Rabu, 25 Mei 2016

Peyempuan : Ketika Perempuan Kian Memarjinalkan Dirinya Sendiri

Judul buku: Peyempuan
Nama pengarang: @peyemp
Tahun terbit: 2013
Penerbit: TransMedia Pustaka
Jumlah halaman: 202 halaman

“Banyak rahasia di dalam diri seorang perempuan yang tidak diketahui oleh laki-laki. Kami memilih untuk menyimpannya rapat-rapat.” ~ adalah dua kalimat utama yang dituliskan pada halaman sampul buku ini. Dengan segera, saya dapat meramal bagaimana keseluruhan buku ini akan dituliskan, bahkan sebelum saya sempat membuka lembar pertamanya. 
      Dan benar saja. Buku ini tidak menawarkan semangat empowering yang akhir-akhir ini kian digalakkan oleh aktivis feminisme di negeri ini, namun sebaliknya, @peyemp, pengarang buku ini justru menempatkan posisi perempuan menjadi semakin inferior di dalam lingkungan patriarkis masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Tulisan, cuitan di Twitter, contoh-contoh kasus hingga jokes yang dilontarkan pun semakin memberi tekanan bahwa perempuan adalah makhluk yang tak berdaya dan lemah. Mau bukti?

“Dalam hal menyembunyikan perasaan, kami lah ahlinya. Bahkan perasaan kepada 
seorang pendamping hidup. Iya! Tidak perlu heran, ada banyak tetanggamu yang memainkan peran ini. Menjalani biduk rumah tangga, memiliki anak, hingga memiliki cucu seperti keluarga pada umumnya. Terlihat biasa aja, tetapi sebenarnya menyimpan rahasia besar dalam hatinya.” (@peyemp, hal 1, dalam bab Kicauanku di Lini Masa). Terlihat, apabila perempuan digeneralisasikan sebagai entitas yang sanggup menjalani hidup dalam kepura-puraan, dan tak melawan walaupun haknya tak terakomodasi. Perempuan digambarkan lemah, tak berdaya dan pasif, walaupun menjalani hidup tak seperti yang ia inginkan, dan ia menerima semua itu dengan penerimaan yang “luar biasa”.
         Ditambah lagi dengan kalimat selanjutnya pada halaman 5, yang berbunyi: "Peyempuan mungkin akan selalu menyimpan benih-benih rasa kepada “cinta sejatinya” di balik laci lemari hatinya. Tapi, ia akan menumpuk rasa itu bersama dengan senyum dan tawanya sepanjang waktu. Lalu, mereka akan menguncinya dengan kesetiaan kepada pasangannya” . Kepura-puraan menjalani hidup dengan pasangan yang tak dikehendaki terasa pahit (memang seharusnya begitu), namun @peyemp tetap menggambarkan jika perempuan sanggup untuk tetap tersenyum dan tertawa walaupun hidup yang ia jalani tak sesuai dengan ekspetasinya. Secara implisit, kalimat ini mempersuasi perempuan untuk tunduk dan patuh pada nasib, tak mampu berbuat apa-apa untuk memperjuangkan keinginannya, dan semakin menegaskan betapa inferiornya perempuan di hadapan 
masyarakat patriarkis.
           Dalam halaman yang sama, digambarkan pula jika laki-laki akan pergi atau mundur apabila bertemu dengan perempuan yang “...memiliki pendidikan tinggi, kedudukan yang lumayan, pintar dan cantik” (@peyemp, 2013). Berlanjut ke paragraf berikutnya, kata-kata yang dituliskan semakin menjustifikasi dan mendiskreditkan perempuan dengan pendidikan tinggi, jabatan bagus, pintar dan cantik, sebagai pihak yang tidak begitu disukai oleh laki-laki, “....Pada kenyataannya, seorang laki-laki tidak begitu suka jika dirinya tidak bisa mengimbangi apa yang peyempuan tersebut miliki.”
           Lantas, harus seperti apa perempuan, jika dalam segala aspek kehidupan selalu diberi batasan? Harus seperti pandangan konvensional, seperti berpendidikan rendah, tak bekerja, tak berkontribusi pada masyarakat, tak pintar dan tak cantik, agar tak membuat laki-laki keder? Apakah laki-laki memang sedangkal itu jika berpikir mengenai perempuan? Lebih luas lagi, apakah @peyemp mewakili pandangan seluruh laki-laki di muka bumi, ataukah ini murni hanya pandangan subjektifnya sendiri? 
          Kepasifan perempuan kian digambarkan secara brutal pada lembar-lembar berikutnya di buku ini. “Peyempuan lebih sering memilih untuk diam bahkan menangis. Tapi, bukan karena salah. Kami mencoba menghindari perdebatan panjang yang berujung pertengkaran...” (@peyemp, 2013:6). Konteks pertengkaran yang dimaksud adalah konflik pada hubungan asmara pasangan heteroseksual, antara laki-laki dengan perempuan. Konflik seharusnya berakhir menjadi kesepakatan akhir yang berujung setara pada kedua belah pihak, namun dalam buku ini digambarkan jika perempuan-lah yang harus mengalah. Memilih untuk bungkam walau dengan berurai air mata, dianggap jauh lebih baik dibandingkan berbicara, karena dianggap akan menimbulkan konflik. Akibatnya, perempuan bisa sewaktu-waktu ditindas dan dikontrol penuh oleh laki-laki, dan tidak mampu untuk membela haknya. Bahkan, kepasifan dan kepasrahan yang terlanjur dibiarkan tersebut dapat berujung menjadi tindak kekerasan, baik kekerasan verbal, kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Perempuan tidak diajarkan untuk berpendapat, membela hak-haknya, tapi justru ditekan oleh lingkungan dan media agar diam, tunduk dan menerima.
             Meski begitu, @peyemp bukannya tak sadar bila kepasifan, kepasrahan dan 
ketundukan perempuan dapat berujung buruk pada perempuan itu sendiri. Pada halaman 31, ia menulis, “Peyempuan selalu berkata, “Besarnya rasa sayangku dapat mengalahkan amarahku”, bukan begitu? Sebenarnya pemikiran ini merupakan kelebihan. Tapi, juga dapat menjadi kelemahan sehingga sering dimanfaatkan oleh para laki-laki...” (@peyemp, 2013:31). Lantas, mengapa ia terus menerus menuliskan agar perempuan berperilaku sebagaimana “kodrat”-nya, seperti menerima segala yang terjadi, walaupun itu berarti dapat melukai dirinya sendiri? Apakah perempuan memang harus setumpul dan sedangkal itu dalam menjalani hidup? Apakah memang perempuan harus rela bersakit-sakit, mengorbankan dirinya sendiri agar hubungan yang ia jalani tidak oleng ke kanan atau kiri? 
           Lalu, apa yang terjadi bila media-media, seperti buku ini, terus memborbardir perempuan dengan ajakan dan pesan untuk menjadi patuh, tunduk, pasif, menerima dan sejenisnya? Perempuan akan tetap menjadi masyarakat kelas dua, di bawah kaki laki-laki, dan tak akan mampu untuk menyetarakan posisinya hingga kapanpun. Perempuan akan tetap diremehkan dan dipandang rendah, walaupun kita sendiri tidak merasakan itu jika kita tidak membuka mata lebar-lebar. Sangat besar kemungkinan bagi perempuan untuk diperlakukan tidak adil, didiskriminasi dan ditindas dalam berbagai aspek dan lini kehidupan. 


Dan segala penindasan dalam bentuk apapun, harus segera diakhiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template