Huah, senangnya berada didalam rumah yang hangat dan
nyaman, setelah setengah hari ditimpa dengan kesialan yang bertubi-tubi. Ya,
kemarin (26/2) bisa dibilang hari paling sial dalam seminggu, bahkan satu bulan
ini. Bukan hanya padaku, tapi pada teman-temanku sesama panitia Commersale dan
(hampir) seluruh penduduk Surabaya. Februari ini memang sensasional, terutama
hari-hari belakangan. Hujan yang turun deras, seperti keran yang mengucur tanpa
henti dari langit Surabaya. Durasinya lama pula, bisa berjam-jam non-stop dan seringnya, terjadi pada
siang, sore bahkan malam. Menciptakan genangan air di jalanan, bahkan, beberapa
jalan tertentu bisa terendam hingga setinggi betis orang dewasa.
Nah,
Jum’at kemarin (26/2) pun tak luput dari pengecualian. Niatnya mau rapat rutin,
setelah shalat Jum’at, tapi lokasi
awal rapat yang rencananya diadakan di Grand City, diubah ke KBU, gedung A
FISIP. Enaknya sih, gak perlu bayar parkir (hehe), tapi aku curiga sama langit
yang mendung siang-siang gini. Saat rapat tengah berlangsung pun, jam 13:30-an
saja gerimis mulai turun, lalu dilanjut dengan hujan angin yang sangat deras.
Selokan FISIP yang kecil mungil itu meluap, tak mampu menampung air sebegitu banyaknya.
Akhirnya, dalam waktu kurang dari dua puluh menit pasca hujan pertama, bagian
luar FISIP terendam.
mbatin:
bayar kuliah mahal tapi gedung terendam... unair oh unair ._.
Tak
cukup menyiksa kami yang kehilangan lokasi untuk diskusi, siksaan lain muncul.
Dan siksaan ini mampu membuat bulu kuduk orang normal, menjadi meremang dan
bergidik. Hukum alam, ketika hujan turun deras, mengakibatkan selokan meluap,
dan makhluk-makhluk penghuni selokan pun keluar menyelamatkan diri. Makhluk itu
terdiri dari dua spesies paling ditakuti di kalangan rakyat jelata penduduk Indonesia : KECOA dan KELABANG.
Deloken a, sampe penek’an ngene -_-
Mulanya,
hanya satu yang muncul. Beberapa temanku berteriak, gabungan antara takut,
histeris dan geli. Tanpa basa-basi, kudekati lalu ku injak kecoa itu dengan
sandal karetku. Nah, penyet sudah.
Eh, tau-tau, di lokasi lain, muncul keluarga besar kecoa. Ya Tuhann... Kepala
suku kecoa itu besar banget, warnanya hitam dan ukurannya lebih besar dari dua
jempol tangan orang dewasa... Hiyyy.
Belum lagi, kecoa yang ukurannya regular
sedang, kecil dan bayi.
Bubar wes rapat’e, gara-gara invasi
kecoa di gedung A FISIP -_-
Untung
saja pas bubar, kesimpulan diskusi sudah didapatkan. Tinggal bahas yang agak
remeh-remeh dan teknisnya saja, serta menarik uang kas rutin. Kecoa-kecoa itu
masih muncul, bahkan ada satu kelabang yang ukurannya lebih panjang dari smartphone yang layarnya besar, beberapa
menuju ke lantai dan bangku tempatku dan teman-temanku berdiri, akhirnya, tiga
ekor kecoa lagi ku injak sampai mati. HA! RASAIN!
Sepuluh
menit lebih kami, panitia, bertahan dari serangan kecoa dengan cara berdiri di
bangku, sembari menunggu hujan reda juga. Akhirnya, aku sendiri yang gak tahan.
Bulu kudukku makin meremang, gak feeling
lagi ada di tempat terkutuk ini. Takutnya, kalo dibiarin lama-lama bisa-bisa si
kecoa itu terbang ke arah kita (pikiran negatif muncul gara-gara keweden). Dan, aku yakin masih ada
ratusan, bahkan ribuan kecoa bersarang dibawah selokan FISIP, menanti untuk
keluar..... Membunuh empat kecoa rasanya tidak sebanding dengan jumlah mereka
yang entah berapa milyar di muka bumi ini......
Aku
pamitan ke anak-anak panitia lain, dan langsung berlari menerjang hujan ke arah
parkiran motor. Babah wes teles, yang
penting aku tidak dikerumuni oleh sekeluarga besar kecoa (nulis sambil bergidik
mbayangno). Aku menyalakan motor, dan
melaju dibawah hujan yang masih tergolong deras.
Sialnya,
area didepan FISIP, Perpus, Parkiran Farmasi, depan Gedung C banjirnya parah.
Airnya tinggi banget, dan aku jalan pelan-pelan supaya motorku gak kemasukan
air dan mogok. Dan lepas dari banjir di area kampus, banjir di tempat lain
menunggu: SELURUH JALAN DIDEPAN KAMPUS B
UNAIR TERENDAM AIR! Dan ketinggiannya gak main-main, sampai sebetis orang
dewasa.
Pada
mulanya, aku ragu-ragu. Kalo kuterjang, bisa mogok motor ini. Pengalaman touring ke Ranu Agung kemarin, motor
mogok gara-gara businya kemasukan air. Untungnya, ada mekanik-mekanik handal
dari anak-anak Jatim Backpacker, tak butuh bengkel, dalam waktu 10 menit, beres
sudah motorku seperti semula dan siap melanjutkan perjalanan ke Ranu Agung.
Tapi, tololnya, kenapa aku terjang juga
motor ini sekarang? Airnya sumpah tinggi banget, mesin motorku sampai terendam.
Dan meski sudah berjalan perlahan, arus air yang beriak-riak karena ada mobil
yang lewat, membuat semakin banyak air yang masuk ke mesinku. Alhasil, didepan
gerbang masuk Kampus B, motorku mogok. Aku dorong sampai dekat halte bus Flash,
didekat gedung Magister (S2).
Itulah
Nena: keras kepala dan jarang belajar dari pengalaman.
Setengah jam pertama, aku terdiam dibawah
halte dengan pakaian basah kuyup. Mikir, gimana nih pulangnya? Gak tau ada
bengkel atau tidak disini? Apa harus telepon ayahku? Aduh, gak ada pulsa dan
baterai hp lemah lagi. Selama
setengah jam aku mikir, tapi berusaha keras agar gak panik.
Kemudian, aku menuju motorku. Hujan masih
turun. Aku naiki dan berusaha starter
manual. Mesin hampir nyala. OMG. Aku
nyalakan lagi, kali ini lebih keras dan....berhasil! Mesinku hidup! Tak
menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan, aku meng-gasnya sampai
pol, eh... gak pol-pol banget sih, gak tega, pokoknya digas terus sampai
mesinnya cukup panas. Selama lebih dari lima menit, aku gas terus motorku,
memanaskan mesinnya agar siap tempur lagi di jalanan.
Setelah itu, aku kembali duduk di halte dan
membaca novel Falling Out of Fashion
oleh Karen Yampolsky, yang kubawa dari rumah. Selama hampir satu jam aku
membaca novel, sambil lihat-lihat jalanan, apakah sudah surut atau belum?
Kayaknya belum deh, akhirnya aku baca novel lagi, lalu jam 16:00 kembali
memanaskan mesin motorku. Lalu, baca novel lagi.
Sampai
kapan kayak gini?
Jam 16:30, aku rasa jalanan depan Kampus B
mulai surut, terbukti dari melihat motor-motor di jalanan yang mesinnya tidak
lagi terendam air. Roda-roda mobil pun tak terendam air. Gak separah tadi.
Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang. Saat hendak menyalakan motor, otakku
tiba-tiba berteriak:
UNAIR KAN PUNYA LEBIH DARI SATU
PINTU MASUK...
LHA
NGAPAIN DARI TADI GAK LEWAT JALANAN FAKULTAS HUKUM AJA????? KOK GAK
KEPIKIRAN????
Duarr ._.
Meski belum tahu apa disana banjir atau
tidak, tapi instingku mengatakan bahwa sebanjir-banjirnya jalanan keluar dari
Fakultas Hukum, toh gak bakal separah jalanan depan Kampus B. Dan itu benar.
Jalanan FH memang banjir, tapi gak parah, seenggaknya mesin motorku gak
terendam air. Tapi, jalanan luar FH juga banjir, tapi semua ini gak separah
jalan depan Kampus B yang bikin entah berapa belas motor mogok (aku lihat
sendiri banyak yang mesinnya mati)
(bu
walikota... mana bu walikota?)
Aku mencari trik, lewat jalan mana yang
tidak akan kerendam banjir separah depan jln. Dharmawangsa (depan Kampus B).
Aku berpikir, jalanan besar pasti tidak akan terendam, hanya jalan kecil/bukan
jalan inti yang punya pengairan dan gorong-gorong yang payah yang bisa terendam
banjir. Akhirnya, aku lewat jl.. lewat Ngagel (puter baliknya jauh), trus lewat
... , lanjut lewat jalanan Grand City dan SMA komplek, dan lanjut terus lewat
jl. Kusuma Bangsa. Hujan masih turun deras, membasahi tubuhku yang tidak
terlindungi jas hujan (bawa jas hujan tapi gak berguna karena jebol, robeknya
sangat-sangat lebar pasca dipakai ke Ranu Agung, Probolinggo, bulan lalu).
Semuanya macet, jalan pelan, tapi
setidaknya tidak ada jalan yang terendam (kecuali daerah Gembong). Intinya,
semua tempat yang ku lewati, hanya jalanan depan Kampus B UNAIR (jl.
Dharmawangsa) dan sebagian daerah Gembong banjir, merendam mesin motor dan
membuat banyak motor mogok. Total berapa jam ini aku berputar-putar demi
menghindari jalanan banjir ._.
Sampai rumah, jam 17:00.
Senangnya bisa kembali ke rumah dengan
keadaan mesin motor baik-baik saja (well,
bagiku, saat di jalanan, mesin motor adalah prioritas utama, bukan
pengemudinya, jadi saat mogok aku lebih panik daripada saat aku sakit, hehe)
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)