Senin, 08 Agustus 2016

Review Novel “Backpacker in Love”

Pernah merasakan gelora meledak-ledak untuk segera bertualang? Ingin berkelana sejauh mungkin dan melepas penat di dada? Merasa jenuh dengan rutinitas kita? Seperti itulah yang sering dirasakan oleh Larasati, atau kerap disapa Laras, gadis kelas 2 SMA Pelita Hati, Solo, Jawa Tengah. Dibesarkan dalam lingkungan yang menjaga tradisi keraton dan nilai-nilai luhur budaya Jawa, tidak serta merta membuatnya tumbuh menjadi gadis yang penurut dan betah di rumah. Justru, sebaliknya, hasratnya untuk berjalan-jalan, backpacking-an keluar kota dengan motor matic Mio-nya lebih besar dari apapun.
            Dibalik hobinya yang tangguh, nyatanya Laras menyimpan kesedihan di hati kecilnya. Ia tinggal di rumah milik mamanya, yang berprofesi sebagai dosen dan jauh dari papanya yang bertempat tinggal di Jakarta, dengan pekerjaan sebagai produser pemberitaan di salah satu TV swasta. Sedari kecil ia jarang sekali memiliki banyak waktu dengan papanya (karena mereka berdua tinggal berjauhan, dan hanya sesekali bertemu), dan itu membuatnya sengsara. Dan, tak jarang, ia melihat eyang putrinya (yang terlalu keras kepala, kolot dan sinis terhadap orang lain yang tidak memiliki darah bangsawan) bertengkar dengan mamanya, soal papanya yang dianggap hanya “rakyat jelata” (karena tidak memiliki darah biru yang ia agung-agungkan). Sampai kemudian datanglah bencana itu: papa dan mamanya bercerai!

            Belum lagi, bencana lain kerap kali mengganggunya: kejaran Chandra, teman satu sekolahnya yang naksir ia habis-habisan, yang kadang “annoying”, egois dan memaksakan kehendaknya sendiri, serta sindiran Boni, cewek keturunan Indo-Jerman yang naksir berat pada Chandra tapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Tak jarang, Laras harus pusing sendiri menghadapi kejaran Chandra serta ucapan Boni yang menyebutnya sebagai “anak haram”, yang membuat mereka berdua sering terlibat pertengkaran. Semakin kompleks-lah hidupnya ketika Darmanto datang, karena Laras menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Darmanto, namun ia sadar bahwa Darmanto tidak memiliki keturunan bangsawan, miskin dan memiliki status sosial lebih rendah, yang mana sangat ditentang oleh keluarga dari pihak mamanya, mereka menginginkan Laras untuk mencari pasangan yang sepadan dari segi bibit (keturunan bangsawan), bebet (kemampuan untuk mencukupi hidup/kekayaan yang dimiliki), serta bobot (karakternya yang bagus).
            Pada suatu titik, Laras merasa jengah dengan itu semua dan memutuskan untuk pergi. Ya, pergi. Berkelana jauh dengan motor Mio miliknya, melewati kota demi kota, menuju ke rumah Papanya di Jakarta. Berbagai rintangan menghadangnya, bahkan beberapa kali ia hampir mencelakakan nyawanya sendiri. Laras jatuh dan pulih pada waktu yang sama, dengan musibah dan keberuntungan yang silih berganti datang.
Namun, seberapa jauh ia pergi, hatinya sebenarnya hanya menginginkan hal yang sederhana: ingin keluarga kecilnya utuh dan damai kembali. Laras hanya ingin agar orang tuanya tidak berpisah (sudah tidak mungkin karena keduanya telah bercerai), dan tinggal satu atap bertiga (hal yang sudah tak pernah mereka alami sejak Laras lahir di dunia, karena sejak itu, orangtuanya memutuskan untuk pisah ranjang, walaupun belum bercerai). Ia juga tidak ingin hidup dalam kekangan dan aturan keraton yang dianggapnya kaku, normatif dan memaksakan kehendak. Laras, yang memiliki jiwa petualang, merasa tidak nyaman bila dituntut untuk menjadi puteri keraton yang lemah lembut, kalem, tidak kelayapan, dan tidak menjalin asmara dengan orang yang berbeda kasta. Sanggupkah Laras menjalani kehidupannya yang pelik? Atau ia akan menyerah di tengah perjalanannya? Lalu, apakah pada akhirnya Laras menemukan tujuannya? Tempat untuk mengakhiri perjalanannya?
Judul buku: Backpacker in Love
Nama pengarang: Gol A Gong dan Tias Tatanka
Tahun terbit: 2013
Kota terbit: Jakarta
Penerbit: Lintas Kata
*my opinion* actually, i loved this. Oke, pertama, buku ini ditulis oleh senior di bidang sastra (hai om Gol A Gong dan tante Tias Tatanka), jadi bisa dibilang, buku ini tahu banget cara meramu dan mengaduk-aduk emosi pembacanya agar tetap larut dalam bacaan. Mau marah? Bisa, baca aja momen saat Boni vs Laras bertengkar, atau saat eyang putri dan Om Santo meributkan soal keturunan bangsawan yang mereka bangga-banggakan, serta merendahkan orang lain yang dianggap tidak selevel. Mau merasakan kesedihan? Baca aja momen saat Laras merasa lelah dengan hidupnya dan ingin keluarga kecilnya kembali. Mau merasakan romantisme sederhana? Baca aja momen dimana Darmanto memperlakukan Laras dengan tulus, dan menerima gadis itu apa adanya. Mau merasakan ketegangan dan larut dalam petualangan? Baca aja saat Laras dikejar-kejar oleh bikers misterius yang berniat mencelakakannya di Klaten, dan saat ia memperjuangkan sepeda motornya yang hilang. Mau tertawa sejenak? Baca dialog-dialog konyol antara Laras dan teman-temannya, atau saat ia berhasil mengalahkan Boni dalam pertengkaran. LENGKAP!
            Oh ya, satu hal yang tidak aku suka. Ada momen dimana Darmanto memberikan bunga Edelweiss kepada Laras, dan responku be like, “Yaaaaa... Kok Edelweiss? Itukan bunga dilindungi? Kalo orang awam baca, pasti nganggap kalo bunga Edelweiss itu wajar-wajar aja dipetik dan diberikan ke pacar/kekasih kita, karena itu perlambang cinta abadi.” Cinta abadi BULLSHIT!
Pertama, Edelweiss itu bunga langka, yang tumbuh di ketinggian ribuan meter dari permukaan laut. Kedua, pecinta alam yang punya etika, gak bakal melanggar aturan untuk “tidak mengambil apapun kecuali gambar”, dan Darmanto sebagai anak yang menggeluti outdoor activity harusnya tahu betul akan hal itu. Ketiga, apa gak ada cara lain buat membuktikan cinta abadi? Ada banyak cara kan, bukan hanya dengan cara memberikan bunga yang “tidak pernah layu seperti cinta kita?” (huekk). Kenapa aku sangat menyoroti ini? Karena media tulisan fiksi juga berpengaruh dalam membentuk persepsi pembaca, dan novel termasuk media dalam ranah pop culture yang amat berpengaruh, jadi harusnya penulis buku ini memberi edukasi yang baik atas apa yang patut dan apa yang tidak dilakukan untuk menjaga alam dan lingkungan kita.
But overall, buku ini bisa ku nikmati dengan baik. Aku menghabiskan kurang lebih sekitar 8 jam untuk menuntaskan buku setebal 304 halaman ini. Dan novel ini jauh lebih real daripada chicklit dengan cliche yang membosankan dan diulang-ulang (kayak hubungan asmara antara cowok pebasket dan cewek cheerleader, misalnya, HAHA). Oh ya, btw, ending-nya kok nggantung sih? Harusnya lebih dramatis kata-katanya kalau sudah benar-benar berakhir ._.

#NOTE: aku beli di Gramedia Expo Basuki Rahmat Surabaya, di bagian buku diskon seharga Rp. 14.000 hehe senangnya :)

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template