Pernah merasakan gelora meledak-ledak untuk segera bertualang? Ingin
berkelana sejauh mungkin dan melepas penat di dada? Merasa jenuh dengan
rutinitas kita? Seperti itulah yang sering dirasakan oleh Larasati, atau kerap
disapa Laras, gadis kelas 2 SMA Pelita Hati, Solo, Jawa Tengah. Dibesarkan
dalam lingkungan yang menjaga tradisi keraton dan nilai-nilai luhur budaya
Jawa, tidak serta merta membuatnya tumbuh menjadi gadis yang penurut dan betah
di rumah. Justru, sebaliknya, hasratnya untuk berjalan-jalan, backpacking-an keluar kota dengan motor matic Mio-nya lebih besar dari apapun.
Dibalik hobinya
yang tangguh, nyatanya Laras menyimpan kesedihan di hati kecilnya. Ia tinggal
di rumah milik mamanya, yang berprofesi sebagai dosen dan jauh dari papanya
yang bertempat tinggal di Jakarta, dengan pekerjaan sebagai produser
pemberitaan di salah satu TV swasta. Sedari kecil ia jarang sekali memiliki
banyak waktu dengan papanya (karena mereka berdua tinggal berjauhan, dan hanya
sesekali bertemu), dan itu membuatnya sengsara. Dan, tak jarang, ia melihat
eyang putrinya (yang terlalu keras kepala, kolot dan sinis terhadap orang lain
yang tidak memiliki darah bangsawan) bertengkar dengan mamanya, soal papanya
yang dianggap hanya “rakyat jelata” (karena tidak memiliki darah biru yang ia
agung-agungkan). Sampai kemudian datanglah bencana itu: papa dan mamanya
bercerai!
Belum lagi,
bencana lain kerap kali mengganggunya: kejaran Chandra, teman satu sekolahnya
yang naksir ia habis-habisan, yang kadang “annoying”,
egois dan memaksakan kehendaknya sendiri, serta sindiran Boni, cewek keturunan
Indo-Jerman yang naksir berat pada Chandra tapi cintanya bertepuk sebelah
tangan. Tak jarang, Laras harus pusing sendiri menghadapi kejaran Chandra serta
ucapan Boni yang menyebutnya sebagai “anak haram”, yang membuat mereka berdua
sering terlibat pertengkaran. Semakin kompleks-lah hidupnya ketika Darmanto
datang, karena Laras menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Darmanto, namun
ia sadar bahwa Darmanto tidak memiliki keturunan bangsawan, miskin dan memiliki
status sosial lebih rendah, yang mana sangat ditentang oleh keluarga dari pihak
mamanya, mereka menginginkan Laras untuk mencari pasangan yang sepadan dari
segi bibit (keturunan bangsawan), bebet (kemampuan untuk mencukupi
hidup/kekayaan yang dimiliki), serta bobot (karakternya yang bagus).
Pada suatu titik,
Laras merasa jengah dengan itu semua dan memutuskan untuk pergi. Ya, pergi.
Berkelana jauh dengan motor Mio miliknya, melewati kota demi kota, menuju ke
rumah Papanya di Jakarta. Berbagai rintangan menghadangnya, bahkan beberapa
kali ia hampir mencelakakan nyawanya sendiri. Laras jatuh dan pulih pada waktu
yang sama, dengan musibah dan keberuntungan yang silih berganti datang.
Namun, seberapa jauh ia pergi, hatinya sebenarnya hanya
menginginkan hal yang sederhana: ingin keluarga kecilnya utuh dan damai
kembali. Laras hanya ingin agar orang tuanya tidak berpisah (sudah tidak
mungkin karena keduanya telah bercerai), dan tinggal satu atap bertiga (hal
yang sudah tak pernah mereka alami sejak Laras lahir di dunia, karena sejak
itu, orangtuanya memutuskan untuk pisah ranjang, walaupun belum bercerai). Ia
juga tidak ingin hidup dalam kekangan dan aturan keraton yang dianggapnya kaku,
normatif dan memaksakan kehendak. Laras, yang memiliki jiwa petualang, merasa
tidak nyaman bila dituntut untuk menjadi puteri keraton yang lemah lembut,
kalem, tidak kelayapan, dan tidak
menjalin asmara dengan orang yang berbeda kasta. Sanggupkah Laras menjalani
kehidupannya yang pelik? Atau ia akan menyerah di tengah perjalanannya? Lalu,
apakah pada akhirnya Laras menemukan tujuannya? Tempat untuk mengakhiri
perjalanannya?
Judul buku: Backpacker in Love
Nama
pengarang: Gol A Gong dan Tias Tatanka
Tahun terbit: 2013
Kota terbit: Jakarta
Penerbit: Lintas
Kata
*my opinion* actually, i loved this. Oke, pertama,
buku ini ditulis oleh senior di bidang sastra (hai om Gol A Gong dan tante Tias
Tatanka), jadi bisa dibilang, buku ini tahu banget cara meramu dan
mengaduk-aduk emosi pembacanya agar tetap larut dalam bacaan. Mau marah? Bisa,
baca aja momen saat Boni vs Laras bertengkar, atau saat eyang putri dan Om
Santo meributkan soal keturunan bangsawan yang mereka bangga-banggakan, serta
merendahkan orang lain yang dianggap tidak selevel. Mau merasakan kesedihan?
Baca aja momen saat Laras merasa lelah dengan hidupnya dan ingin keluarga
kecilnya kembali. Mau merasakan romantisme sederhana? Baca aja momen dimana
Darmanto memperlakukan Laras dengan tulus, dan menerima gadis itu apa adanya. Mau
merasakan ketegangan dan larut dalam petualangan? Baca aja saat Laras
dikejar-kejar oleh bikers misterius
yang berniat mencelakakannya di Klaten, dan saat ia memperjuangkan sepeda
motornya yang hilang. Mau tertawa sejenak? Baca dialog-dialog konyol antara
Laras dan teman-temannya, atau saat ia berhasil mengalahkan Boni dalam
pertengkaran. LENGKAP!
Oh ya, satu hal yang tidak aku suka.
Ada momen dimana Darmanto memberikan bunga Edelweiss kepada Laras, dan responku
be like, “Yaaaaa... Kok Edelweiss?
Itukan bunga dilindungi? Kalo orang awam baca, pasti nganggap kalo bunga Edelweiss
itu wajar-wajar aja dipetik dan diberikan ke pacar/kekasih kita, karena itu
perlambang cinta abadi.” Cinta abadi BULLSHIT!
Pertama,
Edelweiss itu bunga langka, yang tumbuh di ketinggian ribuan meter dari
permukaan laut. Kedua, pecinta alam yang punya etika, gak bakal melanggar
aturan untuk “tidak mengambil apapun kecuali gambar”, dan Darmanto sebagai anak
yang menggeluti outdoor activity harusnya tahu betul akan hal itu. Ketiga, apa
gak ada cara lain buat membuktikan cinta abadi? Ada banyak cara kan, bukan
hanya dengan cara memberikan bunga yang “tidak pernah layu seperti cinta kita?”
(huekk). Kenapa aku sangat menyoroti ini? Karena media tulisan fiksi juga
berpengaruh dalam membentuk persepsi pembaca, dan novel termasuk media dalam
ranah pop culture yang amat
berpengaruh, jadi harusnya penulis buku ini memberi edukasi yang baik atas apa
yang patut dan apa yang tidak dilakukan untuk menjaga alam dan lingkungan kita.
But overall, buku ini bisa ku nikmati dengan
baik. Aku menghabiskan kurang lebih sekitar 8 jam untuk menuntaskan buku
setebal 304 halaman ini. Dan novel ini jauh lebih real daripada chicklit dengan
cliche yang membosankan dan
diulang-ulang (kayak hubungan asmara antara cowok pebasket dan cewek cheerleader, misalnya, HAHA). Oh ya,
btw, ending-nya kok nggantung sih?
Harusnya lebih dramatis kata-katanya kalau sudah benar-benar berakhir ._.
#NOTE: aku beli di Gramedia Expo Basuki Rahmat Surabaya, di bagian buku diskon seharga Rp. 14.000 hehe senangnya :)
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)