Nama pengarang: S. Mara Gd
Tahun terbit:
2006
Judul buku:
Misteri Sutra yang Robek
Kota terbit:
Jakarta
Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman:
320 hlm
Sinopsis: Ayu Sutra dan suaminya, Ir. Sutra, telah tujuh tahun berumah
tangga. Pernikahan keduanya seringkali tidak harmonis, penuh dengan konflik,
pertengkaran dan bahkan kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan oleh Ir.
Sutra ke istrinya. Penyebab konflik keduanya pun berawal dari hal yang sama,
yakni kekecewaan Ir. Sutra mengetahui bahwa istrinya telah kehilangan
keperawanannya pada pacar semasa SMA, Hendra. Hal itu diketahuinya pada malam
pertama pernikahannya dulu, dan selama tujuh tahun itu pula ia masih tidak bisa
menerimanya. Ir. Sutra menganggap bahwa Ayu tidak sesuci yang ia pikirkan
sebelumnya. Dan ketika mengingat hal tersebut, Ir. Sutra secara instan akan
marah karena merasa ditipu lalu berujung pada pertengkaran, seperti yang
sudah-sudah.
Sementara Ayu, menganggap kekecewaan Ir.
Sutra tidak logis. Ia toh hanya melakukannya sekali saja dengan Hendra, itu pun
saat SMA, masa-masa dimana hasrat para pemuda biasanya tidak bisa mengontrol
hasratnya. Dan karena sudah terjadi
belasan tahun silam, bahkan sebelum bertemu Ir. Sutra, apakah itu bisa
dikategorikan sebagai pengkhianatan? begitu batin Ayu sepanjang waktu. Toh,
suaminya sebelum menikahinya juga pernah tidur dengan perempuan-perempuan lain,
bahkan jauh lebih banyak dibanding Ayu, jadi tidak adil rasanya membandingkan
dosa miliknya dengan dosa Ir. Sutra sendiri.
Pertengkaran demi pertengkaran
berujung memanas hingga terakhir kali, Minggu, 7 Oktober, Ir. Sutra menganiaya
istrinya secara brutal. Menamparnya berulang kali, membuat bibir Ayu robek dan
matanya lebam. Setelah pertengkaran, Ayu berkonsultasi ke beberapa orang, yakni
Ny. Diah (tetangganya) dan Manaseh Lubis (teman SMA-nya). Setelah itu, Ayu
bertekad tak akan membiarkan dirinya dianiaya lagi, ia berteguh hati untuk
menceraikan suaminya, karena menganggap bahwa pernikahannya tidak akan selamat.
Rabu, 10 Oktober, Ir. Sutra pulang
dan menyambut Ayu dengan kondisi yang berbeda dari sebelumnya. 3 hari yang
dihabiskannya menyendiri, cukup untuk membuatnya berpikir bahwa dirinya memang
masih mencintai Ayu dan ingin agar pernikahannya terselamatkan. Ir. Sutra
berjanji pada dirinya sendiri untuk membenahi wataknya, mengontrol emosinya dan
bertekad untuk menjadi suami yang baik. Hal itu mengejutkan Ayu, namun Ayu
tidak ingin terburu-buru menerima tawaran suaminya untuk membenahi pernikahan
mereka. Ayu membuat perjanjian dengan suaminya, memberinya waktu 3 hari selama
ia pulang ke rumah orangtuanya, agar Ir. Sutra berpikir dengan jernih apakah ia
benar-benar ingin membenahi pernikahannya dengan Ayu, atau meninggalkan Ayu dan
menikahi gadis simpanannya yang bernama Roda Savitri Darsono. Ir. Sutra setuju,
dan Ayu bergegas meninggalkan rumahnya.
Namun, Rabu sore itu, Ir. Sutra
ditemukan tewas oleh Ny. Diah dan Roda, simpanan suaminya, dalam keadaan mengenaskan,
lambungnya robek oleh tusukan gunting dan darah membanjiri kamarnya. Penemuan
mayat itu berselang tak jauh setelah kepergian Ayu ke rumah orangtuanya. Semua
bukti-bukti mengarah pada Ayu sebagai pelaku utama, melihat dari intensitas pertengkaran
mereka selama ini, serta kekerasan yang sering dilakukan oleh Ir. Sutra, masuk
akal bila Ayu yang menjadi dalang dibalik kematian Ir. Sutra.
Dipanggilah polisi, dan dengan
segera kasus ini menjadi tugas dari Kapten Polisi Kosasih dan Gozali. Tinggal
selangkah lagi untuk membuktikan bahwa Ayu adalah pelaku pembunuhan kepada
suaminya sendiri, sebelum akhirnya Gozali menyadari ada sesuatu yang janggal
tengah terjadi. Sesuatu yang mungkin membebaskan Ayu dari tuduhan membunuh
suaminya sendiri. Sesuatu yang akan membuktikan siapa pembunuh yang sebenarnya.
Namun, saat tengah disibukkan
meneliti kasus kematian Ir. Sutra, satu lagi kematian terjadi di komplek
perumahan tempat ia tinggal. Kematian dari tetangga Ir. Sutra, Ny. Hernawan,
yang tewas akibat benturan benda keras di tengkorak kepala belakangnya. Penduduk
perumahan itu semakin resah, penuh dengan pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Siapakah yang membunuh kedua orang tersebut? Apakah kedua kasus itu berkaitan,
atau hanya kebetulan semata?
Kritik &
pendapat saya: Yak, ini kedua kalinya aku
membaca novel dari S. Mara GD, spesialis novel detektif dari Indonesia!
Sebelumnya aku sempat membaca novel yang berjudul, “Misteri Pembunuhan di Kakek
Bodo”, bagus juga, namun jalan ceritanya jauh lebih rumit dan kompleks dari
“Misteri Sutra yang Robek”. Namun, overall,
keduanya worth to read. Apalagi novel
keduanya kebanyakan bersetting di kota Surabaya, membuatku sedikit bangga,
hehe.
Oke, ada beberapa hal yang menjadi
sorotanku di novel ini. Tidak banyak, dan tidak berkaitan dengan alur cerita,
namun lebih ke perwatakan dan lingkup sosial-budaya di novel ini. Sangat jelas
bahwa Kapten Polisi Kosasih orangnya seksis,
konservatif dan misoginis, dilihat dari komentar-komentarnya mengenai perempuan,
seperti pada halaman 162-163, yang kurang lebih berdebat mengenai perempuan
jaman dulu vs jaman sekarang, dan mengkritik bahwa perempuan harusnya menjaga
kehormatan, memiliki moral, lembut, dan tunduk, namun ia memaklumi bila
laki-laki yang melakukan tindakan “brengsek” hanya karena mereka terlahir
sebagai laki-laki. Ketimpangan dan bias
gender inilah yang membuatku risih. Dialognya berbunyi seperti ini: “Tapi kodratnya
lain! Laki-laki memang diciptakan begitu,
perempuan harus bisa menjaga kehormatannya
sendiri.” Bahkan, Kosasih menegaskan dalam dialognya bahwa, “Tapi kita semua
tahu laki-laki itu kodratnya memang mata
keranjang”, yang membuktikan bahwa ia meng-overgeneralisir laki-laki dan memaklumi
bila laki-laki melakukan hal-hal yang brengsek, tapi tidak menerima, bahkan menentang
bila perempuan melakukan hal yang sama. Berbeda dengan partner-nya, Gozali, yang lebih liberal, terbuka, tidak (terlalu)
bias gender, dan lebih menghargai eksistensi individual manusia.
Selain itu, ada pula tanggapan Ny.
Diah terhadap Ny. Hernawan yang termasuk dalam kategori body shaming. Lihat pada
halaman 218, yang berbunyi, “Dalam hati dia menggerutu, belum tentu kalau tiba-tiba ada
lelaki yang merayu Nyonya Hernawan ini dia tidak katut juga. Saking aja nggak ada laki-laki yang menoleh
kepadanya, lha wong tubuhnya gemuk
dan wajahnya slebor (Nyonya Diah memakai istilah anaknya buat orang-orang
yang pipinya mentok).” Ny.
Diah boleh saja tidak suka pada Ny. Hernawan, tapi tidak perlu menggunakan
perumpamaan yang memiliki tendensi untuk mempermalukan orang dengan tipe tubuh
tertentu. Secara eksplisit juga menyebutkan bahwa perempuan gemuk tidak memiliki daya tarik (attractiveness) kepada lawan jenis, dan membuat kesimpulan bahwa
wanita gemuk tidak pantas untuk dicintai
oleh orang lain. Hal ini bukan sepele, karena body shaming bila telah disebarkan melalui media dan
diinternalisasi oleh orang lain, akan membuat orang lain memiliki pandangan
serupa, dan memiliki kecenderungan pula untuk mendiskriminasi orang lain
berdasarkan jenis tubuh yang ia miliki. Dan kemudian diskriminasi itu akan
berdampak pada orang-orang yang bersangkutan di dunia nyata.
Dan tentunya, konflik utama Ayu dan
Ir. Sutra mengenai keperawanan Ayu yang telah hilang sebelum menikah, tapi Ir.
Sutra tidak peduli akan keperjakaannya yang juga telah hilang sebelum menikah,
adalah manifestasi dari double standard, dimana Ayu sebagai
perempuan dianggap berdosa jika melakukan seks sebelum menikah, dan Ir. Sutra
sebagai laki-laki menganggap wajar jika dirinya melakukan hal tersebut. Pihak
Ayu didiskriminasi, dihujat dan dicela habis-habisan, karena dianggap perempuan
yang murahan, bermoral rendah dan hina, sementara pihak laki-laki tidak
diperlakukan sama, malah cenderung dibiarkan. Seks dalam pandangan laki-laki
patriarkis adalah penaklukan, dan pada beberapa kasus, melakukan seks dengan
banyak orang wanita dianggap sebagai suatu kebanggan dan prestasi.
Sementara dalam hal ini, Ayu dikategorikan
sebagai Whore dalam Madonna/Whore dicotomy, karena ia
melakukan seks sebelum menikah, dan bagi masyarakat yang menganut paham patriarkis dan post-marital sex, perempuan yang melakukan hal itu akan dianggap
kotor, hina dan tidak pantas diperlakukan dengan respek. Dalam Madonna/Whore dicotomy, perempuan tak
lebih dari dua bentuk oposisi biner
tersebut (tidak ada pilihan lain), apakah ia termasuk dalam kategori virgin, atau dalam kategori whore, dan perlakukan terhadap keduanya
sangatlah berbeda satu sama lain. Perempuan dianggap baik atau tidaknya dari
vaginanya saja, jika ia tidak perawan, maka ia akan dicap jalang, tidak peduli
sebagus dan sebaik apapun perlakuannya pada orang lain. Apakah letak harga diri
wanita hanya dari vaginanya saja? Mengesampingkan hal lain yang baik dan akan mencap
buruk selamanya? Illogical.
Dan dalam kasus Ayu, ia diperlakukan
oleh suaminya sebagai objek semata, tidak boleh berteman dengan laki-laki lain,
bahkan saat Ayu diantar pulang oleh Manaseh, teman SMA-nya, Ir. Sutra sudah
berprasangka yang tidak-tidak sebelum mengetahui keseluruhan kisahnya. Bagi Ir.
Sutra, Ayu adalah miliknya, dan ia berhak mengontrol istrinya dalam wujud
apapun. Objektifikasi adalah bentuk
opresi terhadap hak-hak dasar manusia, dan bagaimana bisa laki-laki
memperlakukan perempuan sebagai objek sesuai apa yang ia kehendaki dan memiliki
kontrol atas perempuan itu? Terlebih, perempuan yang telah menikah, lebih
banyak lagi hak atas dirinya yang dirampas atas dasar “kau sudah menikah dan
memiliki suami sekarang”.
Bukannya memiliki tendensi pada hal
tertentu, hanya saja memperlakukan orang dengan berat sebelah/diskriminasi
tidak ada dalam kamus kemanusiaaan secara general. People could be anything they
want, we don’t have a rights to judge anything they choose, apalagi
mengekang dan memberi batasan serta perlakuan tidak manusiawi pada orang-orang
yang memiliki pilihan yang berbeda dari orang-orang lain pada umumnya.
Kurang lebih itu saja sih, kritik
dariku. Sebenarnya ada banyak, namun itu yang paling menarik minatku untuk
menyanggah. Yang jelas, beberapa kategori yang ku sebutkan masih hidup dan
bernafas hingga kini di relung budaya masyarakat kita, yang entah sampai kapan
tetap tunduk pada dominasi dan opresi patriarki...
Written by Nena Zakiah.
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)