Selasa, 13 September 2016

Resensi Novel Tapol oleh Ngarto Februana

Nama pengarang: Ngarto Februana
Tahun terbit: 2002
Judul buku: Tapol
Kota terbit: Yogyakarta
Penerbit: Media Pressindo
Jumlah halaman: 176 hlm
Sinopsis: Djon adalah seorang pemulung di Yogyakarta, hidup sendirian di tengah belantara warga kota yang tak berpihak pada kaum marjinal sepertinya. Pekerjaan sehari-harinya selain mengambil barang-barang bekas tak terpakai atau mengorek-orek sampah lalu dijual ke penadah untuk mengganjal perut yang lapar, ialah bersembunyi. Ya, aparat, entah tentara maupun satpol PP, adalah musuhnya. Di mata mereka, pengemis dan gelandangan adalah sampah masyarakat, tak berguna dan patut dicurigai, lalu diangkut beramai-ramai ke dinas sosial untuk diberikan pengarahan, dan kalau apes, disiksa habis-habisan.
Sementara Mirah adalah gadis yang berkuliah di UGM, tengah menjalani semester akhir, yang seringkali dihantui oleh perasaan gelisah tak tentu arah. Ingatan masa kecilnya sering kali muncul ke permukaan, kerinduan akan bapaknya yang hilang pun tak tertahankan. Mirah selalu penasaran mengenai bapaknya, dan ketika ia bertanya ke ibunya, jawabannya selalu tak pernah memuaskan. Ibunya, Lastri, hanya bercerita jika bapaknya telah mati, dibunuh, dan mayatnya dibuang ke laut. Selebihnya, informasi lain mengenai bapak akan disimpan Lastri rapat-rapat.

Namun, ada hal lain dari Mirah yang membuatnya berbeda dari gadis kebanyakan. Ia memiliki rasa penasaran tinggi, jiwa yang pemberontak serta keinginan besar untuk memperjuangkan nasib bangsanya yang tak tentu arah. Tentu saja, siapapun tahu jika hidup di era Orde Baru, kebebasan merupakan barang mahal dan represi akan banyak hal merupakan santapan sehari-hari. Mirah geram dengan kondisi negaranya yang serba stagnan, bahkan memburuk. Harga-harga barang pokok mahal, rakyat miskin ditindas dan diabaikan, arena perpolitikan menjadi panggung untuk menyajikan sandiwara penuh kebusukan, kepalsuan dan kebobrokan, berkumpul dan berdiskusi dilarang, rekan-rekan penggiat demokrasi ditahan tanpa pengadilan, aparat dan militer berbuat sewenang-wenang bak Tuhan, bahkan orang-orang sering menghilang lalu tiba-tiba ditemukan telah meregang nyawa begitu saja.
Sebagai mahasiswa, lebih-lebih sebagai orang yang peduli akan kemana nasib bangsa ini berlayar, Mirah merasa sudah menjadi kewajibannya untuk membantu sekuat tenaganya. Jalan yang ia tempuh cukup berbahaya pada era itu, seperti berdiskusi masalah Marxisme-Leninisme, menganut paham Komunisme, mengkritik pemerintah, berdemonstrasi menuntut keadilan, mengadvokasi rakyat yang diperlakukan semena-mena, dan salah bertindak sedikit akan membuatnya ditangkap dan diperlakukan buruk oleh intel milik pemerintah Orde Baru, suatu kegiatan yang akan membahayakan nyawanya, serta mengancam keluarganya.
            Namun, berbagai hal mulai terjadi, seperti ketidaksetujuan Lastri, ibunda Mirah, akan kegiatannya yang dapat mengancam keselamatannya sendiri, serta rasa traumatis dalam diri Lastri akan kenangan lampau yang berkaitan dengan komunisme. Lastri sadar bahwa perpolitikan di era Orde Baru sangat kejam, dan akan melibas habis siapapun yang menganut paham komunisme, bahkan tidak peduli bila mereka salah tangkap orang yang bukan penganut komunis sekalipun. Lastri pun menceritakan kisah sebenarnya kepada Mirah dan Hernowo, adiknya. Bahwa bapak mereka dahulunya adalah korban kekejaman perpolitikan, yang karena suatu hal, membuatnya ditangkap, diasingkan, lalu dibunuh. Pergulatan mulai terjadi, Mirah semakin geram dengan Soeharto dan rezim Orde Baru, namun di sisi lain ia juga harus mempertimbangkan keselamatan dirinya dan keluarganya.
Lantas, apa yang akan terjadi kemudian? Apakah Mirah tetap bersikeras dengan idealismenya? Bagaimana dengan cita-citanya untuk memperjuangkan nasib bangsa? Apakah masyarakat tanpa kelas memang benar-benar jalan keluar untuk mengatasi problematika pelik di negerinya? Lalu, siapakah pemulung yang terus-menerus menguntitnya saat tengah berunjuk rasa? Siapakah Djon dan bagaimanakah asal-usul ia sebenarnya?

Kritik dan pendapat saya: luar biasa. Novel dengan penuturan sederhana namun dapat memberikan gambaran yang cukup atas kondisi Indonesia di masa silam, pada era Orba. Bukan seperti buku Sejarah kita yang direkayasa pemerintah (ingat, sejarah ditulis oleh pemenang), Ngarto memberikan gambaran gamblang mengenai fakta-fakta yang real, perih namun jujur adanya. Ia juga mampu menjelaskan dengan mudah mengenai hal yang melatarbelakangi insiden 30 September 1965 dahulu, mengenai penculikan Jenderal “oleh PKI” lalu militer dendam kesumat dan melayangkan ultimatum bahwa komunis harus ditumpas hingga ke akar-akarnya. Orang-orang hilang, diculik, dibunuh, bahkan mayatnya tak pernah ditemukan. Bukan hanya PKI dan penganut komunis yang jadi korban, melainkan keluarganya, serta korban-korban salah tangkap yang bukan komunis sekalipun. Sebetulnya semua itu adalah permainan politik tingkat tinggi, di kalangan elit, terlebih terjadi konflik internal di kalangan TNI AD sendiri.
            Tapi intinya, bisa ditangkap, bahwa Soeharto menginginkan kekuasaan. Menginginkan posisi Presiden berpindah dari Soekarno ke pundaknya. Cara-cara licik pun ditempuh. Bekerjasama dengan pihak luar (kalangan negara liberal dan kapitalis), dengan pembagian jatah yang saling menguntungkan. Soeharto dapat menjadi presiden, menggulingkan Soekarno, mendapatkan penghormatan dan kekayaan melimpah, namun dengan syarat negara kapitalis boleh mencengkram dan menguasai sumber daya alam di Indonesia, membuka keran atas kerjasama pihak asing dengan kontrak hingga puluhan tahun. Berbeda sekali dengan Soekarno yang amat anti asing (terlebih Amerika), dan memilih untuk berdiri diatas kakinya sendiri, walaupun terseok-seok. Selain itu, penggulingan Soekarno juga karena Soekarno memihak ke blok komunis (Rusia dan China), yang sangat membuat Amerika dan sekutunya berang (karena kapitalnya tidak dapat berinvestasi dan mengeruk SDA di Indonesia, juga karena perang ideologi atas Blok Barat dan Blok Timur).
            Ya, memang harus kita akui bahwa negeri ini pernah punya sejarah yang amat kelam. Pembantaian ratusan ribu bahkan jutaan manusia, digorok begitu saja, diculik, dihilangkan dan dibunuh paksa, tanpa pengadilan dan sebagian mayatnya tak pernah ditemukan. Anak-anak kehilangan bapaknya, istri kehilangan suaminya, dan keluarga mereka kehilangan masa depannya. Namun semuanya tertutupi oleh Sejarah yang ditulis oleh pemerintah, yang membelokkan pikiran siapapun yang menelan mentah-mentah informasi yang ada. Maka, tidak heran kan, kalau kita sering menemui orang-orang yang berkomentar di sosial media bahwa zaman Soeharto itu “lebih enak”? Tak tahukah mereka bila diperdaya? Atau hanya segolongan orang-orang malas membaca dan mengkaji ulang informasi, apatis akan kebenaran sejati? Atau mereka berasal dari kalangan yang diuntungkan oleh rezim Orba?
            Entahlah.

            Yang jelas, kemalasan berpikir dapat menjadi bumerang bagi siapa saja.

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template