Minggu, 15 Maret 2015

Patung


            Lalu jika tak kau izinkan ku untuk bersuara, lantas untuk apa kau ciptakan aku dahulu sembilan belas tahun silam?
            Dan disinilah aku.
            Di bawah atap sebuah bangunan dua lantai yang biasa, dan menjalani juga kehidupan yang biasa. Menumpang orang tua. Tanpa pekerjaan, tanpa apapun yang bisa dibanggakan.


            Dahulu kehidupanku tak seperti ini. Entah mengapa setiap detik yang terdetak menghembuskan sekat-sekat yang kian nyata adanya. Menciptakan ruang. Menciptakan spasi. Walau bukan dalam liteatur atau konteks yang nyata.
            Aku hampir mati.
            Tapi ku paksakan untuk menghirup partikel oksigen dan membuatnya bergelung ke dalam paru-paruku. Setidaknya membuat alveolusku masih memiliki aktivitas untuk dikerjakan. Memaksakan jantungku untuk terus memompa darah ke seluruh pilinan kabel-kabel kecil yang oleh para ahli dinamakan nadi. Lalu mengembalikannya lagi ke ruang-ruang di jantung. Begitu seterusnya.
            Panggillah aku zombie, atau mayat hidup, apapun sebutannya, akan ku terima. Karena memang begitu adanya. Aku bernapas, tapi tanpa tujuan. Aku makan, tapi sedikitpun tak merasa kenyang. Aku minum, tapi dahagaku tak kunjung hilang. Lalu, untuk apa sebenarnya ku hidup?
***
            Aku tak boleh menggunakan pita suaraku di bangunan yang mereka sebut rumah, tapi sebenarnya adalah neraka.
            Tidak ada api disini, tidak ada jurang-jurang menganga yang dibawahnya ada jutaan manusia ‘berdosa’ yang sedang di bersihkan didalamnya. Tidak ada iblis bertanduk yang membawa garpu tala besar nan panas untuk menyiksamu habis-habisan. Tidak ada lava panas yang membuat kulit dan tulangmu melepuh dan merapuh. Tapi, bangunan dua lantai ini tetaplah neraka. Setidaknya, bagiku.
            Kedua orang tuaku menyebutku perempuan angin. Secara teknis, hanya bapakku yang berkata demikian. Seringkali dalam serentetan omelan (aku lebih suka menyebutnya doktrin), Ia menyebutku susah untuk diatur. Dan itu menciptakan jarak-jarak yang semakin luas.
            Hubungan kami hampir tak pernah harmonis. Ia membenciku, aku juga. Ia ku anggap hanya seperti mesin ATM yang mengeluarkan uang kapanpun aku mau. Sementara aku baginya hanyalah satu manusia yang tak pernah ia benar-benar sayangi. Aku tak pernah benar-benar memiliki seorang bapak, yang ku punya adalah seorang pengatur.
            Dan, kian ku sadari, bahwa tahun-tahun kami semakin memburuk. Laki-laki yang dikenal banyak orang sebagai pribadi yang sabar dan ramah, sebenarnya telah mati. Yang dahulu sering menggendongku di pundaknya, kini tak menganggapku benar-benar ada. Aku lebih suka menyebut bahwa ia mengenakan topeng.
            Bapakku tak pernah benar-benar menginginkan aku. Anak perempuan yang beranjak dewasa, yang baginya hanya menyusahkan kehidupannya.
***
            “Tak usah berteori disini. Itu semua hanyalah sampah!”
            Aku lelah mendebat, sebenarnya. Tapi aku punya hak untuk itu. Bukankah hak untuk berpendapat di jamin oleh Undang-Undang yang sah? Negara akan melindungiku, kalau begitu.
            Bagaimana ku bisa hidup tenang bila ku habiskan waktu untuk di setting layaknya boneka tangan? Dimana di pergelangan tangan dan kakiku ada benang-benang putih yang melilit, yang sedang dimainkan oleh makhluk besar di atasnya. Dipaksa untuk menari, padahal aku tidak ingin. Dipaksa untuk mengikuti, padahal aku punya hak atas diriku sendiri.
            Kalau pita suaraku terletak di luar tubuh, pasti bapakku akan mengguntingnya segera. Aku meyakini itu seratus persen, berani bertaruh.
            Bapak selalu membandingkan ku dengan anak-anak perempuan temannya yang manis dan penurut. Tak pernah ia mencoba menerimaku apa adanya. Aku pemberontak. Aku pembantah. Aku tak patuh. Aku ini, aku itu, aku begini, aku begitu. Cukup!
            Bukankah seharusnya ia bersyukur karena aku tak hidup dengan topeng yang melekat didepan wajahku seperti orang-orang pada umumnya? Aku tak hidup dalam kemunafikan, lantas untuk apa ku menjaga kesantunanku dalam berbicara kalau diluar sana aku menjadi seorang berandal wanita? Apakah ia tak ingat betapa banyaknya tetangga atau anak temannya yang menjadi begundal atau hamil di luar nikah, padahal didepan bapaknya mereka sangat manis dan penurut?
            Ketika ku tanyakan apakah ia ingin aku penurut didepan namun liar di luar, malah tamparan yang ku dapatkan. Ada apa ini?
***
            Sebenarnya, aku lelah hidup sebagai perempuan di dalam komunitas penganut patriarki yang ekstrimis. Di kepung dari segala arah hingga tak mampu untuk berkutik. Aku menjadi patung yang bernyawa, yang nantinya akan dinikahi hanya untuk manak, macak dan masak.
            Rasanya lebih baik dilahirkan sebagai seekor kucing.
            Bahkan, kini ia mulai mencari-cari kesalahanku. Ketika aku lalai menutup pintu kamar mandi sekali, misalnya, voltase kemarahannya membuncah hingga jadi jutaan volt listrik yang membahayakan jiwa. Katanya, aku selalu lalai, tak becus dalam apapun, aku hampir tak pernah benar di matanya.
            Tak ingatkah dia bahwa hampir tiap semester aku mendapatkan juara? Tak lihatkah ia pada piagam-piagam yang tergantung pada dinding kamar maupun piala-piala yang berjejer rapi di atas lemari? Ketika aku bergembira menyampaikan seabreg prestasiku, ia hanya menanggapi dengan dingin. Lalu, sekonyong-konyong mengatakan bahwa seluruh prestasi yang kudapat hanyalah duniawi dan fana.
            Jantungku langsung nyeri saat itu juga, lalu menghambur dalam bentuk air mata.
            Lalu, apa yang bisa membuatnya bangga memiliki anak sepertiku? Jalan buntu, sepertinya. Kecuali, aku menjadi seorang yang ia inginkan. Seorang anak perempuan manis dan penurut. Sebongkah patung batu, konotasinya.
***
            Susah juga ternyata menjadi sebuah patung. Aku harus selalu menyetujui apa yang ia katakan, mengikuti seluruh komandonya bak prajurit yang tak memiliki kuasa. Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa anak perempuan orang lain tahan dengan semua ini? Sangat tak masuk akal.
            Perempuan, disini, di trainning untuk berkata “Ya” untuk setiap ucapan dari laki-laki, dilatih untuk menurut, untuk sabar, untuk tidak menuntut haknya. Lalu, itu terhegemoni menjadi sebuah karakteristik dasar yang dicari laki-laki. Katanya, mereka menyukai wanita yang penurut. Bah! Bilang saja kalau kau ingin membuat wanita terlihat kian lemah agar lebih mudah untuk dikendalikan.
Menahan mulutku untuk tak berkomentar mengenai apa yang seharusnya menjadi hakku, itu juga sulitnya luar biasa. Aku pendebat, dan aku dilahirkan untuk itu. Tapi, aku harus melakukan ini, setidaknya, untuk dicintai kembali oleh bapakku sendiri.
            Dan, benar. Ia menyadari perubahanku.
            “Kamu kok sekarang lebih halus, ya, Nduk?” Ucapnya seraya tersenyum hangat. Senyuman yang tak pernah ku dapatkan sejak mendeklarasikan diriku sebagai seorang perempuan angin. “Pertahankan itu.”
            Ia mengelus rambutku. Aku ternganga. Ini sebuah prestasi.
            Hari-hari berikutnya bapak mulai bertanya tentang apapun. Bahkan, hobi-hobiku, seperti ia baru menjumpaiku untuk pertama kali yang mengajak berkenalan. Aku merasa asing di dalam keluargaku sendiri. Jauh, jauh didalam sana, seseorang berkomentar bahwa aku telah hidup dalam topeng, yang dahulu ku kecam dengan keras tetapi kini kupakai.

            Betapa munafiknya!

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template