Rabu, 11 Maret 2015

Angin Muson di Tengkuk

Jadi... Apa yang merasukiku?
            Terhitung dua tahun mundur bila mengingat kapan rasa frustasi ini terakhir datang. Menyerangku hingga lumpuh. Membekukanku hingga menjadi batu. Lalu, boom! Meledak begitu saja tanpa ada mesiu memicunya. Tumbuh lagi kefrustasian itu padahal rasanya telah ku kubur jauh-jauh bersama yang lalu. Ia bangkit kembali dari peti mati kayunya.


            Aku tidak mengenalnya, itu yang selalu ku katakan pada diriku sendiri.
            Tapi, semakin ku coba, rasa itu semakin nyata. Susah payah sudah pertahanan benteng beton itu ku bangun dengan lelah namun nyatanya kalah oleh diriku sendiri. Domino-domino tegak dan rapi tersusun, perlahan menyenggol satu sama lain, lalu jatuh. Amblas. Longsor.
            Satu tarikan yang menyentak akal sehatku bisa datang dari satu kedipan saja. Seperti terhipnotis, lalu tanpa sadar membuat orang hilang pikiran dan menyerahkan seluruh uang yang ada di dompet, bahkan deposit dan seluruh tabungan hari tuanya, bila perlu.
            Ku coba membisikkan kembali kata-kata yang dahulu mujarab tetapi sekarang tidak. Aku tidak mengenalnya, aku tidak mengenalnya. Mantra ku endapkan dalam bisikan hampir tiap detik. Tapi itu justru membuat rasa frustasi itu kian-kian nyata. Dan aku tidak tahu harus bagaimana mengakhirinya.
***
            Apa itu yang ada di hadapanku? Apakah sorot mata itu sebuah ancaman?
            Lalu, siapakah yang mampu menjelaskan darimana hawa pekat namun hangat yang menjerat kala ia tak jauh? Membelai-belai pundakku, menggelitik daun telingaku lantas beringsut ke sudut tengkukku. Seperti ada hembusan disana, ada bisikan yang tak bernada, tak terlihat mata. Sel syaraf terkecilku bahkan menggila.
            Aku senang, tapi merasa tak nyaman.
            Hembusan-hembusan kecil laiknya semilir saja bisa berubah menjadi angin kencang yang meluluhlantakkan segalanya, hanya dengan satu kedipan saja. Betapa mudahnya, seolah tak pernah ku belajar bagaimana bersikap defensif. Atau memang harus ku lupakan saja etika dan norma asalkan aku gembira.
             Lalu, ia akan masuk, masuk, lebih dalam, melalui pori-pori yang ada di balik bebuluan halus, menjelma menjadi toksin yang mengalir dalam darahku. Menyebar. Dan dalam hitungan detik, aku akan mati, atau setidaknya, lumpuh. Nadiku masih berdenyut, tapi ia hidup di baliknya seolah lorong-lorong itu adalah kampung halamannya tempat ia dilahirkan. Dan, aku akan menjadi budak untuk selamanya.
            Apa harus ku pergi?
            Tapi mungkin, justru hidupku akan penuh dengan gerigi-gerigi berkarat yang siap menyayat perlahan, menyiksa dalam diam. Mengabaikan apa yang teringin. Dan itu jauh lebih parah lukanya.
            Jadi, ku putuskan untuk tinggal. Meski itu berarti mengantarkan diri sendiri pada tali tambang dan pijakan kursi untuk bunuh diri.
***
            Tak pernah ada jadwal untuk memprediksikan kapan ia datang. Ia datang semaunya saja seolah baginya hidup ini tak ubah dengan rumahnya sendiri, lalu berlaku seenaknya. Menapakkan sepatu sneakers berlumpurnya pada sofa kulit lembut yang baru saja kalian beli. Meninggalkan bekas-bekas memuakkan yang sulit dihilangkan meski telah disikat berulang-ulang.
            Tapi ku tak pernah menghapus jejak lumpur itu. Ku biarkan saja mengering lalu berkerak sebagai cinderamata tanda ia pernah ada.
            Aku tak mengenalnya, tapi berharap ia datang lagi bagai sekantong plastik kecil morfin yang datang di detik-detik terakhir seorang pecandu sekarat. Dan, seperti yang sudah-sudah, ia pergi lagi tanpa permisi, membuatku mencari-cari.
            Lalu, bola mataku akan berkeliaran mencarinya seperti orang bodoh.
            Dan ia akan merasa puas telah menjeratku dalam perangkapnya. Bahkan, senapan AK-47 yang dikagumi akan kalah oleh pesonanya. Daya bunuhnya sangat tinggi, lebih dari mesin berpeluru itu. Kemudian dingin, dingin seperti biasa, kembali dalam kesehariannya. Aku akan terlupakan dalam satu atau dua detik.
            Sementara hembusan yang ia buat masih betah, menelisik diantara celah-celah leher dan wajah. Ku ingat pelajaran mendaki yang dulu pernah ku terima, bahwa gunung tertentu memiliki iklim tersendiri yang berbeda dengan kondisi geografis sekitarnya. Badai lokal. Angin gunung. Sepertinya mereka akan tinggal lama disana, iklim lokal yang ia buat atas tatapannya yang mengikat.
***
            “Tidakkah kau merasa dipermainkan?”
            2.32 AM saat ini, dan aku berbicara dengan tembok kamarku. Bermonolog ria di tengah malam bersama jiwaku yang satunya. Alter ego. Aku punya empat.
            “Apa maksudmu?”
            “Sekali ia terlihat ramah dan usil seperti biasa, tapi tak sampai berjarak lima menit, ia akan berubah. Beku.”
            “Ia pandai merubah iklim.” Sahutku pendek. “Memutarbalikkan situasi dimana aku merasa bersalah. Padahal, tidak ada yang ku perbuat.”
            “Justru itu, dia mengharap perhatianmu.”
            “Kau bercanda.”
            “Tidak. Tidak. Aku menangkapnya dari gesture dan mimik wajahnya, lalu mencatat semua itu dalam notes kecil.”
            “Lalu, apa kesimpulannya?”
            You have to doing something.
            Suara-suara dan hasrat bermonolog hilang sudah, seiring kepergian alter ego-ku yang paling bisa ku andalkan. Dia pembaca situasi yang hebat, dan bahkan mewujudkannya melalui insting-insting. Dia sering menyelamatkanku pada hal buruk yang akan terjadi.
            Tapi, aku harus melakukan apa? Alter ego-ku terlanjur pergi dan kini aku sendirian di tengah savanah luas. Hanya ada rerumputan dan belasan antelop yang tengah makan semak-semak. Sebentar lagi kawanan singa datang dan akan mengoyak dagingku. Daging muda.
***
            Perseteruan itu berlanjut hingga pagi. Tak perlu kopi menemaniku untuk melewati malam karena satu konflik batin sudah cukup mampu untuk membuatku terjaga. Dan, ku ingat, pukul tiga pagi adalah saat-saat kritis dimana iblis-iblis melesat masuk ke dalam pikiran, 100 mph, seperti kecepatan rata-rata mobil balap Formula One.
            Aku mendambakan jemari panjangnya membelai tengkukku, bukan hanya hembusan dan iklim konyol yang ia buat. Menyiksa, sangat menyiksa.
            Iblis-iblis itu lalu saling menempati kursi dan meja bundar seperti yang sering dibuat rapat oleh apartur negara. Berdebat, merundingkan cara paling efisien untuk menumbangkan pikiranku yang bersih, lalu mengambil alih semuanya, menjadikanku budak atas pikiranku sendiri.
            Tanpa ku sadari, aku sudah membayangkan hal itu.
            Apa ia hanya datang seperti burung Kolibri yang menghisap nektar bunga secara serakah lalu meninggalkannya layu begitu saja? Beranjak ke bunga-bunga lain yang masih penuh untuk dinikmati dengan paruh panjangnya? Pergi setelah kenyang, usai sudah urusannya.
            Mengapa-mengapa-mengapa yang belum terjawab membuatku gila.
            Lalu, mengapa ia menatapku seperti itu dengan mata coklatnya yang indah? Apakah ia mencoba mencari sesuatu? Hangat, begitu hangat, dan hawa pekat kembali mencengkram bahuku, seolah ada manusia tak kasat mata yang memeluk erat. Tapi, itu tak akan bertahan lama, karena ia adalah seekor Kolibri yang pembosan dan mengepakkan sayap ke bunga-bunga lainnya.
            Dan aku kembali sebatang kara.
***
            Jadi, apakah salah jika ku putuskan bila tak mengapa ia berbuat semaunya kepadaku?
            Aku adalah pemakai, pecandu, pengguna, dan ia adalah ekstasi yang tengah langka di pasaran karena Polisi tengah memburu pengedarnya lalu menembaknya mati di tempat. Cara paling ampuh untuk memutus mata rantai narkoba, katanya. Padahal tidak juga. Ekstasi itu kini raib entah kemana, mungkin dibakar, mungkin juga dijual kembali.
            Ku biarkan ia datang dan pergi sekehendak hatinya, merebut seluruh inderaku, lalu menghempaskannya ke tanah. Begitu saja dan berulang. Setidaknya aku tak mati karena merindu, mencandu. Masih ada yang bisa disuntikkan ke otakku untuk membuatku tetap hidup. Tidak menggelepar di lantai kamar mandi, berteriak seperti orang gila dan sakaw.
            Jika ia dekat, seperti biasa angin lokal akan mendera, seseorang yang tak terlihat kembali mencengkram bahuku dan membisikkan kata-kata pemicu gelora. Logikaku bertahan. Aku tak menyeretnya ke pojokan gelap seperti apa yang iblis-iblis itu rencanakan dalam rapatnya, setiap pukul tiga pagi.
            Aku bersyukur yang liar dan nakal hanyalah pikiranku.
            Meski aku sendiri tak akan tahu apakah Kolibri pembosan itu berminat pada bunga berwarna pudar sepertiku. Atau justru aku nanti yang frustasi dan membiarkan ia menghisap nektarku sampai habis, lalu mencampakkan begitu saja. Atau malah, ia akan menanti nektarku terisi ulang dan menunggu dengan sabar, tidak ada yang tahu.
            Aku tidak mengenalnya, aku tidak mengenalnya, tapi ku biarkan saja angin itu tetap bergelung di tengkukku. Aku tidak peduli.

Finished on 22:33, 10 Maret 2015, on Surabaya. Originally by Nena Zakiah.

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template