Lalu
jika tak kau izinkan ku untuk bersuara, lantas untuk apa kau ciptakan aku
dahulu sembilan belas tahun silam?
Dan disinilah aku.
Di bawah atap sebuah bangunan dua
lantai yang biasa, dan menjalani juga kehidupan yang biasa. Menumpang orang tua.
Tanpa pekerjaan, tanpa apapun yang bisa dibanggakan.
Aku hampir mati.
Tapi ku paksakan untuk menghirup
partikel oksigen dan membuatnya bergelung ke dalam paru-paruku. Setidaknya
membuat alveolusku masih memiliki aktivitas untuk dikerjakan. Memaksakan
jantungku untuk terus memompa darah ke seluruh pilinan kabel-kabel kecil yang
oleh para ahli dinamakan nadi. Lalu mengembalikannya lagi ke ruang-ruang di
jantung. Begitu seterusnya.
Panggillah aku zombie, atau mayat hidup, apapun sebutannya, akan ku terima. Karena
memang begitu adanya. Aku bernapas, tapi tanpa tujuan. Aku makan, tapi
sedikitpun tak merasa kenyang. Aku minum, tapi dahagaku tak kunjung hilang.
Lalu, untuk apa sebenarnya ku hidup?
***
Aku tak boleh menggunakan pita
suaraku di bangunan yang mereka sebut rumah, tapi sebenarnya adalah neraka.
Tidak ada api disini, tidak ada
jurang-jurang menganga yang dibawahnya ada jutaan manusia ‘berdosa’ yang sedang
di bersihkan didalamnya. Tidak ada iblis bertanduk yang membawa garpu tala
besar nan panas untuk menyiksamu habis-habisan. Tidak ada lava panas yang
membuat kulit dan tulangmu melepuh dan merapuh. Tapi, bangunan dua lantai ini
tetaplah neraka. Setidaknya, bagiku.
Kedua orang tuaku menyebutku
perempuan angin. Secara teknis, hanya bapakku yang berkata demikian. Seringkali
dalam serentetan omelan (aku lebih suka menyebutnya doktrin), Ia menyebutku
susah untuk diatur. Dan itu menciptakan jarak-jarak yang semakin luas.
Hubungan kami hampir tak pernah
harmonis. Ia membenciku, aku juga. Ia ku anggap hanya seperti mesin ATM yang
mengeluarkan uang kapanpun aku mau. Sementara aku baginya hanyalah satu manusia
yang tak pernah ia benar-benar sayangi. Aku tak pernah benar-benar memiliki
seorang bapak, yang ku punya adalah seorang pengatur.
Dan, kian ku sadari, bahwa
tahun-tahun kami semakin memburuk. Laki-laki yang dikenal banyak orang sebagai
pribadi yang sabar dan ramah, sebenarnya telah mati. Yang dahulu sering
menggendongku di pundaknya, kini tak menganggapku benar-benar ada. Aku lebih
suka menyebut bahwa ia mengenakan topeng.
Bapakku tak pernah benar-benar
menginginkan aku. Anak perempuan yang beranjak dewasa, yang baginya hanya
menyusahkan kehidupannya.
***
“Tak usah berteori disini. Itu semua
hanyalah sampah!”
Aku lelah mendebat, sebenarnya. Tapi
aku punya hak untuk itu. Bukankah hak untuk berpendapat di jamin oleh
Undang-Undang yang sah? Negara akan melindungiku, kalau begitu.
Bagaimana ku bisa hidup tenang bila
ku habiskan waktu untuk di setting
layaknya boneka tangan? Dimana di pergelangan tangan dan kakiku ada
benang-benang putih yang melilit, yang sedang dimainkan oleh makhluk besar di
atasnya. Dipaksa untuk menari, padahal aku tidak ingin. Dipaksa untuk
mengikuti, padahal aku punya hak atas diriku sendiri.
Kalau pita suaraku terletak di luar
tubuh, pasti bapakku akan mengguntingnya segera. Aku meyakini itu seratus
persen, berani bertaruh.
Bapak selalu membandingkan ku dengan
anak-anak perempuan temannya yang manis dan penurut. Tak pernah ia mencoba
menerimaku apa adanya. Aku pemberontak. Aku pembantah. Aku tak patuh. Aku ini,
aku itu, aku begini, aku begitu. Cukup!
Bukankah seharusnya ia bersyukur
karena aku tak hidup dengan topeng yang melekat didepan wajahku seperti
orang-orang pada umumnya? Aku tak hidup dalam kemunafikan, lantas untuk apa ku
menjaga kesantunanku dalam berbicara kalau diluar sana aku menjadi seorang
berandal wanita? Apakah ia tak ingat betapa banyaknya tetangga atau anak
temannya yang menjadi begundal atau hamil di luar nikah, padahal didepan
bapaknya mereka sangat manis dan penurut?
Ketika ku tanyakan apakah ia ingin
aku penurut didepan namun liar di luar, malah tamparan yang ku dapatkan. Ada
apa ini?
***
Sebenarnya, aku lelah hidup sebagai
perempuan di dalam komunitas penganut patriarki yang ekstrimis. Di kepung dari
segala arah hingga tak mampu untuk berkutik. Aku menjadi patung yang bernyawa,
yang nantinya akan dinikahi hanya untuk manak,
macak dan masak.
Rasanya lebih baik dilahirkan
sebagai seekor kucing.
Bahkan, kini ia mulai mencari-cari
kesalahanku. Ketika aku lalai menutup pintu kamar mandi sekali, misalnya, voltase
kemarahannya membuncah hingga jadi jutaan volt listrik yang membahayakan jiwa.
Katanya, aku selalu lalai, tak becus dalam apapun, aku hampir tak pernah benar
di matanya.
Tak ingatkah dia bahwa hampir tiap
semester aku mendapatkan juara? Tak lihatkah ia pada piagam-piagam yang
tergantung pada dinding kamar maupun piala-piala yang berjejer rapi di atas
lemari? Ketika aku bergembira menyampaikan seabreg prestasiku, ia hanya
menanggapi dengan dingin. Lalu, sekonyong-konyong mengatakan bahwa seluruh
prestasi yang kudapat hanyalah duniawi dan fana.
Jantungku langsung nyeri saat itu
juga, lalu menghambur dalam bentuk air mata.
Lalu, apa yang bisa membuatnya
bangga memiliki anak sepertiku? Jalan buntu, sepertinya. Kecuali, aku menjadi
seorang yang ia inginkan. Seorang anak perempuan manis dan penurut. Sebongkah
patung batu, konotasinya.
***
Susah juga ternyata menjadi sebuah
patung. Aku harus selalu menyetujui apa yang ia katakan, mengikuti seluruh
komandonya bak prajurit yang tak memiliki kuasa. Aku bertanya-tanya, bagaimana
bisa anak perempuan orang lain tahan dengan semua ini? Sangat tak masuk akal.
Perempuan, disini, di trainning untuk berkata “Ya” untuk
setiap ucapan dari laki-laki, dilatih untuk menurut, untuk sabar, untuk tidak
menuntut haknya. Lalu, itu terhegemoni menjadi sebuah karakteristik dasar yang
dicari laki-laki. Katanya, mereka menyukai wanita yang penurut. Bah! Bilang
saja kalau kau ingin membuat wanita terlihat kian lemah agar lebih mudah untuk
dikendalikan.
Menahan mulutku untuk tak berkomentar
mengenai apa yang seharusnya menjadi hakku, itu juga sulitnya luar biasa. Aku pendebat,
dan aku dilahirkan untuk itu. Tapi, aku harus melakukan ini, setidaknya, untuk
dicintai kembali oleh bapakku sendiri.
Dan, benar. Ia menyadari
perubahanku.
“Kamu kok sekarang lebih halus, ya,
Nduk?” Ucapnya seraya tersenyum hangat. Senyuman yang tak pernah ku dapatkan
sejak mendeklarasikan diriku sebagai seorang perempuan angin. “Pertahankan
itu.”
Ia mengelus rambutku. Aku ternganga.
Ini sebuah prestasi.
Hari-hari berikutnya bapak mulai
bertanya tentang apapun. Bahkan, hobi-hobiku, seperti ia baru menjumpaiku untuk
pertama kali yang mengajak berkenalan. Aku merasa asing di dalam keluargaku
sendiri. Jauh, jauh didalam sana, seseorang berkomentar bahwa aku telah hidup
dalam topeng, yang dahulu ku kecam dengan keras tetapi kini kupakai.
Betapa munafiknya!
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)