Di tempat ini, aku menemukan arti dari kata ‘pulang’.
Bumi
tempat kakiku berpijak sekarang tidak berada pada satu lokasi yang sedang kalian
bayangkan: rumah. Tidak pada pagar depan dengan jeruji besi yang mengelilingi
sepetak tanah warisan, tidak pada ubin-ubin putih licin berkilau yang
memantulkan bayangan, tidak pada atap genting, plafon maupun asbes yang
melindungi dari sengat panas dan dingin hujan, tidak pada meja, kursi, sofa, kipas
angin maupun meja setrika, tidak pada rak-rak penuh piring, mangkuk, sendok,
panci, wajan, pisau, kompor dan tabung gas LPG, maupun laci berisi sebakul
nasi, bakwan jagung dan sayur bayam, tidak pada sikat gigi warna-warni yang
berjejer dan air yang menggenang dalam bak mandi berkeramik beserta gayung
plastik yang biasanya mengambang, tidak pula pada kasur kapuk merah muda yang
diselimuti oleh seprai halus bermotif dan bantal guling diatasnya. Tidak ada
satupun dari yang ku sebutkan, yang membuat kakiku tak sabar ingin melangkah
dan merebah.
Kau salah. Rumah tidak digambarkan dalam
wujud materiilnya saja, Tuan, begitu katamu lantang. Kalaupun begitu, wajah-wajah
yang bercokol di dalam tak sedikit pun menimbulkan kerinduan. Dua manusia yang
memiliki hubungan darah denganku. Wajah mereka, laiknya wajah-wajah manusia
lain di halte bus, di loket kereta api, di antrean kasir, di atas eskalator
tempat perbelanjaan dan di atas kendaraan yang melaju kencang di jalanan,
tidaklah beda. Dingin, beku dan kaku. Menatap dan berucap seperlunya. Interaksi
minim yang hadir karena keterpaksaan. Bak orang asing yang dapat kau temui
dengan mudah di mana saja.
Sebut
saja yang pertama dengan panggilan “Bapak”. Laki-laki di usia pertengahan lima
puluhan, sedang dalam kegetiran yang tak mampu ia sembunyikan. Ia dipecat dari kedinasan
militer, enam bulan lalu. Meninggalkan pangkat yang tak terlalu tinggi bagi
laki-laki seusianya. Seragam doreng hijau tua kebanggannya kini hanya tergolek
lemah dalam lipatan rapi di lemari kayu jati, melebur bersamaan dengan aroma
kapur barus berbentuk bola bulat berwarna-warni. Seragam yang tak lagi ia
kenakan dengan rapi jali di pagi hari, yang membuatnya betah bercermin
lama-lama sebelum berangkat kerja.
Bapak
berkulit gelap, gempal, apalagi di bagian lengan, dada dan betisnya. Rambutnya
cepak, tanpa bulu sedikit pun menghiasi wajah. Rahangnya lancip, tajam, begitu
pula hidungnya. Sorot matanya dalam, bak mata elang. Bibirnya berwarna cokelat
gelap akibat berpuluh-puluh tahun menyisipkan tembakau kering dalam gulungan
kertas putih ke dalam mulutnya. Sekilas seperti orang yang rupawan, dan aku tak
bisa menampik karena memang demikian.
Pria pertengahan lima puluhan yang rupawan
itu tengah mengalami krisis. Ia merasa hampa tanpa seragam kebanggaannya, bak mamalia
dari famili Rhinocerotidae tanpa cula
yang berada di atas hidungnya. Sudah
enam bulan berlalu, tapi tiap pagi ia masih melakukan kebiasaan yang sama
persis sebelum dirinya dipecat: mandi, memakai seragam, menyisir rambut,
menyemprotkan parfum beraroma musk ke
sekujur tubuhnya, menatap cermin lama-lama, sarapan roti selai, secangkir kopi
hitam beserta surat kabar, lalu kembali melepaskan seragam dorengnya,
melipatnya kembali dengan rapi dan menaruhnya sendiri ke dalam almari.
Sisa harinya? Ia akan habiskan dengan berada
di atas sadel motor, melaju dalam lamunan tanpa henti. Kadang, pada jam makan
siang, ia mengabarkan telah sampai di Ponorogo. Kadang pula, ia tiba-tiba sudah
melesat hingga Boyolali, pada malamnya. Bahkan, pernah sekali waktu ia
mengelana hingga Kuningan, tak pulang dan memberi kabar hingga tiga hari dua
malam.
Kalaupun ia sedang tidak enak badan atau
malas melakukan perjalanan, ia akan menghabiskan separuh harinya bercengkrama
dengan murai batu peliharaannya. Membersihkan alasnya yang terkena kotoran,
mengisi berkali-kali wadah minum dan makan, memandikan dengan air yang
disemprotkan dalam botol plastik khusus, hingga mengajaknya berbicara. “Pensiunan
ABRI gila,” ucap tetangga kanan-kiri yang kebetulan melihat bapak sedang mengudang burung layaknya mengobrol
dengan manusia. Memang pemandangan langka. Hal yang tak pernah ia lakukan sejak
bergabung dengan akademi kemiliteran. Tugas memelihara murai batu miliknya
disambungtangankan oleh tukang kebun yang bapak pekerjakan sejak lama.
Manusia kedua adalah perempuan satu-satunya
dalam rumah. Ibu, begitu kami menyebutnya. Ia juga tengah memasuki tahun-tahun
yang beranjak senja. Ia berperawakan sedang, tingginya hanya sepundak bapak, kulitnya
kuning dan mulai mengendor, rambutnya masih legam walau ada satu-dua yang
kelabu. Mata sebelah kirinya berwarna biru muda akibat katarak, sementara mata
kanannya memendar warna cokelat madu yang hangat.
Ibu adalah perempuan pendiam. Ia jarang
sekali berbicara, kalaupun ada, maka kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya
sepenggal-dua penggal. Ia tak pernah memberikan anaknya pujian, sejauh yang
dapat ku ingat. Ia jarang menanyakan kabar maupun perasaanku. Ia jarang pula
tersenyum. Pelukan terakhir darinya adalah ketika aku masih berada di bangku
sekolah menengah. Pelukan yang masih ku damba-dambakan hingga sekarang.
Selalu ada perasaan iri kala melihat
teman-temanku membanggakan ibu mereka masing-masing. Dari cerita langsung,
maupun dari unggahan foto dan video beserta caption
manis di sosial media. Ibu, bagi mereka, adalah manifestasi kehangatan dan
ketentraman. Ibu, bagi mereka, adalah selarik sinar mentari yang jatuh pada
ujung kulit ari, dan perlahan rasa hangat sinar itu menjalari. Ibu adalah
simbol dari keamanan dan kasih sayang. Seluruh dunia berbagi pandangan yang
sama mengenai ibu, dan kurasa, aku satu-satunya orang yang tidak dapat
merengkuh pandangan itu bersamaku.
Ya, kurasa hanya aku, yang tidak menemukan
secuil pun kehangatan dari rumah. Tidak pula merindu untuk segera pulang ke
tempat yang kata orang bak tempat bersemayam.
***
Di tempat ini, aku menemukan arti dari kata
‘pulang’.
Tidak ada satupun penghalang antara aku dan
ganasnya Samudera Hindia. Hanya gulungan karpet luas berwarna biru cerah, juga
langit yang berwarna senada. Kakiku tengah berada di ambang antara kering dan
basah. Kulit kakiku menanggapi stimulus yang diberikan, mengidentifikasi adanya
kelomang yang berjalan perlahan di sela-sela jariku. Geli memang, tapi aku
tidak peduli, menoleh sedikit pun tidak.
Di depanku hanya ada air, air dan air. Dalam
kedalamannya, tidak ada yang tahu pasti apa yang bersembunyi. Bisa saja hiu
atau paus,bisa pula harta karun yang tenggelam, mungkin juga ikan duyung dengan
pesonanya yang memabukkan. Ah, rupanya aku terlalu banyak menghayal. Ku susuri
pantai berpasir putih ini dari ujung ke ujung, sembari menghitung berapa banyak
pohon kelapa yang menjulang lantang dari tanah, di sisi kanan tubuhku. Ada
puluhan batang. Dua puluh sembilan, lebih akuratnya.
Aku telah berada pada naungan udara amis
ini sejak seminggu silam. Tidur di dalam tenda, berselimutkan langit
berbintang. Ku bawa serta seluruh yang ku punya dan ku anggap berharga, tapi
bukan berarti aku pindah selamanya menjadi makhluk nomaden yang tidur di
pinggir pantai. Bukan berarti aku tidak mencintai pantai dengan segala
keindahannya, karena tak ada yang lebih memikat ketimbang menanti pagi sembari
menyeruput kopi, atau menunggu senja dengan pikiran mengembara. Hanya saja,
manusia normal tidak akan mampu untuk bertahan dalam jangka waktu panjang hanya
dengan tidur berselimutkan kantung tidur dan kain tenda yang tipis menerawang,
walaupun ini bukan di gunung yang suhunya mencekik persendian.
Sore itu, sore terakhir sebelum esok
paginya aku akan berkemas dari pantai, aku kembali membiarkan ingatanku
berkelana. “Pernikahan mereka bahagia, dulunya...” ucapku dengan nada getir
pada diri sendiri. Aku ingat akan kisah yang diceritakan oleh keduanya, pada malam
saat keduanya mengajakku berwisata keluar kota dan berbaring nyaman di atas
ranjang hotel. Aku masih sepuluh tahun waktu itu, mendengarkan penuturan
keduanya dengan seksama tentang bagaimana keduanya bertemu, saling suka dan
menikah. Lalu, kisah haru saat aku dilahirkan. Kemudian, rasa bahagia yang
membuncah kala melihatku mengucapkan kata-kata atau berjalan untuk pertama
kalinya. Katanya juga, waktu bayi aku amat lucu, hingga keduanya betah
memandangiku berlama-lama. Keduanya terus bercerita, terharu dan tertawa pada
saat yang sama. Hingga kami jatuh tertidur pada pukul dua dini hari. Malam yang
panjang, malam terbaik sepanjang zaman. Malam yang kini hanya bisa ku kenang.
Air laut yang dihempaskan oleh ombak
kembali menggelitik telapak kakiku. Atap bumi yang tadi berwarna biru dengan
gumpalan kapas putihnya, kini sirna menjadi permainan cahaya yang luar biasa:
jingga, ungu, kuning dan merah. Matahari berbentuk bola bulat yang tergelincir
dan tenggelam pada permukaan laut. Sinarnya, sinar terakhir yang menggapai
kulitku, seolah menyampaikan, “Selamat berjumpa esok hari, aku pasti kan
kembali lagi...”
Sementara, jauh di dalam diriku, aku
tertegun setengah mati. Tak tahu pasti akan apa yang ku lakukan esok hari.
Pulang?
Kemana?
Surabaya, 18 Mei 2016, 01:35 WIB
Credit picture: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmooEzb9sSCIrz_yjd0TY_mCUFqGD2BBVltsNton2HT-ajkMU03x8SQGxR8EiloZzTC86uloKQvIJzZ-fDRLEcyrQ-6956dlKPS4MdUpGSG8-GqxePbqc1-gKUryp4-SnLeKGqsYIMhoc/s1600/lonely.jpg
0 komentar:
Posting Komentar
Think twice before you start typing! ;)