Pohon
itu melihatnya. Begitu pula ranting-ranting dan dedaunan yang menempel pada
batang kambiumnya. Mungkin, lampu-lampu yang berjajar itu juga, tapi mereka
terlalu jauh untuk menatap lebih detail pada apa yang terpancar.
Beruntunglah rerumputan itu,
yang memiliki akses tertinggi untuk melihat tayangan di atasnya. Suara-suara
itu pun tertangkap dengan jernih, tak ada satu perkataan pun yang terlewat.
Semak yang sejajar mata itu pun tak kalah hoki-nya, menyaksikan apa yang jarang sekali mereka lihat, tapi kini terpampang nyata tak lebih dari lima inchi darinya.
Semak yang sejajar mata itu pun tak kalah hoki-nya, menyaksikan apa yang jarang sekali mereka lihat, tapi kini terpampang nyata tak lebih dari lima inchi darinya.
Betapa beruntungnya.
***
Dinding bata berpoles semen itu
menatapnya tanpa jeda. Tak pernah ia menyaksikan ini sebelumnya, karena
biasanya ruangannya hanya berisi tumpukan berkas-berkas usang dan kardus-kardus
yang berserakan. Atau, sapu, alat pel dan ember plastik yang menjejalinya
dengan pasrah.
Jadi, ia menikmati tayangannya
dengan wajah sumringah. Lampu neon 50 watt
tak menemaninya kali ini, karena tangan-tangan yang menjalar itu dengan sengaja
tak menghidupkan saklar, tak jauh dari mereka. Gelap itu lebih baik, ucap salah satu dari mereka disela-sela
aktivitas pentingnya. Dinding bata itu setuju, dan tetap menyaksikan dengan
suka cita dan raut muka gembira.
Betapa beruntungnya.
***
Kendaraan beroda empat itu
berhenti di pinggir jalan tol, purnama malam itu. Bukan karena kehabisan bensin
atau salah satu rodanya bocor, alasan paling klasik sebagai jawaban mengapa
sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Atau, seseorang yang berseragam hijau
muda memberhentikannya dan menggeledah isinya.
Seolah tidak ada oksigen didalam
mobil itu, semuanya terhisap dalam hening oleh lelumpuran yang menjalar-jalar.
Aroma yang menguar-nguar. Pekat, sangat pekat. Hingga napas pun tercekat. Tatap
saja bayangannya yang memantul dari kaca kecil di atas dashboard, dan kau akan menemukan jawabannya.
Jika kau tahu, maka betapa
beruntungnya dirimu.
***
Keriutan itu memang menyebalkan,
tapi hanya itulah satu-satunya tanda kehidupan dalam ruangan kecil berukuran
25m2 itu.
Selain itu, semua membisu.
Mereka memang tak diberi Tuhan kesempatan untuk berbicara, tapi seandainya
bisa, mereka pun akan tetap bisu. Terlampau kaku, atau ragu, untuk memaparkan.
Setidaknya, mata-mata itu tetap mengawasi apa yang ada. Satu atau dua mungkin
akan menikmatinya.
Kasur pegas berkeriut bukan
tanpa alasan. Dua orang bermain-main di atasnya, berbagi kehangatan, katanya. Tapi ruangan itu tidak hangat sama
sekali, freon-freon di air conditioner tetap berhembus, menyihir
suhu supaya tetap menjadi 16o Celcius.
Dua orang yang sama, yang
dilihat oleh pohon, dinding bata dan kaca mobil.
Betapa beruntungnya mereka semua!
Finished
on 11:23, 28 March 2015.
Originally
by Nena Zakiah
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)