Tapi
kata-kata itu lebih dahulu tertelan daripada di muntahkan, bergerak meluncur
turun ke dalam pusaran seperti air comberan dalam gorong-gorong panjang. Setiap
kali hendak berucap, bibir pucatnya terkatup erat. Tertahan, entah oleh apa.
Umurnya
sudah cukup tinggi, di atas pukul sepuluh pagi, bila dibandingkan dengan jam
dinding. Masuk akal bila ia berpikir bahwa ini sudah saatnya. Sudah waktunya.
Sementara
teman-temannya sudah pernah mengajak satu atau dua orang, bahkan lebih, untuk
menginap didalam lorong mereka masing-masing. Lalu keesokan harinya mereka
meninggalkan beberapa lembar uang sebagai ganti ongkos akomodasi yang telah
diberikan, pergi, tanpa perlu mengungkit-ungkit lagi. Kisah mereka selesai
sampai disitu.
Oh,
mungkin tidak. Beberapa diantaranya kembali.
Ia
ingin memulai hal yang sama, tapi terlalu takut. Mungkin bukan takut, tapi
memang pada dasarnya, ia adalah pengecut. Setiap kata-kata yang telah tersusun
mendadak berpencar seperti aksi demo yang dibubarkan oleh aparat, semburat ke
segala penjuru sebelum sempat ia menyadari.
Lalu
apa yang kurang? Segalanya telah ia persiapkan. Lorongnya berbeda dengan milik
kawannya, ia melengkapinya dengan pemanas ruangan. Cukup aneh bila mengingat ia
tinggal di bawah garis nol derajat di equator. Tapi, ia tak peduli. Toh, ia
membangun lorongnya di atas ketinggian 2000 mdpl. Dimana beku mencengkram bak
pakaian yang membalut tubuh. Sudah biasa.
Dan,
ia percaya, lorongnya akan segera penuh dengan pengunjung, sebelum ia sadari
bahwa ia tak pernah membuka pintu gerbangnya untuk siapapun.
***
Secangkir
kopi di hadapannya telah mendingin, uap-uap putih yang bergelung berganti
dengan uap yang berada didepan mulutnya saat ia mengambil napas. Gugu. Debu. Dingin,
terlalu dingin untuk melewati malam tanpa ada satu orang pun didekatnya.
Sementara gemintang yang menggantung terlalu jauh untuk menyelimutinya dengan
sinar.
Ia
ingin bercakap, bertemu orang baru, tapi ia ragu. Apakah ia mengenalku? Atau
temanku? Atau malah keluargaku? Lalu, satu atau dua orang akan saling berbisik
seperti kawanan lebah yang merundingkan dimana bunga yang memiliki cairan
paling manis. Bising. Dan akhirnya, semuanya tahu, dalam hitungan detik.
Apakah ini karena
kain yang melilit leher dan helai-helai halus rambutku?
Sempat
ia berpikir, tapi urung ia ungkap. Ah, yang benar saja. Tanpa itu sekalipun,
manusia tetaplah sama. Berjalan di atas permukaan bumi dengan casing yang berbeda, tapi isi otaknya
serupa satu dengan yang lain. Aku ingin ini, aku ingin itu. Tapi terlalu pilu
untuk mengucap. Bahkan, napas pun tertahan.
Tak ada yang perlu
ditutupi. Tak ada gunanya aturan dan undang-undang yang dibuat di atas secarik
kertas bermaterai, lalu dilanggar begitu saja seolah tak pernah terjadi apa-apa
sebelumnya. Padahal, bisa saja mereka berkumpul di tanah lapang,
mendeklarasikan kebebasan, bersorak, lalu membakar setumpuk aturan hingga
menjadi jelaga hitam. Selesai sudah jika asapnya menghilang.
Tapi, seandainya
hidup sebagai manusia bisa semudah itu...
Manusia yang
bermartabat, katanya. Manusia yang
lebih mulia dari makhluk apapun, katanya.
Manusia yang dibekali akal budi luhur, katanya.
Sudah terlampau muak ia mendengar kata-kata itu memasuki lubang telinganya lalu
keluar lagi menjadi serpihan kecil kotoran yang berwarna kuning kecoklatan.
Menjadi corok yang tak berharga, tak
pernah diharapkan kehadirannya, selain untuk dibuang dan diabaikan.
Larut, larut
berubah menjadi selibat jingga, menyisakan hitam yang ditelan putih, dan juga
dingin yang libas oleh hangat. Aku ingin
meledak, mendesing, meletup, katanya. Dan, ia melakukan sesuai yang ia
katakan. Ia tak pernah ingkar.
***
Selesai
sudah ia membangun lorongnya menjadi lebih megah, dengan umbul-umbul yang
menyertai di kiri atau kanannya. Merah. Kuning. Hijau. Hei, ini bukan lampu lalu lintas! seseorang berucap. Tapi, ia hanya
mengendikkan bahu tak peduli, lalu kembali masuk ke dalam.
Ia
telah melapisi tubuhnya dengan warna putih, lalu mencoreng sana-sini sembari
memasang baju kebesarannya. Simbolnya. Dalam sekejap, ia berubah menjadi lebih
mempesona dari manten anyar yang
dirias selama berjam-jam. Tak ada yang bisa mengenali dirinya, bahkan cermin
sendiri, yang ia ajak bicara tiap hari. Yang mengenalnya hingga sudut-sudut
terkecil yang sering terlewat.
Semua
ternganga.
“Tak inginkah kau
masuk ke dalam lorongku, Tuan? Lalu mencoretkan namamu sebagai yang pertama di
ujungnya.”
Ia bergeming.
Menatap atas mata dan alisnya seolah ada sesuatu yang aneh.
“Kau akan membuka
tirai yang bahkan masih dilapisi oleh plastik, jika kau mau.”
Seseorang yang ia
panggil ‘Tuan’ mengernyitkan dahi, membentuk kerut-kerut yang menjenuhkan, lalu
berbalik badan. Gugu. Larut dalam debu. Semua tersia bagaikan pesta yang telah
siap dengan katering-nya yang beragam tapi tak satupun yang datang. Melongok
pun tidak. Hanya pergi.
Lorongnya sepi.
Umbulnya terkulai pasi. Dandanannya pun telah basi.
Pria-nya telah
pergi.
***
Lalu
terkulai ia, diatas ranjang beledu berlapis bulu. Menatap langit-langit yang
menghitam, menyebar, menginfeksi tiap inchi
dindingnya bak makhluk beracun. Dulunya, ia menggantungkan lampu kristal
disana, berharap akan melihat selarik cahaya prisma jika ia gundah. Atau agar
tamunya betah.
Kini
semuanya ada di gudang.
Tertumpuk begitu
saja seolah tak pernah dibutuhkan.
Ia
menutup lorongnya, yang mungkin tak akan pernah ia buka lagi untuk selamanya.
Kemarin ia menelepon mekanik untuk memaku pintu depannya, bersama ia
didalamnya. Terkurung dan terlupakan. Biarlah, ini yang ia mau.
Mekanik
itu pergi setelah pekerjaannya usai dan bayarannya telah di transfer. Ia
melambaikan tangan dari dalam, berharap menjadi usang tanpa dipandang.
Tiap
satu atau dua hari, ia melihat pengelana melewati depan lorongnya yang telah
tertutup, menunggangi kuda atau delman dengan kamar labu di belakang kusirnya.
Tak satupun menggugahnya, memberinya alasan cukup kuat untuk membongkar paku-paku
yang tertancap, hasil karya mekanik tadi.
Hanya
satu pria.
Yang
mungkin akan menyingkap tirai, yang mungkin akan mengguratkan namanya di buku
tamu untuk kali pertama. Yang sayangnya, telah memiliki dua duplikat di
belakang bahu kekarnya.
Anak
dan istrinya.
(Finished on 22:38, 6 Maret 15, Surabaya)
Originally by Nena Zakiah
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)