Sabtu, 07 Maret 2015

Lorong


“Maukah kau bermalam didalam lorongku, Tuan?”


            Tapi kata-kata itu lebih dahulu tertelan daripada di muntahkan, bergerak meluncur turun ke dalam pusaran seperti air comberan dalam gorong-gorong panjang. Setiap kali hendak berucap, bibir pucatnya terkatup erat. Tertahan, entah oleh apa.
            Umurnya sudah cukup tinggi, di atas pukul sepuluh pagi, bila dibandingkan dengan jam dinding. Masuk akal bila ia berpikir bahwa ini sudah saatnya. Sudah waktunya.
            Sementara teman-temannya sudah pernah mengajak satu atau dua orang, bahkan lebih, untuk menginap didalam lorong mereka masing-masing. Lalu keesokan harinya mereka meninggalkan beberapa lembar uang sebagai ganti ongkos akomodasi yang telah diberikan, pergi, tanpa perlu mengungkit-ungkit lagi. Kisah mereka selesai sampai disitu.
            Oh, mungkin tidak. Beberapa diantaranya kembali.
            Ia ingin memulai hal yang sama, tapi terlalu takut. Mungkin bukan takut, tapi memang pada dasarnya, ia adalah pengecut. Setiap kata-kata yang telah tersusun mendadak berpencar seperti aksi demo yang dibubarkan oleh aparat, semburat ke segala penjuru sebelum sempat ia menyadari.
            Lalu apa yang kurang? Segalanya telah ia persiapkan. Lorongnya berbeda dengan milik kawannya, ia melengkapinya dengan pemanas ruangan. Cukup aneh bila mengingat ia tinggal di bawah garis nol derajat di equator. Tapi, ia tak peduli. Toh, ia membangun lorongnya di atas ketinggian 2000 mdpl. Dimana beku mencengkram bak pakaian yang membalut tubuh. Sudah biasa.
            Dan, ia percaya, lorongnya akan segera penuh dengan pengunjung, sebelum ia sadari bahwa ia tak pernah membuka pintu gerbangnya untuk siapapun.
***
            Secangkir kopi di hadapannya telah mendingin, uap-uap putih yang bergelung berganti dengan uap yang berada didepan mulutnya saat ia mengambil napas. Gugu. Debu. Dingin, terlalu dingin untuk melewati malam tanpa ada satu orang pun didekatnya. Sementara gemintang yang menggantung terlalu jauh untuk menyelimutinya dengan sinar.
            Ia ingin bercakap, bertemu orang baru, tapi ia ragu. Apakah ia mengenalku? Atau temanku? Atau malah keluargaku? Lalu, satu atau dua orang akan saling berbisik seperti kawanan lebah yang merundingkan dimana bunga yang memiliki cairan paling manis. Bising. Dan akhirnya, semuanya tahu, dalam hitungan detik.   
Apakah ini karena kain yang melilit leher dan helai-helai halus rambutku?
            Sempat ia berpikir, tapi urung ia ungkap. Ah, yang benar saja. Tanpa itu sekalipun, manusia tetaplah sama. Berjalan di atas permukaan bumi dengan casing yang berbeda, tapi isi otaknya serupa satu dengan yang lain. Aku ingin ini, aku ingin itu. Tapi terlalu pilu untuk mengucap. Bahkan, napas pun tertahan.
Tak ada yang perlu ditutupi. Tak ada gunanya aturan dan undang-undang yang dibuat di atas secarik kertas bermaterai, lalu dilanggar begitu saja seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Padahal, bisa saja mereka berkumpul di tanah lapang, mendeklarasikan kebebasan, bersorak, lalu membakar setumpuk aturan hingga menjadi jelaga hitam. Selesai sudah jika asapnya menghilang.
Tapi, seandainya hidup sebagai manusia bisa semudah itu...
Manusia yang bermartabat, katanya. Manusia yang lebih mulia dari makhluk apapun, katanya. Manusia yang dibekali akal budi luhur, katanya. Sudah terlampau muak ia mendengar kata-kata itu memasuki lubang telinganya lalu keluar lagi menjadi serpihan kecil kotoran yang berwarna kuning kecoklatan. Menjadi corok yang tak berharga, tak pernah diharapkan kehadirannya, selain untuk dibuang dan diabaikan.
Larut, larut berubah menjadi selibat jingga, menyisakan hitam yang ditelan putih, dan juga dingin yang libas oleh hangat. Aku ingin meledak, mendesing, meletup, katanya. Dan, ia melakukan sesuai yang ia katakan. Ia tak pernah ingkar.
***
            Selesai sudah ia membangun lorongnya menjadi lebih megah, dengan umbul-umbul yang menyertai di kiri atau kanannya. Merah. Kuning. Hijau. Hei, ini bukan lampu lalu lintas! seseorang berucap. Tapi, ia hanya mengendikkan bahu tak peduli, lalu kembali masuk ke dalam.
            Ia telah melapisi tubuhnya dengan warna putih, lalu mencoreng sana-sini sembari memasang baju kebesarannya. Simbolnya. Dalam sekejap, ia berubah menjadi lebih mempesona dari manten anyar yang dirias selama berjam-jam. Tak ada yang bisa mengenali dirinya, bahkan cermin sendiri, yang ia ajak bicara tiap hari. Yang mengenalnya hingga sudut-sudut terkecil yang sering terlewat.
            Semua ternganga.
“Tak inginkah kau masuk ke dalam lorongku, Tuan? Lalu mencoretkan namamu sebagai yang pertama di ujungnya.”
Ia bergeming. Menatap atas mata dan alisnya seolah ada sesuatu yang aneh.
“Kau akan membuka tirai yang bahkan masih dilapisi oleh plastik, jika kau mau.”
Seseorang yang ia panggil ‘Tuan’ mengernyitkan dahi, membentuk kerut-kerut yang menjenuhkan, lalu berbalik badan. Gugu. Larut dalam debu. Semua tersia bagaikan pesta yang telah siap dengan katering-nya yang beragam tapi tak satupun yang datang. Melongok pun tidak. Hanya pergi.
Lorongnya sepi. Umbulnya terkulai pasi. Dandanannya pun telah basi.
Pria-nya telah pergi.
***
            Lalu terkulai ia, diatas ranjang beledu berlapis bulu. Menatap langit-langit yang menghitam, menyebar, menginfeksi tiap inchi dindingnya bak makhluk beracun. Dulunya, ia menggantungkan lampu kristal disana, berharap akan melihat selarik cahaya prisma jika ia gundah. Atau agar tamunya betah.
            Kini semuanya ada di gudang.
Tertumpuk begitu saja seolah tak pernah dibutuhkan.
            Ia menutup lorongnya, yang mungkin tak akan pernah ia buka lagi untuk selamanya. Kemarin ia menelepon mekanik untuk memaku pintu depannya, bersama ia didalamnya. Terkurung dan terlupakan. Biarlah, ini yang ia mau.
            Mekanik itu pergi setelah pekerjaannya usai dan bayarannya telah di transfer. Ia melambaikan tangan dari dalam, berharap menjadi usang tanpa dipandang.
            Tiap satu atau dua hari, ia melihat pengelana melewati depan lorongnya yang telah tertutup, menunggangi kuda atau delman dengan kamar labu di belakang kusirnya. Tak satupun menggugahnya, memberinya alasan cukup kuat untuk membongkar paku-paku yang tertancap, hasil karya mekanik tadi.
            Hanya satu pria.
            Yang mungkin akan menyingkap tirai, yang mungkin akan mengguratkan namanya di buku tamu untuk kali pertama. Yang sayangnya, telah memiliki dua duplikat di belakang bahu kekarnya.
            Anak dan istrinya.


(Finished on 22:38, 6 Maret 15, Surabaya)
Originally by Nena Zakiah

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template