Judul buku: Peyempuan
Nama pengarang: @peyemp
Tahun terbit: 2013
Penerbit: TransMedia Pustaka
Jumlah halaman: 202 halaman
“Banyak rahasia di dalam
diri seorang perempuan yang tidak diketahui oleh laki-laki. Kami memilih untuk
menyimpannya rapat-rapat.” ~ adalah dua kalimat utama yang
dituliskan pada halaman sampul buku ini. Dengan segera, saya dapat meramal
bagaimana keseluruhan buku ini akan dituliskan, bahkan sebelum saya sempat
membuka lembar pertamanya.
Dan benar
saja. Buku ini tidak menawarkan semangat empowering yang akhir-akhir ini kian digalakkan
oleh aktivis feminisme di negeri ini, namun sebaliknya, @peyemp, pengarang buku
ini justru menempatkan posisi perempuan menjadi semakin inferior di dalam
lingkungan patriarkis masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Tulisan, cuitan di
Twitter, contoh-contoh kasus hingga jokes yang dilontarkan pun semakin memberi
tekanan bahwa perempuan adalah makhluk yang tak berdaya dan lemah. Mau bukti?
“Dalam hal menyembunyikan
perasaan, kami lah ahlinya. Bahkan perasaan kepada
seorang pendamping hidup.
Iya! Tidak perlu heran, ada banyak tetanggamu yang memainkan peran ini.
Menjalani biduk rumah tangga, memiliki anak, hingga memiliki cucu seperti
keluarga pada umumnya. Terlihat biasa aja, tetapi sebenarnya menyimpan
rahasia besar dalam hatinya.” (@peyemp, hal 1, dalam bab
Kicauanku di Lini Masa). Terlihat, apabila perempuan digeneralisasikan sebagai
entitas yang sanggup menjalani hidup dalam kepura-puraan, dan tak melawan
walaupun haknya tak terakomodasi. Perempuan digambarkan lemah, tak berdaya dan
pasif, walaupun menjalani hidup tak seperti yang ia inginkan, dan ia menerima
semua itu dengan penerimaan yang “luar biasa”.
Ditambah lagi dengan kalimat selanjutnya pada halaman 5, yang berbunyi: "Peyempuan mungkin akan
selalu menyimpan benih-benih rasa kepada “cinta sejatinya” di balik laci lemari
hatinya. Tapi, ia akan menumpuk rasa itu bersama dengan senyum dan tawanya
sepanjang waktu. Lalu, mereka akan menguncinya dengan kesetiaan kepada
pasangannya” . Kepura-puraan
menjalani hidup dengan pasangan yang tak dikehendaki terasa pahit (memang
seharusnya begitu), namun @peyemp tetap menggambarkan jika perempuan sanggup
untuk tetap tersenyum dan tertawa walaupun hidup yang ia jalani tak sesuai
dengan ekspetasinya. Secara implisit, kalimat ini mempersuasi perempuan untuk
tunduk dan patuh pada nasib, tak mampu berbuat apa-apa untuk memperjuangkan
keinginannya, dan semakin menegaskan betapa inferiornya perempuan di
hadapan
masyarakat patriarkis.
Dalam halaman yang sama, digambarkan pula jika laki-laki akan
pergi atau mundur apabila bertemu dengan perempuan yang “...memiliki pendidikan tinggi,
kedudukan yang lumayan, pintar dan cantik” (@peyemp, 2013). Berlanjut ke paragraf
berikutnya, kata-kata yang dituliskan semakin menjustifikasi dan
mendiskreditkan perempuan dengan pendidikan tinggi, jabatan bagus, pintar dan
cantik, sebagai pihak yang tidak begitu disukai oleh laki-laki, “....Pada kenyataannya, seorang
laki-laki tidak begitu suka jika dirinya tidak bisa mengimbangi apa yang
peyempuan tersebut miliki.”
Lantas, harus seperti apa perempuan, jika dalam segala aspek
kehidupan selalu diberi batasan? Harus seperti pandangan konvensional, seperti
berpendidikan rendah, tak bekerja, tak berkontribusi pada masyarakat, tak
pintar dan tak cantik, agar tak membuat laki-laki keder? Apakah laki-laki memang
sedangkal itu jika berpikir mengenai perempuan? Lebih luas lagi, apakah @peyemp
mewakili pandangan seluruh laki-laki di muka bumi, ataukah ini murni hanya pandangan
subjektifnya sendiri?
Kepasifan perempuan kian digambarkan secara brutal pada lembar-lembar
berikutnya di buku ini. “Peyempuan
lebih sering memilih untuk diam bahkan menangis. Tapi, bukan karena salah. Kami
mencoba menghindari perdebatan panjang yang berujung pertengkaran...” (@peyemp, 2013:6). Konteks
pertengkaran yang dimaksud adalah konflik pada hubungan asmara pasangan
heteroseksual, antara laki-laki dengan perempuan. Konflik seharusnya berakhir
menjadi kesepakatan akhir yang berujung setara pada kedua belah pihak, namun
dalam buku ini digambarkan jika perempuan-lah yang harus mengalah. Memilih
untuk bungkam walau dengan berurai air mata, dianggap jauh lebih baik
dibandingkan berbicara, karena dianggap akan menimbulkan konflik. Akibatnya,
perempuan bisa sewaktu-waktu ditindas dan dikontrol penuh oleh laki-laki, dan
tidak mampu untuk membela haknya. Bahkan, kepasifan dan kepasrahan yang
terlanjur dibiarkan tersebut dapat berujung menjadi tindak kekerasan, baik
kekerasan verbal, kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Perempuan tidak
diajarkan untuk berpendapat, membela hak-haknya, tapi justru ditekan oleh
lingkungan dan media agar diam, tunduk dan menerima.
Meski begitu, @peyemp bukannya tak sadar bila kepasifan,
kepasrahan dan
ketundukan perempuan dapat
berujung buruk pada perempuan itu sendiri. Pada halaman 31, ia menulis, “Peyempuan selalu berkata,
“Besarnya rasa sayangku dapat mengalahkan amarahku”, bukan begitu? Sebenarnya
pemikiran ini merupakan kelebihan. Tapi, juga dapat menjadi kelemahan sehingga
sering dimanfaatkan oleh para laki-laki...” (@peyemp, 2013:31). Lantas, mengapa ia
terus menerus menuliskan agar perempuan berperilaku sebagaimana “kodrat”-nya,
seperti menerima segala yang terjadi, walaupun itu berarti dapat melukai
dirinya sendiri? Apakah perempuan memang harus setumpul dan sedangkal itu dalam
menjalani hidup? Apakah memang perempuan harus rela bersakit-sakit,
mengorbankan dirinya sendiri agar hubungan yang ia jalani tidak oleng ke kanan
atau kiri?
Lalu, apa yang terjadi bila media-media, seperti buku ini, terus
memborbardir perempuan dengan ajakan dan pesan untuk menjadi patuh, tunduk,
pasif, menerima dan sejenisnya? Perempuan akan tetap menjadi masyarakat kelas
dua, di bawah kaki laki-laki, dan tak akan mampu untuk menyetarakan posisinya
hingga kapanpun. Perempuan akan tetap diremehkan dan dipandang rendah, walaupun
kita sendiri tidak merasakan itu jika kita tidak membuka mata lebar-lebar.
Sangat besar kemungkinan bagi perempuan untuk diperlakukan tidak adil,
didiskriminasi dan ditindas dalam berbagai aspek dan lini kehidupan.
Dan segala penindasan dalam
bentuk apapun, harus segera diakhiri.
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)