Tau sendiri kan, kalau minggu lalu (5-6-7-8
Mei 2016) ada libur yang cukup panjang? Awalnya, liburan itu kurencanakan untuk
naik gunung. Namun, karena suatu hal, aku tak jadi melakukan pendakian.
Alih-alih bersedih, aku mengadakan perjalanan sendiri bersama sobatku dari SMP,
Tita.
Aku merencanakan perjalanan itu dengan
mendadak, pada hari Jum’at, 6 Mei 2016. Mulanya, aku mengajak Tita untuk
jalan-jalan keliling Trawas, Mojokerto. Bukan tanpa alasan aku ingin kesana.
Mojokerto dan sekitarnya adalah surga tersembunyi, dengan jarak yang cukup
dekat dari Surabaya. Tita mulanya bertanya sana-sini, aku berusaha
meyakinkannya, dan tak butuh waktu lama, ia menyetujui tawaranku. Ahay!
Kami merencanakan berangkat pada hari
Minggu shubuh (8/5). Berangkat jam
segitu sangat menyenangkan. Udara masih bersih, sejuk dan jalanan masih sepi.
Bisa berkendara lebih cepat ketimbang berangkat diatas jam 7 pagi. Kami juga
merencanakan membawa sepeda motor sendiri-sendiri. Bukan tanpa alasan, selain
kami sama-sama sudah mahir membawa motor, juga karena satu alasan krusial:
jalanan Trawas dan sekitarnya penuh dengan tanjakan! Dan, membawa dua orang
dengan satu motor, menaiki tanjakan itu, akan berakhir buruk pada motor kita,
bisa saja ban jadi kempes/bocor, bisa aja turun mesin, kasihan pula mesin motor
yang meraung-raung. Belum lagi, bila ternyata motor itu tak kuat nanjak, dan
malah berjalan mundur. Apa gak serem? :’)
Namun, pada Sabtu malam (7/5), sekitar jam
22:44, Tita mengabarkan berita seram: ia tak diizinkan pergi oleh ibunya.
DHUARRR. Dengan segala cara, aku meyakinkannya untuk tetap berangkat, seperti: 1) “Berangkat agak siang gpp, asal
tetep berangkat” 2) “Tempatnya deket
kok, cuma 2 jam perjalanan dari Surabaya” 3)
“Lokasinya rame, gak sepi kok” 4)
“Pulangnya cepet deh, biar ortumu gak khawatir” dan sejenisnya, hehe.
Dengan berbagai cara, Tita berakhir dengan
keberhasilan merayu orang tuanya, hehe. Tapi, rencana awal kami berangkat jam 4
pagi, mundur ke jam 6 pagi. Tak apalah, asal berangkat!
MINGGU, 8 Mei 2016
Aku
sudah bangun dari jam 3:30 pagi. Segera mandi, bersiap-siap, packing, bikin bekal, cek barang
ini-itu, lalu santai-santai sejenak sembari menunggu jam 6 datang.
Sesampainya
di rumah Tita, aku bertemu kedua orang tuanya, mereka sedikit-sedikit
menginterogasi soal perjalanan kami. Aku bilang, tempatnya di Trawas, 2 jam
perjalanan dari sini, dan disana aman, gak sepi kok. Aku juga berulangkali
dipesani agar berhati-hati. Dan tak lama, kami berangkat! Isi bensin dulu di
Pom Bensin Krampung, sejumlah 20.000 (3 Liter Premium) dan Tita mengisi
motornya dengan Petralite.
Kami
langsung berangkat lewat Ngagel, terus tembus ke Wonokromo. Kami tak jadi lewat
Krian karena aku lupa jalannya
(padahal pemandangan lewat sana lebih bagus). Alih-alih, kami lewat Jalan Raya
Surabaya-Malang, jalanan besar yang menghubungkan
Surabaya-Sidoarjo-Pasuruan-Malang.
Rencananya,
kami akan lewat jalur ini: Surabaya-Waru-Candi-Porong-Gempol, lalu kami akan
belok ke kanan jalan, ke arah jalanan ke Kecamatan Prigen dan Pandaan,
Pasuruan. Patokanku adalah Masjid Cheng Ho, Pasuruan, disekitarnya kan ada
belokan menuju Mojokerto. Dan, menurut
Google Maps, jalanan ke Trawas via Pandaan, Pasuruan, itu jauh lebih gampang
dibanding harus muter-muter Waru-Taman-Krian-Mojosari-Trawas.
Hai, kami sudah di
Gempol, Pasuruan nih!
Kami
berangkat jam 06:15 pagi, dan berhenti di jalanan daerah Gempol buat ganti oli
motorku, sekitar jam 07:25. Termasuk cepet gak sih? Dari Krampung, Surabaya ke
Gempol, Pasuruan, dengan waktu 1 jam 10 menit?
Hehe. Disini, kami duduk-duduk sebentar sembari menunggu oli diganti. Tak
lebih dari 20 menit, sudah selesai, dan aku sekalian tanya sama Bapak pemilik
Bengkel soal arah jalan.
“Pak,
kalau mau ke Trawas kan lewat jalanan sebelah Masjid Cheng Ho, ya?” kataku.
“Oh
iya nak, nanti lewat puter balikan di Masjid Cheng Ho, trus belok kiri. Habis
itu lurus terus, setelah Polsek Prigen, belok kanan.”
“Kalo
ke Air Terjun Dlundung, pak?”
“Oh
iya, rutenya sama. Ikuti jalannya aja. Tapi ati-ati, banyak tanjakan. Pakai
gigi satu aja, kalo kamu telat ganti gigi, atau pake gigi 2 sekalipun,
bisa-bisa motormu kebalik.” kata bapaknya.
“Wih,
serem ya pak.”
“Iya,
makanya pakai gigi satu aja, aman.”
“Yaudah
pak, makasih.”
Kami
langsung cabut dan aku berkata ke Tita, “Inget, gigi satu ya. Wes gpp
pelan-pelan aja ntar.”
Kami
langsung tancap gas, belok kanan setelah Masjid Cheng Ho, lalu belok kiri.
Sebelum menghadapi jalanan lurus yang panjang, aku menepi, “Sek, sek, buka
Google Maps dulu.”
Dari
sini, lurus terus, nanti ada belokan ke kanan setelah Polsek Prigen (sesuai
anjuran Bapaknya). Lalu, belok ke kanan lagi dan ikuti jalan. Jalan yang benar
menuju ke Air Terjun Dlundung adalah jalanan yang lebar, ramai, dan ada papan
penandanya. Okelah.
Saat
tengah berjalan di jalanan lurus itu, aku cukup terkejut. Di kanan jalan ada
Candi euy! Candinya cukup besar dan
sangat mencolok, dan setelah dari air terjun nanti, aku bakal merencanakan kemari,
pikirku dalam hati. Oh ya, di jalanan lurus tadi, ada beberapa tanjakan yang
cukup membuat mesin meraung-raung, padahal orang-orang lokal mengendarai
motornya dengan biasa saja. Mesinku berisik, mereka tidak. Mereka berkendara
dengan santai tapi mantap, tak mengeluarkan suara seperti mesin motorku. Hm,
sebegitu mencoloknya kah cara berkendaraku? Wkwk, keliatan banget kalau turis,
bukan penduduk lokal.
Dari
Masjid Cheng Ho (jam 08:00) ke Polsek Prigen (jam 08:14), kami langsung belok
ke kanan jalan. Nah, dari sini mulai serem. Ada beberapa turunan yang ekstrim,
membuat kami harus ekstra hati-hati dan pandai memainkan rem tangan-rem kaki.
Banyak pula tanjakan, tapi ada satu tanjakan yang sangat berkesan. Saking
terkesannya, mesin motorku sampai gak kuat naik! Tita udah jalan duluan, eh
mesinku mati. Hiks. Mana mesin mati di jalanan tanjakan yang sebelahnya ada
jurang pula. Akhirnya, sembari menginjak rem kaki (supaya motornya gak berjalan
mundur), aku nyalakan kembali motorku, lalu naik dengan menggunakan gigi satu
plus teknik berkendara zigzag (ini cukup efektif). Berhasil.
Istirahat dulu buat
mendinginkan mesin
Akhirnya,
setelah berkendara kurang lebih 40 menit (dari Polsek Prigen), akhirnya kami
sampai ke gerbang masuk Air Terjun dan Bumi Perkemahan Dlundung! Yey! Leganya.
Oh ya,
cuma mau cerita sih. Di sepanjang perjalanan ada BANYAK sekali view yang cantik. Seperti rumah yang
dicat berwarna-warni, yang didirikan di atas bukit (pingin foto tapi Tita gak
mau berhenti hiks), ada sawah-sawah dengan latar belakang bukit yang sangat
bagus (pingin foto tapi Tita gak mau berhenti lagi, huhu), ada lembah yang
buagus, ada ranch kuda, dan banyak
deh!
Oke,
balik ke gerbang masuk. Sebelum kami diperbolehkan masuk, terlebih dahulu kami
harus membayar di loket, sebesar 11.000 per orang. Kemudian, kami bingung,
harus parkir dimana. Kata mas-nya, “Parkirnya di sebelah kanan.” LAH? Kanan
mana? Begitu aku liat sebelah kanan, ada area campground dan jalannya serem banget. Turun ekstrim, dengan
tanah-tanah yang gembur.
“Yakin
ta, yang ini?” tanyaku pada Tita.
Ia menatapku dengan cengiran di wajahnya. “Mosok iki seh, serem banget wah.”
katanya.
“Coba tanya’o
masnya yang tadi, sebelah kanan yang dimaksud itu yang mana.”
Tita tak menjawab, sorot matanya terlihat
ragu. Kemudian, ia melihat wisatawan lain berkendara lurus, lalu belok ke kiri.
“Coba ikuti aja orang itu.” kata Tita pada akhirnya.
The parkiran selfie :D
Dan firasat Tita benar. Disana ada beberapa
warung-warung dan ada area parkir. Kami memarkirkan motor disana, mendapat
karcis parkir, lalu berjalan keluar parkiran.
Mau ke air terjun, nih
Untuk
menuju ke air terjun Dlundung, kami harus menapaki tangga-tangga. Tak jauh sih
jaraknya, kurang dari 100 meter, tapi...ada yang salah.
“Mbeng
(panggilanku ke Tita), kok pegel ya?”
“Iyo yo, kok kerasa pegel?”
“Gini
katanya mau menaklukan Mahameru.” ucapku, dia ngakak.
“Yo ngene iki gak tau olahraga.” sahutnya.
“Ayo
wah, masa kalah sama anak kecil didepan.” ucapku memberi semangat.
“Anak
kecil sih enak gak punya beban. Kita punya beban bawa tas (padahal enteng),
plus beban hidup pula.” katanya padaku.
Naik segini aja
ngos-ngosan
Kurang
dari dua menit, kami sudah sampai di jalanan datar. “Mbeng, itu air terjunnya!
Keren ya.” ucapku, dengan nada norak. “Yuk foto-foto.” ajakku, mengeluarkan HP
dan memasangi kamera depannya dengan superwide
lens.
Kami sampai! Hehehe
Kami
memandangi air terjun itu beberapa saat, lalu menuju ke gazebo untuk duduk. Tapi, gazebo-nya
basah, jadi kami duduk di kursi kecil dari batang kayu berbentuk bulat.
Setelah cukup puas foto-foto, kami mulai
bercerita. Tentang apa saja, tapi emang kebanyakan kita sambat masalah perkuliahan yang semakin menggila, hehe. Tita cerita
kalau di semester 4, ada rasa jenuh untuk kuliah. Tidak sesemangat
semester-semester silam.
“Lho, kok sama?” kataku.
“Iya, rasanya lelah aja. Banyak tugas, dan
tugas-tugas itu kian hari kian berat levelnya.”
Selama satu jam lebih, kami bercerita ngalor-ngidul, mostly tentang dunia kuliah, kalau gak gitu, tentang organisasi
yang diikuti (yang sama-sama bikin gilanya). Selain itu, kami juga sering
memundurkan topik pembicaraan ke zaman-zaman SMP, dan zaman-zaman SMA-nya yang
penuh drama, hehe.
“Jadi...” katanya, “Kita kesini cuma buat
cerita-cerita aja?”
“Haha, iya juga, soalnya suasananya tenang
banget. Ketenangan yang tidak akan kita dapatkan di kota asal yang udaranya
seperti neraka, hehe.”
“Uh, kalau aja air terjun ini ada di
Surabaya, pasti aku bakal kesini terus setiap hari, sepulang kuliah.” ucapnya,
seraya ngakak.
Ngobrol sambil
sesekali foto-foto, hehe
Kami juga banyak membicarakan soal
pengunjung-pengunjung di Air Terjun Dlundung ini, hehe. Diam-diam, sambil duduk
santai, kita juga mengamati sekitar, lho.
“Nen, liat mas yang pake baju hitam itu,”
katanya sembari menunjuk seseorang. “Dari tadi lho sibuk selfie-selfie sendiri, wkwk”
“Mana? Mana?” balasku, “Oh yang itu ya?
Haha, sakno cak. Gak ada temennya
ta?”
“Lihat posenya, wkwk.” ucap Tita lagi.
“Heh!” aku tiba-tiba teringat sesuatu,
“Kalo kamu gak ikut kesini, aku pasti akan berakhir seperti itu. Foto-foto
sendiri, tanpa teman, huahaha.”
Ada
pula ibu-ibu yang terlihat sangat hepi. Dia bolak-balik mengguyurkan kepala dan
tubuhnya dibawah air terjun. Ia terlihat sangat menikmati saat air itu
membasahi tubuhnya. “Ibu itu lho, hepi banget ya. Kayaknya baru pertama kali ke
air terjun deh,” bisikku ke Tita.
Ada
juga gerombolan anak hits yang selfie pake tongsis (pemandangan paling
umum yang selalu ada di hampir setiap tempat wisata). Ada pula anak-anak
kecil/bocah yang dengan santainya bertelanjang dada atau pake dalaman aja, trus
main-main air. Ada rombongan keluarga lengkap (ibu, bapak, anak). Ada pasangan
muda yang baru nikah dengan balita mereka. Ada golongan ‘cowok alay with their gank’ yang hobi godain cewek yang lewat (ini
yang paling menyebalkan, huft). Ada juga segerombolan anak pramuka, yang heboh
foto-foto dengan masih memakai seragam. “Kayaknya mereka baru selesai kemah,
trus habis ini langsung balik.” ucap Tita.
Hashtag #ALONE
Ngapain??
Under the waterfall
Selepas
ngobrol, aku dan Tita kembali foto-foto. Semakin lama, semakin banyak orang,
dan privasi makin berkurang. Jadi, kami puas-puasin foto dulu, sebelum akhirnya
beranjak pergi buat satu alasan krusial: makan.
“Duh,
dimana ya?” kata Tita, “Semua tempat rame.”
Kami
keliling-keliling dulu, sampai warung paling pojok, semuanya sudah penuh orang.
Lagian, kami udah bawa bekal sendiri-sendiri, dan gak mau borosin uang buat
makan di warung, hehe. Cuma butuh tempat buat duduk aja.
Pose macam apa
ini??
Akhirnya,
kami memutuskan untuk menghabiskan bekal di sebuah tempat TANPA ATAP. Jadi,
tempatnya kaya bangunan separuh jadi gitu, udah ada ubin-nya, tapi ga ada
dinding dan atapnya -_-
Makanan
hampir habis, eh hal yang buruk terjadi. Hujan cuy! Saat masih rintik-rintik,
kami menyudahi makan dan langsung bergegas berteduh di dalam musholla. Untungnya, musholla masih sepi. Isinya tak sampai
10 orang.
Selama
setengah jam lebih kami berteduh, dan dirasa sudah terang, kami mulai keluar musholla, menuju parkiran buat ambil
motor, pasang jas hujan (buat persiapan) dan langsung pulang! FYI, bayar
parkirnya 3000/motor.
Dan,
memang benar bakal hujan lagi. Kami meneruskan perjalanan dengan pelan dan
ekstra hati-hati. Apalagi saat menuruni jalan yang licin, hehe. Tapi, sisi
positifnya, tanjakan tadi yang sangat susah dilalui, menjadi lebih mudah
dilewati saat hujan. Entah kenapa, lebih terasa enteng naik tanjakan saat
hujan.
Kami
mengemudikan motor terus, hingga di sekitaran Polsek Prigen, hujan berhenti.
Aku bilang ke Tita, “Yuk, mampir ke Candi yang tadi.”
Jam setengah
satu siang kami tiba di Candi. Memarkirkan motor, lalu melepaskan jas hujan dan
berjalan masuk ke area Candi Jawi, Pasuruan. Bagus banget! Hal pertama yang
membuatku terpukau adalah kolam ikannya. Airnya jernih, ikannya banyak dan
kolam itu dibuat mengelilingi candi. Agak mirip selokan sih bentuknya.
Pemandangan parkiran,
jalan dan kolam ikan dari atas Candi Jawi
Setelah
mendaftarkan nama ke petugas yang tengah berjaga, lalu memberikan uang
“seikhlasnya”, kami mulai masuk ke area Candi Jawi. Kami langsung menuju ke belakang
candi yang masih sepi. Mengistirahatkan tubuh.
Candi Jawi tampak
belakang
Orang-orang piknik
Penanggungan dari
Candi Jawi
Dari
belakang candi, terlihat ada Gunung Penanggungan yang terlihat jelas bentuknya.
Ada reruntuhan candi lain di ujung sana. Ada taman yang luas, dengan rerumputan
yang terpangkas rapi dan sebuah pohon yang amat sangat besar (mungkin sudah
tumbuh dari ratusan tahun yang lalu). Dan, ada segerombolan bapak-ibu dan
anaknya yang piknik bersama.
Kami
duduk-duduk sembari kembali mengobrol. Lalu, setelah Tita meng-upload foto-foto untuk Instagram
barunya, kami berkeliling candi. Aku tertarik dengan relief di dinding candi,
mungkin karena akhir-akhir ini aku membaca buku berjudul “Antologi Sastra
Daerah”.
Pada
relief di dinding candi, aku melihat banyak sekali gambar, diantaranya gambar
rumah dan istana kerajaan, gambar tanaman (perlambang kehidupan pertanian di
masa lampau), gambar kuda dan gajah (perlambang moda transportasi perang di
zaman dahulu), gambar wanita-wanita (ada yang telanjang, ada yang memakai
jarik/pakaian tradisional), ada patih-patih dan hulubalang kerajaan, dan lain
sebagainya. Aku tak sempat mengamati dengan detail karena itu butuh waktu lama,
dan kami memiliki keterbatasan waktu disini.
Kami dengan background relief candi
Bukan pencitraan,
aku benar-benar tertarik dengan relief itu
Relief wanita
Kami
beranjak menuju ke bagian depan candi. Mulai banyak orang berdatangan, dan
mereka sibuk foto di tangga dan bagian atas candi. Mau tak mau, memang harus
bergantian. Jadi, kami menunggu sambil foto-foto di bagian lain dari candi ini.
Tita the explorer
#OOTD #SandalCute
Mabok abis
perjalanan jauh
Nunggu sepi euy
(mustahil)
Dan...
Candi ini tak pernah sepi dari pengunjung, jadinya gak bisa kita foto sendirian
dan terasa ekslusif, tanpa ada kehadiran manusia-manusia lain dalam frame kita. Tak apalah, kita sama-sama
berbagi space buat foto-foto, hehe.
#Model #Fail
Hashtag #ALONE (lagi)
Kami
kemudian naik ke atas. Takjub rasanya melihat semua dari sini. Semakin kagum
pula atas peninggalan bersejarah ini. Area Candi Jawi ini memiliki kolam ikan
yang airnya jernih, ikannya banyak, jarang ada sampah dalam kolam itu. Rumput
di sekeliling candi nampak hijau, terpangkas rapi dan jarang ada sampah juga
diatasnya. Candinya sendiri masih sangat terawat, aku tak menemukan sedikitpun
coret-coretan “tangan nakal” atau vandalisme, yang biasanya banyak bertebaran
di tempat-tempat wisata Indonesia pada umumnya. Kala malam tiba, ada lampu
sorot yang menyala menerangi candi. Keseluruhan candi ini nampak terawat. Hanya
ada satu kekurangan: area parkir yang sempit! Parkirnya ada di pinggir jalan,
cukup sempit bagi motor, apalagi bagi mobil. Itu satu-satunya hal yang harus
dibenahi dari candi ini.
Bagian atas candi
Bagian dalam candi
Suasana sekitar
Candi Jawi
Namun,
dibalik terawatnya candi ini, adakah para orang yang bekerja disini telah
disejaterahkan? Telah cukupkah gaji yang mereka terima? Entahlah.
Jangan nyebur pliz
Bertapa
Kami
pun beranjak untuk foto-foto di pinggir kolam. Kami tidak ingin melupakan bahwa
candi ini memiliki kolam ikan yang indah, dengan ratusan (atau mungkin ribuan)
ikan yang berenang-renang, serta bunga teratai yang indah bertebaran, sulit
rasanya untuk tidak mengabadikan semua itu dalam gambar.
Diantara reruntuhan
Kami
juga bertandang ke bagian belakang candi, tempat dimana taman yang luas dan
reruntuhan candi lain berada. Wuih, asik banget disini! Rumputnya empuk, tamannya
luas, hawanya sejuk, jadi pingin tidur-tiduran sambil baca novel, hehe.
Cover film Boyhood
Perih euy saat liat langit, hehehe
Tak lupa, pose-pose klasik saat bertandang
ke tempat wisata: pose LOMPAT!
Lagi nari, buk?
Lari di udara
Ngapain nak??
Pukul 2 siang, kita memutuskan untuk
pulang. Langit mulai mendung, ada rona-rona kelabu bertebaran di cakrawala
siang. Kami terus melajukan motor. Sampai di jalan raya Gempol, Pasuruan, rintik-rintik
hujan mulai berjatuhan, setetes demi setetes. Tita meminta untuk berhenti dan
memasang jas hujan. Dan.... Tak sampai lima menit, hujan sudah mengguyur dengan
derasnya. Bukan sekedar hujan tapi hujan
angin!
Kami berdua terus berjuang, sama-sama
melajukan motor dengan kecepatan konstan. Aku jadi ingat pesan ibunya Tita,
kami harus pulang sebelum matahari terbenam. Maka dari itu, tetap berkendara
walau cuaca ekstrim adalah jalan satu-satunya. Tak mungkin kami menunggu hujan reda. Kami tetap berkendara,
walau kecepatan harus kami turunkan dibawah 60km/jam.
Hujan datang dari arah samping, maka ketika
kami berbelok sedikit di putar balikan di bawah jalan tol, mataku terasa sangat
perih. Gimana tidak? Aku tak mungkin menutupi mata dengan kaca helm (karena
pemandanganku akan kabur, dan tak bisa melihat apa-apa, justru akan jauh lebih
berbahaya), maka aku nekat menerabas hujan walau mataku serasa ditusuk-tusuk
oleh air yang berjatuhan itu. Ya begitulah memang kalau lagi hujan angin :’)
Kami berteduh sebentar dibawah jalan tol.
Disana juga banyak orang yang sedang berteduh, bahkan ada pula penjual pentol,
hehe. Dia bisa mencium firasat bagus akan datangnya pembeli ternyata, hehehe.
“Mbeng, berteduh bentar kah? Setengah jam
lagi mungkin reda.”
“Yaudah deh.”
“Oh ya, kabari ibumu, gih. Posisi kita ada
dimana sekarang.” ucapku. Ia menyuruhku membuka tasnya dan mengambil hp nokia
jadulnya.
Saat Tita mengetik, aku mulai sadar akan
sesuatu. Aku ingat berita di koran Kompas, yang menyebutkan kalau daerah jalan
Raya Porong, jika terkena hujan deras, akan mengalami banjir yang amat dalam.
Serem! Apalagi, di berita itu menyebutkan kalau kereta api bahkan sampai ga
bisa beroperasi, saking tingginya banjir di daerah itu.
“Mbeng, kayaknya kita harus jalan terus,
deh.” ucapku padanya. “Bukan apa-apa, tapi daerah Porong itu kalau kena hujan
deras bakal banjir, dan itu berarti kita gak bakal bisa pulang.”
Akhirnya, kami mulai berkendara lagi,
dengan kecepatan tak terlalu tinggi dan ekstra hati-hati. Air hujan mulai
memasuki sela-sela jas hujanku yang sedikit robek. Aku takut kalau airnya bakal
membasahi barang-barang elektronikku (hp, kamera). Jadinya, aku menitipkan
barang itu ke tas Tita, saat kami sudah melewati Porong, Sidoarjo.
Di beberapa tempat, ketinggian air yang membanjiri
jalan memang luar biasa. Aku takut bila air itu membasahi busi motorku, dan
membuat motorku mogok seketika. Aku jadi ingat pengalamanku saat ke Ranu Agung
dulu, yang membuat motorku hampir mogok. Untungnya, waktu itu kita lagi touring dan ada mekanik handal yang bisa
menyelesaikan masalah itu seketika.
Jadi, aku mempraktekan ilmu yang sudah ku
dapat waktu touring ke Ranu Agung
dulu: 1) hindari berkendara di lajur sebelah kiri, karena lajur sebelah kiri
cenderung lebih rendah permukaan aspalnya, daripada yang ada di jalur kanan 2) berjalan
ekstra pelan saat melewati genangan air yang dalam, karena jika kita berkendara
cepat/kencang, maka air itu akan lebih cepat memasuki mesin motor kita, 3)
usahakan gas motor nyala terus, bahkan saat di lampu merah.
Di daerah perbatasan Surabaya-Sidoarjo,
sekitaran pom bensin Aloha, airnya menggenang tinggi. Tapi, seusainya, aspal
hanya basah saja. Bahkan, di Surabaya, aspalnya kering. Tidak ada tanda-tanda
hujan. Langitnya pun hanya mendung sedikit saja.
Kami bertandang ke pom bensin Ngagel karena
Tita merasa bensinnya telah habis. Aku mengambil barang-barangku, memasukkannya
ke tas, dan kami pulang ke rumah masing-masing. Sekitar jam 4 sore aku sampai
di rumah, ngerasa tepar dan kedinginan.
Nih nota bensinku
Oh ya, bensinku hanya habis 2 liter lho,
hehe. Masih ada sisa 1 liter di tangki motor, dan bisa kugunakan dalam kurun
waktu 1-2 hari kedepan. Cukup hemat juga ya :’) terharu wkwk. Beda sama di
dalam kota, bensin satu liter, dalam kurun waktu satu hari saja sudah menguap
:’)
Jadi...kapan
traveling lagi? :)
Kok luwucyuuu ngene ceritane wkwk. Foto2 akeh seng nunjukno nek aku emang alone hiks
BalasHapusWkwk ayo segera "berburu" kaak, biar ada yg nemenin selfie bareng selain aquh :3
Hapusbukanya jam berapa ya?
BalasHapusbuka apanya mas? air terjun dlundung atau candi jawi? hehehe
Hapus