Sabtu pagi (7/11) kemarin, aku memutuskan untuk
balik ke Satpas Colombo buat ngulang ujian praktek yang ke-tiga kalinya. Mager banget aslinya, apalagi abis baca
di random blog kalau yang ngurus SIM di hari sabtu jumlahnya lebih membludak
dibanding hari biasa. Huah. Tapi aku harus tetep berangkat. Udah satu bulan
lebih ditunda, men!
Jadi, aku
berangkat.
No
expectation, itu yang
berulang kali ku ucapkan pada diri sendiri dalam perjalanan menuju Colombo. Gak
banyak berharap kalau hari ini bakal lulus, daripada kecewa dan jatuh nantinya.
Meski begitu, aku sudah punya bekal, beberapa minggu lalu sudah nyoba latihan track 1-6 selama setengah jam. Apa yang
dianggap salah oleh penguji praktek SIM sudah ku coba waktu latihan dan
ternyata...gak sulit-sulit banget. Kita hanya perlu tenang dan gak gugup atau
dijadikan beban.
Jam 09:30 aku sampai di Satpas Colombo.
Parkiran penuh, seperti yang diduga! Setelah parkir, aku nyoba duduk-duduk dulu
sambil liatin orang praktek. Lima menit berselang dan aku merasa sudah siap.
Aku menyerahkan kertas ujian ulang dan mengambil motor. Ada rasa mual-mual
sebelum ujian, tipikal aku banget kalau lagi gugup.
Tapi, semua ini harus diselesaikan.
“Ya, silahkan dimulai, Nena.” ujar
petugas dibalik pos pengamatan uji praktek.
Aku melajukan motorku dengan gigi 2.
Sambil tetap berbisik “no expectation”
dan berusaha tetap tenang. Zigzag, done.
Lanjut ke angka 8. Berusaha untuk tetap stabil dan seimbang, juga berharap agar
ban motorku tidak berkhianat. Done.
Lanjut ke track ‘horor’ : track 3.
Aku mengambil jarak dan meng-gas motor sekali, sambil melambai-lambai seperti
yang diharuskan. Sampai dibelakang garis, aku menginjak rem kaki untuk berhenti
(sebelumnya, pakai rem tangan dan itu diharamkan!). Tanganku tetap berada
diatas untuk menandakan aku tak memegang stang.
Lanjut ke track 4 : jalan pelan-pelan di track
lurus sembari mengerem, sebagai simulasi bila kita berjalan di gang kecil,
jalan macet atau banjir. Done. Track
5, berjalan di jalan bergelombang dengan pelan, juga done. Terakhir, melajukan motor ke jalanan naik dengan memindah
gigi dua ke gigi satu. Sesampainya disana, aku mengklakson sebagai tanda finish. Lalu, aku memarkirkan motor di dekat
motor ujian praktek lain, dan menuju ke pos.
Ku kembalikan rompi dan mengambil tas. Pak
Adi, dengan nada suara yang misterius, menyuruhku memarkir motor lalu kembali
ke hadapannya lagi. Wah. Apa ini? Kemarin-kemarin pas gagal, aku selalu
dibilangi kesalahanku apa, tapi kini tidak. Apa ini....pertanda kelulusan??
Setelah memarkir motor, aku kembali
lagi. Dia tengah memegang berkas dan menyerahkannya padaku. “Ini, langsung ke
bank BRI terus ke loket dua, ya?”
Aku...aku...LULUS!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Seorang perempuan muda disampingku
bertanya dimana bank BRI, sembari memegang berkas yang sama denganku. Aku
lantas spontan berkata, “Mbak, bareng dong.”
“Oh ya, ayo sini.” ujarnya dengan ramah.
“OMG, ga nyangka ya mbak, lulus.” ucapku
dengan senyuman sumringah.
“Iya, setelah ngulang bolak-balik.”
“Update
status dulu, mbak.” candaku, disela-sela langkah kami menuju bank.
Dia tertawa, “Oh iya, habis ini.”
Kami akhirnya sampai di Bank BRI,
langsung menuju teller yang sepi.
“SIM apa?” tanya teller-nya dengan ramah.
“C”
“Seratus ribu rupiah.” Ku bergegas
mengambil uang dan menyerahkannya. Teller
langsung menyerahkan bukti pembayaran dan menjepretnya jadi satu di berkas. Aku
dan mbak yang baru ku kenal (namanya Lynda) langsung menuju ke loket dua.
Sampai disana, aku dan Mbak Lynda
menyerahkan berkas ke loket. Ugh,
bapaknya judes! Nadanya tinggi kayak
marah-marah. Kami disuruh ngisi form pembayaran BRI tadi dan minta plastik buat
njepret KTP pada berkas, di ruangan formulir. Tapi karena kami hepi seusai lulus SIM, jadinya dijalani
sambil ketawa-ketawa. Di ruangan formulir, sembari ngambilin plastik, aku juga
“diinterogasi” kuliah dimana dan ambil jurusan apa oleh bapak petugas, lalu
bapak petugasnya malah cerita tentang anaknya dan anak temannya (petugas yang
ngurus formulir SIM) yang juga kuliah di Unair, di jurusan Akuntansi dan
Kedokteran.
Kami menaruh berkas di loket dan
mendapat nomor antrian untuk foto SIM.
Dan...ujian lainnya menunggu untuk
diselesaikan... Urutan kami foto :”)) Dapet nomer segitu, sementara nomor yang
lagi di panggil baru di angka 48. Dan ruang tunggu SIM berubah menjadi lautan
manusia yang begitu gerah dan penuh. Aku dan Mbak Lynda (beserta suaminya?) dapet
kursi belakang. Lanjutlah cerita-cerita...
Dia cerita tentang kemarin ngurus SIM A
dan antri fotonya juga heboh, sampai-sampai dia nunggu hingga jam 16:00. Gila. Trus kebijakan baru tentang
kepengurusan SIM, yang mewajibkan pemohon untuk mengisi data dan foto terlebih
dahulu, baru menjalani ujian teori dan ujian praktek. Dia juga harus menjalani
serangkaian tes dan ujian lagi karena terlambat memperpanjang SIM (A dan C) sampai
berbulan-bulan. Kami juga sharing
masalah personal, seperti sharing
masalah kuliah dan fakta-fakta menarik seputar jurusan kami berdua (PS: dia
lulusan arsitektur).
Lumayan bosen juga sih, nunggu antrian
foto yang jalannya pelan. Dan, pukul 14:00 baru giliranku dan dia masuk untuk
foto SIM. Dari jam 10:30, berarti 3,5 jam antri :’))
Didalam ruangan foto SIM, kita
diharuskan untuk verifikasi data yang tertera di layar komputer, bila ada yang
salah langsung diperbaiki saat itu juga. Tapi, kalau udah jadi SIM-nya dan baru
nyadar salah, kita harus bayar lagi voucher
100 ribu di BRI untuk memperbaiki data yang salah. Makanya, hati-hati dan di
cek dahulu sebelum kita foto.
Sesudah foto, kami masih harus menunggu.
Kira-kira dua jam. Huhu lama banget
ya? Bahkan sampai ku tinggal tidur (diatas jam 3, mulai sepi dan banyak kursi
yang kosong, jadi bisa ditiduri). Jam 16:00, barulah SIM-ku jadi. Diambil di
sini:
Kejutan
lain datang. Ketemu teman SMP-ku, Nita! Dia datang ama bapaknya dan ngurus SIM
C. Wah...jadi ingat dulu kami pernah begitu akrab dan suka kirim sms aneh-aneh
waktu kelas 8, wkwkw. Dia juga dulunya sering banget nggodain aku dengan
cowok-cowok di SMP kami yang super gak jelas. Kami sama-sama menunggu,
bercerita dan mengambil foto SIM secara bersamaan.
Begitu deh.
Akhirnya
artikel ini berakhir juga, ya, hehe. Setelah sekian lama, dari awal ngurus SIM
bulan Juli, perjuangan-perjuangan melawan soal-soal dan praktek lapangan,
terbayar juga dengan jadinya SIM-ku di bulan November, yang ku dapatkan setelah
bersusah-payah dan berulang kali bolak-balik dalam prosedur resmi. Ya, aku
pantas untuk bangga, bcs I worked so hard
to get this. I deserve that.
Aku
harus berterima kasih pada Trya Monica, teman SMA-ku, yang selalu berbaik hati
meminjamkan SIM-nya padaku waktu aku mau keluar kota (abisnya bentuk wajah kami
sekilas lumayan mirip! HAHA). Mungkin sekitar 3-4 kali aku meminjam SIM
padanya. Dear Monic, semangat
berjuang ya di jurusan Radiologi yang sering membuatmu sambat (mengeluh), haha. Moga bisa jadi tenaga kesehatan hebat yang
bisa membantu banyak orang diluar sana ya :3
Okay, sekian kisah dari pejuang SIM yang
(akhirnya) lulus dan mendapatkan SIM yang telah dua tahun lebih
diidam-idamkannya, hehe. Kalau ada yang mau berbagi kisah, silahkan bagi disini
:))
Baca juga:
Alhamdulillah udah gede juga nena,dapet sim Cwkwkwk.Traktiraaan *ngeh
BalasHapusayo-ayo tak traktir mimik es tebu 2000-an haha
Hapus