Perpindahan posisiku dari seorang penggebuk drum
menjadi pembetot bass bukan didasari tanpa alasan. Bassist kami dahulunya,
Agung, ternyata lebih mahir menggebuk instrument ritmis tersebut daripada aku
sendiri. Dan, ya, aku merasa sangat nyaman sekali memakai bass gitar sebagai
instrument utamaku.
Aku memegang drum pertamaku (err..bukan drum sendiri
sih) pada 15 Januari 2012 lalu. Kala itu, aku sedang berada disalah satu studio
musik di Singosari, Malang, yang bertarif 10.000/jamnya. Disana, aku diajari
pamanku yang dari mudanya dulu merupakan anak band, hingga sekarang diusia 30
tahunan-nya. Ia menguasai semua alat musik standar band (gitar, bass, drum,
keyboard). Musisi alam, aku
menyebutnya.
Saat itu, aku yang masih sangat payah, jauh-jauh
berangkat dari Surabaya, pukul 5 pagi hanya untuk menuntut ilmu bermain drum.
Aku merasa didorong oleh perasaan dari dalam diriku bahwa aku ingin menjadi
pemusik, dan Tre Cool adalah backingan
yang selalu mendorongku untuk menguasai alat musik tanpa nada ini.
Jadi, aku tempuh perjalanan +-60 km tersebut, hanya
demi menimba ilmu tentang bermain drum. 2 kali aku ke Singosari, di studio yang
sama demi ilmu drum tersebut. Namun, setelah 2 kali pertemuan yang menguras
energi tersebut, aku memutuskan untuk tidak kesana dahulu, untuk sementara
waktu. Selama 2 bulan aku menganggur, tak menggebuk, hingga di suatu sore di
studio musik di kawasan Kalilom, aku menemukan guru pengajar. Dan selama hampir satu tahun, aku menimba
ilmu disana. Tapi, aku tetap merasa kosong. Aku belum menemukan jati diriku di
drum.
Namun, aku tetap bertahan. Hingga akhirnya aku
mendapatkan posisi sebagai drummer di band pertamaku, Burn Out. Hanya 2 bulan
saja aku menjadi pemain drum disana hingga akhirnya aku dan Agung, disaksikan
personel Burn Out lainnya, sepakat berganti posisi.
Saat aku berganti, aku belum menguasai satupun kunci
bass. Aku hanya tau bagaimana cara memainkannya. Luckily, Agung mau mengajariku, lebih tepatnya merasa bertanggung
jawab mengajariku, dan memberi tips yang bermanfaat. Seorang pemain bass di
Bogor, yang kuanggap sebagai kakak kandung sendiri, juga sering memberi tips
dalam bermain bass, disamping aku mempelajari bass secara mandiri dengan sebuah
gitar akustik Yamaha C600 KW seharga 100 ribu yang kubeli kala SMP :D
Hanya butuh waktu sebentar untuk menguasai
instrument yang orang bilang ‘soulmatenya’
drum ini. Tak sampai 1 jam, berlatih dikamar, aku sudah menguasai kunci dan
lagu bertempo sedikit cepat. Aku pun optimis menghadapi hari-hariku sebagai
bassis dan anak band.
Aku merasa klik dengan bass, suatu perasaan yang tak
kudapatkan kala aku menggebuk drum selama setahun lebih. Jiwaku seolah menyatu,
tanpa beban, tanpa peer pressure.
Lonceng kecil dihatiku berdenting, mengatakan, ini instrumenku!
Sekarang, aku ingin menjadi seniman bass gitar yang
asli, bukan abal-abal. Aku rajin mendengarkan lagu-lagu dengan bassline
mencolok, atau lagu Japanese Rock yang kental dengan walking bass-nya. Aku ingin menjadi musisi, disamping pekerjaanku
nanti sebagai insinyur sipil. Dan, beberapa hari lagi, aku akan bekerja sebagai
operator warnet, yang gajinya akan ku tabung demi membeli sebuah Bass Fender
atau Ibanez. Insya Allah :D
“Man jadda wa jadda.”
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)