Selasa, 13 September 2016

Resensi Novel S. Mara GD : Misteri Sutra yang Robek

Nama pengarang: S. Mara Gd
Tahun terbit: 2006
Judul buku: Misteri Sutra yang Robek
Kota terbit: Jakarta
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 320 hlm
Sinopsis: Ayu Sutra dan suaminya, Ir. Sutra, telah tujuh tahun berumah tangga. Pernikahan keduanya seringkali tidak harmonis, penuh dengan konflik, pertengkaran dan bahkan kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan oleh Ir. Sutra ke istrinya. Penyebab konflik keduanya pun berawal dari hal yang sama, yakni kekecewaan Ir. Sutra mengetahui bahwa istrinya telah kehilangan keperawanannya pada pacar semasa SMA, Hendra. Hal itu diketahuinya pada malam pertama pernikahannya dulu, dan selama tujuh tahun itu pula ia masih tidak bisa menerimanya. Ir. Sutra menganggap bahwa Ayu tidak sesuci yang ia pikirkan sebelumnya. Dan ketika mengingat hal tersebut, Ir. Sutra secara instan akan marah karena merasa ditipu lalu berujung pada pertengkaran, seperti yang sudah-sudah.
Sementara Ayu, menganggap kekecewaan Ir. Sutra tidak logis. Ia toh hanya melakukannya sekali saja dengan Hendra, itu pun saat SMA, masa-masa dimana hasrat para pemuda biasanya tidak bisa mengontrol hasratnya. Dan karena sudah terjadi belasan tahun silam, bahkan sebelum bertemu Ir. Sutra, apakah itu bisa dikategorikan sebagai pengkhianatan? begitu batin Ayu sepanjang waktu. Toh, suaminya sebelum menikahinya juga pernah tidur dengan perempuan-perempuan lain, bahkan jauh lebih banyak dibanding Ayu, jadi tidak adil rasanya membandingkan dosa miliknya dengan dosa Ir. Sutra sendiri.

            Pertengkaran demi pertengkaran berujung memanas hingga terakhir kali, Minggu, 7 Oktober, Ir. Sutra menganiaya istrinya secara brutal. Menamparnya berulang kali, membuat bibir Ayu robek dan matanya lebam. Setelah pertengkaran, Ayu berkonsultasi ke beberapa orang, yakni Ny. Diah (tetangganya) dan Manaseh Lubis (teman SMA-nya). Setelah itu, Ayu bertekad tak akan membiarkan dirinya dianiaya lagi, ia berteguh hati untuk menceraikan suaminya, karena menganggap bahwa pernikahannya tidak akan selamat.
            Rabu, 10 Oktober, Ir. Sutra pulang dan menyambut Ayu dengan kondisi yang berbeda dari sebelumnya. 3 hari yang dihabiskannya menyendiri, cukup untuk membuatnya berpikir bahwa dirinya memang masih mencintai Ayu dan ingin agar pernikahannya terselamatkan. Ir. Sutra berjanji pada dirinya sendiri untuk membenahi wataknya, mengontrol emosinya dan bertekad untuk menjadi suami yang baik. Hal itu mengejutkan Ayu, namun Ayu tidak ingin terburu-buru menerima tawaran suaminya untuk membenahi pernikahan mereka. Ayu membuat perjanjian dengan suaminya, memberinya waktu 3 hari selama ia pulang ke rumah orangtuanya, agar Ir. Sutra berpikir dengan jernih apakah ia benar-benar ingin membenahi pernikahannya dengan Ayu, atau meninggalkan Ayu dan menikahi gadis simpanannya yang bernama Roda Savitri Darsono. Ir. Sutra setuju, dan Ayu bergegas meninggalkan rumahnya.
            Namun, Rabu sore itu, Ir. Sutra ditemukan tewas oleh Ny. Diah dan Roda, simpanan suaminya, dalam keadaan mengenaskan, lambungnya robek oleh tusukan gunting dan darah membanjiri kamarnya. Penemuan mayat itu berselang tak jauh setelah kepergian Ayu ke rumah orangtuanya. Semua bukti-bukti mengarah pada Ayu sebagai pelaku utama, melihat dari intensitas pertengkaran mereka selama ini, serta kekerasan yang sering dilakukan oleh Ir. Sutra, masuk akal bila Ayu yang menjadi dalang dibalik kematian Ir. Sutra.
            Dipanggilah polisi, dan dengan segera kasus ini menjadi tugas dari Kapten Polisi Kosasih dan Gozali. Tinggal selangkah lagi untuk membuktikan bahwa Ayu adalah pelaku pembunuhan kepada suaminya sendiri, sebelum akhirnya Gozali menyadari ada sesuatu yang janggal tengah terjadi. Sesuatu yang mungkin membebaskan Ayu dari tuduhan membunuh suaminya sendiri. Sesuatu yang akan membuktikan siapa pembunuh yang sebenarnya.
            Namun, saat tengah disibukkan meneliti kasus kematian Ir. Sutra, satu lagi kematian terjadi di komplek perumahan tempat ia tinggal. Kematian dari tetangga Ir. Sutra, Ny. Hernawan, yang tewas akibat benturan benda keras di tengkorak kepala belakangnya. Penduduk perumahan itu semakin resah, penuh dengan pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Siapakah yang membunuh kedua orang tersebut? Apakah kedua kasus itu berkaitan, atau hanya kebetulan semata?

Kritik & pendapat saya: Yak, ini kedua kalinya aku membaca novel dari S. Mara GD, spesialis novel detektif dari Indonesia! Sebelumnya aku sempat membaca novel yang berjudul, “Misteri Pembunuhan di Kakek Bodo”, bagus juga, namun jalan ceritanya jauh lebih rumit dan kompleks dari “Misteri Sutra yang Robek”. Namun, overall, keduanya worth to read. Apalagi novel keduanya kebanyakan bersetting di kota Surabaya, membuatku sedikit bangga, hehe.
            Oke, ada beberapa hal yang menjadi sorotanku di novel ini. Tidak banyak, dan tidak berkaitan dengan alur cerita, namun lebih ke perwatakan dan lingkup sosial-budaya di novel ini. Sangat jelas bahwa Kapten Polisi Kosasih orangnya seksis, konservatif dan misoginis, dilihat dari komentar-komentarnya mengenai perempuan, seperti pada halaman 162-163, yang kurang lebih berdebat mengenai perempuan jaman dulu vs jaman sekarang, dan mengkritik bahwa perempuan harusnya menjaga kehormatan, memiliki moral, lembut, dan tunduk, namun ia memaklumi bila laki-laki yang melakukan tindakan “brengsek” hanya karena mereka terlahir sebagai laki-laki. Ketimpangan dan bias gender inilah yang membuatku risih. Dialognya berbunyi seperti ini: “Tapi kodratnya lain! Laki-laki memang diciptakan begitu, perempuan harus bisa menjaga kehormatannya sendiri.” Bahkan, Kosasih menegaskan dalam dialognya bahwa, “Tapi kita semua tahu laki-laki itu kodratnya memang mata keranjang, yang membuktikan bahwa ia meng-overgeneralisir laki-laki dan memaklumi bila laki-laki melakukan hal-hal yang brengsek, tapi tidak menerima, bahkan menentang bila perempuan melakukan hal yang sama. Berbeda dengan partner-nya, Gozali, yang lebih liberal, terbuka, tidak (terlalu) bias gender, dan lebih menghargai eksistensi individual manusia.
            Selain itu, ada pula tanggapan Ny. Diah terhadap Ny. Hernawan yang termasuk dalam kategori body shaming. Lihat pada halaman 218, yang berbunyi, “Dalam hati dia menggerutu, belum tentu kalau tiba-tiba ada lelaki yang merayu Nyonya Hernawan ini dia tidak katut juga. Saking aja nggak ada laki-laki yang menoleh kepadanya, lha wong tubuhnya gemuk dan wajahnya slebor (Nyonya Diah memakai istilah anaknya buat orang-orang yang pipinya mentok).”  Ny. Diah boleh saja tidak suka pada Ny. Hernawan, tapi tidak perlu menggunakan perumpamaan yang memiliki tendensi untuk mempermalukan orang dengan tipe tubuh tertentu. Secara eksplisit juga menyebutkan bahwa perempuan gemuk tidak memiliki daya tarik (attractiveness) kepada lawan jenis, dan membuat kesimpulan bahwa wanita gemuk tidak pantas untuk dicintai oleh orang lain. Hal ini bukan sepele, karena body shaming bila telah disebarkan melalui media dan diinternalisasi oleh orang lain, akan membuat orang lain memiliki pandangan serupa, dan memiliki kecenderungan pula untuk mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis tubuh yang ia miliki. Dan kemudian diskriminasi itu akan berdampak pada orang-orang yang bersangkutan di dunia nyata.
            Dan tentunya, konflik utama Ayu dan Ir. Sutra mengenai keperawanan Ayu yang telah hilang sebelum menikah, tapi Ir. Sutra tidak peduli akan keperjakaannya yang juga telah hilang sebelum menikah, adalah manifestasi dari double standard, dimana Ayu sebagai perempuan dianggap berdosa jika melakukan seks sebelum menikah, dan Ir. Sutra sebagai laki-laki menganggap wajar jika dirinya melakukan hal tersebut. Pihak Ayu didiskriminasi, dihujat dan dicela habis-habisan, karena dianggap perempuan yang murahan, bermoral rendah dan hina, sementara pihak laki-laki tidak diperlakukan sama, malah cenderung dibiarkan. Seks dalam pandangan laki-laki patriarkis adalah penaklukan, dan pada beberapa kasus, melakukan seks dengan banyak orang wanita dianggap sebagai suatu kebanggan dan prestasi.
Sementara dalam hal ini, Ayu dikategorikan sebagai Whore dalam Madonna/Whore dicotomy, karena ia melakukan seks sebelum menikah, dan bagi masyarakat yang menganut paham patriarkis dan post-marital sex, perempuan yang melakukan hal itu akan dianggap kotor, hina dan tidak pantas diperlakukan dengan respek. Dalam Madonna/Whore dicotomy, perempuan tak lebih dari dua bentuk oposisi biner tersebut (tidak ada pilihan lain), apakah ia termasuk dalam kategori virgin, atau dalam kategori whore, dan perlakukan terhadap keduanya sangatlah berbeda satu sama lain. Perempuan dianggap baik atau tidaknya dari vaginanya saja, jika ia tidak perawan, maka ia akan dicap jalang, tidak peduli sebagus dan sebaik apapun perlakuannya pada orang lain. Apakah letak harga diri wanita hanya dari vaginanya saja? Mengesampingkan hal lain yang baik dan akan mencap buruk selamanya? Illogical.
            Dan dalam kasus Ayu, ia diperlakukan oleh suaminya sebagai objek semata, tidak boleh berteman dengan laki-laki lain, bahkan saat Ayu diantar pulang oleh Manaseh, teman SMA-nya, Ir. Sutra sudah berprasangka yang tidak-tidak sebelum mengetahui keseluruhan kisahnya. Bagi Ir. Sutra, Ayu adalah miliknya, dan ia berhak mengontrol istrinya dalam wujud apapun. Objektifikasi adalah bentuk opresi terhadap hak-hak dasar manusia, dan bagaimana bisa laki-laki memperlakukan perempuan sebagai objek sesuai apa yang ia kehendaki dan memiliki kontrol atas perempuan itu? Terlebih, perempuan yang telah menikah, lebih banyak lagi hak atas dirinya yang dirampas atas dasar “kau sudah menikah dan memiliki suami sekarang”.
            Bukannya memiliki tendensi pada hal tertentu, hanya saja memperlakukan orang dengan berat sebelah/diskriminasi tidak ada dalam kamus kemanusiaaan secara general. People could be anything they want, we don’t have a rights to judge anything they choose, apalagi mengekang dan memberi batasan serta perlakuan tidak manusiawi pada orang-orang yang memiliki pilihan yang berbeda dari orang-orang lain pada umumnya.
            Kurang lebih itu saja sih, kritik dariku. Sebenarnya ada banyak, namun itu yang paling menarik minatku untuk menyanggah. Yang jelas, beberapa kategori yang ku sebutkan masih hidup dan bernafas hingga kini di relung budaya masyarakat kita, yang entah sampai kapan tetap tunduk pada dominasi dan opresi patriarki...
Written by Nena Zakiah.


0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template