Jadi... Apa yang merasukiku?
Terhitung
dua tahun mundur bila mengingat kapan rasa frustasi ini terakhir datang.
Menyerangku hingga lumpuh. Membekukanku hingga menjadi batu. Lalu, boom! Meledak begitu saja tanpa ada
mesiu memicunya. Tumbuh lagi kefrustasian itu padahal rasanya telah ku kubur
jauh-jauh bersama yang lalu. Ia bangkit kembali dari peti mati kayunya.
Tapi,
semakin ku coba, rasa itu semakin nyata. Susah payah sudah pertahanan benteng
beton itu ku bangun dengan lelah namun nyatanya kalah oleh diriku sendiri.
Domino-domino tegak dan rapi tersusun, perlahan menyenggol satu sama lain, lalu
jatuh. Amblas. Longsor.
Satu
tarikan yang menyentak akal sehatku bisa datang dari satu kedipan saja. Seperti
terhipnotis, lalu tanpa sadar membuat orang hilang pikiran dan menyerahkan
seluruh uang yang ada di dompet, bahkan deposit dan seluruh tabungan hari tuanya,
bila perlu.
Ku coba
membisikkan kembali kata-kata yang dahulu mujarab tetapi sekarang tidak. Aku tidak mengenalnya, aku tidak
mengenalnya. Mantra ku endapkan dalam bisikan hampir tiap detik. Tapi itu
justru membuat rasa frustasi itu kian-kian nyata. Dan aku tidak tahu harus
bagaimana mengakhirinya.
***
Apa itu
yang ada di hadapanku? Apakah sorot mata itu sebuah ancaman?
Lalu,
siapakah yang mampu menjelaskan darimana hawa pekat namun hangat yang menjerat
kala ia tak jauh? Membelai-belai pundakku, menggelitik daun telingaku lantas
beringsut ke sudut tengkukku. Seperti ada hembusan disana, ada bisikan yang tak
bernada, tak terlihat mata. Sel syaraf terkecilku bahkan menggila.
Aku senang,
tapi merasa tak nyaman.
Hembusan-hembusan
kecil laiknya semilir saja bisa berubah menjadi angin kencang yang
meluluhlantakkan segalanya, hanya dengan satu kedipan saja. Betapa mudahnya,
seolah tak pernah ku belajar bagaimana bersikap defensif. Atau memang harus ku
lupakan saja etika dan norma asalkan aku gembira.
Lalu, ia akan masuk, masuk, lebih dalam,
melalui pori-pori yang ada di balik bebuluan halus, menjelma menjadi toksin
yang mengalir dalam darahku. Menyebar. Dan dalam hitungan detik, aku akan mati,
atau setidaknya, lumpuh. Nadiku masih berdenyut, tapi ia hidup di baliknya
seolah lorong-lorong itu adalah kampung halamannya tempat ia dilahirkan. Dan,
aku akan menjadi budak untuk selamanya.
Apa harus
ku pergi?
Tapi
mungkin, justru hidupku akan penuh dengan gerigi-gerigi berkarat yang siap
menyayat perlahan, menyiksa dalam diam. Mengabaikan apa yang teringin. Dan itu
jauh lebih parah lukanya.
Jadi, ku
putuskan untuk tinggal. Meski itu berarti mengantarkan diri sendiri pada tali
tambang dan pijakan kursi untuk bunuh diri.
***
Tak pernah
ada jadwal untuk memprediksikan kapan ia datang. Ia datang semaunya saja seolah
baginya hidup ini tak ubah dengan rumahnya sendiri, lalu berlaku seenaknya.
Menapakkan sepatu sneakers berlumpurnya
pada sofa kulit lembut yang baru saja kalian beli. Meninggalkan bekas-bekas
memuakkan yang sulit dihilangkan meski telah disikat berulang-ulang.
Tapi ku tak
pernah menghapus jejak lumpur itu. Ku biarkan saja mengering lalu berkerak
sebagai cinderamata tanda ia pernah ada.
Aku tak
mengenalnya, tapi berharap ia datang lagi bagai sekantong plastik kecil morfin
yang datang di detik-detik terakhir seorang pecandu sekarat. Dan, seperti yang
sudah-sudah, ia pergi lagi tanpa permisi, membuatku mencari-cari.
Lalu, bola
mataku akan berkeliaran mencarinya seperti orang bodoh.
Dan ia akan
merasa puas telah menjeratku dalam perangkapnya. Bahkan, senapan AK-47 yang dikagumi akan kalah oleh pesonanya. Daya bunuhnya sangat tinggi, lebih dari mesin berpeluru itu. Kemudian dingin, dingin seperti biasa, kembali dalam
kesehariannya. Aku akan terlupakan dalam satu atau dua detik.
Sementara
hembusan yang ia buat masih betah, menelisik diantara celah-celah leher dan
wajah. Ku ingat pelajaran mendaki yang dulu pernah ku terima, bahwa gunung
tertentu memiliki iklim tersendiri yang berbeda dengan kondisi geografis
sekitarnya. Badai lokal. Angin gunung. Sepertinya mereka akan tinggal lama
disana, iklim lokal yang ia buat atas tatapannya yang mengikat.
***
“Tidakkah
kau merasa dipermainkan?”
2.32 AM
saat ini, dan aku berbicara dengan tembok kamarku. Bermonolog ria di tengah
malam bersama jiwaku yang satunya. Alter ego. Aku punya empat.
“Apa
maksudmu?”
“Sekali ia
terlihat ramah dan usil seperti biasa, tapi tak sampai berjarak lima menit, ia
akan berubah. Beku.”
“Ia pandai
merubah iklim.” Sahutku pendek. “Memutarbalikkan situasi dimana aku merasa
bersalah. Padahal, tidak ada yang ku perbuat.”
“Justru
itu, dia mengharap perhatianmu.”
“Kau
bercanda.”
“Tidak.
Tidak. Aku menangkapnya dari gesture
dan mimik wajahnya, lalu mencatat semua itu dalam notes kecil.”
“Lalu, apa
kesimpulannya?”
“You have to doing something.”
Suara-suara
dan hasrat bermonolog hilang sudah, seiring kepergian alter ego-ku yang paling
bisa ku andalkan. Dia pembaca situasi yang hebat, dan bahkan mewujudkannya
melalui insting-insting. Dia sering menyelamatkanku pada hal buruk yang akan
terjadi.
Tapi, aku
harus melakukan apa? Alter ego-ku terlanjur pergi dan kini aku sendirian di
tengah savanah luas. Hanya ada rerumputan dan belasan antelop yang tengah makan
semak-semak. Sebentar lagi kawanan singa datang dan akan mengoyak dagingku.
Daging muda.
***
Perseteruan
itu berlanjut hingga pagi. Tak perlu kopi menemaniku untuk melewati malam
karena satu konflik batin sudah cukup mampu untuk membuatku terjaga. Dan, ku
ingat, pukul tiga pagi adalah saat-saat kritis dimana iblis-iblis melesat masuk
ke dalam pikiran, 100 mph, seperti kecepatan rata-rata mobil balap Formula One.
Aku
mendambakan jemari panjangnya membelai tengkukku, bukan hanya hembusan dan
iklim konyol yang ia buat. Menyiksa, sangat menyiksa.
Iblis-iblis
itu lalu saling menempati kursi dan meja bundar seperti yang sering dibuat
rapat oleh apartur negara. Berdebat, merundingkan cara paling efisien untuk
menumbangkan pikiranku yang bersih, lalu mengambil alih semuanya, menjadikanku
budak atas pikiranku sendiri.
Tanpa ku sadari,
aku sudah membayangkan hal itu.
Apa ia
hanya datang seperti burung Kolibri yang menghisap nektar bunga secara serakah
lalu meninggalkannya layu begitu saja? Beranjak ke bunga-bunga lain yang masih
penuh untuk dinikmati dengan paruh panjangnya? Pergi setelah kenyang, usai
sudah urusannya.
Mengapa-mengapa-mengapa
yang belum terjawab membuatku gila.
Lalu,
mengapa ia menatapku seperti itu dengan mata coklatnya yang indah? Apakah ia
mencoba mencari sesuatu? Hangat, begitu hangat, dan hawa pekat kembali
mencengkram bahuku, seolah ada manusia tak kasat mata yang memeluk erat. Tapi,
itu tak akan bertahan lama, karena ia adalah seekor Kolibri yang pembosan dan
mengepakkan sayap ke bunga-bunga lainnya.
Dan aku
kembali sebatang kara.
***
Jadi,
apakah salah jika ku putuskan bila tak mengapa ia berbuat semaunya kepadaku?
Aku adalah
pemakai, pecandu, pengguna, dan ia adalah ekstasi yang tengah langka di pasaran
karena Polisi tengah memburu pengedarnya lalu menembaknya mati di tempat. Cara
paling ampuh untuk memutus mata rantai narkoba, katanya. Padahal tidak juga. Ekstasi itu kini raib entah kemana,
mungkin dibakar, mungkin juga dijual kembali.
Ku biarkan
ia datang dan pergi sekehendak hatinya, merebut seluruh inderaku, lalu
menghempaskannya ke tanah. Begitu saja dan berulang. Setidaknya aku tak mati
karena merindu, mencandu. Masih ada yang bisa disuntikkan ke otakku untuk
membuatku tetap hidup. Tidak menggelepar di lantai kamar mandi, berteriak
seperti orang gila dan sakaw.
Jika ia
dekat, seperti biasa angin lokal akan mendera, seseorang yang tak terlihat
kembali mencengkram bahuku dan membisikkan kata-kata pemicu gelora. Logikaku
bertahan. Aku tak menyeretnya ke pojokan gelap seperti apa yang iblis-iblis itu
rencanakan dalam rapatnya, setiap pukul tiga pagi.
Aku bersyukur
yang liar dan nakal hanyalah pikiranku.
Meski aku
sendiri tak akan tahu apakah Kolibri pembosan itu berminat pada bunga berwarna
pudar sepertiku. Atau justru aku nanti yang frustasi dan membiarkan ia
menghisap nektarku sampai habis, lalu mencampakkan begitu saja. Atau malah, ia
akan menanti nektarku terisi ulang dan menunggu dengan sabar, tidak ada yang
tahu.
Aku tidak mengenalnya, aku tidak
mengenalnya, tapi ku biarkan saja angin itu tetap bergelung di tengkukku.
Aku tidak peduli.
Finished on 22:33, 10 Maret 2015, on Surabaya. Originally by
Nena Zakiah.
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)