Senin, 30 Maret 2015

Lumpur Hisap

Pohon itu melihatnya. Begitu pula ranting-ranting dan dedaunan yang menempel pada batang kambiumnya. Mungkin, lampu-lampu yang berjajar itu juga, tapi mereka terlalu jauh untuk menatap lebih detail pada apa yang terpancar.
                Beruntunglah rerumputan itu, yang memiliki akses tertinggi untuk melihat tayangan di atasnya. Suara-suara itu pun tertangkap dengan jernih, tak ada satu perkataan pun yang terlewat.
Semak yang sejajar mata itu pun tak kalah hoki-nya, menyaksikan apa yang jarang sekali mereka lihat, tapi kini terpampang nyata tak lebih dari lima inchi darinya.
                Betapa beruntungnya.
***
                Dinding bata berpoles semen itu menatapnya tanpa jeda. Tak pernah ia menyaksikan ini sebelumnya, karena biasanya ruangannya hanya berisi tumpukan berkas-berkas usang dan kardus-kardus yang berserakan. Atau, sapu, alat pel dan ember plastik yang menjejalinya dengan pasrah.
                Jadi, ia menikmati tayangannya dengan wajah sumringah. Lampu neon 50 watt tak menemaninya kali ini, karena tangan-tangan yang menjalar itu dengan sengaja tak menghidupkan saklar, tak jauh dari mereka. Gelap itu lebih baik, ucap salah satu dari mereka disela-sela aktivitas pentingnya. Dinding bata itu setuju, dan tetap menyaksikan dengan suka cita dan raut muka gembira.
                Betapa beruntungnya.
***
                Kendaraan beroda empat itu berhenti di pinggir jalan tol, purnama malam itu. Bukan karena kehabisan bensin atau salah satu rodanya bocor, alasan paling klasik sebagai jawaban mengapa sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Atau, seseorang yang berseragam hijau muda memberhentikannya dan menggeledah isinya.
                Seolah tidak ada oksigen didalam mobil itu, semuanya terhisap dalam hening oleh lelumpuran yang menjalar-jalar. Aroma yang menguar-nguar. Pekat, sangat pekat. Hingga napas pun tercekat. Tatap saja bayangannya yang memantul dari kaca kecil di atas dashboard, dan kau akan menemukan jawabannya.
                Jika kau tahu, maka betapa beruntungnya dirimu.
***
                Keriutan itu memang menyebalkan, tapi hanya itulah satu-satunya tanda kehidupan dalam ruangan kecil berukuran 25m2 itu.
                Selain itu, semua membisu. Mereka memang tak diberi Tuhan kesempatan untuk berbicara, tapi seandainya bisa, mereka pun akan tetap bisu. Terlampau kaku, atau ragu, untuk memaparkan. Setidaknya, mata-mata itu tetap mengawasi apa yang ada. Satu atau dua mungkin akan menikmatinya.
                Kasur pegas berkeriut bukan tanpa alasan. Dua orang bermain-main di atasnya, berbagi kehangatan, katanya. Tapi ruangan itu tidak hangat sama sekali, freon-freon di air conditioner tetap berhembus, menyihir suhu supaya tetap menjadi 16o Celcius.
                Dua orang yang sama, yang dilihat oleh pohon, dinding bata dan kaca mobil.
                Betapa beruntungnya mereka semua!

Finished on 11:23, 28 March 2015.

Originally by Nena Zakiah

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template