Kamar ini berbau seperti kematian. Tapi, aku tetap
tinggal didalamnya.
Lihatlah
kasurnya yang berasal dari jalinan serat kapas yang keras, dilapisi oleh kain
usang berwarna merah muda dan putih. Tembok-tembok bercat putih, mengelupas,
membentuk kerak-kerak layaknya benua. Bahkan, jika kau iseng, kau bisa membuat
benuamu sendiri, dengan menguikkan ujung kukumu yang tajam, lalu kelupaslah
hingga kau puas. Beberapa kali aku membuat karya, dengan membentukkan benuaku
sendiri, Amerika atau Afrika, yang telah di modifikasi.
Tak
jauh dari tempatmu berbaring, ada kipas angin reot yang berdaya listrik 20
watt. Menghembuskan kelegaan singkat karena udara menerjang ke arahmu,
mendinginkan suhu kamar yang mencekik layaknya neraka. Tapi, karena reot dan
murahan, kipas angin itu akan mengibas seperti tengah sekarat saat musim
kemarau. Dan, nikmati itu, siang-siang yang sungguh terik sehingga kau ingin
menceburkan diri ke bak mandi seperti seekor kudanil.
Di
atas sana, jalinan benang-benang kelabu merambati langit-langit seperti wabah.
Mulanya hanya di pojokan, lalu merambat, merambat dan merambat, dan memenuhi
seisi ruangan. Menjijikan. Untungnya, aku tidak takut laba-laba atau sulurnya
yang menggelayut di atas, jadi, aku tetap bertahan di ruangan terkutuk ini.
Lantainya
pun menyedihkan. Keramik-keramik putih itu pernah dibuat seseorang yang tak
berseni hingga menjadi kacau balau. Tergores kuas-kuas dan lelehan cat minyak
berwarna biru tua. Mengotori, menjadikannya makin tak artistik. Maka, putih
bercampur dengan biru, seperti awan dan langit, tapi dalam versi yang
menjijikkan.
Tapi,
betapa pun menyedihkan, aku tetap tinggal. Karena, sesuatu pernah terjadi
didalamnya. Dan aku terlibat, tercengkram kekuatan aneh sehingga membuatku
betah. Atau ini hanya ilusi dalam otak yang di akibatkan oleh kenangan.
***
Aku
tinggal sendiri, semenjak statusku sebagai seorang mahasiswa, aku merantau ke
suatu kota yang jauh, hingar bingar nan gemerlap dan bisa membuatmu terlena.
Ibu dan Bapak pun merelakan anak sulungnya ini pergi, mencari penghidupan dan
jati diri sendiri. Dua puluh tahun usiaku waktu itu. Aku masih ingat betul.
Ku
ambil suatu studi yang tidak terlalu ku minati, tapi mau tak mau harus ku
jalani. Strata satu untuk Kedokteran. Prestisius. Sangat bergengsi. Dan itulah
yang selalu membuat Bapak-Ibuku dan tetangga-tetangga di dusun kecilku
mengelu-elu akan diriku. Padahal, delapan belas tahun aku tinggal disana, tak
seorang pun memujiku atau menyanjungku, karena aku adalah salah satu kriminal cilik,
dulunya.
Dan
aku tinggal di satu rumah kecil berkamar lima, yang tiap-tiap biliknya harus
dihuni oleh dua orang kepala. Tapi, aku tidak. Aku berkeras membayar ganda
untuk kamarku sendiri, berdebat kecil dengan Ibu kos yang semula tak memahami
keinginanku. Maka, ku tambahlah pundi-pundi uang, plus sogokan kecil berupa
cemilan-cemilan di akhir minggu.
Maka,
bebaslah aku menjadi diriku sendiri di ruangan berukuran empat kali lima, plus
kamar mandi kecil didalamnya. Tak ada yang akan protes mengenai ruangan yang
seperti kapal pecah, atau berdebat dengan teman kos mengenai keributan yang kau
hasilkan. Tak ada yang akan mengeluh mengenai lenguhanmu kala beronani,
atau tak ada yang mengomel karena kotoran busuk yang dihasilkan oleh kucing
jalanan yang kau pelihara. Betapa menyenangkannya.
Dan
itu akan berlangsung selama lima tahun.
***
Tapi,
sesuatu terjadi setelah tiga tahun menghuni kamar apek itu.
Mulanya,
aku melihat kucing jantanku, berdarah di bagian pelipis dan sebelah matanya
berair. Lebam. Seperti bukan hasil dari pertengkaran sesama kucing,
memperebutkan kucing betina yang menanti bagaikan seekor lonte. Lebam. Biru. Memar. Seperti hasil dari pukulan, atau
hantaman.
Jadi,
aku membuntuti kucing itu selama satu hari penuh. Dan begitu mudah menemukan
akibatnya. Seorang setan kecil, yang berwujud dalam seorang anak balita, tapi
begitu sadis, hingga tak pernah kau menyangka ia adalah anak laki-laki berusia
empat tahun. Apa yang menyebabkan setan itu menjadi seorang dengan bibit
psikopat, itu bukan urusanku.
Lihatlah,
di hari pertama pengintaian, ia menginjak seekor anak ayam hingga mletet dan terburai isi perut dan
kotorannya, berdarah-darah dan mengalir dalam tanah. Setan kecil itu hanya
tertawa-tawa, lalu masuk kerumah dan meminta segelas susu pada Ibunya seolah
tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Hari
kedua, giliran sekawanan semut yang tengah menggotong makanan, yang apes pada
hari itu. Anak kecil itu menginjak-injaknya dengan melompat, hingga menyebabkan
buku-buku jari kakinya digigit oleh sekawanan semut yang tak terima. Ia marah.
Lalu kembali dengan korek api gas milik abangnya, dan membakar liang milik
semut yang tak berdosa itu.
Sudah
ratusan jiwa yang ia matikan dalam dua hari terakhir. Dan aku mengutuki Tuhan,
karena Ia tidak berbuat apa-apa untuk membalas setan kecil ini.
Hari
ketiga, aku tak sempat mengintainya, karena ada kuliah selama sehari penuh.
Hari
keempat, sedikit membuatku mendidih karena melihat dengan mata kepala sendiri,
kucing jantanku, disiksa oleh tangan mungilnya. Anak itu menginjak ekornya,
melemparnya dengan sebongkah batu yang cukup besar, dan mengguyurnya dengan
seember air. Kucingku lari terbirit-birit. Kucing lain lewat, dan ia mencabuti
bulu-bulunya dalam satu tarikan hingga kucing itu menjerit. Botaklah sebagian
tubuhnya oleh jambakan anak itu.
Ibu
anak itu, seorang perempuan muda dengan wajah berminyak, yang belasan tahun lebih tua
dari usianya, kulitnya yang kehitaman dan lemak-lemak yang menumpuki beberapa
bagian tubuhnya, serta berpakaian baby
doll, melihatnya dengan tatapan datar sembari kadang, menyuapi anaknya
dengan nasi berlauk telur dadar. Ia merestui segala tindakan anaknya yang
sadis, sepertinya, karena ia melihat semua kejadian itu tanpa ekspresi yang
berarti. Sekedar tidak pun, tidak ada.
Akan
jadi anak apa dia, itu bukan urusanku. Tapi, darahku sudah terlanjur mendidih
selama empat hari terakhir. Dan, aku hampir tidak sanggup melihat darah dan
nyawa terus mengalir.
***
Maka,
aku membeli berbagai hal yang dibutuhkan. Selamat tinggal jatah makanku untuk
tiga hari, karena aku akan menggantungkan isi perutku pada berbungkus-bungkus
Indomie setelahnya. Tak mengapa, ini hanya sementara.
Meski
aku merutuki, tapi untuk hari ini, aku akan berterima kasih pada dosen-dosenku,
dan juga buku-buku tebal Kedokteran dengan bahasa yang menjemukan. Tapi darinya
aku memperoleh ilmu. Tak mengapa, hari-hari membosankan penuh teori itu akan
kuputarbalik menjadi praktikal.
Sarung
tangan karet berwarna kuning pucat sudah menempel erat di telapakku, pun juga
masker putih yang menahan hidung dan mulutku. Koran-koran menutupi lantai
keramik yang tak artistik itu, yang diatasnya terdapat sebuah bak yang biasa kugunakan
untuk mencuci pakaian, melingkupinya dengan berita jual beli saham dan tawaran
kerja di kolom yang membosankan. Untunglah, berita-berita menarik sudah ku
singkirkan, karena niat awalku bisa berubah menjadi membaca berita-berita itu.
Aku calon dokter yang mudah terdistraksi.
Dengan
satu sentakan, gelembung itu memburai menjadi lelehan. Hilang sudah rengekan
itu, berganti dengan darah yang tak henti-hentinya mengalir. Aku tak mengenakan
jas lab-ku waktu itu, jadi aku takkan mengotorinya dengan sesuatu yang tak
perlu. Biarlah hanya tangan telanjangku yang tergenang oleh darah hingga
sebatas siku, karena lebih mudah mencucinya dengan sabun mandi, lalu semuanya
akan musnah begitu saja.
Ku
keluarkan organ-organ dalamnya, dan ku pisahkan ke dalam sebuah kantong plastik
hitam yang telah didobel menjadi tiga. Nanti akan ku tambahi lagi menjadi
empat, jika diperlukan. Selesai sudah, semua organ, tulang belulang, usus-usus
yang melingkar-lingkar, hati yang lentur bagaikan agar-agar, hingga tai-tai
yang berwarna cokelat kekuningan, masuk ke dalam kantong plastik itu. Sore
nanti, aku akan keluar dengan ransel di punggungku yang berisi kantong ini,
lalu membuangnya ke kali Ciliwung bagai membuang sampah.
Sementara,
kulitnya yang masai dan kepalanya yang telah bersih dari otak (ku congkel
bagian belakang tulang kepalanya yang masih lunak), ku angin-anginkan dalam
kamar mandi hingga kering. Dua jepitan plastik mencubit kulit bahu, menggantung
pada tali jemuran di atas bak mandi. Dalam satu atau dua hari, seluruhnya akan
kering, lalu ku tambal dalamnya dengan kapuk, dan ku jahit dengan rapi
nantinya.
Tapi,
itu nanti. Sementara menunggu sore, aku akan makan dan ngopi sebentar di warung
sebelah.
***
Enam
bulan kemudian, aku pergi ke kampung halamanku, di liburan semester akhir,
sebelum sidang skripsi.
Ransel
hitamku padat oleh pakaian, sementara kardus yang ku tenteng berisi makanan
oleh-oleh untuk keluarga. Ada juga teddy bear besar didalamnya, yang ku
mampatkan dengan sepenuh jiwa, lalu ku lakban kardus itu sesudahnya.
Menggembung.
Turun
dari terminal, aku menyetop becak untuk membawaku ke dusun kecil, tempat tanah
gembur bersaksi dan menjadikannya ladang terbaik untuk menanam jagung. Satu
tahun tak pulang, tanah yang semula bebatuan keras, menjelma menjadi jalan
aspal. Untunglah, bupati baru dan pasangannya itu tidak bullshit. Ada perubahan yang terjadi.
Ponakanku,
Zalfa, berlari menghambur ke halaman untuk menyambutku. Entah ia memang sayang
padaku, pamannya satu-satunya, atau ia tak sabar menerima hadiah yang ku
janjikan lewat telepon berbulan-bulan yang lalu.
Teddy
bear besar itu ku lungsurkan kepadanya dalam keadaan terbungkus plastik.
Ujungnya, terikat sebuah pita merah muda, yang selaras dengan warna bonekanya.
Zalfa mendekap erat boneka itu dan membawanya berkeliling rumah dan
memamerkannya kepada tetangga sepanjang hari.
“Boneka
yang bagus.” Ibu berucap. “Pasti disana banyak sekali boneka yang jauh lebih
besar dari itu.”
“Yang
satu meter setengah saja ada kok, Bu’e.”
“Gimana
magangmu?”
Lalu,
obrolan beralih ke studiku, yang kini tak terasa menjemukan lagi. Tak terucap, memang, tapi dari nada suara dan
gerak tubuh, Ibu dan Bapak nampaknya tak sabar untuk memamerkan ke tetangga
bahwa dua tahun mendatang, anak sulungnya akan menjadi dokter beneran. Isu itu akan panas, menyaingi
isu kades Soegono yang kabarnya akan naik haji lagi tahun depan. Nampaknya,
tingkat kegengsian dokter dan haji saling bersaing-saingan.
“Oh
ya, Le, Bapak lupa.” Ia mematikan
rokoknya dan menjejalkan puntungnya ke asbak, mematikan genih-nya. “Kasus bocah hilang itu kejadian ya, di sekitar kosmu?”
Aku
mengangguk. “Sampai sekarang belum ketemu, Pak, pelakunya.”
Bapak
menggeleng-geleng. “Zaman sekarang, kayak gitu udah biasa, kayaknya. Hari ini
orang hilang, besok pemerkosaan, besoknya lagi rampok. Kota besar itu ngeri, Le.”
Aku
hanya mengangguk, lalu melungsurkan jajanan dalam kardus pada Bapak. Bapak
meminta Ibu untuk membawakan toples-toples, untuk diisi, karena sebelumnya,
toples berdebu itu hanya penuh pada saat lebaran saja.
“Yaudah,
kamu ati-ati aja, ya, Le. Bapak
percaya, kamu bisa jaga diri kok.”
Aku
mengangguk lagi, sembari mengemil emping balado yang kini tertuang dalam
toples. Menyisakan warna merah, abu jajanan itu di kulit ari jemariku. Warna
yang ku suka.
Selesai pada
Minggu, 12 April 2015, 03:36.
*Note : bocah
kejam itu memang ada di kehidupan nyataku, tapi dalam versi kekejaman yang
lebih rendah
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)