban.
"Biasa, Mbak." jawabnya singkat.
Alis ibu naik ke atas, lalu senyuman tadi meledak dalam tawa kecil yang hambar. "Lha iya, biasa itu yang kayak gimana, Dik?"
"Masih di posisi yang sama, Mbak. Manager keuangan. Minggu lalu barusan dapat tender besar dari perusahaan swasta."
"Tender iku opo, tho?"
Lik Yanti menghela napas lagi, dan kali ini terdengar berat. "Tender itu dapat bonus gedhe, Mbakyu." ucapnya dengan nada ramah yang dibuat-buat. Ibu hanya manggut-manggut seolah paham dengan apa yang dibicarakan. Padahal, kurang dari sepuluh detik yang lalu, ia baru saja dibohongi oleh adik kandungnya sendiri.
Wati memandangi mereka berdua dengan bola mata penuh tanda tanya. Ia selalu senang dengan istilah-istilah modern yang terlontar dari mulut Bulik-nya itu. Sepulang dari sini, Wati akan memberi tebakan ke Sari tentang apa arti dari kata tender. Pasti dia tidak tahu, gumam Wati dalam hati.
"Dimakan, Nduk!" sahut Lik Yanti, menuding ke arah toples-toples kaca. Suaranya yang bervolume tinggi menyadarkan Wati dari lamunannya.
Wati hanya membalas dengan anggukan rikuh.
Didepannya, hanya ada tiga toples kaca. Isinya berbeda-beda, memanggil-manggil untuk dijamah. Sayangnya, tidak ada satupun yang ia sukai. Mulai dari jenang durian (bikin lengket di gigi), permen jahe (rasanya aneh) dan kastangel keju (baunya bikin perut Wati mual). Hidangan yang sama, yang disajikan dari tahun ke tahun dalam kunjungannya ke rumah Lik Yanti.
Selera orang kaya aneh juga ya, pikir Wati.
Jadi, satu-satunya hidangan yang dapat ia jejalkan ke lambungnya hanyalah secangkir teh manis hangat. Lagipula, perutnya sudah penuh oleh sarapan opor ayam dan lontong kiriman dari Mbah Sumini, tetangganya yang bertubuh ginuk-ginuk dengan senyuman yang tampaknya terpasang secara permanen di wajah tuanya itu.
"Lho, kok gak dimakan, Nduk?" tanya Lik Yanti pada Wati. Mata serupa kucing miliknya memicing, menimbulkan ketegangan yang memancar, berputar-putar tajam di sepanjang ruang tamu.
Wati menelan ludah.
Ibu menyikutnya dari samping, membuat tangan kanan Wati otomatis membuka toples kaca terdekat dari jangkauannya. Toples yang berisi kastangel keju.
"Ayo, dimakan, Nak. Jangan dipandangi terus, hehehe." tawa ibunya bergema, mencairkan ketegangan yang melanda. Mau tak mau, Wati meraih sepotong kastangel berukuran paling kecil, lalu menjejalkannya secara paksa ke dalam mulutnya.
Lik Yanti tersenyum.
Mereka berdua kembali mengobrol. Setidaknya, itulah yang ditangkap oleh Wati. Meski bagi orang lain, ibu yang mendominasi pembicaraan dan Lik Yanti yang menjawab pendek-pendek tidak bisa disebut obrolan dua arah yang baik.
Perut Wati mulai bergejolak. Tanda-tanda bahwa keberadaan kastangel keju bertekstur kering itu tak diterima dengan baik di rongga pencernaannya.
Pertanda buruk.
"Oh iya, Dik...." ucap ibu, nada misterius terpancar dalam suaranya. Wati menoleh, mendapati pipi ibunya memerah dan senyumnya kian merekah. Tanpa berkata-kata, Wati sudah bisa menebak kelanjutan ucapan ibunya. Template yang sama, tak pernah diubah, hingga isinya mudah diterka.
Benar saja. Lik Yanti masuk ke dalam rumah dan datang dengan dua amplop putih berbeda ukuran. Besar untuk ibu, dan kecil untuk Wati. Senyum di bibir ibu kian bertambah-tambah.
"Makasih ya, Dik."
Sikut ibu menyodok perut Wati, mengingatkannya pada sesuatu. "Iya, terima kasih, nggih, Lik."
Lik Yanti mengangguk-angguk takzim. Tujuan ibu tercapai. Sempurna sudah harinya, terjamin pula kehidupannya untuk satu bulan ke depan. Jumlah uang yang tersimpan di dalam amplop itu berkali-kali lipat besarnya dari upah ibu sebagai buruh cuci pakaian. Ibu tersenyum, memasukkan kedua amplop itu di tas tangan lusuhnya, dan sebelum ibu sempat berdiri....
Hoekkkkk!!!!
Tanpa bisa Wati cegah, isi perutnya tergelontor percuma di ubin mahal itu. Serpih-serpih lontong, opor ayam dan teh hangat berserakan, berbaur dengan cairan lambung yang berbau tajam. Sedikit cipratannya mengenai ujung jarik ibu dan sepatu kulit Lik Yanti.
Hilang sudah hari sempurna milik ibu, juga senyuman irit dari sudut bibir Lik Yanti. Makian dan umpatan memang layak dialamatkan pada sepotong kastangel keju yang dilesakkan paksa ke dalam perut Wati.
Ingin rasanya Wati menciut, berubah menjadi daun kering dan terhempas oleh angin menuju tempat antah-berantah. Tempat manapun, asal jangan rumah mewah milik Lik Yanti ini lagi....
By Nena Zakiah
Surabaya, 21 Maret 2016, 22:45 WIB
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)