Rabu, 18 Mei 2016

Bisikan Rindu Kelabu

Di tempat ini, aku menemukan arti dari kata ‘pulang’.
            Bumi tempat kakiku berpijak sekarang tidak berada pada satu lokasi yang sedang kalian bayangkan: rumah. Tidak pada pagar depan dengan jeruji besi yang mengelilingi sepetak tanah warisan, tidak pada ubin-ubin putih licin berkilau yang memantulkan bayangan, tidak pada atap genting, plafon maupun asbes yang melindungi dari sengat panas dan dingin hujan, tidak pada meja, kursi, sofa, kipas angin maupun meja setrika, tidak pada rak-rak penuh piring, mangkuk, sendok, panci, wajan, pisau, kompor dan tabung gas LPG, maupun laci berisi sebakul nasi, bakwan jagung dan sayur bayam, tidak pada sikat gigi warna-warni yang berjejer dan air yang menggenang dalam bak mandi berkeramik beserta gayung plastik yang biasanya mengambang, tidak pula pada kasur kapuk merah muda yang diselimuti oleh seprai halus bermotif dan bantal guling diatasnya. Tidak ada satupun dari yang ku sebutkan, yang membuat kakiku tak sabar ingin melangkah dan merebah.
            Kau salah. Rumah tidak digambarkan dalam wujud materiilnya saja, Tuan, begitu katamu lantang. Kalaupun begitu, wajah-wajah yang bercokol di dalam tak sedikit pun menimbulkan kerinduan. Dua manusia yang memiliki hubungan darah denganku. Wajah mereka, laiknya wajah-wajah manusia lain di halte bus, di loket kereta api, di antrean kasir, di atas eskalator tempat perbelanjaan dan di atas kendaraan yang melaju kencang di jalanan, tidaklah beda. Dingin, beku dan kaku. Menatap dan berucap seperlunya. Interaksi minim yang hadir karena keterpaksaan. Bak orang asing yang dapat kau temui dengan mudah di mana saja.

            Sebut saja yang pertama dengan panggilan “Bapak”. Laki-laki di usia pertengahan lima puluhan, sedang dalam kegetiran yang tak mampu ia sembunyikan. Ia dipecat dari kedinasan militer, enam bulan lalu. Meninggalkan pangkat yang tak terlalu tinggi bagi laki-laki seusianya. Seragam doreng hijau tua kebanggannya kini hanya tergolek lemah dalam lipatan rapi di lemari kayu jati, melebur bersamaan dengan aroma kapur barus berbentuk bola bulat berwarna-warni. Seragam yang tak lagi ia kenakan dengan rapi jali di pagi hari, yang membuatnya betah bercermin lama-lama sebelum berangkat kerja.
            Bapak berkulit gelap, gempal, apalagi di bagian lengan, dada dan betisnya. Rambutnya cepak, tanpa bulu sedikit pun menghiasi wajah. Rahangnya lancip, tajam, begitu pula hidungnya. Sorot matanya dalam, bak mata elang. Bibirnya berwarna cokelat gelap akibat berpuluh-puluh tahun menyisipkan tembakau kering dalam gulungan kertas putih ke dalam mulutnya. Sekilas seperti orang yang rupawan, dan aku tak bisa menampik karena memang demikian.
Pria pertengahan lima puluhan yang rupawan itu tengah mengalami krisis. Ia merasa hampa tanpa seragam kebanggaannya, bak mamalia dari famili Rhinocerotidae tanpa cula yang  berada di atas hidungnya. Sudah enam bulan berlalu, tapi tiap pagi ia masih melakukan kebiasaan yang sama persis sebelum dirinya dipecat: mandi, memakai seragam, menyisir rambut, menyemprotkan parfum beraroma musk ke sekujur tubuhnya, menatap cermin lama-lama, sarapan roti selai, secangkir kopi hitam beserta surat kabar, lalu kembali melepaskan seragam dorengnya, melipatnya kembali dengan rapi dan menaruhnya sendiri ke dalam almari.
Sisa harinya? Ia akan habiskan dengan berada di atas sadel motor, melaju dalam lamunan tanpa henti. Kadang, pada jam makan siang, ia mengabarkan telah sampai di Ponorogo. Kadang pula, ia tiba-tiba sudah melesat hingga Boyolali, pada malamnya. Bahkan, pernah sekali waktu ia mengelana hingga Kuningan, tak pulang dan memberi kabar hingga tiga hari dua malam.
Kalaupun ia sedang tidak enak badan atau malas melakukan perjalanan, ia akan menghabiskan separuh harinya bercengkrama dengan murai batu peliharaannya. Membersihkan alasnya yang terkena kotoran, mengisi berkali-kali wadah minum dan makan, memandikan dengan air yang disemprotkan dalam botol plastik khusus, hingga mengajaknya berbicara. “Pensiunan ABRI gila,” ucap tetangga kanan-kiri yang kebetulan melihat bapak sedang mengudang burung layaknya mengobrol dengan manusia. Memang pemandangan langka. Hal yang tak pernah ia lakukan sejak bergabung dengan akademi kemiliteran. Tugas memelihara murai batu miliknya disambungtangankan oleh tukang kebun yang bapak pekerjakan sejak lama.
Manusia kedua adalah perempuan satu-satunya dalam rumah. Ibu, begitu kami menyebutnya. Ia juga tengah memasuki tahun-tahun yang beranjak senja. Ia berperawakan sedang, tingginya hanya sepundak bapak, kulitnya kuning dan mulai mengendor, rambutnya masih legam walau ada satu-dua yang kelabu. Mata sebelah kirinya berwarna biru muda akibat katarak, sementara mata kanannya memendar warna cokelat madu yang hangat.
Ibu adalah perempuan pendiam. Ia jarang sekali berbicara, kalaupun ada, maka kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya sepenggal-dua penggal. Ia tak pernah memberikan anaknya pujian, sejauh yang dapat ku ingat. Ia jarang menanyakan kabar maupun perasaanku. Ia jarang pula tersenyum. Pelukan terakhir darinya adalah ketika aku masih berada di bangku sekolah menengah. Pelukan yang masih ku damba-dambakan hingga sekarang.
Selalu ada perasaan iri kala melihat teman-temanku membanggakan ibu mereka masing-masing. Dari cerita langsung, maupun dari unggahan foto dan video beserta caption manis di sosial media. Ibu, bagi mereka, adalah manifestasi kehangatan dan ketentraman. Ibu, bagi mereka, adalah selarik sinar mentari yang jatuh pada ujung kulit ari, dan perlahan rasa hangat sinar itu menjalari. Ibu adalah simbol dari keamanan dan kasih sayang. Seluruh dunia berbagi pandangan yang sama mengenai ibu, dan kurasa, aku satu-satunya orang yang tidak dapat merengkuh pandangan itu bersamaku.
Ya, kurasa hanya aku, yang tidak menemukan secuil pun kehangatan dari rumah. Tidak pula merindu untuk segera pulang ke tempat yang kata orang bak tempat bersemayam.
***
Di tempat ini, aku menemukan arti dari kata ‘pulang’.
Tidak ada satupun penghalang antara aku dan ganasnya Samudera Hindia. Hanya gulungan karpet luas berwarna biru cerah, juga langit yang berwarna senada. Kakiku tengah berada di ambang antara kering dan basah. Kulit kakiku menanggapi stimulus yang diberikan, mengidentifikasi adanya kelomang yang berjalan perlahan di sela-sela jariku. Geli memang, tapi aku tidak peduli, menoleh sedikit pun tidak.
Di depanku hanya ada air, air dan air. Dalam kedalamannya, tidak ada yang tahu pasti apa yang bersembunyi. Bisa saja hiu atau paus,bisa pula harta karun yang tenggelam, mungkin juga ikan duyung dengan pesonanya yang memabukkan. Ah, rupanya aku terlalu banyak menghayal. Ku susuri pantai berpasir putih ini dari ujung ke ujung, sembari menghitung berapa banyak pohon kelapa yang menjulang lantang dari tanah, di sisi kanan tubuhku. Ada puluhan batang. Dua puluh sembilan, lebih akuratnya.
Aku telah berada pada naungan udara amis ini sejak seminggu silam. Tidur di dalam tenda, berselimutkan langit berbintang. Ku bawa serta seluruh yang ku punya dan ku anggap berharga, tapi bukan berarti aku pindah selamanya menjadi makhluk nomaden yang tidur di pinggir pantai. Bukan berarti aku tidak mencintai pantai dengan segala keindahannya, karena tak ada yang lebih memikat ketimbang menanti pagi sembari menyeruput kopi, atau menunggu senja dengan pikiran mengembara. Hanya saja, manusia normal tidak akan mampu untuk bertahan dalam jangka waktu panjang hanya dengan tidur berselimutkan kantung tidur dan kain tenda yang tipis menerawang, walaupun ini bukan di gunung yang suhunya mencekik persendian.
Sore itu, sore terakhir sebelum esok paginya aku akan berkemas dari pantai, aku kembali membiarkan ingatanku berkelana. “Pernikahan mereka bahagia, dulunya...” ucapku dengan nada getir pada diri sendiri. Aku ingat akan kisah yang diceritakan oleh keduanya, pada malam saat keduanya mengajakku berwisata keluar kota dan berbaring nyaman di atas ranjang hotel. Aku masih sepuluh tahun waktu itu, mendengarkan penuturan keduanya dengan seksama tentang bagaimana keduanya bertemu, saling suka dan menikah. Lalu, kisah haru saat aku dilahirkan. Kemudian, rasa bahagia yang membuncah kala melihatku mengucapkan kata-kata atau berjalan untuk pertama kalinya. Katanya juga, waktu bayi aku amat lucu, hingga keduanya betah memandangiku berlama-lama. Keduanya terus bercerita, terharu dan tertawa pada saat yang sama. Hingga kami jatuh tertidur pada pukul dua dini hari. Malam yang panjang, malam terbaik sepanjang zaman. Malam yang kini hanya bisa ku kenang.
Air laut yang dihempaskan oleh ombak kembali menggelitik telapak kakiku. Atap bumi yang tadi berwarna biru dengan gumpalan kapas putihnya, kini sirna menjadi permainan cahaya yang luar biasa: jingga, ungu, kuning dan merah. Matahari berbentuk bola bulat yang tergelincir dan tenggelam pada permukaan laut. Sinarnya, sinar terakhir yang menggapai kulitku, seolah menyampaikan, “Selamat berjumpa esok hari, aku pasti kan kembali lagi...”
Sementara, jauh di dalam diriku, aku tertegun setengah mati. Tak tahu pasti akan apa yang ku lakukan esok hari.
Pulang?
Kemana?

Surabaya, 18 Mei 2016, 01:35 WIB

Credit picture: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmooEzb9sSCIrz_yjd0TY_mCUFqGD2BBVltsNton2HT-ajkMU03x8SQGxR8EiloZzTC86uloKQvIJzZ-fDRLEcyrQ-6956dlKPS4MdUpGSG8-GqxePbqc1-gKUryp4-SnLeKGqsYIMhoc/s1600/lonely.jpg

0 komentar:

Posting Komentar

Think twice before you start typing! ;)

 

Goresan Pena Nena Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template